Prevalensi Kasus Infeksi Trematoda Di Jaringan Hati Sapi Pada Rumah Potong Hewan Di Medan Mabar Taun 2012

(1)

PREVALENSI KASUS INFEKSI TREMATODA DI JARINGAN HATI SAPI PADA RUMAH POTONG HEWAN DI MEDAN MABAR TAUN 2012

Oleh :

ZAKY RIVANA NASUTION

090100116

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(2)

PREVALENSI KASUS INFEKSI TREMATODA DI JARINGAN HATI SAPI PADA RUMAH POTONG HEWAN DI MEDAN MABAR TAUN 2012

Karya Tulis Ilmiah

”Karya Tulis Ilmiah Ini Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk

Memperoleh Kelulusan Sarjana Kedokteran”

Oleh :

ZAKY RIVANA NASUTION

090100278

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : PREVALENSI KASUS INFEKSI TREMATODA DI

JARINGAN HATI SAPI PADA RUMAH POTONG HEWAN DI MEDAN MABAR TAUN 2012

Nama : ZAKY RIVANA NASUTION NIM : 090100116

Pembimbing Penguji I

(dr.Sunna Vyatra Hutagalung, MS) (dr.Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes) 198104032006042002 196906091999032001

Penguji II

(dr. Nurchaliza H. Siregar, Sp.M) 197009082000032001

Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

( Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD – KGEH ) 19540220 198011 1 001


(4)

ABSTRAK

Prevalensi kasus infeksi trematoda terhadap hewan ternak yang terjadi di Indonesia masih cukup tinggi terutama kejadian fasciolosis terhadap sapi. Data yang didapat dari Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan menunjukkan tingkat kejadian fasciolosis sebesar 9.6% pada total sapi potong tahun 2006. Informasi tentang prevalensi infeksi trematoda hati pada sapi masih terbatas untuk Kota Medan. Oleh sebab itu, penelitian terhadap kasus tersebut dilakukan di Perusahaan Daerah Rumah Potong Hewan milik Pemerintah Kota Medan selama dua minggu pada bulan Agustus 2012.

Penelitian ini dilakukan terhadap jaringan hati sapi yang baru dipotong di Rumah Potong Hewan Medan Mabar, Medan. Pemeriksaan dilakukan dengan menyayat jaringan hati. Jaringan hati sapi ditanyatakan terinfeksi bila ditemukan parasit trematoda hati (Fasciola hepatica, Clonorchis sinensis, Opistorchis fellineus, dan Opistorchis viverrini) pada jaringan hati dan terdapat perubahan patologi anatomi hati. Pemeriksaan dilakukan di Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran USU Medan. Dari 75 sampel, 67 sampel berasal dari sapi impor asal Australia dan 8 sampel berasal dari sapi lokal. Tidak satupun didapati trematoda hati dimaksud pada seluruh sampel.

Dari studi ini dapat disimpulkan bahwa sapi yang dipotong di Rumah Potong Hewan Medan Mabar bebas dari infeksi trematoda hati.


(5)

ABSTRACT

Prevalence of fluke infections in Indonesia, especially the infection of Fasciola hepatica of cows, is still high. In 2006, prevalence of fasciolosis of cows in Indonesia was 9.6%. However, little is known of the prevalence of liverfluke infections among cows in Medan. Hence, the objective of this study was to asses the prevalence of liverfluke infections among cows in the slaughterhouse of Medan Mabar, North Sumatera during two weeks duration in August 2012.

A total of 75 cows, 67 cows were from Australia and 8 were from local cows, were examined by post-mortem examination. The livers were examined by slicing thinly and observed in Parasitology Laboratory of Medicine Faculty of North Sumatra in Medan. None of the liverflukes suspected (Fasciola hepatica Clonorchis sinensis, Opistorchis fellineus, Opistorchis viverrini) were found in the samples.

From the study, we conclude that cows that are processed & slaughtered in the slaughterhouse of Medan Mabar are free from liverflukes infection.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini dengan judul Prevalensi Kasus Infeksi Trematoda di Jaringan Hati Sapi pada Rumah Potong Hewan di Medan Mabar Tahun 2012, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan sarjana kedokteran Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Dalam penyelesaian karya tulis ilmiah ini, penulis banyak mendapat bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Prof. Dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. dr. Sunna Vyatra Hutagalung, MS selaku dosen pembimbing penulis atas kesabaran, waktu, dan masukan-masukan yang diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah.

3. Seluruh staf pengajar yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis selama masa pendidikan.

4. Kedua orang tua saya, Ayahanda Drs.Abdul Sani Nst dan Ibunda Unun Tarigan yang telah memberikan dukungan selama ini dalam bentuk moril maupun materiil.

5. Perusahaan Daerah Rumah Potong Hewan Medan atas izin penelitian dan berbagai kemudahan yang diberikan kepada penulis selama pengumpulan data.

6. Teman-teman kelompok sesama bimbingan penelitian dan teman-teman penulis lainnya, yang telah memberi bantuan berupa saran, kritikan, dan motivasi selama penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini.


(7)

Penulis menyadari bahwa Karya Tulis Ilmiah ini masih jauh dari kata sempurna karena keterbatasan ilmu pengetahuan dan pengalaman penulis. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis memohon maaf atas kekurangan tersebut serta mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun.

Akhir kata, penulis mengharapkan agar Karya Tulis Ilmiah ini dapat memberikan manfaat kepada semua orang untuk pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam dunia kedokteran.

Medan, 04 Desember 2012

Zaky Rivana Nst (NIM: 090100116)


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Trematoda Hati... 4

2.1.1 Fasciola hepatica ... 4

a. Morfologi dan Daur Hidup ... 4

b. Epidemiologi ... 6

2.1.2 Clonorchis sinensis ... 6

a. Morfologi dan Daur Hidup ... 6

b. Epidemiologi ... 8

2.1.3 Opistorchis felineus ... 8

a. Morfologi dan Daur Hidup ... 8

2.1.4 Opistorchis viverrini ... 9

a. Morfologi dan Daur Hidup ... 9


(9)

2.2 Perubahan Patologi Anatomi Hati ... 10

2.3 Prosedur Operasional Standar Pemotongan Hewan di RPH ... 12

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 17

3.1 Kerangka Konsep ... 17

3.2 Variabel dan Definisi Operasional ... 17

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 19

4.1 Jenis Penelitian ... 19

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 19

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 19

4.4 Metode Pengumpulan Data ... 20

4.5 Metode Analisis Data ... 21

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 22

5.1 Hasil ... 22

5.2 Pembahasan ... 24

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 26

6.1 Kesimpulan ... 26

6.2 Saran ... 26


(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 5.1 Gambaran Infeksi parasit pada 75 sampel jaringan hati sapi ... 23 Tabel 5.2 Gambaran Infeksi parasit pada 67 sampel jaringan hati sapi impor .. 23 Tabel 5.3 Gambaran Infeksi parasit pada 8 sampel jaringan hati sapi lokal ... 23


(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 2.1. Telur Fasciola hepatica ... 4

Gambar 2.2 Fasciola hepatica ... 5

Gambar 2.3 Daur Hidup Fasciola hepatica ... 5

Gambar 2.4 Telur Clonorchis sinensis ... 6

Gambar 2.5 Clonorchis sinensis ... 7

Gambar 2.6 Daur Hidup Clonorchis sinensis ... 7

Gambar 2.7. Telur Opistorchis felineus ... 8

Gambar 2.8 Opistorchis felineus ... 8

Gambar 2.9 Daur Hidup Opistorchis spp ... 9

Gambar 2.10 Telur Opistorchis viverrini ... 9

Gambar 2.11 Opistorchis viverrini ... 10

Gambar 2.12 Hati Sapi Terinfeksi Trematoda ... 10

Gambar 2.13 Trematoda yang Tampak Setelah Proses Penyayatan ... 11


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup ... 31 Lampiran 2 Ethical Clearance ... 33 Lampiran 3 Surat Keterangan Penelitian ... 34


(13)

ABSTRAK

Prevalensi kasus infeksi trematoda terhadap hewan ternak yang terjadi di Indonesia masih cukup tinggi terutama kejadian fasciolosis terhadap sapi. Data yang didapat dari Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan menunjukkan tingkat kejadian fasciolosis sebesar 9.6% pada total sapi potong tahun 2006. Informasi tentang prevalensi infeksi trematoda hati pada sapi masih terbatas untuk Kota Medan. Oleh sebab itu, penelitian terhadap kasus tersebut dilakukan di Perusahaan Daerah Rumah Potong Hewan milik Pemerintah Kota Medan selama dua minggu pada bulan Agustus 2012.

Penelitian ini dilakukan terhadap jaringan hati sapi yang baru dipotong di Rumah Potong Hewan Medan Mabar, Medan. Pemeriksaan dilakukan dengan menyayat jaringan hati. Jaringan hati sapi ditanyatakan terinfeksi bila ditemukan parasit trematoda hati (Fasciola hepatica, Clonorchis sinensis, Opistorchis fellineus, dan Opistorchis viverrini) pada jaringan hati dan terdapat perubahan patologi anatomi hati. Pemeriksaan dilakukan di Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran USU Medan. Dari 75 sampel, 67 sampel berasal dari sapi impor asal Australia dan 8 sampel berasal dari sapi lokal. Tidak satupun didapati trematoda hati dimaksud pada seluruh sampel.

Dari studi ini dapat disimpulkan bahwa sapi yang dipotong di Rumah Potong Hewan Medan Mabar bebas dari infeksi trematoda hati.


(14)

ABSTRACT

Prevalence of fluke infections in Indonesia, especially the infection of Fasciola hepatica of cows, is still high. In 2006, prevalence of fasciolosis of cows in Indonesia was 9.6%. However, little is known of the prevalence of liverfluke infections among cows in Medan. Hence, the objective of this study was to asses the prevalence of liverfluke infections among cows in the slaughterhouse of Medan Mabar, North Sumatera during two weeks duration in August 2012.

A total of 75 cows, 67 cows were from Australia and 8 were from local cows, were examined by post-mortem examination. The livers were examined by slicing thinly and observed in Parasitology Laboratory of Medicine Faculty of North Sumatra in Medan. None of the liverflukes suspected (Fasciola hepatica Clonorchis sinensis, Opistorchis fellineus, Opistorchis viverrini) were found in the samples.

From the study, we conclude that cows that are processed & slaughtered in the slaughterhouse of Medan Mabar are free from liverflukes infection.


(15)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Menurut data statistik dari Dinas Peternakan Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2002 bahwa produksi daging sapi di Sumatera Utara sebanyak 248.375 ekor masih kalah dari produksi daging unggas sebanyak 38.806.173 ekor ayam dan 2.250.717 ekor itik. Masyarakat kita masih memahami beternak sapi adalah usaha sambilan sehingga tidak bisa disangkal bahwa dalam mengelola peternakan sapi masih menggunakan sistem tradisional, yakni dengan membiarkan ternaknya mencari pakan sendiri di padang pengembalaan yang berada di sekitar sungai ataupun genangan air (Sadarman et al, 2007). Meskipun lingkungan yang disinyalir telah terkontaminasi dengan cacing akan lebih memudahkan ternak terinfeksi cacing daripada ternak yang dipelihara dengan sistem pemeliharaan modern.

Trematoda hati atau cacing daun yang ditemukan di jaringan hati merupakan yang sering menyerang hewan ternak, terutama domba dan sapi. Umumnya infeksi yang terjadi akibat memakan rumput atau meminum air yang terkontaminasi cemaran telur cacing hati. Manusia dapat terinfeksi oleh termakannya metaserkaria yang menempel di tanaman yang hidup di air, terutama air tawar. Hal tersebut dimungkinkan karena kebiasaan memakan sayuran mentah. Tingginya prevalensi cacing hati yang terjadi pada hewan ternak umumnya yang disebabkan trematoda Fasciola hepatica mencapai 90% seperti di Jawa Barat dan antara 40-90% di Daerah Istimewa Yogyakarta membuat kita perlu mewaspadai kemungkinan penularan infeksi cacing ini ke manusia di Indonesia (Estuningsih et al, 2004). Kebiasaan masyarakat memasak daging tidak sampai matang memperbesar kemungkinan terinfeksi cacing tersebut. Hal ini berdasarkan pengamatan Taira et al. (1997) bahwa mencit yang diberikan hati mentah yang mengandung cacing Fasciola hepatica muda kemudian cacing tersebut berkembang menjadi dewasa di dalam tubuh mencit.


(16)

Salah satu penyakit yang disebabkan oleh trematoda hati adalah fasciolosis. Penyebabnya yang paling banyak pada hewan ternak terutama sapi di Indonesia adalah Fasciola hepatica. Data yang didapat dari Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan menunjukkan tingkat kejadian fasciolosis sebesar 9,6% pada total sapi potong tahun 2006 sebanyak 10.875.125 ekor. Pada manusia terdapat kurang lebih 2 juta kasus yang telah dilaporkan di dunia meningkat sejak tahun 1980. Prevalensi penyakit terutama tinggi pada daerah spesifik di Bolivia (65-92%), Equador (24-53%), Mesir (2-17%), dan Peru (10%). Penelitian yang dilakukan terhadap 3000 anak – anak di Mesir menunjukkan bahwa 3% positif fasciolosis (Anonim, 1998).

Informasi tentang prevalensi cacing hati di Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Medan masih terbatas. Berdasarkan kenyataan tersebut, penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan data yang otentik tentang persentase infeksi cacing hati di RPH Kota Medan. RPH Medan Mabar merupakan perusahaan daerah milik Pemerintah Kota Medan yang bergerak dalam jasa pemotongan, pengadaan, dan penyaluran daging sapi yang pendistribusiannya ke beberapa daerah di kota Medan. RPH Medan Mabar yang terletak di Jalan Rumah Potong Hewan Mabar – Medan ini dalam kegiatannya sehari – hari menyembelih sapi sudah menggunakan cara kerja yang lebih baik dari pada umumnya di masyarakat Indonesia. Cara pengerjaan yang menggunakan alat pemotongan berstandar internasional ini memungkinkan proses penyembelihan yang cukup cepat sehingga dalam pendistribusian ke pasar – pasar di kota Medan tidak mengalami keterlambatan pada pagi harinya. Setiap harinya RPH Medan Mabar ini mampu memasok sapi yang akan disembelih sebanyak 40 sampai 45 ekor. Sedangkan menjelang bulan Ramadhan angka penyembelihan bisa mencapai 98 ekor per harinya.

Berdasarkan kondisi itulah penulis memutuskan RPH Medan Mabar sebagai lahan penelitian karya tulis ilmiah ini sebagai tugas akhir mahasiswa Fakultas Kedokteran USU Medan.


(17)

1.2 Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalahnya adalah bagaimana prevalensi kasus infeksi trematoda di jaringan hati sapi pada rumah potong di Medan Mabar.

1.3 Tujuan penelitian 1.3.1 Tujuan umum

Untuk mengetahui prevalensi kasus infeksi trematoda di jaringan hati sapi di RPH Medan Mabar.

1.3.2 Tujuan khusus

1. Untuk mendapatkan pengetahuan tentang perbedaan jaringan hati sapi yang sehat dan yang terinfeksi trematoda.

2. Untuk menambah data tentang kasus trematoda hati di kota Medan

1.4 Manfaat penelitian

Hasil penelitian ini dimaksudkan dapat bermanfaat sebagai :

1. Bahan informasi dan pengetahuan bagaimana prevalensi kasus infeksi trematoda hati di daerah Medan Mabar

2. Bahan referensi dan tambahan literatur untuk mahasiswa dan instansi terkait untuk melakukan penelitian yang berkaitan.


(18)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Trematoda Hati

2.1.1 Fasciola hepatica

a. Morfologi dan Daur Hidup

Cacing dewasa mempunyai bentuk pipih seperti daun, besarnya ± 30x13 mm. Bagian anterior berbentuk seperti kerucut dan pada puncak kerucut terdapat batil isap mulut yang besarnya ±1 mm, sedangkan pada bagian dasar kerucu terdapat batil isap perut yang besarnya ±1,6 mm. Saluran pencernaan bercabang – cabang sampai ke ujung distal sekum. Testis dan kelenjar vitelin juga bercabang – cabang (Sutanto et al, 2008).

Gambar 2.1. Telur Fasciola hepatica (Sumber : CDC, 2012)

Telur cacing ini berukuran 140x90 mikron, dikeluarkan melalui saluran empedu ke dalam tinja dalam keadaan belum matang. Telur menjadi matang dalam air selama 9-15 hari dan berisi mirasidium. Telur kemudian menetas dan mirasidium keluar mencari keong air (Lymnaea spp). Serkaria keluar dari keong air dan berenang mencari hospes perantara II, yaitu tumbuh-tumbuhan air dan pada permukaan tumbuhan air membentuk kista berisi metaserkaria.


(19)

Gambar 2.2 Fasciola hepatica (Sumber : CDC, 2012)

Bila tertelan, metaserkaria menetas dalam usus halus binatang yang memakan tumbuhan air tersebut, menembus dinding usus dan bermigrasi dalam ruang peritoneum hingga menembus hati. Larva masuk ke saluran empedu dan menjadi dewasa (Sutanto et al, 2008).


(20)

b. Epidemiologi

Suweta (1985) berpendapat bahwa faktor - faktor yang berperan di dalam epidemiologi cacing tersebut adalah :

1.Luasnya wilayah penyebaran telur cacing hati di lapangan oleh pencemaran ternak peliharaan dan binatang menyusui lainnya.

2.Kondisi lingkungan tempat tersebarnya telur cacing.

3.Penyebaran siput hospes intermedier di lapangan dan situasi/kondisi lapangan tempat tersebarnya siput.

4.Tingkat perkembangan cacing di dalam tubuh siput dan jumlah serkaria yang dapat berkembang sampai siap keluar tubuh siput.

5. Jumlah serkaria dan kondisi lapangan tempat tersebarnya serkaria. 6. Cara menggembalakan ternak

2.1.2 Clonorchis sinensis

a. Morfologi dan Daur Hidup

Ukuran cacing dewasa 10-25 mm x 3-5 mm, bentuknya pipih, lonjong, menyerupai daun. Telur berukuran kira – kira 30x16 mikron, bentuknya seperti bola lampu pijar dan berisi mirasidium, ditemukan dalam saluran empedu (Sutanto et al, 2008).

Gambar 2.4 Telur Clonorchis sinensis (Sumber : CDC, 2012)

Telur dikeluarkan dengan tinja. Telur menetas bila dimakan keong air. Kemudian mirasidium pada tubuh keong air berkembang menjadi sporokista, redia lalu serkaria. Serkaria keluar dari keong air dan mencari hospes perantara II,


(21)

yaitu ikan. Setelah menembus tubuh ikan, serkaria melepaskan ekornya dan membentuk kista di dalam kulit di bawah sisik. Kista ini disebut metaserkaria (Sutanto et al, 2008).

Gambar 2.5 Clonorchis sinensis (Sumber : CDC, 2012)

Infeksi terjadi dengan makan ikan yang mengandung metaserkaria yang dimasak kurang matang. Ekskistasi terjadi di duodenum. Kemudian larva masuk ke duktus koledoktus lalu menuju ke saluran empedu yang lebih kecil dan menjadi dewasa dalam sebulan. Seluruh daur hidup berlangsung selama tiga bulan (Sutanto et al, 2008).


(22)

b. Epidemiologi

Kebiasaan makan ikan yang diolah kurang matang merupakan faktor penting dalam penyebaran kecacingan. Selain itu, cara pemeliharaan ikan dan cara pembuangan tinja di kolam ikan juga penting (Sutanto et al, 2008).

2.1.3 Opistorchis felineus

a. Morfologi dan Daur Hidup

Ukuran cacing dewasa berukuran 7-12 mm, mempunyai batil isap mulut dan batil isap perut. Bentuknya seperti lanset, pipih dorsoventral.

Gambar 2.7.Telur Opistorchis felineus (Sumber : CDC, 2012) Telur Opisctorchis mirip telur C.sinensis, hanya bentuknya lebih langsing. Infeksi terjadi dengan makan ikan yang mengandung metaserkaria dan dimasak kurang matang (Sutanto et al, 2008).


(23)

Gambar 2.9 Daur Hidup Opistorchis spp (Sumber : CDC, 2012) 2.1.4 Opistorchis viverrini

a. Morfologi dan Daur Hidup

Morfologi dan daur hidup cacing ini mirip dengan Opistorchis felineus. Infeksi terjadi dengan makan ikan mentah yang mengandung metaserkaria (Sutanto et al, 2008).


(24)

Gambar 2.11 Opistorchis viverrini (Sumber : CDC, 2012) b. Epidemiologi

Daerah Muangthai timur laut terdapat banyak penderita kolangiokarsinoma dan hepatoma pada penderita opistorkiasis yang diduga akibat peradangan pada saluran empedu yang berhubungan dengan cara pengawetan ikan yang menjadi hospes perantara cacing tersebut (Sutanto et al, 2008).

2.2 Perubahan Patologi Anatomi Hati

Cacing yang hidup di saluran empedu hati seperti Clonorchis, Opisthorchis, dan Fasciola dapat menimbulkan rangsangan dan menyebabkan peradangan saluran empedu, menyebabkan penyumbatan aliran empedu sehingga menimbulkan ikterus dan akibat lainnya bisa berupa hepatomegali (Sutanto et al, 2008).


(25)

Pada kasus akut ditandai dengan adanya gejala klinis berupa ikterus, anemia, penurunan berat badan, edema submandibular (bottle jaw), serta perdarahan akibat dari cacing yang memakan jaringan hati (Soulsby, 1986).

Gambar 2.13 Trematoda yang Tampak Setelah Proses Penyayatan (Sumber :Global FM Jogja, 2012)

Pada kasus kronik ditandai dengan penurunan nafsu akan, anemia, anoreksia, diare kronis, penurunan berat badan, bottle jaw, cholangitis, dan fibrosis organ hati akibat dari cacing hati dewasa yang hidup dalam buluh empedu (Soulsby, 1986).

Tingkat kerusakan atau perubahan patologi anatomi pada hewan dipengaruhi oleh jumlah metaserkaria yang termakan oleh ternak, fase perkembangan cacing di dalam hati, dan spesies inang definitif. Perubahan patologi di dalam tubuh inang definitif terjadi akibat adanya migrasi cacing di dalam tubuh. Migrasi diawali dengan penetrasi intestinal (prehepatik) kemudian sampai ke hati dan akhirnya masuk ke saluran empedu. Migrasi cacing pada organ hati menyebabkan hemoragi, kerusakan parenkim dan buluh empedu. Buluh empedu mengalami peradangan, penebalan dan penyumbatan sehingga terjadi sirosis periportal, peritonitis serta kolesistitis. Secara mikroskopis terjadi perubahan pada struktur jaringan hati. Perubahan tersebut digolongkan menjadi dua kelompok yaitu kelompok perubahan akut dan kronis. Pada stadium akut tampak adanya perdarahan, degenerasi sel hati, peradangan, proliferasi buluh


(26)

empedu, infiltrasi sel radang, serta adanya globula leukosit pada mukosa buluh empedu. pada stadium kronis tampak fokus-fokus radang granuloma, mineralisasi, dan fibrosis (Winarsih et al, 1996)

2.3 Prosedur Operasional Standar Pemotongan Hewan di RPH

Pemotongan hewan di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) harus dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh pemerintah, yang dalam hal ini Departemen Pertanian. Penetapan aturan maupun teknis pelaksanaan pemotongan di RPH dimaksudkan sebagai upaya penyediaan pangan asal hewan khususnya daging ASUH (aman, sehat, utuh dan halal). Untuk mendapatkan daging ASUH yang bersumber dari RPH maka sudah seharusnya RPH memiliki prosedur operasional standar yang dijadikan dasar atau patokan dalam menyelenggarakan fungsi RPH sebagai tempat pemotongan, pengulitan, pelayuan dan akhirnya penyediaan daging untuk konsumen (Wahyudi, 2010).

Prosedur operasional standar yang ditetapkan oleh Dirjen Peternakan Departemen Pertanian adalah sebagai berikut:

a. Tahap Penerimaan dan Penampungan Hewan, prosedur operasional meliputi:

1. Hewan ternak yang baru datang di RPH harus diturunkan dari alat angkut dengan hati-hati dan tidak membuat hewan stress.

2. Dilakukan pemeriksaan dokumen (surat kesehatan hewan, surat keterangan asal hewan, surat karantina, dsb).

3. Hewan ternak harus diistirahatkan terlebih dahulu di kandang penempungan minimal 12 jam sebelum dipotong.

4. Hewan ternak harus dipuasakan tetapi tetap diberi minum kurang lebih 12 jam sebelum dipotong.

5. Hewan ternak harus diperiksa kesehatannya sebelum dipotong (pemeriksaan antemortem).


(27)

b. Tahap Pemeriksaan Ante Mortem:

1. Pemeriksaan ante mortem dilakukan oleh dokter hewan atau petugas yang ditunjuk di bawah pengawasan dokter hewan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan (Surat Keputusan Bupati/Walikota/Kepala Dinas).

2. Hewan ternak yang dinyatakan sakit atau diduga sakit dan tidak boleh dipotong atau ditunda pemotongannya, harus segera dipisahkan dan ditempatkan pada kandang isolasi untuk pemeriksaan lebih lanjut.

3. Apabila ditemukan penyakit menular atau zoonosis, maka dokter hewan/petugas yang ditunjuk di bawah pengawasan dokter hewan harus segera mengambil tindakan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan.

c. Persiapan Penyembelihan/Pemotongan, prosedur operasionalnya:

1. Ruang proses produksi dan peralatan harus dalam kondisi bersih sebelum dilakukan proses penyembelihan/pemotongan.

2. Hewan ternak harus ditimbang sebelum dipotong.

3. Hewan ternak harus dibersihkan terlebih dahulu dengan air (disemprot air) sebelum memasuki ruang pemotongan.

4. Hewan ternak digiring dari kandang penampungan ke ruang pemotongan melalui gang way dengan cara yang wajar dan tidak membuat stress.

d. Penyembelihan:

1. Hewan ternak dapat dipingsankan atau tidak dipingsankan.

2. Apabila dilakukan pemingsaan, maka tata cara pemingsanan harus mengikuti Fatwa MUI tentang tata cara pemingsanan hewan yang diperbolehkan.

3. Apabila tidak dilakukan pemingsanan, maka tata cara menjatuhkan hewan harus dapat meminimalkan rasa sakit dan stress (missal menggunakan re-straining box).

4. Apabila hewan ternak telah rebah dan telah diikat (aman) segera dilakukan penyembelihan sesuai dengan syariat Islam yaitu memotong bagian ventral


(28)

leher dengan menggunakan pisau yang tajam sekali tekan tanpa diangkat sehingga memutus saluran makan, nafas dan pembuluh darah sekaligus. 5. Proses selanjutnya dilakukan setelah hewan ternak benar-benar mati dan

pengeluaran darah sempurna.

6. Setelah hewan ternak tidak bergerak lagi, leher dipotong dan kepala dipisahkan dari badan, kemudian kepala digantung untuk dilakukan pemeriksaan selanjutnya.

7. Pada RPH yang fasilitasnya lengkap, kedua kaki belakang pada sendi tarsus dikait dan dikerek (hoisted), sehingga bagian leher ada di bawah, agar pengeluaran darah benar-benar sempurna dan siap untuk proses selanjutnya.

8. Untuk RPH yang tidak memiliki fasilitas hoist, setelah hewan benar-benar tidak bergerak, hewan dipindahkan ke atas keranda/penyangga karkas (cradle) dan siap untuk proses selanjutnya.

e. Tahap Pengulitan:

1. Sebelum proses pengulitan, harus dilakukan pengikatan pada saluran makan di leher dan anus, sehingga isi lambung dan feses tidak keluar dan mencemari karkas.

2. Pengulitan dilakukan bertahap, diawali membuat irisan panjang pada kulit sepanjang garis dada dan bagian perut.

3. Irisan dilanjutkan sepanjang permukaan dalam (medial) kaki. 4. Kulit dipisahkan mulai dari bagian tengah ke punggung.

5. Pengulitan harus hati-hati agar tidak terjadi kerusakan pada kulit dan terbuangnya daging.

f. Pengeluaran Jeroan:

1. Rongga perut dan rongga dada dibuka dengan membuat irisan sepanjang garis perut dan dada.

2. Organ-organ yang ada di rongga perut dan dada dikeluarkan dan dijaga agar rumen dan alat pencernaan lainnya tidak robek.


(29)

3. Dilakukan pemisahan antara jeroan merah (hati, jantung, paru-paru, tenggorokan, limpa, ginjal dan lidah) dan jeroan hijau (lambung, usus, lemak dan esophagus).

g. Tahap Pemeriksaan Post Mortem:

1. Pemeriksaan post mortem dilakukan oleh dokter hewan atau petugas yang ditunjuk di bawah pengawasan dokter hewan.

2. Pemeriksaan postmortem dilakukan terhadap kepala, isi rongga dada dan perut serta karkas.

3. Karkas dan organ yang dinyatakan ditolak atau dicurigai harus segera dipisahkan untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.

4. Apabila ditemukan penyakit hewan menular dan zoonosis, maka dokter hewan/petugas yang ditunjuk di bawah pengawasan dokter hewan harus segera mengambil tindakan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan.

h. Pembelahan Karkas, dengan tahapan:

1. Karkas dibelah dua sepanjang tulang belakang dengan kampak yang tajam atau mesin yang disebut automatic cattle splitter.

2. Karkas dapat dibelah dua/empat sesuai kebutuhan.

i. Pelayuan:

1. Karkas yang telah dipotong/dibelah disimpan diruang yang sejuk 2. Karkas selanjutnya siap diangkut ke pasar.

j. Pengangkutan Karkas:

1. Karkas/daging harus diangkut dengan angkutan khusus daging yang didesain dengan kotak tertutup, sehingga dapat mencegah kontaminasi dari luar.

2. Jeroan dan hasil sampingannya diangkut dengan wadah dan atau alat angkut yang terpisah dengan alat angkut karkas/daging.


(30)

3. Karkas/daging dan jeroan harus disimpan dalam wadah/kemasan sebelum disimpan dalam kotak alat angkut.

4. Untuk menjaga kualitas daging dianjurkan alat angkut karkas/daging dan jeroan dilengkapi dengan alat pendingin (refrigerator).


(31)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1 Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

3.2. Variabel dan Definisi Operasional 3.2.1 Definisi Operasional :

• Parasit adalah parasit – parasit yang dapat ditemukan di jaringan hati.

Fasciola hepatica adalah parasit yang paling banyak ditemukan pada hati hewan ternak yang terinfeksi terutama sapi dan kerbau.

Clonorchis sinensis adalah parasit yang paling banyak ditemukan menginfeksi kucing, anjing, dan babi.

Opistorchis spp adalah parasit yang sering ditemukan pada ikan.

• Infeksi Trematoda pada Jaringan Hati Sapi adalah infeksi parasit – parasit tersebut pada hati sapi di RPH.

3.2.2 Cara Ukur :

Cara ukur pada penelitian ini berupa observasi terhadap jaringan hati sapi. Parasit :

Fasciola hepatica Clonorchis sinensis Opisctorchis felineus Opistorchis viverrini

Infeksi Trematoda pada Jaringan Hati Sapi


(32)

3.2.3 Alat Ukur :

Alat ukur yang digunakan pada penelitian ini dengan melihat secara kasat mata dan menggunakan mikroskop cahaya dengan pembesaran 40x.

3.2.4 Kategori :

• Positif Terinfeksi : Apabila ditemukan satu atau lebih trematoda pada jaringan hati sapi

• Negatif Terinfeksi : Apabila tidak ditemukan trematoda pada jaringan hati sapi

3.2.5 Skala Pengukuran :


(33)

BAB 4

METODE PENELITIAN 4.1 Jenis Penelitian

Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini bersifat cross sectional dengan pendekatan deskriptif. Penelitian ini ditujukan kepada sapi – sapi yang telah dipotong di RPH, kemudian dilakukan pengambilan sampel untuk pemeriksaan post mortem terhadap jaringan hati sapi tersebut.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RPH yang terletak di Jalan Rumah Potong Hewan Mabar - Medan, dengan beberapa pertimbangan yaitu daerah tersebut merupakan pusat pemotongan hewan di Medan dan kemudian didistribusikan ke beberapa pasar di kota Medan.

4.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan mulai Juli sampai dengan Desember 2012. Pengambilan sampel dilakukan selama dua minggu di bulan Agustus 2012.

4.3 Populasi dan Sampel 4.3.1 Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah semua jaringan hati dari sapi yang dipotong di RPH Medan Mabar pada bulan Juli sampai dengan Desember 2012.

4.3.2 Sampel Penelitian

Sampel dalam penelitian ini adalah jaringan hati sapi yang diambil secara accidental sampling sebanyak 37 sampel dalam seminggu dari rata – rata 350 ekor sapi per minggu di RPH Medan Mabar.


(34)

n = N.Z2 (N-1)d

1-α/2.p.(1-p)___ 2

+ Z2 Keterangan :

1-α/2.p.(1-p) n = besar sampel minimum

Z1-α/2= nilai distribusi normal baku pada α tertentu P = harga proporsi di populasi

d = kesalahan (absolut) yang dapat ditolerir N = jumlah di populasi

Jadi, besar sampel didapatkan dari : Z1-α/2 = 1,282

P = 0,5 d = 0,1 N = 350 Maka, hasilnya :

n = 350 . (1,282)2 . 0,5 . (1-0,5)__ (350-1)(0,1)

= 37 2

+ (1,282)2

Karena dilakukan dalam dua minggu, maka : n x 2 = 37x2 = 74 sampel. Maka pada penelitian ini ditetapkan jumlah sampel yang diambil adalah 75 jaringan hati sapi.

. 0,5 . 0,5

Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah:

1. Hati sapi yang diambil dari sapi yang baru dipotong saat sampel diambil. 2. Hati sapi yang berasal dari RPH Medan Mabar.

4.4 Metode Pengumpulan Data 4.4.1 Data Primer

Data primer yang dikumpulkan adalah sampel jaringan hati sapi yang diambil langsung dari sapi yang baru selesai dipotong pada hari itu di lokasi penelitian, yaitu berupa 75 hati sapi.


(35)

4.4.2 Data Sekunder

Data sekunder yang didapat adalah asal sapi yang dipotong di lokasi penelitian, yaitu dari 75 hati sapi adalah 67 hati sapi impor yakni dari Australia sedangkan sisanya 8 hati sapi lokal yakni dari sekitar Kota Medan.

4.4.3 Prosedur Kerja

Pengumpulan data dilakukan dengan mengambil sampel secara acak setelah sapi selesai dipotong pada hari itu juga kemudian dimasukkan ke dalam wadah plastik penyimpanan yang akan dibawa ke Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Pengambilan sampel dilakukan pada pagi hari kemudian diperiksa pada siang harinya. Jika tidak memungkinkan, sampel disimpan dalam lemari pendingin bersuhu 0°C yang kemudian akan diperiksa pada esok hari.

Jaringan hati sapi yang telah dikumpulkan kemudian diperiksa di Lab. Parasitologi FK USU dengan cara melakukan penyayatan secara vertikal pada bagian panjang satu sayatan dan dua sayatan pada lobus yang pendek secara horisontal untuk melihat apakah ada cacing pada hati atau tidak. Pemeriksaan juga dilakukan dengan melihat apakah ada pengerasan saluran empedu karena pengapuran, bintik – bintik merah bekas penetrasi cacing, bintik – bintik kuning yang menunjukkan infiltrat lemak, atau bila ditemukan kelainan pada saluran empedu berupa kholangitis dan apakah pada hati ditemukan jaringan ikat. Pemeriksaan juga dilakukan menggunakan mikroskop untuk sampel yang dicurigai untuk pengamatan secara mikroskopis temuan penelitian.

4.5 Metode Pengolahan dan Analisis Data

Setelah itu dilakukan pencatatan hasil secara manual. Kemudian data yang ada diolah secara komputerisasi secara deskriptif dan hasil ditampilkan dalam tabel bentuk distribusi frekuensi.


(36)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah di Perusahaan Daerah Rumah Potong Hewan yang terletak di Jalan Rumah Potong Hewan Mabar – Medan. Lokasi ini dipilih karena RPH Medan Mabar merupakan perusahaan daerah milik Pemerintah Kota Medan yang bergerak dalam jasa pemotongan, pengadaan, dan penyaluran daging sapi yang pendistribusiannya ke beberapa daerah di kota Medan. RPH Medan Mabar ini dalam kegiatannya sehari – hari menyembelih sapi sudah menggunakan cara kerja yang lebih baik dari pada umumnya di masyarakat Indonesia. Cara pengerjaan yang menggunakan alat pemotongan berstandar internasional ini memungkinkan proses penyembelihan yang cukup cepat sehingga dalam pendistribusian ke pasar – pasar di kota Medan tidak mengalami keterlambatan pada pagi hari. Oleh sebab itu, pasokan daging ke pasar-pasar Kota Medan yang berasal dari RPH Medan Mabar masih merupakan yang utama. Setiap hari RPH Medan Mabar ini mampu memasok sapi yang akan disembelih sebanyak 40 sampai 45 ekor. Sedangkan menjelang bulan Ramadhan angka penyembelihan bisa mencapai 98 ekor per harinya. Lokasi penelitian ini utamanya sebagai tempat penyembelihan sapi. Namun, sebelum disembelih sapi dipelihara selama 2-3 hari terlebih dahulu di sana. Sapi yang mendapat perlakuan penggemukan 3 – 6 bulan sebelum disembelih dipelihara dahulu di lokasi pemeliharaan di daerah Kabupaten Langkat, bekerjasama dengan PT Andalas Langkat.

5.1.2 Deskripsi Sampel Penelitian

Sampel yang diperoleh sebanyak 75 sampel jaringan hati sapi yang diambil secara accidental sampling. Data yang diperoleh telah diseleksi menurut kriteria inklusi dan eksklusi sebelumnya.


(37)

5.1.3 Hasil Penelitian

Dari penelitian yang telah dilakukan, tidak ada satu pun parasit yang ditemukan pada 75 sampel jaringan hati sapi, baik itu sapi impor maupun lokal.

Tabel 5.1 Gambaran Infeksi parasit pada 75 sampel jaringan hati sapi

Jenis Parasit Frekuensi Persentase (%)

Fasciola hepatica Clonorchis sinensis Opistorchis felineus Opistorchis viverrini 0 0 0 0 0 0 0 0

Dari 75 sampel yang diperiksa terdiri dari 67 sampel yang didapat dari sapi impor, yakni sapi yang didatangkan langsung dari Australia. Setelah sampai di Indonesia, sapi impor ini mengalami penggemukan sebelum disembelih. Kemudian sisanya 8 sampel didatangkan dari daerah sekitar kota Medan.

Tabel 5.2 Gambaran Infeksi parasit pada 67 sampel jaringan hati sapi impor

Jenis Parasit Frekuensi Persentase (%)

Fasciola hepatica Clonorchis sinensis Opistorchis felineus Opistorchis viverrini 0 0 0 0 0 0 0 0

Tabel 5.3 Gambaran Infeksi parasit pada 8 sampel jaringan hati sapi lokal

Jenis Parasit Frekuensi Persentase (%)

Fasciola hepatica Clonorchis sinensis Opistorchis felineus Opistorchis viverrini 0 0 0 0 0 0 0 0


(38)

5.2 Pembahasan

Berdasarkan data yang diambil dari Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan menunjukkan tingkat kejadian fasciolosis sebesar 9,6% pada total sapi potong tahun 2006. Untuk daerah Pulau Jawa, terutama di Jawa Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta, prevalensi Fasciola hepatica pada hewan ternak bisa mencapai 40-90%. Sedangkan untuk Clonorchis sinensis, kasus ternak yang terinfeksi parasit ini masih minim informasi. Penelitian yang dilakukan terhadap 503 anjing dan 194 kucing oleh Rui-Qing Lin et al di Provinsi Guangdong, China pada Oktober 2006 sampai Maret 2008 menunjukkan angka prevalensi yang tinggi yaitu 20.5% pada anjing dan 41.8% pada kucing. Begitu juga dengan Opistorchis spp, beberapa studi menyebutkan bahwa insidensi terbanyak pada ikan yang berasal dari air yang tercemar Opistorchis spp.

Penelitian ini merupakan studi pertama untuk prevalensi trematoda hati pada jaringan hati sapi di daerah Sumatera Utara, sehingga data terdahulu tentang trematoda hati di daerah ini masih sangat minim. Pada penelitian ini tidak ditemukan adanya infeksi trematoda pada sampel yang diambil dari RPH Mabar. Hal ini mungkin disebabkan beberapa faktor, seperti sumber air dan cara pemeliharaan yang dimiliki RPH tersebut sudah mengikuti standar kerja, karena RPH ini merupakan RPH resmi yang berada di bawah pengawasan langsung Dinas Peternakan setempat. Oleh karena itu, dalam kesehariannya sapi-sapi yang ada tidak dilepas secara sembarangan dalam pemeliharaan. Sumber air dan pakannya sangat diperhatikan oleh pihak pengelola RPH. Untuk sapi lokal, ternak ini berasal dari sapi lokal kepunyaan masyarakat sekitar yang menggunakan jasa RPH Mabar hanya untuk penyembelihan, namun pemeliharaan sepenuhnya tergantung pada masyarakat pemilik ternak. Tidak begitu banyak sapi lokal yang disembelih di RPH ini sehingga kurang representatif untuk menyimpulkan bahwa ternak sapi lokal di daerah ini benar-benar bebas dari infeksi trematoda hati. Masih banyak peternak sapi lokal yang menyembelih ternaknya tidak melalui jasa RPH yang memiliki izin, dan langsung dipasarkan ke masyarakat melalui pasar-pasar tradisional tanpa pengawasan menyeluruh Dinas Peternakan setempat sehingga kemungkinan temuan hati yang terinfeksi masih ada dikarenakan sumber


(39)

air dan cara pemeliharaannya belum tentu mengikuti standar kerja yang berlaku. Khusus untuk 8 sampel yang berasal dari sapi lokal, masyarakat pemilik ternak yang menggunakan jasa pemotongan di RPH ini kemungkinan sudah memahami cara pemeliharaan yang baik untuk ternaknya. Sumber air dan pakan merupakan dua hal yang paling sering menjadi sumber infeksi utama trematoda terhadap hewan ternak.


(40)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Dari penelitian yang telah dilakukan, maka disimpulkan bahwa dari 75 sampel yang diteliti terdiri dari 67 sampel dari sapi impor yakni sapi Australia dan 8 sampel dari sapi lokal :

1. Pada penelitian ini, tidak ada satu pun parasit trematoda hati yaitu Fasciola hepatica, Clonorchis sinensis, Opistorchis felineus, Opistorchis viverrini yang ditemukan pada semua sampel yang diteliti, baik itu sapi impor maupun sapi lokal.

2. Jaringan hati sapi yang diproses melalui RPH Mabar yang merupakan RPH resmi bebas infeksi trematoda hati sehingga lebih aman untuk dikonsumsi.

6.2 Saran

Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih banyak kekurangan. Penelitian ini belum mencakup data mengenai prevalensi trematoda hati pada ternak sapi lokal di daerah ini yang disembelih secara individual atau melalui RPH yang tidak memiliki izin. Oleh karena itu, penulis berharap dalam penelitian berikutnya dapat menyempurnakannya agar menjadi penelitian yang lebih baik. Beberapa rekomendasi yang bisa penulis sampaikan adalah sebagai berikut :

1. Kepada Pihak RPH Medan Mabar agar tetap mempertahankan dan meningkatkan kinerja yang telah ada dalam rangka memenuhi pasokan daging sehat ke masyarakat Kota Medan.

2. Kepada Pemerintah agar lebih memperhatikan kredibilitas pemasok daging sapi dan kualitas daging tersebut yang beredar di masyarakat dan menindaklanjuti peredaran liar atau tanpa pengawasan yang dapat merugikan kesehatan masyarakat.


(41)

3. Kepada masyarakat untuk meningkatkan pemahaman cara memelihara ternak yang baik agar ternak bisa terhindar dari kemungkinan terinfeksi trematoda terutama Fasciola hepatica.

4. Kepada masyarakat juga diharapkan untuk mewaspadai kemungkinan terinfeksi trematoda dengan cara memilih membeli daging yang sehat (lebih terjamin bila berasal dari RPH yang memiliki izin), dan memasak daging sampai matang sebelum dikonsumsi.


(42)

DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1998. Fascioliasis. Available from :

Mei 2012}

Center for Disease Control and Prevention. 2012. Parasite Image Library.

Available from {Accessed 01 Mei 2012}

Dinas Peternakan Provinsi Sumatera Utara. 2002. Statistika Peternakan 2002. Medan : Departemen Pertanian

Direktorat Jenderal Peternakan. 2007. Statistika Peternakan 2007. Jakarta : Departemen Pertanian

Estuningsih, S.E., G. Adiwinata, S. Widjajanti Dan D.Piedrafita. 2004.

Pengembangan Teknik Diagnosa Fasciolosis pada Sapi dengan Antibodi Monoklonal dalam Capture ELISA untuk Deteksi Antigen. Prosiding Seminar Nasional Parasitologi dan Toksikologi Veteriner. 20-21 April, Bogor. hlm. 27-43

Global FM Jogja. 2012. Kesehatan : Cacing Hati Kembali Ditemukan di Pasar

Bantul. Available from

Iradni, Emmy. 1988. Fascioliasis pada Sapi Potong di Rumah Potong Hewan Kotamadya Bogor. Bogor : FKH IPB


(43)

Kusumamiharja, S. 1992. Parasit dan Parasitosis pada Hewan Ternak dan Hewan Piaraan di Indonesia. Bogor : Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB

Lin, Rui-Qing et al., 2011. Parasit & Vectors 2011 : Prevalence of Clonorchis sinensis infection in dogs and cats in subtropical southern China. Available from {Accessed 29 November 2012}

Okezone. 2011. Info Lebaran. Available from :

Prihatiningsih, D. 2008. Studi Kasus Fasciolosis yang Dipantau pada Pemeriksaan Daging Qurban Idul Adha 1427H di Wilayah Jabodeta. Available from {Accessed 01 Mei 2012}

Sadarman, Handoko J, Febrina D. 2007.Infestasi Fasciola sp. pada Sapi Bali dengan Sistem Pemeliharaan yang Berbeda di Desa Tanjung Rambutan Kecamatan Kampar. Jurnal Peternakan, 4:37-45.

Soulsby, E.J.L. 1986 . Helminths, Arthropds and Protozoa of Domesticated Animals. The English language book society and bailliere, Tindall.London. Suhardono. 1997. Epidemiology and Control of fasciolosis by Fasciola Gigantica

in Ongole Cattle in West Java. [Ph.D. Thesis]. James Cook University of North Queensland, Australia.

Sutanto, Inge et al., 2008. Parasitologi Kedokteran. Edisi Keempat. Jakarta : Balai Penerbit FK UI


(44)

Suweta, I.G.P. 1985. Pengaruh Tingkat Pencemaran Diazinon dalam Air terhadap Daya Tetas Telur Cacing Hati. [Laporan Penelitian]. Bali: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Universitas Udayana

Taira, N., H. Yoshifuh dan J.C . Boray. 1997. Zoonotic potential of infection with Fasciola spp. by consumption of freshly prepared raw liver containing immature flukes. International Journal of Parasitology, 27 : 775-779.

Wahyudi, Suryatman. 2010. Prosedur Operasional Standar Pemotongan Hewan

di RPH. Available from

Widjajanti, S. 2004. Fasciolosis pada Manusia : Mungkinkah Terjadi di

Indonesia?. Available from

{Accessed 01 Mei 2012}

Winarsih W, Estuningsih S, Setiyono A, Harlina E. 1996. Fasciolasis pada domba dan kambing di rumah potong hewan Kotamadya Bogor. Media Veteriner 3(1): 75-80


(45)

LAMPIRAN 1

Daftar Riwayat Hidup (Curriculum Vitae)

Nama : Zaky Rivana Nasution

Tempat / tanggal lahir : Medan, 17 Juli 1989

Agama : Islam

Alamat : Jl. Srikandi Gg.Swadaya 2 No.10B Medan 20227

Riwayat Pendidikan :

1. Sekolah Dasar Muhammadiyah 23 Medan (1996-2001)

2. Madrasah Tsanawiyah Pon-Pes Muhammadiyah Kwala Madu Langkat-Binjai (2001-2004)

3. Madrasah Aliyah Pon-Pes Muhammadiyah Kwala Madu Langkat-Binjai (2004-2007)


(46)

Riwayat Organisasi :

1. Anggota Panitia Hari Besar Islam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara ( 2009- 2011)

2. Ketua Umum Pimpinan Komisariat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Universitas Sumatera Utara (2011-2012)

3. Panitia Muktamar XV Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (2012)

4. Anggota Komisi Pemilihan Umum Universitas Sumatera Utara ( 2010-2011)

5. Anggota Komisi Pemilihan Umum Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (2011 - 2012)


(47)

LAMPIRAN 2


(48)

LAMPIRAN 3


(1)

Kusumamiharja, S. 1992. Parasit dan Parasitosis pada Hewan Ternak dan Hewan Piaraan di Indonesia. Bogor : Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB

Lin, Rui-Qing et al., 2011. Parasit & Vectors 2011 : Prevalence of Clonorchis sinensis infection in dogs and cats in subtropical southern China. Available from {Accessed 29 November 2012}

Okezone. 2011. Info Lebaran. Available from :

Prihatiningsih, D. 2008. Studi Kasus Fasciolosis yang Dipantau pada

Pemeriksaan Daging Qurban Idul Adha 1427H di Wilayah Jabodeta. Available from {Accessed 01 Mei 2012}

Sadarman, Handoko J, Febrina D. 2007. Infestasi Fasciola sp. pada Sapi Bali dengan Sistem Pemeliharaan yang Berbeda di Desa Tanjung Rambutan Kecamatan Kampar. Jurnal Peternakan, 4:37-45.

Soulsby, E.J.L. 1986 . Helminths, Arthropds and Protozoa of Domesticated Animals. The English language book society and bailliere, Tindall. London.

Suhardono. 1997. Epidemiology and Control of fasciolosis by Fasciola Gigantica in Ongole Cattle in West Java. [Ph.D. Thesis]. James Cook University of North Queensland, Australia.

Sutanto, Inge et al., 2008. Parasitologi Kedokteran. Edisi Keempat. Jakarta : Balai Penerbit FK UI


(2)

Suweta, I.G.P. 1985. Pengaruh Tingkat Pencemaran Diazinon dalam Air terhadap Daya Tetas Telur Cacing Hati. [Laporan Penelitian]. Bali: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Universitas Udayana

Taira, N., H. Yoshifuh dan J.C . Boray. 1997. Zoonotic potential of infection with Fasciola spp. by consumption of freshly prepared raw liver containing immature flukes. International Journal of Parasitology, 27 : 775-779.

Wahyudi, Suryatman. 2010. Prosedur Operasional Standar Pemotongan Hewan

di RPH. Available from

Widjajanti, S. 2004. Fasciolosis pada Manusia : Mungkinkah Terjadi di

Indonesia?. Available from {Accessed 01 Mei 2012}

Winarsih W, Estuningsih S, Setiyono A, Harlina E. 1996. Fasciolasis pada domba dan kambing di rumah potong hewan Kotamadya Bogor. Media Veteriner 3(1): 75-80


(3)

LAMPIRAN 1

Daftar Riwayat Hidup (Curriculum Vitae)

Nama : Zaky Rivana Nasution

Tempat / tanggal lahir : Medan, 17 Juli 1989

Agama : Islam

Alamat : Jl. Srikandi Gg.Swadaya 2 No.10B Medan 20227

Riwayat Pendidikan :

1. Sekolah Dasar Muhammadiyah 23 Medan (1996-2001)

2. Madrasah Tsanawiyah Pon-Pes Muhammadiyah Kwala Madu Langkat-Binjai (2001-2004)

3. Madrasah Aliyah Pon-Pes Muhammadiyah Kwala Madu Langkat-Binjai (2004-2007)


(4)

Riwayat Organisasi :

1. Anggota Panitia Hari Besar Islam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara ( 2009- 2011)

2. Ketua Umum Pimpinan Komisariat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Universitas Sumatera Utara (2011-2012)

3. Panitia Muktamar XV Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (2012)

4. Anggota Komisi Pemilihan Umum Universitas Sumatera Utara ( 2010-2011)

5. Anggota Komisi Pemilihan Umum Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (2011 - 2012)


(5)

LAMPIRAN 2


(6)

LAMPIRAN 3


Dokumen yang terkait

Analisis Cacing Hati (Fasciola Hepatica) Pada Hati Dan Feses Sapi Yang Di Ambil Dari Rumah Potong Hewan Di Mabar Medan Tahun 2013

8 133 82

Jenis dan Perbandingan Tingkat Infeksi Cacing Parasit pada Feses Sapi di Rumah Potong Hewan (RPH) Siantar dengan Feses Sapi di Rumah Potong Hewan Medan

0 44 53

Jenis dan Perbandingan Tingkat Infeksi Cacing Parasit pada Feses Sapi di Rumah Potong Hewan (RPH) Siantar dengan Feses Sapi di Rumah Potong Hewan Medan

0 0 14

Jenis dan Perbandingan Tingkat Infeksi Cacing Parasit pada Feses Sapi di Rumah Potong Hewan (RPH) Siantar dengan Feses Sapi di Rumah Potong Hewan Medan

0 0 2

Jenis dan Perbandingan Tingkat Infeksi Cacing Parasit pada Feses Sapi di Rumah Potong Hewan (RPH) Siantar dengan Feses Sapi di Rumah Potong Hewan Medan

0 0 3

Jenis dan Perbandingan Tingkat Infeksi Cacing Parasit pada Feses Sapi di Rumah Potong Hewan (RPH) Siantar dengan Feses Sapi di Rumah Potong Hewan Medan

0 0 7

Jenis dan Perbandingan Tingkat Infeksi Cacing Parasit pada Feses Sapi di Rumah Potong Hewan (RPH) Siantar dengan Feses Sapi di Rumah Potong Hewan Medan

0 2 4

Jenis dan Perbandingan Tingkat Infeksi Cacing Parasit pada Feses Sapi di Rumah Potong Hewan (RPH) Siantar dengan Feses Sapi di Rumah Potong Hewan Medan

0 0 8

Analisis Cacing Hati (Fasciola Hepatica) Pada Hati Dan Feses Sapi Yang Di Ambil Dari Rumah Potong Hewan Di Mabar Medan Tahun 2013

1 1 15

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Trematoda Hati 2.1.1 Fasciola hepatica a. Morfologi dan Daur Hidup - Prevalensi Kasus Infeksi Trematoda Di Jaringan Hati Sapi Pada Rumah Potong Hewan Di Medan Mabar Taun 2012

0 0 13