EFFEKTIFITAS LATIHAN NAFAS DALAM (DEEP BREATHING EXERCISE) TERHADAP PENINGKATAN ARUS PUNCAK EKSPIRASI (APE) PADA PASIEN DENGAN ASMA DI PUSKESMAS 1 RAKIT KABUPATEN BANJARNEGARA - repository perpustakaan

BAB II LANDASAN TEORI A. Asma 1. Pengertian Asma Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang disebabkan

  oleh reaksi hiperresponsif sel imun tubuh seperti mast sel, eosinophils, dan T-lymphocytes terhadap stimulus tertentu dan menimbulkan gejala dyspnea, whizzing, dan batuk akibat obstruksi jalan napas yang bersifat reversibel dan terjadi secara episodik berulang (Brunner and suddarth, 2011). Penyakit asma merupakan proses inflamasi kronik saluran pernapasan yang melibatkan banyak sel dan elemennya. (GINA, 2011).

  Asma adalah suatu penyakit dengan adanya penyempitan saluran pernapasan yang berhubungan dengan tanggap reaksi yang meningkat dari trakea dan bronkus berupa hiperaktivitas otot polos dan inflamasi, hipersekresi mukus, edema dinding saluran pernapasan, deskuamasi epitel dan infiltrasi sel inflamasi yang disebabkan berbagai macam rangsangan(Alsagaff, 2010)

  Bedasarkan beberapa definisi diatas maka peneliti dapat menarik kesimpulan Asma adalah suatu penyakit yang di tandai oleh hiperresponsif cabang trakeobronkial terhadap berbagai rangsangan yang akan menimbulkan obstruksi jalan nafas dan gejala pernafasan (mengi dan sesak).

  

14

2. Klasifikasi Asma

  Menurut GINA, Tahun 2011 Klasifikasi asma berdasarkan tingkat keparahnya dibagi menjadi empat yaitu : a. Step 1 (Intermitten)

  Gejala perhari ≤ 2X dalam seminggu. Nilai PEF normal dalam kondisi serangan asma. Exacerbasi: Bisa berjalan ketika bernapas, bisa mengucapkan kalimat penuh. Respiratory Rate (RR) meningkat.

  Biasanya tidak ada gejala retraksi iga ketika bernapas. Gejala malam ≤

  2X dalam sebulan. Fungsi paru PEF atau PEV

  1 Variabel PEF ≥ 80% atau <20 %.

  b. Step 2 (Mild intermitten) Gejala perhari ≥ 2X dalam seminggu, tapi tidak 1X sehari.

  Serangan asma diakibatkan oleh aktivitas. Exaserbasi: Membaik ketika duduk, bisa mengucapkan kalimat frase, RR meningkat, kadang- kadang menggunakan retraksi iga ketika bernapas. Gejala malam ≥ 2X dalam sebulan. Fungsi paru PEF atau PEV

  1 Variabel PEF ≥ 80% atau 20% – 30%.

  c. Steep 3 (Moderate persistent) Gejala perhari bisa setiap hari, Serangan asma diakibatkan oleh aktivitas. Exaserbasi: Duduk tegak ketika bernapas, hanya dapat mengucapkan kata per kata, RR 30x/menit, Biasanya menggunakan retraksi iga ketika bernapas. Gejala malam ≥ 1X dalam seminggu.

  Fungsi paru PEF atau PEV Variabel PEF 60% - 80% atau > 30%.

  1 d. Step 4 (Severe persistent) Gejala perhari, Sering dan Aktivitas fisik terbatas. Eksacerbasi:

  Abnormal pergerakan thoracoabdominal. Gejala malam Sering. Fungsi paru PEF atau PEV

1 Variabel PEF ≤ 60% atau > 30%.

  Diambil dari GINA (2005). Global Strategy for Asthma

  

Management and Prevention , www.ginasthma.com; Lewis,

  Heitkemper, Dirksen (2000). Medical-Surgical Nursing. St. Louis, Missouri: Mosby ; Wong (2003). Nursing Care of Infants and Children. St. Louis, Missauri:Mos.

  Brunner & suddarth (2002) menyampaikan asma sering di rincikan sebagai alergik, idiopatik, nonalergik atau gabungan, yaitu : a. Asma alergik

  Disebabkana oleh alergen atau alergen-alergen yang dikenal (misal: serbuk sari, binatang, amarah dan jamur ) kebanyakan alergen terdapat di udara dan musiman. Pasien dengan asma alergik biasanya mempunyai riwayat keluarga yang alergik dan riwayat masa lalu ekzema atau rhinitis alergik, pejanan terhadap alergen pencetus asma.

  b. Asma idiopatik atau nonalergik Asma idiopatik atau nonalergik tidak ada hubungan dengan alergen spesifik faktor-faktor, seperti comand cold, infeksi traktus respiratorius, latihan, emosi, dan polutan lingkungan yang dapat mencetuskan rangsangan. Agen farmakologis seperti aspirin dan alergen anti inflamasi non steroid lainya, pewarna rambut dan agen sulfit (pengawet makanan juga menjadi faktor). Serangan asma idiopatik atau nonalergik menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dapat berkembang menjadi bronkitis kronis dan empizema.

  c. Asma gabungan Adalah asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergik maupun bentuk idiopatik atau nonalergik.

3. Etiologi

  Ada beberapa hal yang merupakan faktor presdiposisi dan presipitasi timbulnya serangan asma menurut Baratawidjaja (2000) yaitu : a. Faktor presdiposisi

  Berupa genetik dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunanya yang jelas. Penderita denganpenyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga yang menderita menyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma jika terpapar dengan faktor pencetus. Selain itu hipersensitifitas saluran pernafasan juga bisa di turunkan.

  b. Faktor presipitasi 1) Alergen

  Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu: a) Inhalan yaitu yang masuk melalui salura pernafasan misalnya debu, bulu binantang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi.

  b) Ingestan yaitu yang masuk melalui mulut misalnya makanan dan obat obatan.

  c) Kontaktan yaitu yang masuk melalui kontak denga kulit misalnya perhiasan, logam dan jam tangan.

  2) Perubahan cuaca Cuaca lembab dan hawa penggunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atsmosfir yang mendadk dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Kadang kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti musim hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin serbuk bunga dan debu.

  3) Stress Stress atau gangguan emosi menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus segera diobati penderita asma yang alami stress perlu diberi nasehat untuk menyelesaiakan masalah pribadinya. Karena juka stresnya belum diatasi maka gejala asma belum bisa diobati.

  4) Lingkungan kerja

  Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja.

  Misalnya orang yang bekerja di laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes atau polisi lalul intas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti. 5) Olah raga atau aktivitas yang berat

  Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan asma jika melakukan aktifitas jasmani atau olahraga yang berat.

  Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut.

  Menurut NANDA (2013) etiologi asma adalah dari :

  a) Lingkungan, yaitu berupa aspa dan rokok

  b) Jalan napas, yaitu berupa spasme inhalasi asap, perokok,pasif, sekresi yang tertahan, dan sekresi di bronkus.

  c) Fisiologi, yaitu berupa inhalasi dan penyakit paru obstruksi kronik.

4. Patofisiologi

  Corwin (2000) berpendapat bahwa pada penderita asma, terjadi bronkokonsentriksi. Proses bronkokonsentriksi ini diawali dengan proses hypersensitivitas yang distimulasi agent fisik seperti suhu dingin, debu, serbuk tanamana dan lainya. Asma juga dapat terjadi karena adanya stimulasi agent psikis seperti kecemasan dan rasa takut. Pada suatu serangan asma otot-otot polos dari bronki mengalami kejang dan jaringan yang melapisi saluran udara mengalami pembengkakan karena adanya peradangan dan pelepasan lendir ke dalam saluran udara.

  Hal ini memperkecil diameter dari saluran udara (disebut bronkokonstriksi) dan penyempitan ini menyebabkan penderita harus berusaha sekuat tenaga supaya dapat bernafas. Sel-sel tertentu didalam saluran udara (terutama sel mast) diduga bertanggung jawab terhadap awal terjadinya penyempitan ini. Sel mast di sepanjang bronki melepaskan bahan seperti histamin dan leukotrien yang menyebabkan terjadinya konstraksi otot polos, peningkatan pembentukan lender dan perpindahan sel darah putih tertentu ke bronki.

  Sel mast mengeluarkan bahan tersebut sebagai respon terhadap sesuatu yang mereka kenal sebagai benda asing (alergen), seperti serbuk sari, debu halus yang terdapat di dalam rumah atau bulu binatang. Tetapi asma juga bisa terjadi pada beberapa orang tanpa alergi tertentu. Reaksi yang sama terjadi jika orang tersebut melakukan olah raga atau berada dalam cuaca dingin. Stres dan kecemasan juga bisa memicu dilepaskanya histamin dan leukotrien.

5. Tanda dan Gejala Asma

  Gejala asma sering timbul pada waktu malam dan pagi hari. Gejala yang di timbulkan berupa batuk-batuk pada pagi hari, siang hari, dan malam hari, sesak napas/susah bernapas, bunyi saat bernapas (whezzing atau mengi) rasa tertekan di dada, dan gangguan tidur karena batuk atau sesak napas atau susah bernapas. Gejala ini terjadi secara reversibel dan

  episodik berulang (Brunner & Suddarth, 2011)

  Gejala asma dapat diperburuk oleh keadaan lingkungan, seperti berhadapan dengan bulu binatang, uap kimia, perubahan temperature, debu, obat (aspirin, beta-blocker), olahraga berat, serbuk, infeksi sistem respirasi, asap rokok dan stress (GINA, 2004). Gejala asma dapat menjadi lebih buruk dengan terjadinya komplikasi terhadap asma tersebut sehingga bertambahnya gejala terhadap distress pernapasan yang di biasa dikenal dengan Status Asmaticus (Brunner & Suddarth, 2011).

  

Status Asmatikus yang dialami penderita asma dapat berupa

  pernapasan whizing, ronchi ketika bernapas (adanya suara bising ketika bernapas), kemudian bisa berlanjut menjadi pernapasan labored (pepanjangan ekshalasi), perbesaran vena leher, hipoksemia, respirasi alkalosis, respirasi sianosis, dyspnea dan kemudian berakhir dengan tachypnea. Namun makin besarnya obstruksi di bronkus maka suara

  

whizing dapat hilang dan biasanya menjadi pertanda bahaya gagal

pernapasan (Brunner & Suddarth, 2011).

  Begitu bahayanya gejala asma (Dahlan, 1998). Gejala asma dapat mengantarkan penderitanya kepada kematian seketika, sehingga sangat penting sekali penyakit ini dikontrol dan di kendalikan untuk kepentingan keselamatan jiwa penderitanya (Sundaru, 2008; Dahlan, 1998).

  6. Faktor Risiko Asma

  Berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu (host faktor) dan faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi genetik yang mempengaruhi berkembangnya asma yaitu genetik asma, alergik (atopi), hipereaktiviti atau hiperesponsif bronkus, jenis kelamin dan ras.

  Faktor lingkungan mempengaruhi individu dengan kecenderungan atau predisposisi asma, untuk berkembang menjadi asma, yang menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan gejala asma yang menetap. Beberapa hal/kondisi yang termasuk dalam faktor lingkungan, yaitu: alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi pernapasan, diet, status sosio ekonomi dan besarnya keluarga (Mangunegoro, 2004).

  7. Manifestasi klinik

  Gejala klasik pada asma bronchial ini adalah sesak napas, mengi (whezzing), batuk, sebagian penderita nyeri dada. Pada serangan asma yang lebih berat gejala- gejala yang timbul adalah sianosis, gangguan kesadaran, hiperventilasi dada, tachicardi dan pernafasan dangkal. Gejala gejala yang umum pada penderita asma menurut Crockett (2001) diantarnya (a) Sering pilek, sinusitis, bersin, mimisan, amandel, sesak, suara serak, (b) pembesaran kelenjar dileher dan kepala bagian belakang bawa, (c) Sering lebam kebiruan pada kaki atau tangan seperti bekas terbentur , kulit timbul bisul, kemerahan, bercak putihdan bekas hitam seperti tergigit nyamuk, (d) Sering menggosok mata, hidung dan telinga berlebihan, (e) Nyeri otot dan tulang belulang malam hari, (i) Sering kencing, (g) Gangguan saluran pencernaan antara lain gastroesofageal reflek, sering muntah, nyeri perut, sariawan, lidah sering putih atau kotor, nyeri gusi atau gigi, mulut berbau, air liur berlebihan dan bibir kering, (h) Sering buang air besar (>2 kali/hari), sulit buang air besar (obstipasi), kotoran bulat kecil hitam seperti kotoran kambing, keras, sering buang angin, (i) Kepala, telapak kaki atau tangan sering teraba hangat atau dingin, (j) Sering berkeringat berlebih, (k) mata gatal, timbul bintik di kelopak mata, mata sering berkedip, (l) Gangguan hormonal berupa tumbuh rambut berlebih di kaki dan tangan, keputihan dan (m) sering sakit kepala dan migran.

8. Penatalaksanaan Asma

  a. Pengendalian asma Manajemen pengendalian asma terdiri dari 6 (enam) tahapan yaitu sebagai berikut:

  1) Pengetahuan Memberikan pengetahuan kepada penderita asma tentang keadaan penyakitnya dan mekanisme pengobatan yang akan dijalaninya kedepan (GINA, 2005). 2) Monitor

  Memonitor asma secara teratur kepada tim medis yang menangani penyakit asma. Memonitor perkembangan gejala, hal- hal apa saja yang mungkin terjadi terhadap penderita asma dengan kondisi gejala yang dialaminya beserta memonitor perkembangan fungsi paru (GINA, 2005).

  3) Menghindari Faktor Resiko Hal yang paling mungkin dilakukan penderita asma dalam mengurangi gejala asma adalah menhindari faktor pencetus yang dapat meningkatkan gejala asma. Faktor resiko ini dapat berupa makanan, obat-obatan, polusi, dan sebagainya (GINA, 2005).

  b. Pengobatan Medis Jangka Panjang Pengobatan jangka panjang terhadap penderita asma, dilakukan berdasarkan tingkat keparahan terhadap gejala asma tersebut. Pada penderita asma intermitten, tidak ada pengobatan jangka panjang. Pada penderita asma mild intermitten, menggunakan pilihan obat glukokortikosteroid inhalasi dan didukung oleh Teofilin, kromones, atau leukotrien. Dan untuk asma moderate persisten, menggunakan pilihan obat β-agonist inhalsi dikombinasikan dengan glukokortikoid inhalasi, teofiline atau leukotrien. Untuk asma severe persisten

  , β2- agonist inhalasi dikombinasikan dengan glukokortikosteroid inhalasi, teofiline dan leukotrien atau menggunakan obat β2 agonist oral (GINA, 2005).

  Berikut penjelasan tentang obat-obat pengontrol asma (Controller): 1) Glukokortikosteroid Inhalasi

  Jenis obat ini digunakan selama satu bulan atau lebih untuk mengurangi gejala inflamasi asma. Obat ini dapat meningkatkan fungsi paru, mengurangi hiperresponsive dan mengurangi gejala asma dan meningkatkan kualitas hidup (GINA, 2005). Obat ini dapat menimbulkan kandidiasis orofaringeal, menimbulkan iritasi pada bagian saluran napas atas dan dapat memberikan efek sistemik, menekan kerja adrenal atau mengurangi aktivitas osteoblast (GINA, 2005).

  2) Glukokortikosteroid Oral Mekanisme kerja obat dan fungsi obat ini sama dengan obat kortikosteroid inhalasil. Obat ini dapat menimbulkan hipertensi, diabetes, penekanan kerja hipothalamus-pituitary dan adrenal, katarak, glukoma, obaesitas dan kelemahan (GINA, 2005).

  3) Kromones (Sodium Cromogycate dan Nedocromyl Sodium) Obat ini dapat menurunkan jumlah eosin bronchial pada gejala asma. Obat ini dapat menurunkan gejala dan menurunkan reaksi hiperresponsive pada 2-agonist inhalsi dikombinasikan dengan glukokortikoid inhalasi, teofiline atau leukotrien. Untuk asma severe persisten

  , β2-agonist inhalasi dikombinasikan dengan glukokortikosteroid inhalasi, teofiline dan leukotrien atau menggunakan obat β2 agonist oral (GINA, 2005). imun

  

nonspecific . Obat ini dapat menimbulkan batuk-batuk pada saat

pemakaian dengan bentuk formulasi powder (GINA, 2005).

  4) Β2-Agioinst Inhalasi

  Obat in berfungsi sebagai bronkodilator selama 12 jam setelah pemakaian. Obat ini dapat mengurangi gejala asma pada waktu malam, meningkatkan fungsi paru. Obat ini dapat menimbulkan tremor pada bagian musculoskeletal, menstimulasi kerja cardiovascular dan hipokalemia (GINA, 2005). 5) B2-Agonist Oral

  Obat ini sebagai bronkodilator dan dapat mengontrol gejala asma pada waktu malam. Obat ini dapat menimbulkan anxietas, meningkatkan kerja jantung, dan menimbulkan tremor pada bagian muskuloskeletal (GINA, 2005).

  6) Teofiline Obat ini digunakan untuk menghilangkan gejala atau pencegahan asma bronkial dengan merelaksasi secara langsung otot polos bronki dan pembuluh darah pulmonal. Obat ini dapat menyebabkan efek samping berupa mual, muntah, diare, sakit kepala, insomnia dan iritabilitas. Pada level yang lebih dari 35 mcg/mL menyebabkan hperglisemia, hipotensi, aritmia jantung, takikardi, kerusakan otak dan kematian (Depkes RI, 2007). 7) Leukotriens

  Obat ini berfungsi sebagai anti inflamasi. Obat ini berfungsi untuk mengurangi gejala termasuk batuk, meningkatkan fungsi paru dan menurunkan gejala asma (GINA, 2005).

  Berikut penjelasan tentang obat-obat meringankan (Reliever) asma: a)

  β2- Agoinst Inhalasi Obat ini bekerja sebagai bronkodilator. Obat ini digunakan untuk mengontrol gejala asma, variabilitas peak

  flow , hiperresponsive jalan napas. Obat ini dapat menstimulasi

  kerja jantung, tremor otot skeletal dan hipokalemia (GINA, 2005).

  b) Β2- Agionst Oral

  Obat ini sebagai bronkodilator. Obat ini dapat menstimulasi kerja jantung, tremor otot skeletal dan hipokalemia (GINA, 2005).

  c) Antikolinergic Obat ini sebagai bronkodilator. Obat ini dapat meningkatkan fungsi paru. Obat ini dapat menyebabkan mulut kering dan pengeluaran mucus (GINA, 2005).

  c. Metode Pengobatan Alternative Metode pengobatan alternative ini sebagian besar masih dalam penelitian. Buteyko merupakan salah satu pengobatan alternative yang terbukti dapat menurunkan ventilasi alveolar terhadap hiperventilasi paru penderita asma, selain itu memperbaiki gejala yang ditimbulkan asma. Buteyko ini merupakan tehnik bernapas yang dirancang khusus untuk penderita asma dengan prinsip latihan tehnik bernapas dangkal (GINA, 2005).

  Slow deep breathing adalah metode bernapas yang frekuensi

  bernapas kurang dari 10 kali permenit dengan fase ekshalasi yang panjang (Breathesy, 2007). Slow deep breathing adalah gabungan dari metode nafas dalam (deep breathing) dan napas lambat sehingga dalam pelaksanaan latihan pasien melakukan nafas dalam dengan frekuensi kurang dari atau sama dengan 10 kali permenit. Latihan napas dalam dan lambat secara teratur akan meningkatkan respons saraf parasimpatis dan penurunan aktivitas saraf simpatik, meningkatkan fungsi pernafasan dan kardiovaskuler, mengurangi efek stres, dan meningkatkan kesehatan fisik dan mental (Velkumary & Madanmohan, 2004; Kiran, Behari, Venugopal, Vivekanandhan & Pandey, 2005; Larson & Jane, 2004).

  Penelitian Telles dan Desiraju (1991) menunjukkan bahwa pengaturan pernapasan dalam dan lambat menyebabkan penurunan secara signifikan konsumsi oksigen. Teknik pernapasan dengan pola yang teratur juga dapat dilakukan untuk relaksasi, manajemen stres, kontrol psikofisiologis dan meningkatkan fungsi organ (Ritz & Roth, 2003; Kwekkeboom, 2005; Lane & Arcinesgas, 2007; Geng & Ikiz, 2009).

B. Latihan Pernafasan (deep breathing exercise)

  1. Pengertian deep breathing Slow deep breathing adalah metode bernapas yang frekuensi

  bernapas kurang dari 10 kali permenit dengan fase ekshalasi yang panjang (Breathesy, 2007). Slow deep breathing adalah gabungan dari metode nafas dalam (deep breathing) dan napas lambat sehingga dalam pelaksanaan latihan pasien melakukan nafas dalam dengan frekuensi kurang dari atau sama dengan 10 kali permenit.

  2. Indikasi deep breathing exercise

  Terapi deep breathing exercise diidentifikasikan untuk mengobati Penyakit-penyakit yang dapat dikontrol bahkan disembuhakn dengan terapi pernapasan: a. Gangguan saluran pernapasan (asma bronkiale, pulmonary distonia)

  b. Gangguan pencernaan (maag/gastritis, perut kembung, dan susah buang air besar) c. Gangguan pada system reproduksi d. Sakit perut pada saat mentruasi.

  e. Mentruasi tidak teratur

  f. Sulit tidur (imsonia)

  g. Gangguan pada pembulu darah

  h. Batu saluran kencing

  3. Cara melakukan deep breathing exercise

  Langkah-langkah dalam latihan slow deep breathing, menurut University of Pittsburgh Medical Center, (2003).

  a. Atur pasien dengan posisi duduk

  b. Kedua tangan pasien diletakkan di atas perut

  c. Anjurkan melakukan napas secara perlahan dan dalam melalui hidung dan tarik napas selama 3 detik, rasakan abdomen mengembang saat menarik napas

  d. Tahan napas selama 3 detik

  e. Kerutkan bibir, keluarkan melalui mulut dan hembuskan napas secara perlahan selama 6 detik. Rasakan abdomen bergerak ke bawah.

  f. Ulangi langkah 1 sampai 5 selama 15 menit.

  g. Latihan slow deep breathing dilakukan dengan frekuensi 3 kali sehari.

  4. Manfaat dan Tujuan Latihan Penapasan deep breathing exercise

  Latihan pernapasan juga merupakan salah satu penunjang pengobatan asma karena keberhasilan pengobatan asma tidak hanya ditentukan oleh obat asma yang dikonsumsi, namun juga faktor gizi dan olah raga. Bagi penderita asma, olah raga diperlukan untuk memperkuat otot-otot pernapasan. Latihan pernapasan bertujuan untuk: a. Melatih cara bernafas yang benar.

  b. Melenturkan dan memperkuat otot pernafasan.

  c. Melatih ekspektorasi yang efektif.

  d. Meningkatkan sirkulasi. e. Mempercepat asma yang terkontrol.

  f. Mempertahankan asma yang terkontrol.

  g. Kualitas hidup lebih baik.

  Menurut Wara kushartanti (2002) program latihan yang dirancang bagi penderita asma pada dasarnya menitik beratkan pada latihan pernapasan yang bertujuan untuk:

  a. Meningkatkan efisiensi fase ekspirasi

  b. Mengurangi aktivitas dada bagian atas

  c. Mengajarkan pernapasaan diafragma

  d. Merelakskan otot yang tegang

  e. Meningkatkan fleksibilitas otot intercostalis, pectoralis, scalenius, dan trapezius Di dalam suatu system pernapasan pada waktu frekuensi pernapasan menurun maka kapasitas tidal dan kapasitas vital akan meningkat. Pada meditasi terjadi relaksasi sempurna dari otot-otot tertentu dan kunci utama keberhasilan senam pernapasan adalah keteraturan dan kepatuhan melakukan latihan pernafasan tersebut (Laurentia, 2009). Ada beberapa fungsi terapi pernapasan adalah:

  a. Mengatur keseimbangan seluruh fungsi organ tubuh

  b. Meningkatkan daya tahan terhadap suatu penyakit c. Memulihkan organ tubuh yang mengalami disfungsional.

  d. Mengatur keseimbangan cairan tubuh, aktivitas hormaon, aktivitas enzim, dan laju metabolisme. e. Mempelancar peredaran darah secara sistemik.

  f. Meningkatkan kemampuan gerak tubuh.

  g. Meningkatkan ketenangan batin dan percaya diri.

  h. Defensive (pertahanan diri) Napas dalam lambat dapat menstimulasi respons saraf otonom melalui pengeluaran neurotransmitter endorphin yang berefek pada penurunan respons saraf simpatis dan peningkatkan respons parasimpatis. Stimulasi saraf simpatis meningkatkan aktivitas tubuh, sedangkan respons parasimpatis lebih banyak menurunkan ativitas tubuh atau relaksasi sehingga dapat menurukan aktivitas metabolik (Velkumary & Madanmohan, 2004). Stimulasi saraf parasimpatis dan penghambatan stimulasi saraf simpatis pada slow deep breathing juga berdampak pada vasodilatasi pembuluh darah otak yang memungkinkan suplay oksigen otak lebih banyak sehingga perfusi jaringan otak diharapkan lebih adekuat (Denise, 2007; Downey, 2009).

  Jerath, Edry, Barnes, (2006) mengemukakan bahwa mekanisme penurunan metabolisme tubuh pada pernapasan lambat dan dalam masih belum jelas, namun menurut hipotesanya napas dalam dan lambat yang disadari akan mempengaruhi sistem saraf otonom melalui penghambatan sinyal reseptor peregangan dan arus hiperpolarisasi baik melalui jaringan saraf dan non-saraf dengan mensinkronisasikan elemen saraf di jantung, paruparu, sistem limbik, dan korteks serebri. Selama inspirasi, peregangan jaringan paru menghasilkan sinyal inhibitor atau penghambat yang mengakibatkan adaptasi reseptor peregangan lambat atau slowly adapting

  stretch reseptors (SARs) dan hiperpolarisasi pada fibroblas. Kedua

  penghambat impuls dan hiperpolarisasi ini dikenal untuk menyinkronkan unsur saraf yang menuju ke modulasi sistem saraf dan penurunan aktivitas metabolik yang merupakan status saraf parasimpatis.

  Penelitian Telles dan Desiraju (1991) menunjukkan bahwa pengaturan pernapasan dalam dan lambat menyebabkan penurunan secara signifikan konsumsi oksigen. Teknik pernapasan dengan pola yang teratur juga dapat dilakukan untuk relaksasi, manajemen stres, kontrol psikofisiologis dan meningkatkan fungsi organ (Ritz & Roth, 2003; Kwekkeboom, 2005; Lane & Arcinesgas, 2007; Geng & Ikiz, 2009).

  Latihan napas dalam dan lambat secara teratur akan meningkatkan respons saraf parasimpatis dan penurunan aktivitas saraf simpatik, meningkatkan fungsi pernafasan dan kardiovaskuler, mengurangi efek stres, dan meningkatkan kesehatan fisik dan mental (Velkumary & Madanmohan, 2004; Kiran, Behari, Venugopal, Vivekanandhan & Pandey, 2005; Larson & Jane, 2004).

C. Arus Puncak Ekspirasi (APE) 1. Pengertian

  Arus puncak ekspirasi (APE) adalah jumlah aliran udara maksimal yang dapat dicapai saat ekspirasi paksa dalam waktu tertentu (Bagian Pulmonologi FKUI, 2005). Arus puncak ekspirasi adalah metode sederhana, noninvasif, dan ekonomis untuk mengetahui kecepatan dan kekuatan dari ekspirasi, dengan satuan liter permenit, dengan ekspirasi paksa dari kapasitas total paru. Ini biasa digunakan untuk mendeteksi fungsi paru yang berhubungan dengan penyempitan saluran nafas. Pengukuran ini khususnya diperlukan bagi pasien yang tidak mampu mendeteksi obstruksi saluran pernafasan. (Zapletal,2003). Angka normal APE untuk laki laki dewasa sekitar 500-700 L/menit, sedangakan untuk wanita dewasa berkisar antara 380-500 L/menit (Jain, et al, 1998).

  Pemeriksaan APE bertujuan untuk mengukur secara objektif arus udara pada saluran nafas besar (Rasmin, et al, 2001), sehingga dapat dipakai untuk mengetahui kenaikan tahanan saluran nafas, yang memberikan gambaran tentang obstruksi saluran nafas (Rahmatullah, 1999).

  Pengukuran Arus Puncak Ekspirasi (APE) dengan Peak Flow Meter merupakan pemeriksaan yang sangat sederhana (PDPI, 2006) yang dapat memberikan peringatan dini adanya penurunan fungsi paru (Siregar, 2008). Agar pemeriksaan dapat dikerjakan dengan baik dan benar maka pemeriksa memberikan contoh terlebih dahulu (Alsagaff dan Mangunnegoro, 1993), selanjutnya penderita disuruh melakukan ekspirasi sekuat tenaga melalui alat tersebut (Yunus, 1993). Pengukuran arus puncak ekspirasi tergantung pada otot thoracoabdominal dan tingkat stres dari subjek dievaluasi, dan karena memerlukan ekspirasi maksimal.

  )

  (Barcala,2008 Hasil pengukuran APE dalam bentuk angka dibandingkan dengan nilai APE prediksi yang dibuat sesuai jenis kelamin, usia,tinggi badan, yang diinterpretasikan dengan sistem zona ’traffic light’. Zona hijau bila nilai APE 80%-100% dibandingkan nilai prediksi, mengindikasikan fungsi paru baik. Zona kuning 50%-80% menandakan mulai terjadinya penyempitan saluran respiratorik, dan zona merah ≤ 50% berarti saluran respiratorik besar telah menyempit (Sheikh et al., 2000).

  Data peak flow yang dapat menggambarkan tanda-tanda peringatan

dini untuk suatu penyakit yang dalam beberapa kasus mungkin menunjukkan

penurunan fungsi paru-paru 1-3 hari sebelum gejala pernapasan lain menjadi

jelas. Tinggi badan, jenis kelamin dan usia merupakan hal yang dapat

  menunjukkan hasil perkiraan dari nilai peak flow. (Febriana et.al, 2009).

  Pengukuran fungsi saluran pernapasan, dengan peak flow meter sebelum penggunaan obat, perlu dilakukan untuk mengetahui derajat keparahan penyakit asma yang sedang dialami seorang pasien asma.

2. Kecenderungan pasien dengan asma

  Pada penyakit obstruksi saluran napas, biasanya penderita mengalami kesukaran pada waktu ekspirasi, sebab kecenderungan menutupnya saluran napas sangat meningkat dengan adanya tekanan positif dalam dada selama ekspirasi. Hal ini tidak terjadi pada saat inspirasi oleh karena tekanan negatif pleura pada inspirasi akan mendorong terbukanya saluran napas saat alveoli mengembang. Dengan demikian udara akan mudah masuk paru tetapi terperangkap di dalam paru (Guyton dan Hall, 2008) .

3. Tujuan dilakukan pengukuran APE

  Pada pasien asma nilai APE cenderung menurun, hal ini di sebabkan karena Pada asma mandiri pengukuran APE dapat digunakan untuk membantu pengobatan seperti (DEPKES RI, 2007):

  1) Mengetahui apa yang membuat asma memburuk 2) Memutuskan apa yang akan dilakukan bila rencana pengobatan berjalan baik 3) Memutuskan apa yang akan dilakukan jika dibutuhkan penambahan atau penghentian obat 4) Memutuskan kapan pasien meminta bantuan medis/dokter/IGD 4.

   Indikasi Pengukuran APE

  Pengukuran peak flow meter Perlu dilakukan pada pasien dengan asma sedang sampai berat. Pengukuran Arus Puncak Ekspirasi (APE) dengan Peak Flow Meter ini dianjurkan pada (DEPKES RI, 2007) :

  a. Penanganan serangan akut di gawat darurat, klinik, praktek dokter dan oleh pasien di rumah.

  b. Pemantauan berkala di rawat jalan, klinik dan praktek dokter.

  c. Pemantauan sehari-hari di rumah, idealnya dilakukan pada asma persisten usia di atas > 5 tahun, terutama bagi pasien setelah perawatan di rumah sakit, pasien yang sulit/tidak mengenal perburukan melalui gejala padahal berisiko tinggi untuk mendapat serangan yang mengancam jiwa.

5. Faktor yang mempengaruhi Nilai APE

  Jenis kelamin, umur, tinggi badan, berat badan, dan body surface

  area , merupakan Faktor-faktor yang mempengaruhi Arus Puncak

  Ekspirasi (APE), pada detik pertama mempengaruhi force expiratory

  volume dan force vital capacity. (Meenakshi et.al, 2012)

  1) Jenis kelamin Sesudah pubertas anak laki laki menunjukan kapasitas faal paru yang lebih besar dari pada perempuan. Kapasitas vital rata- rata pria dewasa muda lebih kurang 4,6 liter dan permpuan muda kurang lenih 3,1 liter, meskipun nilai-nilai jauh lebih besar pada beberapa orang dengan berat badan sama (Antarudin, 2003)

  2) Umur Faal paru pada masa anak-anak bertambah atau meningkat volumenya dan mencapai maksimal pada usia 9-21 tahun, setelah usia itu faal paru terus menurun sesuai dengan bertambahnya usia (Yunus, 2003). Pada keadaan normal, nilai Arus Puncak Ekspirasi (APE) berbanding terbalik dengan umur (Widiyanti, 2008)

  3) Tinggi Badan Tinggi badan mempunyai korelasi positif APE. Artinya, bertambahnya tinggi seseorang, APE akan bertambah besar (Alsagaff, 1993)

6. Cara pengukuran Arus Puncak Ekspirasi a. Spirometer

  Spirometer suatu metode sederhana untuk mempelajari pertukaran udara paru-paru adalah mancatat volume udara yang bergerak ke dalam dan ke luar paru-paru disebut spirometer. Sebuah alat spirometer terdiri dari sebuah silinder yang berada dalam sebuah ruangan berisi air yang keseimbangannya dapat diatur melalui suatu pemberat. Dalam selinder terdapat campuran udara pernafasan biasanya udara atau O2, suatu tabung yang menghubungkan mulut dengan ruang udara. Karena nafas masuk dan ke luar ruang udara maka silinder terangkat/naik dan turun, dan suatu grafik akan terlihat pada kertas yang terdapat pada silinder yang berputar. Untuk memudahkan menjelaskan berbagai kejadian pertukaran udara paru- paru maka udara dalam paru-paru telah dibagi menjadi 4 volume dan 4 kapasitas.

b. Peak Flow Meter

  Peak Flow Meter suatu alat yang sederhana, ringkas, mudah

  dibawa, murah, serta mudah penggunaannya dapat dipakai untuk memeriksa Peak Expiratory Flow Rate (PEFR). Peak Expiratory Flow

  Rate merupakan salah satu parameter yang diukur pada spirometri

  yaitu kecepatan aliran udara maksimal yang terjadi pada tiupan paksa maksimal yang dimulai dengan paru pada keadaan inspirasi maksimal(Oceandy D, 1995)

  Prinsip kerja peak meter alat ini hanya dapat mengukur APE, tetapi sudah memadai untuk melakukan pemantauan penyakit paru obstruktif seperti asma atau melakukan uji tapis massal. Pengukuran dapat dilakukan penderita sendiri atau dibantu orang lain. Sampai saat ini, alat aku yang di pakai untuk pengukuran APE ini adalah wright peak flow meter yang di rancang oleh BM Wright dan CB McKerrow (1959). Cara kerja alat ini berdasarkan azaz mekanika, dimana deras arus udara di ukur dengan gerakan piston yang terdorong oleh arus udara yang di tiupkan melalui pipa penuip. Piston akan mendorong jarum penunjuk (marker). Karena piston dikaitkan dengan sebuah pegas, maka setelah arus berhenti, oleh gaya tarik balik (recoil) piston tertarik kedudukan semula dan jarum penunjuk tertingal pada titik jangkauan piston terjauh. Nilai APE di baca pada titik jarum penunjuk tersebut.

  Peak flow meter ini tidak hanya dapat digunakan di rumah sakit

  maupun di klinik saja, tetapi dapat juga digunakan di rumah ataupun di kantor untuk membantu mendiagnosis asma dan evaluasi respon terapi.

  Lebih lanjut peak flow meter dapat memberikan peringatan lebih awal terhadap pasien jika terjadi perubahan pada fungsi sistem pernapasan.

  APE ini memiliki nilai yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu tinggi badan, umur dan jenis kelamin.

  Tahapan melakukan pengukuran APE sebagai berikut :

  1. Bila memerlukan, pasang mouthpiece ke ujung peak flow

  meter

  2. Penderita berdiri atau duduk dengan punggung tegak dan pegang peak flow meter dengan posisi horisontal (mendatar) tanpa menyentuh atau mengganggu gerakan marker. Pastikan marker berada pada posisi skala terendah (nol).

  3. Penderita menghirup napas sedalam mungkin, masukkan

  mouthpiece ke mulut dengan bibir menutup rapat

  mengelilingi mouthpiece, dan buang napas sesegera dan sekuat mungkin.

  4. Saat membuang napas, marker bergerak dan menunjukkan angka pada skala, catat hasilnya.

  5. Kembalikan marker pada posisi nol lalu ulangi langkah 2-4 sebanyak 3 kali, dan pilih nilai paling tinggi. Bandingkan dengan nilai terbaik pasien tersebut atau nilai prediksi. Rentang nilai APE:

  1) Zona hijau (normal) Nilai antara 80-100% 2) Zona kuning (hati hati) Nilai antara 50-79% 3) Zona merah (darurat) Nilai kurang dari 50%.

D. Kerangka teori

Gambar 2.1. Kerangka Teori Penelitian (Corwin, 2000)

  Faktor presipitasi a. Alergen

  b. Perubahan cuaca c. Stress

  d. Lingkungan

  e. Aktivitas berat Sesak nafas

  Peningkatan pembentukan lendir/sekret

  Bronkokontrik si Peningkata n respirasi rate

  Penurunan peak flow rate/ APE

  Timbul serangan asma Farmakologi a.

  Bronkodilator b. Teofiline c. Glukokortikost eroid inhalasi

  Non farmakologi Deep breathing exercise

  E. Kerangka Konsep Penelitian

  Penurunan peak flow Deep Breathing rate atau Arus puncak

  Exercise ekspirasi (APE).

  Farmakologi d.

  Bronkodilator e. Teofiline

f.

Glukokortikos

  inhalasi

  teroid

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian

  H. Hipotesis Penelitian

  Hipotesis adalah suatu kesimpulan sementara atau jawaban sementara dari suatu penelitian (Notoatmodjo, 2010). Berdasarkan kerangka teori dan kerangka konsep diatas dapat dirumuskan suatu Hipotesis penelitian ini yaitu : Deep breathing exercise effektif meningkatkan Arus puncak ekspirasi (APE).

Dokumen yang terkait

PERBEDAAN NILAI ARUS PUNCAK EKSPIRASI (APE) ANTARA PEREMPUAN YANG MEMASAK DENGAN KAYU BAKAR DAN

0 0 57

PENGARUH SENAM ASMA TERSTRUKTUR TERHADAP PENINGKATAN ARUS PUNCAK EKSPIRASI (APE) PADA PASIEN ASMA

0 0 6

ANALISIS FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN SKABIES PADA ANAK DI WILAYAH PUSKESMAS BANJARNEGARA II - repository perpustakaan

0 0 17

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - HUBUNGAN KEBIASAAN MEROKOK ANGGOTA KELUARGA DAN KONDISI LINGKUNGAN RUMAH DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS II RAKIT KABUPATEN BANJARNEGARA - repository perpustakaan

0 0 13

HUBUNGAN KEBIASAAN MEROKOK ANGGOTA KELUARGA DAN KONDISI LINGKUNGAN RUMAH DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS II RAKIT KABUPATEN BANJARNEGARA - repository perpustakaan

0 0 29

ANALISIS KEKAMBUHAN PADA PASIEN ASMA BRONKHIAL DALAM 1 TAHUN DI RSU. ST. ELISABETH PURWOKERTO TAHUN 2013 - repository perpustakaan

0 0 16

EFEKTIVITAS PEMBERIAN TEKNIK RELAKSASI NAFAS DALAM TERHADAP ARUS PUNCAK EKSPIRASI (APE) PADA PASIEN TUBERCULOSIS PARU DI RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO - repository perpustakaan

0 0 16

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - EFEKTIVITAS PEMBERIAN TEKNIK RELAKSASI NAFAS DALAM TERHADAP ARUS PUNCAK EKSPIRASI (APE) PADA PASIEN TUBERCULOSIS PARU DI RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO - repository perpustakaan

0 0 10

EFFEKTIFITAS LATIHAN NAFAS DALAM (DEEP BREATHING EXERCISE) TERHADAP PENINGKATAN ARUS PUNCAK EKSPIRASI (APE) PADA PASIEN DENGAN ASMA DI PUSKESMAS 1 RAKIT KABUPATEN BANJARNEGARA

0 0 16

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - EFFEKTIFITAS LATIHAN NAFAS DALAM (DEEP BREATHING EXERCISE) TERHADAP PENINGKATAN ARUS PUNCAK EKSPIRASI (APE) PADA PASIEN DENGAN ASMA DI PUSKESMAS 1 RAKIT KABUPATEN BANJARNEGARA - repository perpustakaan

0 0 13