MAKALAH – MENGGUGAT EQUALITAS PELAKSANAAN ari wahyudi

  

MENGGUGAT EQUALITAS PELAKSANAAN

KURIKULUM SEKOLAH LUAR BIASA

ARI WAHYUDI

(Staf Pengajar PLB FIP Unesa; E-mail: ari_plb65@yahoo.com)

  

Abstrak; Perubahan kurikulum dan pelaksanaan kurikulum baru

mestinya dirancang dalam suatu paket satu kesatuan yang utuh

pada semua jenis pendidikan termasuk pendidikan khusus, sehingga

ketimpangan waktu pelaksanaan tidak terjadi diskriminatif. Apapun

perubahan kurikulum, apabila guru tidak dipersiapkan dengan baik

dan tidak didorong menjadi kreatif maka para guru hanya akan

dihadapkan dengan kegagalan implementasi kurikulum.

  PENDAHULUAN

  Kurikulum Sekolah Luar Biasa dalam perjalanan sejarah republik ini nampaknya selalu menjadi pelengkap kurikulum pendidikan pada umumnya. Artinya kurikulum SLB baru ada setelah kurikulum untuk sekolah umum telah resmi dilaksanakan, misalnya kurikulum 2004 KBK untuk sekolah umum telah disyahkan berlakunya namun untuk SLB baru ada kurikulum 2006. Kurikulum 2013 untuk sekolah umum telah disosialisasikan, namun untuk sekolah luar biasa masih direncanakan pada tahun 2014. Kenyataan ini secara hakikat pendidikan telah melanggar terhadap hak warga Negara, walaupun secara teknis dengan alasan terbentur pada penyiapan birokrasi nampaknya menjadi alasan pembenaran. Hal yang harus direnungkan oleh pengambil kebijakan bahwa potensi yang dimiliki oleh pemikir dan pelaku- pelaku di sekolah luar biasa tidak bisa diremehkan dengan menjadikan masyarakat yang kedua, dan seolah-olah pemikir dan pelaku yang ada di sekolah luar biasa hanya menjadi pembeo, sungguh sangat menyakitkan. Boleh dipandang sebagai kelompok minoritas dari segi kuantitas, namun dari segi kualitas tentunya semua warga Negara memiliki hak yang sama untuk menunjukkan eksistensi dirinya.

  Problem pembeo-an kurikulum SLB secara nasional ini akan dapat dihapus, manakala road map pendidikan kita ini secara nasional jelas, sehingga semua jenjang pendidikan formal dan jenis pendidikan dapat bersama-sama menggarap kurikulum sesuai dengan acuan tersebut. Bangsa ini telah merdeka 68 tahun yang lalu dan telah mengalami pergantian kurikulum 10 kali (kurikulum 1947, kurikulum 1964, kurikulum 1968,

  

kurikulum 1973, kurikulum 1975, kurikulum 1984, kurikulum 1994,

kurikulum 1997, kurikulum 2004, dan kurikulum 2006) (Wardhani,2013),

  yang tampak dalam permukaan pendidikan adalah ganti menteri ganti kurikulum, ganti menteri tambah mata pelajaran, ganti menteri tambah penderitaan, hal ini menunjukkan adanya aroganisasi kekuasaan pada bidang pendidikan yang dikomandani oleh Menteri Pendidikan.

  Sekilas membaca perdebatan tentang kurikulum 2013 yang belum menyentuh sekolah luar biasa terdapat suatu keanehan alur perjalanan pendidikan apabila menilik dari kompetensi inti (KI) dan kompetensi dasar (KD). Dalam buku penjelasan tentang KI dan KD untuk sekolah dasar tertulis, ”filosofi yang dianut dalam kurikulum 2013 adalah eklektik”. Selain menyebut kehadiran filsafat eklektik, aliran filsafat lain juga disebutkan, seperti perenialisme, esensialisme, humanisme, progresifisme, dan rekonstruktifisme sosial. Karena filosofi yang dianut dalam kurikulum adalah eklektik, seperti dikemukakan di bagian landasan filosofi, nama mata pelajaran dan isi mata pelajaran untuk kurikulum yang akan dikembangkan tidak perlu terikat pada kaidah filosofi esensialisme (ingin mengajarkan

  

hal-hal yang mendasar, tetapi tak fundamental, melainkan esensial yang

dibutuhkan peserta didik, berupa pengetahuan dan keterampilan yang

dibutuhkan agar mereka bisa hidup di dunia nyata. Filsafat ini tidak

mengutamakan isi pengetahuan, tetapi mengajarkan keterampilan yang

dibutuhkan. Dengan keterampilan ini, siswa dapat hidup di masyarakat) dan

perenialisme (intinya ingin mengatakan bahwa prinsip-prinsip pendidikan

yang fundamental, yang ada sekarang ini, sesungguhnya telah ada dari

  

dulu). Filosofis semacam ini tidak memiliki arti bagi guru di lapangan karena

guru jarang berurusan dengan pemikiran filosofis (Doni Koesoema,2013).

  Hal yang menjadi perenungan untuk kita semuanya adalah Kerancuan pemikiran filosofis dalam pendidikan, terutama saat mendesain kurikulum, akan berdampak besar pada proses pembelajaran dan pengajaran, sistem evaluasi, serta tercapai atau tidaknya proses pembelajaran seperti yang dipaparkan dalam KI dan KD. Kita pasti tidak rela bila uang rakyat yang besarnya Rp 2,4 triliun itu dipergunakan untuk sebuah perubahan kurikulum yang digagas dalam ketergesaan dan ‘aroganisme kekuasaan’, di mana potensi gagalnya lebih besar daripada berhasilnya. Pernyataan ini bukan merupakan pengikut aliran pesimistis, namun berpijak pada realitas problem pendidikan kita yang masih belum bisa diatasi, seperti relevansi, efisiensi, kualitas dan pemerataan. Setidaknya jangan berpikir hanya centrum saja, yang kurang memperhatikan verifer yang sarat dengan problem tersebut.

  Sedikit mengkritik terhadap pilihan filsafat eklektik dalam penyusunan kurikulum 2013 tak lain adalah wujud kemalasan berpikir, simplifikasi persoalan, dan pilihan jalan pintas paling gampang. Filsafat eklektik dapat jadi jalan pintas rasionalisasi dan menghindar dari tanggung jawab ketika terjadi berbagai macam persoalan; mulai dari pilihan materi pengajaran, metode, sistem evaluasi, bahkan gagal dalam eksekusinya. Sebab, semua hal bisa dijustifikasi dan dirasionalisasi melalui pendekatan eklektik!

  Gonjang-ganjing awal pemaksaan kurikulum 2013, menunjukkan gejala bahwa grand design pendidikan nasional kita belum bertumpu pada potensi bangsa ini. Alih-alih minoritas diperhatikan untuk kebersamaan pelaksanaan kurikulum, pilihan terbaik kurikulum untuk bangsa ini saja sarat dengan egosentris pemegang policy pendidikan yang arahnya pada kekuasaan daripada proses pencerdasan bangsa (Mardiatmadja,2013). Oleh karena itu dalam makalah singkat ini saya berusaha untuk mengambil lingkup yang lebih kecil tentang pelaksanaan kurikulum sekolah luar biasa yang seringkali terjadi ketimpangan di lapangan dengan kurikulum untuk jenis pendidikan umum. Hal yang menjadi kegelisahan pemakalah adalah tidak terdapat equalitas pelaksanaan kurikulum antara jenis pendidikan umum dan jenis pendidikan khusus (SLB). Solusi yang ditawarkan pada saji makalah ini adalah mengubah cara berpikir dalam penyusunan kurikulum untuk bertumpu pada potensi natural bangsa ini. Bolehlah kita berdebat dengan berbagai dasar filosofis yang berkembang saat ini secara mendunia seprti filosofi perenialisme, esensialisme, humanisme, progresifisme, dan rekonstruktifisme social, dan eklektif, namun kemampuan kita untuk menyarikan filosofis yang ada dengan system nilai yang kita miliki justru akan menjadikan diri kita lebih percaya diri bahwa pendidikan nasional akan dapat membentuk karakter bangsa seperti yang diamanahkan dalam konstitusi kita. Ketimpangan pelaksanaan kurikulum di sekolah luar biasa menurut hemat saya dapat teratasi, manakala road map pendidikan nasional harus berbasis konstitusi.

  PEMBAHASAN

  Konstitusi kita yang merupakan hasil perenungan yang mendalam dari founding father sehingga menjadi konsensus nasional pertama tentang bangsa ini, telah mengamanahkan bahwa tujuan nasional kita adalah “… untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, ….”. (UUD 1945 Amandemen). Amanah ini mestinya menjadi pijakan para cerdik cendekia untuk wajib mengamankannya. Hal yang wajib dijalankan adalah amanah tersebut harus tertuang dalam kebijakan di bawahnya dengan tafsir yang jelas dan pasti. Kata kunci yang menjadi pijakan dalam penyelenggaraan pendidikan dalam konstitusi tersebut adalah melindungi segenap bangsa, kesejahteraan, dan kecerdasan.

  Ketiga kata kunci dalam konstitusi ini wajib dijabarkan pada aturan di bawahnya yakni batang tubuh perundangan, undang-undang, dan peraturan lain di bawahnya yang berkompeten yakni menteri pendidikan. Konsistensi pemikiran untuk merunut aturan yang berbasis konstitusi sangat menentukan keberhasilan pendidikan. Untuk merunut pemikiran kurikulum yang berbasis konstitusi setidaknya kita dapat melakukan pelacakan terhadap peraturan perundangan yang terkait dengan pendidikan di Indonesia, mulai dari konstitusi, batang tubuh, dan undang-undang pendidikan yang pernah ada dan melakukan evaluasi apakah telah menjadi dasar pijakan untuk melakukan perubahan kurikulum. Hasil identifikasi aturan yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikam adalah: BAB XIII PENDIDIKAN, Pasal 31 UUD 1945; (1) Tiap-tiap Warganegara berhak mendapat pengajaran, (2) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan Undang-undang. Batang tubuh pasal 31 UUD 1945 ayat 1 dan ayat 2, nampaknya belum mampu menyentuh tujuan inti pendidikan yang diamanahkan konsttitusi, dan baru menyentuh aspek kecerdasan sementara melindungi segenap bangsa dan kesejahteraan belum terwadahi dalam pasal tersebut. Batang tubuh ini kemudian diamandemen pada tahun 2004, menjadi: Bab

  XIII pasal 31 tentang Pendidikan dan Kebudayaan, yaitu : (1) Setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan, (2) Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya, (3) Pemerintah mengusahan dan menyelenggarakan satu system pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan Undang-undang, (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

  Hasil amandemen ini nampaknya berusaha menyentuh ketiga aspek tujuan nasional, melindungi segenap bangsa dan kecerdasan telah terjelma pada

  pasal 31 ayat 1 dan 2, dan kesejahteraan telah terjelma pada ayat 3 dan 4. Identifikasi melalui Undang-undang Pendidikan yang pernah ada: 

  TUJUAN PENDIDIKAN UU NO. 4 TAHUN 1950

  Pasal 3 bab II, “Tujuan pendidikan dan pengajaran ialah membentuk manusia susila yang cakap, dan warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air”

   TUJUAN PENDIDIKAN UU NO. 12 TAHUN 1954

  Pasal 3 bab Ii “Tujuan pendidikan dan pengajaran ialah membentuk manusia susila yang cakap dan warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air”

   TUJUAN PENDIDIKAN UU No. 2 Tahun 1989

  Pasal 4 Bab II: “ Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan YME dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesejahteraan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”. 

  TUJUAN PENDIDIKAN UU No 20 Tahun 2003

  Pasal 3 bab II, “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab” Runtutan penataan aturan pendidikan yang bersumber dari konstitusi ini telah tertata sampai pada Undang-Undang, selanjutnya tinggal mendistribusikan melalui tujuan yang lebih operasional seperti tujuan institusional, tujuan kurikuler dan tujuan instruksional. Pada tataran operasional disinilah kita tidak boleh terlena pada kepopuleran dasar berpikir Negara-negara maju tanpa mempertimbangkan system nilai yang telah kita miliki yang telah termaktub pada konstitusi. Pada tataran filosofis, mestinya pemikir perubahan kurikulum mengembalikannya pada esensi keilmuan. Artinya tujuan pendidikan yang mulia dan agung yang tertuang dalam konstitusi tersebut harus dirunut pada filsafat ilmu. Apapun bentuk kurikulumnya maka struktur keilmuan harus bersumber pada 3 (tiga) ilmu, yaitu (1) Natural Science (Fisika, kimia, biologi. Astronomi, matematika, dll), (2)

  

Social Science (sosiologi, ilmu ekonomi, Ilmu politik, sejarah, antropologi, psikologi,

Geografi dll), (3) Humanities (Kesusasteraan, bhs dan Seni dll).

  Kalau ini dapat menjadi road map pendidikan nasional kita tentunya

perubahan kurikulum dalam bentuk apapun tidak akan menggoyahkan tujuan

utama pendidikan kita yakni membawa pada upaya melindungi segenap bangsa,

kesejahteraan, dan kecerdasan. Menurut pemakalah yang harus mengikuti

perubahan sesuai dengan kemajuan zaman dan teknologi adalah pendekatan,

strategi dan metode operasional dari road map tersebut. Apabila hal ini dipatuhi

semua komponen, tentunya aroganisasi kekuasaan di bidang pendidikan tidak pada

menterinya, akan tetapi kebutuhan berubah mengikuti perkembangan adalah

arogan yang perlu ditumbuhkan pada semua pelaku pendidikan.

  Kurikulum berbasis apapun namanya, apakah berbasis kompetensi, atau

berbasis tematik terpadu, atau berbasis yang lain menurut pemakalah harus

merujuk pada filosofis keilmuan, bukan justru menghilangkan jati diri keilmuan.

Apapun ilmunya apabila telah dipayungi dengan tujuan makro pendidikan yang

bersumber dari system nilai yang tertuang pada konstitusi, maka muara

operasional ilmunya harus satu yaitu menuju konstitusi. Guru matematika apabila

membahas tentang penjumlahan tentunya mind set guru dalam perencanaan

pembelajaran sampai operasional pembelajaran harus membawa pada konsep

penjumlahan tersebut menuju kecerdasan (penjumlahan dengan konsep

matematika yang benar), menuju melindungi segenap bangsa (bahwa konsep

penjumlahan harus dibawa pada ranah operasional di lapangan untuk kemanfaat

hidup peserta didik dalam kehidupan sehari-hari), menuju kesejahteraan (peserta

  

didik diajak untuk merefeksikan dari hakikat penjumlahan untuk kesejahteraannya

dengan contoh-contoh nyata). Guru biologi apabila membahas tentang

penyerbukan, tentunya mind set guru dalam perencanaan pembelajaran sampai

operasional pembelajaran harus membawa pada konsep penyerbukan pada

kecerdasan (dengan konsep penyerbukan yang benar), menuju melindungi segenap

bangsa (konsep ppenyerbukan harus dibawa pada operasionalissasi kehidupan

nyata dengan menunjukkan rasa terima kasih kita pada makhluk ciptaan Tuhan,

dengan begitu kita dapat menikmati buah-buahan, sayuran, dsb berkat proses

penyerbukan), artinya keseimbangan perlu dijaga melalui konsep pembelajaran

biologi, menuju kesejahteraan (bahwa berkat penyerbukan kesejahteraan dapat

dinikmati masyarakat, transaksi jual beli hasil tanaman, dsb merupakan konsep

pembelajaran biologi).

  Road map pendidikan nasional apabila dapat berjalan seperti apa yang

pemakalah bayangkan, tentunya pembedaan waktu pelaksanaan kurikulum antara

jenis pendidikan umum dengan jenis pendidikan khusus (sekolah luar biasa) tidak

harus terjadi dalam alasan apapun, karena peraturan perundangannyapun tidak

ada perbedaan. Inilah bentuk gugatan pemakalah tentang ketidakadilan pemerintah

untuk memberlakukan pelaksanaan kurikulum sekolah luar biasa, yang selalu akhir

untuk melakukan sosialisasi dan operasionalisasi. Ini akan menjadi ironis ketika

jenis pendidikan umum sudah memahami kurikulum, sementara kurikulum untuk

sekolah luar biasa baru disosialisasikan..ya keburu ganti kurikulum lagi. Inilah

kenyataan yang selalu terjadi pada sekolah luar biasa, KTSP baru pelatihan dan

baru paham tentang KTSP harus terbelalak menghadapi kurikulum 2013 yang sudah

gencar disosialisasikan..nasib..nasib tahun 2014 baru terima sosialisasi! PENUTUP

  Uraian pembahasan telah menuntun pada simpulan bahwa hakikat

pembedaan waktu pelaksanaan kurikulum untuk jalur dan jenjang pendidikan yang

sama, jenis pendidikan yang berbeda merupakan tindakan diskriminatif, lepas

apapun alasan pemerintah. Karena pelaku dan pengembang pendidikan untuk

sekolah luar biasa memiliki potensi yang sama dengan pelaku dan pengembang

jenis pendidikan umum. Harapan yang dimungkinkan untuk berubah adalah kesan

minoritas sekolah luar biasa selalu dinomorduakan harus dihilangkan dengan cara

  

memberikan kesempatan yang sama, maju bersama, dan berjuang bersama

dengan jenis pendidikan umum.

  

Doni Koesoemo A, 2013. Eklektisisme Kurikulum 2013. Kompas, 5 April 2013. Akses

02:35 Wib.

Indah Surya Wardhani,2013. Jarak Idealisme Kurikulum dan Realitas. Kompas, 6 Mei

2013. Akses: 11.25 Wib.

Mardiatmadja, 2013. Gencar, Desakan Tunda Kurikulum 2013. Kompas, 9 April

2013. Undang-Undang Dasar 1945 Hasil Amandemen ke-4. 2004. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Nomor 2 Tahun 1989. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Nomor 20 Tahun 2003.