ISLAM DAN BUDAYA LOKAL Studi terhadap Pemahaman, Keyakinan, dan Praktik Keberagamaan Masyarakat Batak Angkola di Padangsidimpuan Perspektif Antropologi

ISLAM DAN BUDAYA LOKAL Studi terhadap Pemahaman, Keyakinan, dan Praktik Keberagamaan Masyarakat Batak Angkola di Padangsidimpuan Perspektif Antropologi

Sumper Mulia Harahap

IAIN Padang Sidimpuan

Abstract

Ritual is an expression of the religious ceremony system that reflect the relationship between human and spiritual nature. For user or participants, the ritual has an important social function, namely to integrate individuals in the community and to become instruments tend to channel negative energy. In the context of Islam, elements in Panaek Bungkulan scent mystical and superstitious deem incompatible with Sharia rules need to be eliminated, but for the elements of the other during the ritual can still be communicated and do not damage the faith of course still be done. Penetration of religion in the perspective of Panaek Bungkulan does not necessarily all eliminate the ritual practices of Angkola Batak Padangsidimpuan society. Although people accept Islam as a faith, in addition to receiving the teachings of Islam as a faith, in addition to receiving the teachings of modern into building a house, they still do not lose local traditions as custom value in the middle of modern globalisation era. The relationship between Islam and local traditions has formed a new habitat called local Islamic traditions. Dialectic between Islam and culture puts religious and local ritual as a field of contestation; it is such as panaek bungkulan tradition. This tradition is a heritage tradition that has been known to the people of Angkola batak long before Islam entered the batak land.

Keywords: Islam, culture and Panaek Bungkulan

Abstrak

Ritual merupakan ekspresi dari sistem upacara keagamaan yang merefleksikan adanya hubungan manusia dengan alam spiritual. Bagi Pelakunya, ritual memiliki fungsi sosial yang penting, yaitu mengintegrasikan individu-individu dalam masyarakat dan menjadi instrumen untuk menyalurkan energi negatif. Dalam konteks Islam, unsur-unsur dalam Panaek Bungkulan yang beraroma mistik dan tahayul dianggap tidak sesuai dengan aturan syariat perlu dihilangkan, tetapi untuk unsur-unsur ritual yang lain selama masih bisa dikomunikasikan dan tidak merusak akidah tentu masih bisa dilakukan. Penetrasi agama dalam perspektif Panaek Bungkulan tidak serta merta menghilangkan praktik- Ritual merupakan ekspresi dari sistem upacara keagamaan yang merefleksikan adanya hubungan manusia dengan alam spiritual. Bagi Pelakunya, ritual memiliki fungsi sosial yang penting, yaitu mengintegrasikan individu-individu dalam masyarakat dan menjadi instrumen untuk menyalurkan energi negatif. Dalam konteks Islam, unsur-unsur dalam Panaek Bungkulan yang beraroma mistik dan tahayul dianggap tidak sesuai dengan aturan syariat perlu dihilangkan, tetapi untuk unsur-unsur ritual yang lain selama masih bisa dikomunikasikan dan tidak merusak akidah tentu masih bisa dilakukan. Penetrasi agama dalam perspektif Panaek Bungkulan tidak serta merta menghilangkan praktik-

Kata kunci : Islam, Adat, dan Bungkulan

Pendahuluan

transenden itu bukan pula satu-satunya Persoalan interaksi Islam dan budaya paradigma yang membentuk atau lokal selalu melibatkan pertarungan atau mempengaruhi manusia. Manusia melalui ketegangan antara agama sebagai doktrin kemampuan nalar yang menghasilkan yang bersifat absolut yang berasal dari pengetahuan dari pengalaman Tuhan dengan nilai-nilai budaya yang empirisnya, membangun konstruksi bersifat empiris. Dalam hal ini, agama realita sendiri yang mungkin khas dan memberikan sejumlah konsepsi kepada berbeda (distinctive) vis a vis agama. manusia mengenai konstruk realitas yang Konstruksi realitas yang bersifat didasarkan bukan pada pengetahuan dan kemanusiaan inilah yang kemudian kita pengamalan empiris kemanusiaan itu kenal sebagai tradisi adat atau budaya. sendiri, melainkan dari otoritas Tradisi atau adat ini tentu saja dapat ketuhanan. Tetapi konstruk realitas yang dipengaruhi oleh konstruksi realitas bersifat transenden tidak bisa sepenuhnya transenden melalui interaksi tertentu, dipahami manusia untuk diwujudkan. tetapi ketegangan tercipta ketika kedua Karena tak jarang konsepsi itu konstruksi realitas itu bersikukuh disampaikan melalui simbolisme dan mempertahankan eksistensinya masing- ambiguitas yang pada gilirannya masing. Sebaliknya, ketegangan itu menciptakan perbedaan-perbedaan menyurut ketika salah satu pihak interpretasi dan pemahaman di antara memberikan akomodasi apakah secara individu-individu atau kelompok. Hal ini sukarela atau terpaksa kepada pihak lain. merupakan ketegangan ekstra yang sulit Dilihat dari segi ini, maka ketegangan dihindari (Azyumardi Azra, 1999: 229- yang terjadi di dalam interaksi Islam dan 230).

budaya lokal boleh jadi bersifat perenial, Sementara itu konstruksi realitas terus berkelanjutan. Tetapi hal ini tidak budaya lokal boleh jadi bersifat perenial, Sementara itu konstruksi realitas terus berkelanjutan. Tetapi hal ini tidak

pembahar uan dalam banyak segi 1 berlangsung secara dinamis. merefleksikan aspirasi individu-individu

Jika melihat corak keberagamaan untuk mendekatkan konstruksi realitas Islam di Indonesia dari satu sudut kemanusiaan dengan konstruksi realitas pandang saja, hanya akan menjadikan transenden (Azyumardi Azra, 1999: 229- pandangan terdistorsi dan tidak utuh. Ada 230).

kompleksitas, dan pernik-pernik yang Varian Islam lokal tersebut- untuk butuh pengamatan yang lebih dalam, yang selanjutnya penulis menyebutnya Islam tidak bisa dilihat sepintas lalu. Di sana kultural terus lestari dan mengalami kadang terdapat pergulatan yang cukup perkembangan di berbagai sisi. Islam serius antara Islam dan kepercayaan- Kultural tetap menjadi ciri khas dari kepercayaan pra-Islam, negosiasi Islam fenomena keberislaman masyarakat dan budaya lokal, serta proses saling Indonesia. Hal ini tak lepas dari mempengaruhi satu sama lain yang heterogenitas dan kemajemukan bangsa kadang berwujud dalam pola sinkretis, Indonesia. Indonesia sebagai negara konflik, atau pola-pola lain yang kadang plural, tidak hanya beragam dari segi sulit untuk didefinisikan (Mangun agama, keyakinan, budaya, suku bangsa, Budiyanto, 2008: 165). dan juga bahasa. Negeri ini juga multi-

Islam Batak merupakan salah satu etnis (Dayak, Kutai, Banjar, Makassar, varian Islam kultural yang ada di Bugis, Jawa, Sunda, Batak, Madura, Aceh, Indonesia setelah terjadinya dialektika Minang, Flores, Bali, dan seterusnya), dan antara Islam dengan budaya Batak juga menjadi medan pertarungan berbagai pengaruh multi-mental dan ideologi (India, Cina, Belanda, Portugis,

1 Jika dianalisa lebih jauh, Islam pun merupakan

Hinduisme, Budhisme, Konfuisme, produk lokal yang diuniversalkan dan ditransendensi. Islam, Kristen, Kapitalisme, sosialisme, Dalam konteks Arab, yang dimaksud Islam sebagai

dan seterusnya) (Asman Aziz, 2009: 104). produk lokal adalah Islam yang lahir di Arab, tepatnya

di daerah Hijaz untuk menjawab persoalan-persoalan

Penyebaran Islam ke berbagai wilayah di yang ada dan berkembang saat itu. Islam Arab itu dunia ini, menyebabkan corak dan varian kemudian berkembang ketika bertemu dengan

Islam memiliki kekhasan dan keunikan kebudayaan lain, termasuk Indonesia. Maka, dalam hal

ini, Islam senantiasa mengalami dinamisasi kebudayaan

tersendiri daripada Islam yang dan peradaban. Baca, Masnun Thahir (2007: 174).

Angkola. Proses dialektika tersebut pada gilirannya menghasilkan Islam Batak yang unik, khas, dan esoterik, dengan ragamnya tradisi-tradisi yang sudah disisipi nilai-nilai Islam. Pada perkembangan selanjutnya, Islam dan tradisi Batak menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan meski masih dapat dibedakan satu sama lain.

Tradisi Batak Angkola yang Islami terpelihara kelestariannya hingga kini. Namun, bukan berarti tanpa perubahan sama sekali. Di berbagai sisi, terdapat beberapa perubahan yang menunjukkan adanya dinamisasi Islam kultural yang tumbuh dan berkembang di Batak Angkola. Sebab, pada dasarnya perubahan memang suatu hal yang niscaya. Hal ini dapat dipahami karena perubahan senantiasa terjadi, bahkan hampir dalam semua ruang kehidupan manusia, baik menyangkut persoalan politik, sosial, budaya, maupun ekonomi. Perubahan dimaksud bisa dilatari oleh perkembangan pengetahuan yang dimiliki oleh manusia ataupun lingkungan yang mengitarinya, yang kemudian dapat mempengaruhi kehidupan manusia.

Kajian ini ber upaya untuk mengungkap dan memaparkan dinamika Islam kultural yang ada, tumbuh, dan berkembang di Batak Angkola. Seberapa besar perubahan yang terjadi dan faktor apa yang melatari perubahan tersebut. Dari kajian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan memperkaya khazanah keilmuan, khususnya yang membahas dialektika antara Islam dan

budaya lokal Batak Angkola. Agama dalam kaitannya dengan manusia, tidak seyogianya dipahami sebagai seperangkat doktrin dan sistem moral an sich, yang terpisah dari kehidupan manusia. Agama sebagaimana dipahami Zamakhsyari Dhofier dan Abdurrahman Wahid (1978: 27), tidak mengandung nilai-nilai dalam dirinya, tetapi mengandung ajaran-ajaran yang menanamkan nilai-nilai sosial pada penganutnya, sehingga ajaran-ajaran agama tersebut merupakan salah satu elemen yang membentuk sistem nilai budaya. Dalam kerangka ini, agama memberikan sumbangsih yang signifikan dalam sistem moral maupun sosial dalam masyarakat. Nilai-nilai agama dijadikan pedoman dalam berbagai tindakan dan pola perilaku manusia. Sehingga, pada perkembangannya, nilai-nilai agama dikonstruk oleh penganutnya menjadi nilai-nilai budaya, yang dipakai dan dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat dimaksud.

Secara eksplisit, Geertz (1981) memahami agama sebagai sistem kebudayaan. Dalam pandangan Geertz agama didefinisikan sebagai pola bagi kelakuan yang terdiri dari serangkaian aturan-aturan, resep-resep, rencana- rencana, petunjuk-petunjuk, yang digunakan manusia untuk mengatur tingkah lakunya. Kebudayaan dengan demikian juga dilihat pengorganisasian pengertian-pengertian yang tersimpul dalam simbol-simbol yang berkaitan dengan ekspresi manusia (M. Ali al-

Humaidy, 2007: 278). Karena itu, Geertz partikular, relatif, dan temporer. Agama kemudian memahami agama tidak saja tanpa kebudayaan memang dapat sebagai seperangkat nilai di luar manusia, bekembang sebagai agama pribadi, tetapi tapi juga merupakan sistem pengetahuan tanpa kebudayaan agama sebagai dan sistem simbol yang memungkinkan kolektivitas tidak akan mendapat tempat terjadinya pemaknaan (Nur Syam, 2007: (Kuntowijoyo, 2001: 196). 13).

I Ketut Gobyah (http:// Sementara agama sebagai sistem www.balipos.co.id) mengatakan bahwa simbol, dalam agama terdapat simbol- budaya (kearifan lokal) adalah simbol tertentu untuk mengaktualisasikan kebenaran yang telah mentradisi atau ajaran agama yang dipeluknya, baik ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal simbol-simbol dimaksud ber upa merupakan perpaduan antara nilai-nilai perbuatan, kata-kata, benda, sastra, dan suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang sebagainya. Sujud misalnya, merupakan ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai sebentuk simbolisasi atas kepasrahan dan keunggulan budaya masyarakat setempat penghambaan penganutnya pada maupun kondisi geografis dalam arti luas. pencipta. Sujud merupakan simbol Kearifan lokal merupakan produk budaya totalitas kepasrahan hamba, dan masa lalu yang patut secara terus-menerus pengakuan secara sadar akan dijadikan pegangan hidup. Meskipun kemahabesaran Allah. Dalam hal ini, bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung sujud yang terdapat dalam shalat di dalamnya dianggap sangat universal. merupakan bagian dari ritual keagamaan

S. Swarsi Geriya (http:// dalam kehidupan masyarakat beragama www.balipos.co.id) berpendapat bahwa (M. Ali al-Humaidy, 2007: 282-284).

budaya secara konseptual, kearifan lokal, Dari itu dapat dipahami bahwa antara dan keung gulan lokal merupakan kebudayaan dan agama masing-masing kebijaksanaan manusia yang bersandar mempunyai simbol-simbol dan nilai pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara, tersendiri. Agama adalah simbol yang dan perilaku yang melembaga secara melambangkan nilai ketaatan kepada tradisional. Kearifan lokal adalah nilai Tuhan. Kebudayaan juga mengandung yang dianggap baik dan benar sehingga nilai dan simbol supaya manusia bisa dapat bertahan dalam waktu yang lama hidup di dalamnya. Agama memerlukan dan bahkan melembaga. sistem simbol, dengan kata lain agama

Dialog kreatif antara Islam dan memerlukan kebudayaan agama. Tetapi budaya lokal tidaklah berarti keduanya perlu dibedakan. Agama adalah mengorbankan Islam, dan menempatkan sesuatu yang final, universal, abadi Islam kultural sebagai hasil dari dialog (parennial) dan tidak mengenal perubahan tersebut, sebagai jenis Islam yang (absolut). Sedangkan kebudayaan bersifat rendahan dan tidak bersesuaian dengan

Islam yang murni, yang ada dan berkembang di Jazirah Arab, tapi Islam kultural harus dilihat sebagai bentuk varian Islam yang sudah berdialektika dengan realitas di mana Islam berada dan berkembang. Menjadi Islam, tidak harus menjadi Arab. Islam memang lahir di Arab, tetapi tidak hanya untuk bangsa Arab. Proyek Arabisme merupakan proyek politik yang berkedok purifikasi Islam yang berusaha menjadikan Islam sebagai sesuatu yang tunggal dan seragam (Abdurrahman Wahid, 2009: 19-20). Dalam pemahaman mereka, Islam kaffah adalah Islam yang ada dan berkembang di Arab, sehingga seluruh komunitas Islam har us mengikuti pola keberagamaan dan keyakinan yang mereka anut dan praktikkan. Tradisi dan adat-istiadat setempat bagi mereka merupakan bid’ah (sesat), yang dapat mencemarkan ajaran Islam yang sesungguhnya.

Islam mempertimbangkan kebutuhan lokal dalam merumuskan hukum-hukum agama tanpa mengubah hukum itu sendiri. Juga bukan berarti meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar norma- norma itu menampung kebutuhan- kebutuhan dari budaya dengan menggunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman nash dengan tetap memberi peranan kepada ushul fiqh dan kaidah fiqh (Abdurrahman Wahid, 2001b: 111).

Ketika Abdurrahman Wahid (biasa dipanggil Gusdur) menyentak kesadaran masyarakat muslim dengan isu mengganti

“Assalamu’alaikum” dengan ucapan “selamat pagi” (Budhy Munawwar Rahman, 1994: 515), sikap pro dan kontrapun bermunculan. Kemudian muncul pertanyaan apakah ada ketegangan antara agama yang cenderung permanen dengan budaya yang dinamis? Bagaimana hubungan ajaran agama yang universal dengan setting budaya lokal yang melingkupinya? Lalu, bagaimana sikap masyarakat dalam mengakomodasi tradisi dan nilai-nilai Islam. Pada saat yang sama, dalam menerjemahkan konsep- konsep langitnya ke bumi, Islam mempunyai karakter dinamis, elastis dan akomodatif dengan budaya lokal, selama tidak bertentangan dengan prinsip- prinsip Islam itu sendiri. Permasalahannya terletak pada tata cara dan teknis pelaksanaan. Inilah yang diistilahkan Gus Dur dengan “pribumisasi Islam”.

Gus Dur menilai antara agama (Islam) dan budaya mempunyai independensi masing-masing, tetapi keduanya memiliki wilayah tumpang tindih. Tumpang tindih agama dan budaya akan terjadi terus menerus sebagai suatu proses yang akan memperkaya kehidupan dan membuatnya tidak gersang. Gagasan tentang pribumisasi Islam menjadi sangat urgen. Hal demikian karena dalam pribumisasi Islam tergambar bagaimana Islam sebagai ajaran normatif yang berasal dari Tuhan diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-masing. Bagi Abdurrahman

Wahid (2001a: xxvii), Arabisasi atau proses mengidentifikasi diri dengan budaya Timur Tengah adalah tercerabutnya kita dari akar budaya kita sendiri. Lebih dari itu, Arabisasi belum tentu cocok dengan kebutuhan.

Pribumisasi bukan upaya menghindarkan timbulnya perlawanan dari kekuatan budaya-budaya setempat, akan tetapi justru agar budaya itu tidak hilang. Karena inti pribumisasi Islam adalah kebutuhan bukan untuk menghindarkan polarisasi antara agama dan budaya. Pribumisasi Islam bertujuan untuk menjadikan agama dan budaya tidak saling mengalahkan, melainkan berwujud dalam pola nalar keagamaan yang tidak lagi mengambil bentuk yang otentik dari agama, serta ber usaha mempertemukan jembatan yang selama ini memisahkan antara agama dan budaya. Dalam praktiknya, konsep pribumisasi Islam ini dalam semua bentuknya bertujuan untuk memberikan peluang bagi keanekaragaman interpretasi dalam praktik kehidupan beragama di setiap wilayah yang berbeda-beda. Lebih dari itu pribumisasi Islam juga bukanlah bentuk dari “Jawanisasi” atau sinkretisme, sebab pribumisasi Islam hanya mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal dalam merumuskan hukum-hukum agama, tanpa mengubah hukum itu sendiri. Juga bukan upaya meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh berbagai pemahaman.

Sedang sinkretisme adalah usaha memadukan teologi atau sistem kepercayaan lama tentang sekian banyak hal yang diyakini sebagai kekuatan ghaib berikut dimensi eskatologisnya dengan Islam yang lalu membentuk panteisme (Abdurrahman Wahid, 2001b: 19).

Islam masuk dan berkembang di tanah Batak, sebagaimana juga di Jawa melalui transfor masi kultural yang dilakukan oleh para penyebar Islam. Dengan demikian, Islam yang ada dan berkembang di Batak adalah Islam kultural, yang berbasis pada tradisi masyarakat. Tradisi-tradisi lokal Batak Angkola yang sudah ada sejak zaman pra- Islam, dimodifikasi dan kemudian disisipi nilai dan spirit Islam agar menjadi budaya yang Islami. Tradisi-tradisi tersebut tetap lestari hingga kini. Hal ini dimungkinkan lantaran pola keberagamaan yang dianut oleh masyarakat Batak Angkola berbasiskan pada nilai-nilai tradisi yang dalam hal ini dikembangkan oleh Nahdlatul Ulama.

Nahdlatul Ulama (kemudian disebut NU) bagi masyarakat Batak Angkola tidak hanya dipandang sebagai organisasi sosial keagamaan, tapi sebagai paham keagamaan itu sendiri. Ajaran-ajaran yang ditradisikan dan dipraktikkan di kalangan NU merupakan ajaran Islam yang dianut dan dipraktikkan oleh masyarakat. Hing ga pada umumnya, pada masyararakat awam, sulit membedakan antara Islam dan NU. Fanatisme ke-NU- an masyarakat Batak Angkola membawa efek ganda dalam pola keberagamaan mereka. Satu sisi, Islam kultural dapat Nahdlatul Ulama (kemudian disebut NU) bagi masyarakat Batak Angkola tidak hanya dipandang sebagai organisasi sosial keagamaan, tapi sebagai paham keagamaan itu sendiri. Ajaran-ajaran yang ditradisikan dan dipraktikkan di kalangan NU merupakan ajaran Islam yang dianut dan dipraktikkan oleh masyarakat. Hing ga pada umumnya, pada masyararakat awam, sulit membedakan antara Islam dan NU. Fanatisme ke-NU- an masyarakat Batak Angkola membawa efek ganda dalam pola keberagamaan mereka. Satu sisi, Islam kultural dapat

daunnya yang melambangkan harapan Ada beberapa tradisi Islam Batak yang agar pemilik rumah itu menyenangkan banyak melibatkan Malim dan komunitas dan erat bersatu padu dengan kerabat- masyarakat, yaitu tradisi panaek bungkulan kerabatnya, bagaikan rimbun dan (upacara memasang bubungan rumah). rapatnya pohon-pohon tebu. Hal ini membuktikan kuatnya nilai-nilai

Sisa kepercayaan masa lalu yang persaudaraan dalam masyarakat Batak berakar dari animisme, dinamisme tidak Angkola. Nilai kebersamaan senantiasa sepenuhnya hilang, tetapi justru tercer min dalam seluruh proses mewarnai identitas keislaman mereka. kehidupan, termasuk ketika mendirikan Dari penelusuran sejarah yang dilakukan, rumah baru. Setiap tahapan diawali ditemukan bahwa Islam tidak terlepas dari dengan upacara yang membuktikan adanya pengaruh dari kepercayaan lokal. bahwa seluruh proses mendirikan rumah Sehing ga, ketika Islam datang dan baru berjalan sesuai dengan hasil mufakat bertemu dengan kultur yang sudah ada bersama. Salah satu tahap yang paling sebelumnya, saling mempengaruhi antara penting adalah panaek bungkulan.

yang satu dengan yang lainnya. Pada Pada saat melakukan ritual panaek kenyataannya keberadaan manusia dan bungkulan , ada empat bahan sesajian yang agama merupakan dua hal yang tidak disediakan, yaitu; Pertama, pisang sitabar dapat dipisahkan. Selur uh agama atau pisang sitambatu di daerah Jawa merupakan perpaduan kepercayaan dan dikenal dengan nama pisang kepok sejumlah upacara. Kepercayaan beragama lengkap dengan pohonnya. Masyarakat adalah sekumpulan jawaban yang Batak Angkola menyakini bahwa pisang didasarkan atas ilmu ketuhanan atau sitabar melambangkan daya tahan untuk penafsiran atas kekuatan-kekuatan gaib hidup dan dapat memberikan keturunan. terhadap berbagai pertanyaan mendasar Hal ini merupakan bentuk pengharapan yang ditimbulkan oleh akal pikiran agar penghuni rumah itu kelak memiliki manusia, demikian dikatakan Francisco daya tahan hidup yang kuat dan memiliki Jose Moreno (1985: 121). keturunan yang terus berkembang. Kedua,

Suku Batak Angkola sebagai salah kelapa yang tumbuh (bertunas), seperti satu suku Batak yang berasal dari Tapanuli bibit kelapa yang menjadi lambang Selatan memahami bahwa adat adalah Suku Batak Angkola sebagai salah kelapa yang tumbuh (bertunas), seperti satu suku Batak yang berasal dari Tapanuli bibit kelapa yang menjadi lambang Selatan memahami bahwa adat adalah

Kajian tentang agama akan terus Rumusan Masalah

berkembang karena unversalitas agama Agar lebih terarahnya kajian ini, dalam masyarakat, dan kajian tentang penulis membatasi dengan rumusan masyarakat tidak akan lengkap tanpa masalah sebagai berikut: melihat agama sebagai salah satu

a. Bagaimana proses integrasi hukum faktornya. Antropologi sebagai ilmu yang

Islam dengan tradisi adat Batak mempelajari manusia menjadi sangat

Angkola?

penting untuk memahami agama Islam,

b. Bagaimana nilai-nilai keagamaan yang karena konsep manusia sebagai khalifah

terkandung dalam tradisi adat Batak merupakan simbol betapa pentingnya

Angkola pada masyarakat posisi manusia dalam memahami agama.

Padangsidimpuan? Persoalan utama memahami agama

adalah bagaimana memahami manusia Kajian Terdahulu

dan kelompoknya. Pembahasan dalam kajian agama dan Kajian ini lebih melihat kepada budaya lokal telah banyak ditemukan dan bagaimana hukum Islam berhadapan dikaji dalam berbagai kajian atau jurnal dengan budaya lokal adat Batak Angkola di antaranya: serta melihat bagaimana konstruksi

JC. Vergouwen (2004), The Social hukum Islam berintegrasi dengan budaya Organisation and Customary Law of the Toba Batak Angkola di Padangsidimpuan Batak of Northern Sumatra. Kajian ini sebagai wajah Islam yang menyatu dalam menguraikan kehidupan masyarakat adat-istiadat. Pertemuan hukum Islam Batak Toba sejak tahun 1927-1930. Buku dan budaya lokal Batak Angkola dari hasil riset ini menjelaskan konsep- melahirkan integrasi antara Islam dan konsep dasar mengenai kepercayaan asli budaya Batak Angkola sesuai dengan Batak Toba yang terkait dengan tondi dan falsafah budaya hombar adat dohot ibadat sistem kekerabatan. Pada sisi lain buku yang berarti adat dan ibadah saling ini juga menjelaskan sifat otoritas kepala beriringan, walaupun budaya lokal adat yang memuat aturan-aturan dalam masyarakat Batak Angkola belum kehidupan bersama. diterima secara keseluruhan oleh Hukum

Bungaran Antonius Simanjuntak Islam. Salah satu budaya yang sudah (2009), Konflik Status dan Kekuasaan Orang

Batak Toba. Disertasi ini menjelaskan ini mengungkap salah satu aspek bahwa konflik yang terjadi pada religiusitas nelayan Mandar, yakni masyarakat Batak Toba bukan hanya menyangkut ritual nelayan. Ritual nelayan perseorangan, tetapi juga konflik dalam Mandar adalah ekspresi dari system religi gereja Batak. Kajian ini menyimpulkan lokal yang telah mengalami percampuran penyebab konflik bersumber dari dengan nalar Islam seperti tradisi pimpinan gereja (Pendeta) yang makkuliwa dan maqappu yaitu ritual rutin mempertahankan jabatannya dan nelayan sebagai persiapan sebelum melaut pemaksaan pergantian pendeta oleh Puck untuk melaksanakan operasi pimpinan (Ephous). Background konflik penangkapan ikan atau telur ikan terbang. biasanya terkait dengan harta gereja

Fauzie Nurdin (2009), Integrasi Islam maupun keuangan yang berlatar dan Nilai-nilai Filosofi Budaya Lokal Pada hasangapon dan hamoraon, sehing ga Pembangunan propinsi Lampung . Jurnal ini lembaga adat pada dasarnya diharapkan menyebutkan bahwa integrasi Islam dan mampu mendamaikan konflik yang nilai-nilai filosofi budaya lampung terjadi dalam gereja dan kehidupan sehari- mengandung nilai-nilai etis, moral, hari.

spiritual, material dan non material yang Puji Kurniawan (2014), Mengakhiri dimaknai dalam sistem sosial budaya Pertentangan Budaya dan Agama. Buku ini masyarakat Pesawangan Lampung. Nilai- berawal dari tesis di UIN Syarif nilai Islam yang terintegrasi dengan Hidayatullah Jakarta. Percampuran Islam upacara adat Lampung terefleksi dalam dan Tradisi Batak Angkola di filsafat Piil Pesenggiri sebagai pandangan Padangsidimpuan menunjukkan bahwa hidup yang dinamis dalam membangun Islam dan tradisi lokal sebagai kesatuan Provinsi Lampung. yang utuh dalam kehidupan masyarakat.

Muhammad Djakfar (2012), Tradisi Hal ini dilihat dari bentuk kepribadian Toron Etnis Madura, Memahami Pertautan masyarakat dalihan natolu. Dialetika agama Agama, Budaya dan Etos Bisnis . Jurnal Ini dan budaya menempatkan religi sebagai menjelaskan bahwa tradisi toron (pulang medan kontestasi, seperti tradisi marpege- kampung) telah mentradisi di kalangan pege dan mangupa. Kedatangan Islam etnis Madura dengan berbagai motifnya. memberikan pengaruh terhadap nilai-nilai Tradisi toron memiliki pertautan antara adat. Pergeseran nilai-nilai adat pasca nilai agama, budaya, dan etos bisnis. masuknya Islam dari kepercayaan lokal Kajian ini menunjukkan di kalangan kenilai keagamaan memberi warna santri tradisi toron memperingati maulud tersendiri tanpa mengubah bentuk sitem untuk menghormati Rasul dan ibarat haul adat.

bagi kedua orang tua mereka. Non Santri Arifuddin Ismail, Agama Nelayan mengadakan maulud sebagai tawasul untuk Pergumulan Islam dan Budaya Lokal . Kajian menebus dosa, kemudian peringatan bagi kedua orang tua mereka. Non Santri Arifuddin Ismail, Agama Nelayan mengadakan maulud sebagai tawasul untuk Pergumulan Islam dan Budaya Lokal . Kajian menebus dosa, kemudian peringatan

dipisahkan dari ruang lingkup budaya, M. Bambang Pranowo (2011), sehingga agama menjadi pedoman dalam Memahami Islam Jawa. Buku ini berawal setiap tindakan. Falsafah di atas juga dari disertasi di Monash University. mencerminkan pandangan masyarakat Kajian Bambang Pranowo membuktikan Batak Angkola mengenai fungsi Islam bahwa kategorisasi Jawa Clifford Geertz dalam kehidupan mereka, yakni: Pertama, itu lemah. Peng gunaan santri dan pedoman hidup yang paling dasar, abangan dalam mengkaji kehidupan sosial sumber keselamatan dan kesejahteraan masyarakat Jawa harus dibaca sebagai hidup. Kedua, Islam sebagai sumber data lokalitas bukan sebagai laporan pemahaman kehidupan yang universal tentang Jawa yang ada pada saat ini secara dan bersifat primordial, Islam merupakan umum. Bambang menambahkan identitas yang esensial dan primordial bagi pandangan keagamaan masyarakat Jawa masyarakat. harus dilihat sebagai proses yang dinamis

Pandangan yang demikian bisa saja ketimbang statis. Pada perspektif benar, apalagi jika mengacu pada salah keagamaan, setiap individu dianggap satu sumber pengetahuan Islam berada pada proses “menjadi” (becoming) masyarakat Sasak, sebagaimana yang bukan “mengada” (being). Bambang dikemukakan ustadz Yusuf (2015) bahwa Pranowo menilai Geertz terperangkap dengan pengetahuan agama masyarakat di tradisi kajian antropologi konvensional yang samping didapat melalui pengajian- cenderung mencermati “tradisi kecil” pengajian ming guan dan pengajian dibandingkan pola yang lebih general.

umum, juga didapat melalui praktik dan pengalaman budaya Batak Angkola yang

Dimensi-dimensi Keagamaan

dilaksakan sehari-hari, terutama saat

Masyarakat Batak Angkola di

pelaksanaan acara-acara adat, seperti

Padangsidimpuan

pernikahan dan kematian. Tipologi Keyakinan dan tradisi keberislaman

Menurut Ustadz Yusuf, justr u Masyarakat Batak Angkola Padangsidimpuan pengetahuan agama bagi masyarakat Pemahaman keislaman di sini Batak Angkola khususnya kebanyakan dimaknai sebagai bentuk pengetahuan didapat melalui pengajian dan atau wawasan keislaman masyarakat pengalaman pelaksanaan tata Budaya Batak Angkola Padangsidimpuan.

Adat Batak itu sendiri. Pemaknaan Bagi Masyarakat Batak Angkola, tersebut juga bisa dilihat dari pandangan Islam adalah merupakan agama yang bahwa tata-budaya adat Batak Angkola, akomodatif terhadap budaya lokal. falsafah hidup semuanya bersumber pada

Islam. Jika ada yang bersumber dari luar menyebarkan Islam ke seluruh penjuru Islam, maka ia tidak dihapus atau diwarnai dunia, yang sampai ke lapisan-lapisan dengan Islam, atau diislamkan. Seperti sosial yang tidak bisa dijangkau oleh Budaya Mangupa dan Panaek Bungkulan yang konsep ajaran Islam yang asli yang terlihat berasal dari kepercayaan lokal (Sipele Begu). agak kaku dan for mal. Para sufi

Dengan demikian, akulturasi Islam melakukan dakwah dengan cara damai, dengan budaya Lokal Batak Angkola akulturatif, dan adaptif dengan budaya sudah terjadi sejak awal, sehingga Islam lokal dan kepercayaan masyarakat yang dan budaya Batak Angkola menjadi dua telah lebih dulu eksis. Konsekuensi dari hal yang inheren dalam kehidupan metode dakwah yang demikian adalah masyarakat. Namun, ini masih terkait Islam seringkali mengarah pada bentuk dengan budaya dalam bentuk pandangan sinkretik. Sebagaimana yang dikemukakan hidup. Bagaimana dengan budaya dalam Gellner, konsekuensi Islam yang dibawa bentuk budaya seni, baik seni tari, seni oleh kaum sufi adalah munculnya Folk sastra, seni musik, dan ritual adat? Islam , yakni literasi Islam dipergunakan Budaya-budaya ini mungkin tidak lahir untuk masalah-masalah magis daripada dari falsafah hidup tersebut, melainkan sebagai ilmu pengetahuan. bisa jadi datang dari luar, atau dibentuk oleh kepercayaan-kepercayaan dan Dalihan Natolu Sebagai Sistem Sosial agama-agama yang pernah dianut Masyarakat Batak Angkola di masyarakat Batak.

Padangsidimpuan

Ajaran satu-satunya kelurusan atau Masyarakat Batak Angkola agama parmalim, seiring dengan merupakan salah satu sub Suku Batak perkembangan sejarah masyarakat Batak, yang memiliki seperangkat struktur dan kemudian mengalami reduksi dan distorsi sistem sosial yang diakui adat secara turun oleh kepercayaan-kepercayaan yang temurun sebagai warisan yang berasal dari pernah ada pada masyarakat Batak, leluhur. Struktur dan sistem sosial seperti animisme dan dinamisme. Agama tersebut mengatur kehidupan Hindu dan Budha juga berperan dalam bermasyarakat, baik dalam tata hubungan membentuk keyakinan masyarakat Batak. sesama anggota masyarakat, kerabat Setelah itu baru Islam datang, sehingga dekat, kerabat secara luas, saudara ajaran agama Hindu dan Budha masih semarga, saudara beda marga, serta dianut masyarakat tersebut terhadap masyarakat umum. Sruktur dan sistem budaya Batak, sehingga perlu dilakukan sosial masyarakat Batak disebut dengan islamisasi.

istilah dalihan natolu (Basa Sahala Harahap, Dalam pandangan Robert N. Bellah wawancara , 11 Oktober 2015). dan Geertz (1970: 156-157), sufisme

Kata dalihan dalam bahasa Batak memiliki peran yang besar dalam artinya tungku, sedangkan natolu ada tiga.

Secara sederhana dalihan natolu adalah tiga kandungnya Siboru Pareme. Akibat dari buah tung gu, dan ada juga yang peristiwa marsumbang Saribu Raja lari ke menyebutnya dengan tunggu berkaki tiga hutan, sementara Siboru Pareme diusir yang digunakan sebagai tempat dari kampung Sianjurmula-mula. meletakkan alat memasak makanan.

Pada Masa berikutnya terjadi Ketiga tungku letaknya persis seperti peristiwa yang sama pada Raja Lotung segitiga sama sisi. Istilah itu kemudian yang mengawini ibu kandungnya Siboru diadopsi dan menjadi simbol yang Pareme dan menimbulkan jolak sosial dan bermakna filosofis. Masyarakat Batak menyebabkan perpecahan pada diibaratkan sebagai kuali besar, maka yang keturunan Tatea Bulan. Belajar dari menjadi tungkunya adalah dalihan natolu. peristiwa memalukan tersebut keturunan Menurut masyarakat Batak Angkola Tatea Bulan dan Raja Isumbaon dalihan natolu mengandung makna tiga menggagas norma adat dengan suatu kelompok masyarakat yang merupakan konsep dasar falsafah, tentang batasan- dasar, tumpuan, dan penyeimbang dalam batasan hubungan kekerabatan antar menjalankan roda kehidupan sesama keturunan mereka. Aturan ini bermasyarakat (Gultom Rajamarpondang, tidak dibuat secara tertulis melainkan 1992: 377; Bungaran Antonius secara tutur atau lisan dan menjadi falsafah Simanjuntak, 2006: 99; Irapas, 1975: 5). yang kemudian dikenal dengan istilah

Dalihan natolu adalah sistem sosial dalihan natolu (Ibrahim Gultom, 2010: 60; masyarakat yang menyangkut WM Hutagalung, 1991: 36-37). kekerabatan dalam menjalankan segala

Konsep dalihan natolu bertujuan aktivitas yang bertalian dengan adat. membentuk sistem kekerabatan yang Artinya, setiap kegiatan yang menjadi patuh kepada adat, meskipun pada saat aktivitas masyarakat Batak harus berasas yang bersamaan masyarakat Batak belum kepada nilai falsafah dalihan natolu dan memeluk agama secara khusus sebagai menjadi rujukan dalam bersikap dan panutan. Nilai-nilai etika tumbuh secara berperilaku dalam kehidupan sosial.

naluriah dan memutuskan larangan Sejarah lahirnya dalihan natolu tidak perkawinan terhadap saudara sedarah dan diketahui secara pasti, tetapi masyarakat ibu kandung. Peraturan yang berupa batak berpendapat bahwa lahirnya dalihan anjuran dan larangan dibungkus dalam natolu memiliki proses sejarah yang satu kemasan yang disebut adat. Peraturan panjang dan dilatarbelakangi dengan ini terus menjalar, berkembang, dan terjadinya peristiwa krisis sosial mendarah daging secara turun temurun kekerabatan secara ber untun pada kepada keturunan Batak sampai sekarang. generasi ketiga setelah Siraja Batak. Suku Batak yang menikahi wanita satu Peristiwa marsumbang (kawin incest) antara marga disebut naso maradat (tidak beradat), tuan Saribu Raja dengan iboto atau saudara dan hukuman terberat diusir dari naluriah dan memutuskan larangan Sejarah lahirnya dalihan natolu tidak perkawinan terhadap saudara sedarah dan diketahui secara pasti, tetapi masyarakat ibu kandung. Peraturan yang berupa batak berpendapat bahwa lahirnya dalihan anjuran dan larangan dibungkus dalam natolu memiliki proses sejarah yang satu kemasan yang disebut adat. Peraturan panjang dan dilatarbelakangi dengan ini terus menjalar, berkembang, dan terjadinya peristiwa krisis sosial mendarah daging secara turun temurun kekerabatan secara ber untun pada kepada keturunan Batak sampai sekarang. generasi ketiga setelah Siraja Batak. Suku Batak yang menikahi wanita satu Peristiwa marsumbang (kawin incest) antara marga disebut naso maradat (tidak beradat), tuan Saribu Raja dengan iboto atau saudara dan hukuman terberat diusir dari

Konsep dalihan natolu sejalan dengan pada sebagian masyarakat Batak muslim teori Levi Strauss (1977) tentang segitiga sudah mulai bergeser, hal ini disebabkan kuliner (triangle culinaire). Menurut Strauss karena pengaruh agama.

salah satu syarat dalam pelaksanaan horja Unsur-unsur dalihan natolu terdiri dari tiga perkawinan harus dihadiri tiga kelompok kelompok yaitu: pertama, kelompok pertalian atau sejumlah kelompok yang dapat dibagi darah yakni semarga atau dongan sabutuha dan tiga, yaitu pemberi istri harus lebih tinggi dalam istilah Batak Angkola disebut dengan dari yang menerima, walaupun pada Kahanggi. Kedua, adalah kelompok karena prinsipnya ketiga unsur memiliki posisi hubungan perkawinan yakni kelompok yang sama dalam konsep dalihan natolu. pemberi boru (anak perempuan yang

Secara praktik mora menempati dijadikan istri atau kelompok mertua) dalam kedudukan tertinggi dalam sistem sosial istilah batak Angkola disebut mora. Ketiga, masyarakat Batak dan lebih istimewa dari kelompok penerima boru (anak perempuan kedudukan kelompok dalihan lainnya. yang dijadikan istri/menantu) dalam istilah Besarnya pengaruh dan kedudukan mora Batak Angkola disebut dengan anak boru dan dibuktikan dalam pesta adat. Kelompok kelompok yang ketiga ini juga terbentuk mora dipandang sebagai sumber restu. karena hubungan perkawinan (Parsadaan Penghormatan terhadap mora akan Marga Harahap Dohot Anak Boruna ,1993: memberikan keselamatan jasmani, materi, 85).

bahkan rohani. Mora dalam kehidupan Ketiga unsur dalihan natolu menjadi sosial orang Batak adalah posisi sangat satu kesatuan, saling terikat dan memiliki dihormati, disanjung dan disegani. Mora fungsi serta peran penting dalam tataran tidak boleh diperintah, disuruh dan nilai-nilai budaya Batak, baik dalam idea dipaksa oleh anak boru (Bungaran maupun dalam pengamalan. Walaupun Antonius Simanjuntak, 2009: 80). tiga unsur ini memiliki nama atau istilah

Keberadaan mora, Kahanggi, dan anak penyebutan yang berbeda pada setiap sub boru merupakan analogi keberadaan tiga suku Batak seperti, Batak Toba misalnya dewata yaitu Batara Guru, Batara Sori dan

adalah dalihan natolu terdiri dari hula hula, Balabuhan 2 . Keberadaan mora dalam hal dongan tubu, dan boru. Batak Simalungun ini, dianalogikan sebagai Dewata Batara menyebut dalihan natolu dengan istilah tolu sahundulan, yaitu tondong, sanina, dan boru.

2 Batara Guru, Batara Sori, dan Balabuhan disebut

Menurut sub suku Batak Karo adalah juga dengan Debata Natolu. Debata Natolu diciptakan Rakut Sitelu

yaitu Kalimbubu, Sembuyak, dan oleh Debata Mulajadi Nabolon untuk memberikan

pemberkatan kepada manusia dalam arti luas. Tugas

Anak Beru , sedangkan sub suku Batak Batara Guru adalah menurunkan kerajaan, keadilan,

Guru yang merupakan manifestasi dari telah memberikan boru (anak gadis) atau dewa tertinggi sehingga mora menempati wife givers kepada anak boru (menantu) yang posisi yang lebih tinggi dari unsur dalihan akan melahirkan generasi selanjutnya bagi yang lain (Vergouwen, 2004: 56). Mora keturunan anak boru. Mora memiliki sahala sebagai kelompok mertua dianggap yang ditebarkan kepada anak boru dengan

mempunyai kekuatan magis untuk 3 pemberkatan ketika pahoras tondi dan melimpahkan pasu-pasu (kekuatan rohani) manyulangi anak boru. Kekuatan sahala

tondi pada kelompok anak boru atau kelompok 4 yang dimiliki mora untuk melindungi menantu (Parkin, 1978: 253; Ben dan memberi kesejahteraan kepada anak Marohajan Pasaribu, 1986: 46).

Mora merupakan sumber kekuatan

3 Tondi sering diterjemahkan dengan kata roh atau

supranatural yang dapat memberi zat yang tidak tampak. Tondi akan selalu menyertai semangat dalam pandangan rohani manusia selama hidupnya, namun ketika yang

maupun jasmani masyarakat Batak. bersangkutan menderita sakit, tondi akan meninggalkan

jasad selama penyakitnya belum sembuh. Tondi juga

Masyarakat Batak Angkola menempatkan mampu bergerak keluar dari jasad di saat tidur dan posisi mora dan melegalisasinya dalam berkomunikasi dengan makhluk lain. Tondi merupakan

sikap sosial dengan falsafah somba kekuatan sehingga tondi harus selalu menyatu dengan

jasad. Masyarakat Batak sering melakukan ritual

marmora, artinya sembah kepada mora atau mangupa untuk mengikat dan kenguatkan tondi dalam hula-hula . Somba dalam konteks jasad dengan salah satu doa, pir tondi madingin horas

tondi matogu. masyarakat batak adalah bertingkah laku Maksudnya adalah semoga tondi kokoh

dan sejuk, semoga tondi kokoh dan kuat dan selamat

yang hormat, sikap pandang yang lebih, selamanya. Baca, Vergouwen (2004: 91-101). pemberian pelayanan yang terbaik dalam 4 Sahala dalam bahasa Batak-Indonesia diartikan

sosial dan adat (Bungaran Antonius dengan kharisma dan wibawa, walaupun sesungguhnya

maknanya belum sepenuhnya tepat. Vergouwen

Simanjuntak, 2009: 81).

memaknakan sahala adalah daya khusus dari tondi

Mora dipandang sebagai sumber (jiwa). Menurut kepercayaan agama Malim sahala kehidupan, kesejahteraan lahir dan batin adalah ruh suci yang bersumber dari Debata Mulajadi

Nabolon yang diturunkan kepada manusia pilihan.

bagi anak boru, antara lain karena mora Sahala tidak dapat dipelajari dan tidak diperoleh dengan

cara dipanggil, melainkan ia datang sendiri hinggap kepada seorang manusia tanpa sepengetahuan yang bersangkutan. Sahala bisa hinggap dengan waktu yang

kebijaksanaan, dan pengetahuan kepada manusia di lama atau hanya sekedar singgah pada diri seseorang. bumi. Menur ut keyakinan masyarakat Batak, Sahala adalah wujud yang gaib dan tidak dapat ditanggap kedudukan raja (harajaon) dan kharisma kerajaan (sahala oleh panca indra manusia, namun ia bisa menyatu harajaon) adalah berkat titisan dari Batara Guru, seperti dengan jiwa dan badan. Manusia yang dihinggapi oleh Sisingamangaraja yang memegang kekuasaan dan raja sahala akan terlihat pada sikap dan perilaku di tanah Batak, mulai dari Sisingamangaraja I-XII. kehidupannya sehari-hari. Ciri-ciri manusia yang Batara Sori bertugas menurunkan dan menyebarkan marsahala (orang yang memiliki sahala) akan menjauhkan hamalimon (keagamaan) dan nilai-nilai kesucian, diri dari sikap dan perilaku yang buruk, baik pada dirinya sedangkan Balabuhan bertugas memberikan maupun kepada orang lain, kelihatan tampak berwibawa panurirangon (kemampuan memberikan nasehat), dan mampu memberikan pertolongan dalam bidang hadatuon (pengobatan), dan hagogoan (kekuatan). Baca, pengobatan. Lihat J.C. Vergounwen (2004: 76); Ibrahim Ibrahim ( 2010: 118-121).

Gultom (2010: 192-194).

boru , sehingga mora menduduki posisi kelompok ini diikat melalui marga sebagai yang paling terhormat di antara dalihan bukti satu keturunan dan dilahirkan dari natolu . Leluhur Batak mewariskan sikap ompung atau nenek moyang yang sama somba marmora terhadap anak boru (Schreiner, 2002: 42). bertujuan agar kehidupan yang harmonis

Masyarakat Batak mengakui dapat terwujud dengan saling kekerabatan dalam kelompok kahanggi menyayangi, menghormati, dan sopan dengan istilah manat mardongan tubu atau santun dalam berperilaku (avoidance manat markahanggi artinya teliti, hati-hati, relationship) khususnya pada kelompok dan bijaksana terhadap saudara semarga. mora (Parsadaan Marga Harahap Dohot Fungsi kahang gi dalam sistem Anak Boruna, 1993: 103).

kekerabatan adalah sebagai pendamping Kahanggi atau dongan tubu dan disebut dan penolong bagi keluarga yang satu juga dengan istilah dongan sabutuha atau marga ketika suatu masa keluarga dongan saina berarti teman satu kelahiran. semarga bertindak sebagai suhut (tuan Kahanggi dalam konteks dongan sabutuha r umah) dalam suatu hor ja (pesta). menggambarkan hubungan saudara yang Hubung an dongan sabutuha dalam masih memiliki hubungan darah konteks pergaulan tidak sekaku dan tergolong dekat satu ompung (kakek), dan seketat hubungan antara anak boru dan masih terlihat jelas kedekatannya melalui mora . Dongan sabutuha atau semarga boleh silsilah tarombo. Kahanggi dalam konteks bercengkrama, bersendau gulau, dan semarga, adalah keluarga besar yang satu bebas berbicara apa saja (joking marga 5 tanpa memandang hubungan relationship ) (Ibrahim Gultom, 2010: 65). silsilah yang dekat. Kelompok sosial ini

Ungkapan Btak yang menekankan dianggap saudara dekat, walaupun sesama garis kebijaksanaan di dalam hubungan keturunan tidak saling mengenal antara sosial dengan saudara semarga sebagai satu sama lain. Kekerabatan dalam antisipasi bahwa hubungan bersaudara

dapat menjadi buruk dan berbahaya, bahkan cenderung menimbulkan konflik

5 Marga adalah kelompok kekerabatan yang merujuk yang mengarahkan pada perpecahan kepada asal keturunan. Menurut suku Batak, marga sosial. Ungkapan manat markahang gi

dan jenis-jenisnya berasal dari nenek moyang laki-laki

(patrilineal). Marga mer upakan dasar untuk adalah sebagai peringatan kepada saudara menentukan partuturon, hubungan persaudaraan, baik satu marga agar tetap waspada dan hati- untuk kalangan semarga maupun dengan orang-orang hati dalam menjaga hubungan baik dan

dari marga lain. Menurut ketentuan adat setelah tujuh

atau delapan generasi dari marga lama, marga baru keutuhan dalam markahanggi. Titik rawan boleh dimunculkan setelah memenuhi persyaratan konflik di kalangan sakahanggi biasanya adat, atau karena pelanggaran adat yang dinamakan berkaitan dengan harta pusaka karena

dengan manompas bongbong (memecahkan tembok

marga). Lihat, Bungaran Antonius Simanjuntak (2006: sifat late (iri hati), hosom (dengki), dan teal

79-80).

(sombong) yang berasal dari gutgut

(Parsadaan Marga Harahap Dohot Anak Panaek Bungkulan; Tradisi

Boruna,1993: 102).

Keagamaan dalam Bingkai Marga adalah identitas masyarakat Humanisme Pada Masyarakat Batak yang mengambil garis keturunan Batak Angkola Padangsidimpuan

dari ayah (patrilineal) (Pandapotan Rumah bagi masyarakat Batak bukan Nasution, 1994: 16). Apabila ayah hanya merupakan kebutuhan pokok bermarga Harahap, maka seluruh anak jasmani. Bagi mereka rumah justru keturunannya akan bermarga Harahap, memiliki nilai spiritual. Rumah dianggap baik anak laki-laki maupun perempuan. dan diperlakukan sebagai bagian dari Peranan marga dalam sistem masyarakat kehidupan yang religius dan Batak telah mendarah daging sehingga kemasyarakatan. Itu sebabnya dalam dalam kebiasaan masyarakat Batak, jika proses pendirian rumah, mulai dari bertemu pertama kali dengan orang lain perencanaan, pengumpulan bahan dan ingin berkenalan, maka yang bangunan, mendirikan sampai pada ditanyakan bukanlah nama dari orang penghuni rumah itu diwarnai oleh banyak yang bersangkuatan melainkan marga kegiatan kemasyarakatan yang dijiwai oleh (martarombo) (Porkas Dalimunthe, semangat adat dan keagamaan. wawancara, 28 Oktober 2015).

Mendirikan rumah baru merupakan Ketiga unsur dalam dalihan natolu tidak pekerjaan berat, sehingga pekerjaaan itu hanya pada setiap upacara perkawinan, melibatkan banyak kerabat atau unsur- tetapi diterapkan juga dalam tata krama unsur dalihan natolu. Kebersamaan pergaulan sehari-hari. Inti dari konsep senantiasa tercermin dalam seluruh hormat marmora, elek maranak boru manat proses mendirikan rumah baru. Setiap markahang gi adalah anak boru harus tahap penting diawali dengan upacara hormat jika berhadapan dengan mora, dan yang membuktikan bahwa seluruh proses mora juga harus sayang, pandai bersikap mendirikan rumah baru berjalan sesuai membujuk kepada anak boru. Sedangkan dengan hasil mufakat bersama. Salah satu sesama saudara kandung dan sesama tahap yang paling penting dalam proses marga har us lebih hati-hati dalam membangun rumah yang baru adalah bersikap. Sikap kebersamaan dijalin tradisi panaek bungkulan atau menaikkan dalam ikatan dalihan natolu adalah holong bubungan. dohot domu (kasih dan rukun) atau domu

Sebelum panaek bungkulan terlebih adalah perwujudan dari holong, sesuai dahulu ada musyawarah dalihan natolu. dengan gambaran masyarakat Batak Pada Akhir musyawarah para kaum Angkola Mandailing salaklak sasingkoru kerabat yang hadir dalam sidang itu sasang gar saria-ria saanak saboru membaca Basmalah dan meneriakkan suangnamarsada ina (Pandapotan Nasution, Horas, Horas, Horas . Kemudian bubungan 1994: 88).

rumah dinaikkan oleh kerabat dalihan rumah dinaikkan oleh kerabat dalihan

menjadi manusia yang berguna dan Dalam membangun rumah adalah hal bermanfaat kepada orang banyak. Ketiga, penting dari sebuah bangunan rumah, gula bar got atau guna enau yang Batak pondasi disebut sinot. Selain melambangkan harapan agar penghuni pondasi ada juga yang tidak kalah penting rumah itu manis, bagaikan manisnya gula dari sebuah bangunan, yaitu bungkulan. enau. Gula bargot sebagai simbol rezeki. Istilah bungkulan berasal dari kata Sehingga, gula bargot menjadi simbol bukhulan , artinya adalah tumpuan atap kepada pemilik rumah untuk mencari rumah, sehingga bukhulan merupakan rezeki secara luas dan memiliki titik temu dari semua arah dan sudut penghasilan yang melimpah. Keempat, r umah. Secara filosofis, bukhulan pohon tebu lengkap dengan daunnya dimaknakan dengan pardomuan (tempat yang melambangkan harapan agar berkumpul), artinya bahkan rumah yang pemilik r umah itu saor dan domu. hendak dibangun akan menjadi tempat Maknanya agar pemilik r umah itu perkumpulan keluarga dalam menjalin menyenangkan dan erat bersatu padu hubungan silaturrahim (H. Abdul dengan kerabat-kerabatnya, bagaikan Rahman Harahap, wawancara, 11 rimbun dan rapatnya pohon tebu (H. Oktober 2015).

Abdul Rahman Harahap, wawancara, 11 Ada empat bahan yang digunakan Oktober 2015). pada tradisi panaek bungkulan, yaitu;