KORUPSI POLITIK DAN KEMATIAN POLITIK1
KORUPSI POLITIK DAN
1 KEMATIAN POLITIK 2 Ole
Perkembangan demokrasi Indonesia ibarat berlari di atas
la nd asan yang goyah. Perubahan demi perubahan terus
terjadi di atas kerapuhan bas is moral kenegaraan. Politik
sebagai t ekn ik me nga lami pencanggihan, tapi politik sebagai
etik mengalami kemund u ra n .
Praktik politik cenderung mengalami pengerdilan me njadi
sekada r perjuangan kuasa dem i kuas a; bukan politi k sebagai
perjuangan mewujudkan kebajika n bersama. Politik dan etika
terpisah seperti terpisahnya air de nga n minyak. Akibatnya,
kebajikan dasar kehidupan ban gsa sepe rti ket akwaa n,
perikemanusiaan, persatu an, pe rmusyawa ratan dan keadilan
men ga lami kelumpuhan .
Misi besar reformasi untuk menghadirkan pemerintahan yang
dan nepotisme masih bersih, beba s dari korupsi, k o lusijauh dari harapan. Pro ses konsolidasi demokrasi terhambat
oleh proses " dem okratisasi" (p eduasa n dan pendalaman)
korup si. Prakti k korupsi melanda seluruh lembaga dan
instansi kenegaraan, serta merembe s ke segala lapisan dari
pusat hingga daerah.
Seiring dengan laju korupsi, wajah negeri seperti tercermin
dari warta media men am pakkan buruk rupa: kemiskinan
keteladanan, keh ilangan keadilan dan perlindungan hukum,
1 kesenjangan sosial, keretakan 2 Disampa i kan sebagai naskah orasi pad a Acara Penganugerahan MIPI Award ChairmanINS
IDe (Institute for National Strategic Interest and Development )
jalinan sosial, perluasan tindak kekerasan, kejahatan dan
premanisme, gurita narkoba, kerusuhan di wilayah tamb ang
dan perkebunan, kecelakaan transportasi dan kerawanan
sarana publik.
Pada titik genting krisi s multidimensi ini, para penyelenggara
negara justru seperti kehilangan rasa krisis dan rasa tanggung
jawab. Kepemimpinan eksekutif, legislatif , dan yudikatif
lebih mempedulikan "apa yang dap at diambiJ · dari negara",
bukan "apa yang dapat diberikan pada negara".
Kepemimpinan negara hidup dalam penjara narsisme yang
t ercera but dari suasana kebatinan rakyatnya. Perhatian elit
politik lebih tertuju p ada upaya memanipulasi pen citraa n ,
bukan mengelol a k enyataan; lebih mengutamakan
kenyamanan diri ketimbang kewajiban memajukan
kesejahteraan d an keadilan sos ial.
Watak narsisme kekuasaan yang berbasis manipulasi
pencitraan m elambungkan ongkos kekuasaan, yang memicu
merebaknya korupsi politik. Dalam perhitungan Komisi
Pemilihan Umum, bia ya pemilihan umum kepadala daerah
(pilkada) 2010-2014 mencapai Rp15 trilyun (Kompas,
24 /07/2 010 ). Jumlah itu akan semakin mengerikan jika
ditambah pengeluaran masing - masing kandidat untuk
memperoleh "ti ket " pencalonan dari partai politik,
menyewa konsultan politik, be l anja iklan politik , kampanye
l apangan, bahkan mungkin money politic s.
Dalam pandangan Menteri ; oalam Negeri Gamawan
Fau zi, ada pa r adoks antara tuntutan pemerintahan ya n g
bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme dan biaya
pilkada yang ,. mahal. Dicont ohkan, untuk pencalonan
gubernur diperlukan dana sekita r Rp 100 milyar, padahal gaji
gubernur hanya Rp 8,7 juta per bulan. Tak h eran,
Mantan Pelaksana Harlan Ketua KPK Haryono Umar
men y atakan bahwa KPK mera s a kewalahan dengan
m e mbanj irn ya pelaporan dugaa n korups i dari daerah .
Pada saat ini ratusan kepada daerah yang te rindika s i k o rup s i.
S e lain itu, b e b e rap a daerah juga diberitakan mengalami defisit
APBD karena terkuras pembiayaan Pilkada.
P ro s esi demokrasi yan g berujung pada korupsi adalah
suatu keliaran anarkisme y ang melenceng ja uh dari rei
demokrasi dan reforma s i . Korup s i merupakan sesuatu y ang
diharamjadahkan (anathema ) oleh demokrasi. Oleh kar e n a
itu , s uatu pohon demokra s i yang berbuah korup s i ni scay a
merupakan suatu pr oses d e li gi timasi demokrasi.Dampak Negatif Korupsi
Dampak ekonomis dari praktek korupsi telah begitu
l impah ditengarai para ekonom . D i k a takan b a hw a
korupsi melambungkan ongkos transaks i, menguran gi in se n tif
investasi, dan pada akhirnya melamb atkan pertumbuhan
ekonomi.7 ) Studi ya n g dilakukan Ma ur o (199 terhadap lebih dari
1
00 19 - 82 1995 negara antara menemukan bahwa t akala
korup s i meningkat dua poi n pada skala 10 poin, G DP
,
5 s uatu n e gara akan berkuran g p erse n , investasi
berkurang 4 persen . Dampak lebih lanjut bisa terlihat pada
i nve s ta s i publik. Investa s i di bidang pendidikan , misalnya,
turun 0 ,5 perse n , setiap penambahan 2 poin da l am korupsi.
Ada beberapa alasan untuk itu . Pertama, penyuapan biasanya
tidak dilaporkan o l eh kedua belah pihak dalam nota
transaksi, atau menimbulkan distrosi dalam
pelaporan transaksi usaha, yang pada gilirannya
mengurangi penghasilan negara dari sektor pajak.Kedua, pelayanan publik lebih mengutamakan mereka yang
menyuap seraya rnenelantarkan mereka yang tak melakukan
hal itu, yang rnenirnbulkan ketidakrnerataan dan keburukan
layanan publik kepada orang banyak.Ketiga, suap rnemungkinkan service provider mengabaikan
standar mutu barang dan jasa yang bisa membawa kerugian
ekonorni secara luas, kelima, korupsi memperlemah penegakan
negara hukum yang membuat transaksi-transaksi ekonomi
rnenjadi irasional dan penuh ketidak pastian.Jika para ekonorn secara tegas rnemandang korupsi
sebagai kerikil dalam rod a perekonomian, pandangan para
ilmuwan politik terhadap hal itu masih mendua. Ilmuwan
politik konservatif justru mernandang korusi sebagai
"keburukan yang diperlukan" (necessary evil) guna
mencapai kestabilan politik. Samuel Huntington, misalnya,
rnenyatakan (1968): "Korupsi memberi keuntungan segera,
spesifik, dan konkret kepada kelornpok-kelornpok yang tanp a
hal itu bisa mengalami alienasi dari masyarakat. Dengan
dernikian, korusi bisa bersifat fungsional bagi upaya
pemeliharaan sistem politik seperti halnya reform asi" . Dalarn
pandangan in i, korupsi rnerniliki efek redistributif di kalangan
aktor - aktor politik yang berlaku sebaga i semen perekat
an t ara patron dan klien serta antar elite dan partainya.
Pandangan seperti itu menjaru bermasalah jika dikaitkan
dengan agenda demokratisasi. Sementara korupsi boleh jadi
memiliki fungsi yang positif di bawah sistem politik
otoritarian, hal itu bersifat disfungsional dibawah sistemdemokrasi. Demokrasi menghendaki transformasi wibawa
individual ke wibawa institusional, dengan jalan membangun
rasa percaya warga masyarakat pada institusi-institusi
publik.
Dalam hal ini studi Rose Ackerman (1999) menunjukan
bahwa "nega r a-negara dengan tingkat korupsi yang tinggi
memiliki tingkat kepercayaan yang rendah terhadap institusi-insitusi publik, yang selanjutnya membawa dampak negatif
berupa pudarnya komitmen warga pada proyek kolektif dan
perilaku warga, memacu tingkat kriminalitas dan disorganisasi
sosial".
Sejalan dengan itu, studi Della Porta (2000) menengarai
bahwa korupsi merupakan sebab dan akibat dari buruknya
kinerja pemerintahan." Korupsi membawa buruk kineija
pemerintahan, dan buruknya kineija pemerintahan merangsang
warga negara untuk mengembangkan praktek-praktek
penyuapan untuk mempermudah urus an atau mempengaruhi
proses pengambilan keputusan, yang pada gilirannya kian
menyuburkan praktek korupsi. Pada akhirnya, tingginya
ti ngkat korupsi menimbulkan rendahnya tingkat kepercayaan
terhadap demokrasi . " Demokratisasi dan Perluasan KorupsiJika korupsi bisa mengubur janji-janji kebaikan demokrasi,
tingkat korupsi justru cenderung meningkat pada fase transisi
menuju demokrasi. Studi Weyland (1998) di sejumlah n egara di Amerika Latin menunjukari bahwa korupsi cenderung meningkat secara tajam justnl ketika sejumlah negara beralih ke sistem demokrasi.Ada beberapa alasan untuk itu. P ertama, di bawah sistem demokrasi teijadi penyebaran pusat-pusat kekuasaan.
Akibatnya, terdapat lebih banyak veto players (pene ntu
keputusan) ketimbang di bawah rezim otoritarian, yang
memberi jalan bagi perluasan sentra - sentra baru penyuapan .K edua, demokratisasi politik kerap kali merangsang kebijakan
neoliberal dalam perekonomian yang ditandai oleh intervensi
modal dalam penyusunan perundang- undangan serta
privatisasi perusahaan-perusahaan negara. Fenomena ini
membuka peluang Iebar bagi praktik-praktik penyuapan
dalam rangka memuluskan kepentingan modal dalam
memenangkan persaingan.
Ketiga, pentingnya dukungan pemilih dalam konteks demokrasi
dengan kinerja partai politik yang buruk membuat ongkos
kampanye politik begitu mahal. Hal ini m en dorong para veto
players untuk menggelembungkan pundi-pundi keuangan partai
d engan jalan bermain "sabun" dengan para pemilik modal,
meski harus mengorbankan the rule of law.
P erluasan kesempatan korupsi di era transisi menuju
demokra s i merupakan jebakan yang bisa membawa
s i stem politik surut ke belakang. Demokr asi menghendaki
legitimasi sistem politik dan kredibilitas i nstitusi -institusi
publik, sedangkan korupsi m embawa efek deligitimasi sistem
politik yang paling destrukt if . Demokrasi politik yang
dibayangi "demokratisasi" korupsi merupakan tindakan bunuh
diri.Upaya pemberantasan Korupsi
Pengalaman negara-negara demokrasi baru menunjukkan
bahwa upaya memberantas korupsi memang memerlukan waktu yang panjang. Namun, sejak dini perlu kemauan dan komitment politik yang tegas untuk memerangi korupsi. Negara-negara demokrasi baru yang
secara disiplin terus memb e ranta s kejahatan korupsi terbukti
secara p erlahan berhasil memelihara kesepadanan antara kebebasan sipil, pertumbuhan ekonomi, serta pulihnya kepercayaan dan tertib sosial. Usaha pemberantasan korupsi terkait dengan pemahama n tentang sebab-musabab munculnya korupsi. Dalam hal, ini penulis akan mengangkat tiga lapis persoalan korupsi: persoalan · s truktural, persoalan in stitusional, d an persoalan personal.
Persoalan Struktural
Secara s truktural, korupsi terjadi karena terjadinya disfungsi dan ketidakseimbangan peran dari tiga penyangga rezim kesejahteraan: negara, pasar dan komunitas. Untuk jangka waktu yang lama, kepemimpinan negara yang bersifat patrimonial menjadikan kepemilikan negara sebagai kepemilikan pribadi. Sementara itu, kepemimpinan pasar yang
bersifat predatory gagal mengembangkan kesempatan k erja dan
berusaha.Kegagalan peran negara dan pasar mcmberi tekanan pada p eran
komu ni tas dan keluarga. Dalam hal ini , Jo sep h
E. Stiglitz (2005) punya pandangan yang menarik. "D i Indonesia orang kerap merasakan adanya konflik yang lebih intens: konflik antara kewajiban untuk bersikap adil dan tidak pilih kasih dalam sebuah sistem ya ng didasarkan pada aturan, dengan kewajiban moral untuk membantu kerabat dan anggota komunitas di sebuah negara yang ditandai oleh tingginya angka pengangguran, kem iskina n akut, dan ketimpangan yang mencolok. Ekonomi pasar hanya berjalan baik dalam sebuah sistem yang dipijakkan pada aturan. Dan dalam sistem yang berjalan mulus dengan kesempatan kerja penuh dan rasa keadilan sosial yang
luas, kebutuhan untuk 'membantu' kerabat sangat bis a
dikurangi. Masalahnya, mereka yang berada di negara berkembang diminta untuk meninggalkan 'jaring pengaman' dalam ikatan kekeluargaan dan komunal ini, padahal jaring pengaman sosial (dari rejim kesejahteraan) itu sendiri belum tercipta." Menciptakan kesejahteraan eko nomi di negara seperti ini,
Stiglitz m ere komendasikan perlunya keseimbangan
antara peran pemerintah dan pasar. Dalam hal ini,
negara-negara berkembang harus lebih bebas dan leluasa
mene ntukan pilihan-pilihan kebijakan ekonomi mereka. Tidak
ada cara tunggal dan sistem yang sempurna, seperti yang sering
dikhotbahkan ole h para arsitek ekonomi di World B ank dan
IMF. Setu rut dengan itu, pemimpin negara harus memiliki
keberanian untuk menjalankan amanat konstitusi dalam penguasaan bumi, air, udara d an kekayaan a lam bagi
ke sejah teraan rakyat. Pemimpin negara, sebagai mata-hati dan
mata-nalar rakyat, harus berani mengambil sikap pro-rakyat
dalam kasus eksplorasi kekayaan alam yang merugikan bangsa dan negara.
Persoalan Institusional
Dalam literatur politik modern, pers oalan korupsi antara lain dijelaskan oleh mazhab insitusional ala Hobbesian. Mazhab ini menganggap korupsi sebaga i pemuasan kepentingan individual atau faksi dalarn koridor institusional. Dal am · hal ini,
korupsi terjadi karena
kelemahan -k e l ema ha n sis t emik dalam desain inst itusi politik,
beserta turunannya yang menyangkut fu ngsi perencanaan,
penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan pada institusi- in stitusi publik.
Dalam kaitan ini , desain institusi demokrasi Ind onesia saat
ini lebih mengedepankan penjelimetan ornamental dengan
mengabaikan substansi. Demokrasi yang semestinya
berkhidmat pada penguatan daulat rakyat dan maslahat umum
justru tersesat dalam permainan prosedural yang
menyelewengkan arah demokrasi menjad i tawanan
kepentingan sempit elit politik.
Kelemahan mencolok dari desain in s titusi demokrasi yang
b e rk e mbang saat ini adalah predisposisinya untuk
mengarahkan keterpilihan politik atas dasar kemampuan
alokatif O ogistik), ketimbang kemampuan otoritatif (kapasitas
personal). Mahalnya biaya politik yarig h arus dikeluarkan
para politisi da n partai politik yang bertaut dengan warisan
tradisi negara "patrimonial" m e njadikan kekuasaan sebagai
ajang pungutan dan pengurasan. Apalagi jika mentalitas
pemimpinnya dihinggapi "Cinderella Complex" yang terobsesi
meniru fashion negara-negara maju. Maka, korupsi politik
pun merajalela.Pemikiran konvensional cenderung meyakini tanpa kesangsian bahwa satu-satunya jalan menuju pencapaian stabilitas demokrasi adalah melalui pemilihan langsung.
Padahal d alam banyak kasus di negara berkembang , pem ili ha n Oangsung) bisa mengarah pada pe rangan dan
Kills, kemiskinan. Hum phrey Hawksley dalam Democracy memperlihatkan potret yang mengerikan dari demokrasi ele kto ral yang dijalankan secara tidak tepat. "Dari
Pakistan hi ngga Zimbabwe, dari teritori Palestina hingga
bekas Yugoslavia, dari Georgia hingga Haiti ,
pelaksanaan pemilu telah melambungkan tingkat korupsi dan
kekerasan."Dengan demokrasi yang dilaksanakan secara salah urus,
terdapat indikasi bahwa penduduk di bawah sistem demokrasi
elektoral lebih berisiko tetap miskin atau terbunuh ketimbang
di bawah sistem kediktatoran. Umpamanya, rata-rata
pendapatan di negara otoritarian China adalah dua kali lipat
dari negara demokrasi India; harapan hidup dari warga negara
demokratis Haiti hanya mencapai 57 tahun dibandingmereka yang hidup di bawah kediktoran Cuba yang mencapai
77 tahun .
Dengan fenomena itu, Presiden Obama dalam pidatonya di
Universitas Kairo secara jelas memperlihatkan ke hati-
hatiannya soal demokrasi elektoral serta empatinya terhadap
budaya lain. Ia tekankan , 'tidak ada sistem pemerintahan
yang dapat dipaksakan oleh suatu bangsa pada yang lain'.
Tak lama berselang, p em impin konservatif In ggris , David
Cameron, menyatakan: " D emokrasi semestinya merupakan
pekerjaan dari pengerajin yang sabar, bukan sebagai
produ ksi massal yang seragam, jika produk akhir yang
dikehendaki adalah kualitas yang tahan lam a." Demokrasi
yang dijalankan secara tida k hati-hati dan tidak
disesuaikan dengan kon . disi sosial-budaya suatu bangsa bisa
menyebabkan kematian banyak orang serta gagal memberikan
martabat dan pern e rintahan yang baik.
Perkernbangan dernokrasi Indonesia rnernperlihatkan belokan
rnenuju jalan kesesatan. Pernilahan legislator dan Presiden yang
lalu bisa dikatakan rnerupakan Pernilu terlarna dan terrnahal
dimuka burni. Pelaksanaan Pilkada berlangsung nyari s setiap
pekan, yang karena mahalnya pernbiayaan rnembuat beberapa
kabupaten /k ota terancarn rnengalarni d efisit anggaran. Kehendak untuk menang dalam satu putaran makin menggelembungkan pembiayaan, yang secara langsung atau tidak langsung berdampak pada penjarahan sumber-sumber keuangan negara.
Ketika uang menjadi bahasa politik, sedang mayoritas rakyat masih hidup dalam belenggu kemiskinan atau dalam keserakahan orang kaya baru, maka keampuhan demokrasi elektoral pun lekas ambruk. Suara bisa dibeli dan dimanipulasi di setiap tingkatan. Idealisme pemilih dirobohkan, otoritas Komisi Pelilihan Umum (KPU) dihancurkan. Ketika nilai-nilai idealisme kewargaan tidak memiliki saluran yang efektif, nilai-nilai kepentingan investor mendikte kebijakan politik.
Sinergi antara kepentingan investor dengan penguasa
"kejar setoran", yang menjadi pintu masuk bagi korupsi
politik, pada akhirnya harus dibayar mahal oleh pelemahan institusi penegak hukum. l nstitusi ini bukan saja mewarisi penyakit l amanya sebagai mafia hukum, tetapi dalam perkembangan terakhir secara sengaja dilemahkan oleh otoritas politik untuk menutupi korupsi politik. Pelemahan ekstenal mengemuka dalam bentuk pertikaian antarlembaga penegak hukum; pelemahan internal merebak akibat komplik antarkubu pada masing - masing lembaga. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak punya kepercayaan diri lagi untuk menggarap megakorupsi dengan bobot politik yang tinggi, kepolisian mengalami perpecahan i nternal, kejaksaan menjadi pesakitan karena jaksa-jaksanya yang terjerat makelar kasus.
Me1ambungnya ongkos kekuasaan dalam kondisi kerapuhan institusi demokrasi dan nomokrasi (negara hukum) juga memudahkan penetrasi kepentingan asing. Dengan aparatur
n egara yang mudah dibeli, produk
perundang-undangan disusupi, penunjukan pejabat
diint ersepsi, pilihan-pilihan kebijakan yang menyangkut
perekonomian dan kekayaan alam dipengaruhi. Akibatnya,
kedaulatan dan ketahanan ekonomi nasional lump uh.
Dengan desakan pasar bebas, banyak industri dan pertanian
domestik terancam gulung tikar, ribuan buruh menyongsong
pengangguran. Benar kata Machiavelli, salah satu sebab
korupsi merajalela, karena penguasa diperbudak negeri la in
hingga negara tak mampu membuat aturan secara lelua sa
untuk mengelola urusannya sendiri.
D emokrasi elektorallewat jalan pintas gebyar pencitraan,
tanpa komitmen pada prinsip-prinsip efisiensi, rasionalitas
- kebijakan dalam realitas sosial budaya, penegakkan hukum
dan keadilan, ibarat membangun istana pasir. Kelihatan
indah penuh puja-puji, tetapi mudah ambruk diterjang
gelombang tekanan hidup.
Inilah masa ketika demokrasi dipertaruhkan . Kegagal an
kepemimpinan nasional untuk memperbaiki kinerj a
demokrasi bisa mengarah pada proses delegitim asi
demokrasi , termasuk delegitimasi kepemimpinan nasional
yang dipilih melalui prosedur demokrasi. Inilah ujian sejarah,
apakah kita bergerak maju atau surut ke belakang!
Pra syarat pemberangtasan korupsi menurut pandangan ini
adalah "redemokratisas i " demokrasi dengan menata ulang
institusi demokrasi kita yang dapat mengurangi biaya
keksuaan. Bersamaan dengan itu, efektivitas institusi
demokrasi ini juga mensyaratkan adanya perbaikan pada
sistem pengawasan dan mekanisme akuntabilitas dan respo nsibilitas dari institu si-institusi publik-politik. Ada tiga cara pengawasa n yang diajukan. Pertam a , pe n gawasan horisontal. Yakni, mekanisme saling
mengawasi antara in stitus i -inst itu si publik, seperti peran yang
KPK dimainkan oleh Kedua, kontrol verti kal . Yakni, · pengawasan yang dilakukan oleh insitusi-institusi civil society terhadap ins t itusi-institusi publik. Ketiga, kontrol eksternal yang melibatkan peran lembaga-lembaga internasional.Persoalan Personal
Namun sering terjadi, siapa mengawasi sia p a berujung
sengkaru t . Akuntabilitas gagal muncul di tengah kampung
maling. Disinilah kita pei:lu mempertimbangkan aspek
personal seperti yang pernah di kemukan oleh Machiavelli, juga
tradisi dan penafsiran baru Republikanisme.
Republikanisme mengganggap korupsi sebaga i kemerosota n
politik yang bisa diselesaikan dengan membentuk dan
melanggengkan kesalehan sosial secara merata . Walau
pemikiran politik modern berkeberatan de n gan komitmen
normatif setinggi ini, tak dapat dipungkiri bahwa komitmen
itu wajib ada. Korupsi sebagai perilaku politik kotor bisa
terkikis hila laku politik bersih dan saleh eksis.
Korupsi bagi Machiavelli menghancurkan sendi
kehidupan politik dan madani. Ia menghabisi adat dan
kemaua n warga menempatkan kemaslahatan umum di atas
kepenti n gan priba di. Dalam pandangannya, korupsi adalah tumor pe n yera n g serat terdalam kehidu pan
bermasyarakat, menyelinap dalam perilaku, dan
menyelewengkan ma.kna kehormatan dan kejayaan. Di
republik korup, menurut Machiavelli, hancur sudah persahabatan madani sejati kare n a tiap warga berebut khianat melawan negerinya atau temannya; bilang sudab kepercayaan mutual karena sumpab dan keimanan banya disalahgunakan . Kota korup (citta corrottisima) ialah neg eri tempat "tak ada lagi hukum atau institusi yang cukup mencek perluasan korupsi." Dalam bukunya, Th e Florentine Histories (1845), negeri korup digambarkan Machiavelli, tempat "yang muda malas, yang tua gatal; kedua jenis kelamin dari segala umur penuh budaya jorok [hingga] aturan baik menjadi tak berguna, karena secara "krea tif ' diselewengkan. Dari sin i tumbuh ketamakan nyata di tengab warga dan basrat mendapati kehormatan renda
h... dari sinilab timbul kematian ,
pengasingan, kebaikan dimusuhi, kejahatan diagungkan." Yang terakhir inilah tanda paling jelas, bagi Ma chiavelli, bahwa
korupsi sudab akut .
Menurut pemikir Italia ini, ada beberapa se b ab yang membuat korupsi merajalela. Pertama, dip erbudak negeri lain. Negeri
yang "di kulitnya dip erbudak negeri lain , bakal susah
membuat aturan yang menjamin kenyamanan melakukan urusannya sendiri." Kedua ialah kekuasaan diktatorial atau totalitarian. Rakyat yang hidup di zaman diktator mengadopsi perilaku budak sebingga mereka tak mampu memerintah
sendiri atau memutus perkara publik. Alih-alih belajar
memenuhi kemaslabatan umum, mereka malah belajar melayani orang kuat dan bergantung pada kehendak orang. Sebab ketiga adalab kekayaan penguasa yang berlebih. Melalui pundi-pundi keuangannya, penguasa plutokratis bisa memperjualbelikan idealisme dan moral publik secara pragmatis." Yang keempat adalab kaum gentiluomini, mudabnya, elite negeri. Mereka hidup dari popularitas, penghasilan sedikit kerja, juga turunan kaum pemilik modal politik atau ekonomi. Tak sekadar merusak
negeri dengan polah dan gaya hidup mereka, kaum ini
memiliki pengikut atau penggemar membeo yang membuat
kebobrokan memassal.
Kelima, yaitu pemahaman agama "berdasar kemalasan dan
bukan kesalehan." Machiavelli maksudkan adalah interpretasi
agama yang lebih menekankan aspek formal dan ritual
daripada yang berhubungan dengan esensi ajaran. Memuja
" insan pembual daripada insa n pekeija," memperindah tempat
ibadah daripada menyumbang ke dhuafa. Pemahaman seperti
ini membuat orang "tak lagi beramal saleh tapi mangsa
empuk tirani politik dan modal."Machiavelli juga menawarkan solusi. Pertama, warga
negeri mesti melek, patuh , dan teliti hukum. Hukum
diberlakukan tanpa pandang bulu, dan hak hukum sekecil
apapu n juga mesti diberikan. Machiavelli bahkan
memihak legalitas bila hukum bertentangan dengan
kepentingan politik. Ketaatan dan ketelitian hukum akan
melahirkan sebuah masyarakat madani teratur nan
merdeka. Kedua, para pelaksana dan penegak hukum dari
paling bawah hingga paling atas haruslah teguh dalam
mempertahankan aturan hukum, terutama pada tokoh
penting pelanggar hukum. Berat hukuman diatur
berdasar kedekatan pelaku pada kekuasaan dan tingkat
pelanggaran. Dan dibuat sedemikian sehi ngga bukan
hanya efek jera timbul tapi juga hukuman itu tinggal di
memori kolektif. Bukan kuantitas tapi kualitas. Jadi
menghukum keras koruptor kakap · dan memaksanya
mengembalikan kerugian negara, yang 1 bila perlu diminta daripenikmat bersama korupsi seperti keluarga atau rekanan,
jauh lebih bernilai daripada mengejar puluhan koruptor kecil
ata1;1 berdiplomasi ke luar negeri. Tak heran
hila Machiavelli memuji Brutus yang hadir di pengadilan dan
mengeksekusi anaknya sendiri.
Ketiga, hila korup s i ingin ditumpas, anak hangsa mestilah
memiliki jiwa patriotis. Bukan patriotisme maskulin dan
militeristik, tapi ia herhuhungan erat dengan kesalehan
keseharian dalam mernenuhi kewajihan madaniah dan
ketaatan hukum . Menempatkan kepentingan negeri diatas diri,
dari memhayar pajak hingga mengawasi pemimpin. Keempat
ialah menjunjung dan menghormati agama. Pemimpin
negeri herkewajihan melindungi agama dari
penyalahgunaan. Selama repuhlik tetap heriman, ia akan
selalu haik dan bersatu e jauh dari korupsi.
(buona unita),
Kelima, melatih kedisiplinan menyeluruh. Kedisplinan yang
menjaga dan melaksanakan supremasi hukum.
Pada akhirnya, Machiavelli tidak percaya akan kemunculan
ratu adil untuk memherantas korupsi. Ia lehih percaya
pada prinsip-prinsip hukum sebagai landasan kehidupan
politik dan madani. Taat hukum dan memprioritaskan
kemaslahatan umum diatas kepentingan prihadi dalam
hingkai cinta negeri adalah alat memhehaskan diri dari
korupsi yang menghancurkan kehehasan politik dan
memperhudak manusia. Non sibi sed patriae: hukan bagi diri
tapi hagi negeri! ·Dalam konteks Indonesia, pentingnya moral" penyelenggara
negara dalam rangka pengabdian kepada hangsa dan negara
ditekankan dalam pokok pikiran keempat yang terkadung
- dalam Pemhukaan Undang Un ang Dasar Negara Repuhlik
Indonesia Tahun 1945. "Negara herdasar atas Ketuhanan
Yang Maha Esa me.nurut dasar kemanusiaan yang adil dan
beradab. Oleh karena itu Undang-Undang Dasar itu harus
mengandung isi yang mewajihkan Pemerintah dan lain - lain
penyelenggara Negara, untuk memelihara hudi-pekerti
kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita
moral rakyat yang luhur." (Latif, 2011:30, 38).Pembunuhan Politik
Demokrasi yang tidak memiliki kapasitas untuk melahirkan
pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab memang
tepat dilukiskan sekadar "pesta demokrasi".
Dalam demokrasi sebagai pesta, terjadi surplus politisi tapi
defisit politik. Para politisi tidak melakukan kerja politik,
malahan tega berjamaah membunuh politik, bak Malin
Kundang yang membunuh ibunya sendiri.
Politik adalah dimensi manusia secara keseluruhan. Dasar
mengada dari politik adalah kepedulian terhadap konstruksi
dan realisasi kebajikan kolektif Dengan
(collective good).demikian, suatu kontradiksi jika orang- orang memasuki
dunia politik hanya untuk meraih keuntungan pribadi.
Keuntungan pribadi bisa diperjuangkan di pasar barang dan
jasa. Namun, di pasar sekali pun, jika semua orang hanya
mempedulikan keuntungan dan kepentingannya sendiri, pada
gilirannya akan terjadi bentrokan kepentingan yang
bermuara pada hukum rimba: yang bertahan adalah yang
terkuat (the survival of the fittest). Untuk mencegah hal itu,
kepentingan pribadi-pribadi harus memberi ruang bagi
kehadiran institusi publik yang dapat menjamin kebajikan
hidup bersama. Institusi itu bernama politik. .Sejatinya,
- politik adalah usaha resolusi atas problem problem kolektif dengan pemenuhan kebajikan kolektif.
Adapun jemba tan yang dipakai oleh priba di -prib adi untuk
mempertautkan kepentingan perseorangan ke dalam
kepentingan kolektif adalah partai politik. Untuk itu,
partai politik harus mencerminkan ide kolektif (ideologi),
dipimpin dalam semangat kolektif, dan tetap dalam kendali kolektif.
Keburukan demokrasi kita bermula ketika para politisi dan
partai politik tidak melakukan kerja politik untuk kebajikan
publik, melainkan kerja " p erdagangan" untuk kepentingan
pribadi-pribadi. Dalam politik yang mengalami proses
privatisasi, rationalitas kepentingan individual harus dibayar
oleh irasionalitas kehidupan publik.
Politik-kenegaraan yang mestinya lebih mengedepankan
kepentingan publik acapkali lebih berpihak pada kepentingan
privat. Di satu sisi, pemerintah bersikukuh mengurangi
subsidi BBM bagi rakya t (secara keseluruhan), dengan dalih
penyelamatan APBN. Saat yang sama, APBN justru
mengambil alih pembayaran hutang swas ta, seperti bunga
BLBI dan Lapindo.
Di satu sisi, pemerintah mengeluh tentang besamya
alokasi anggaran untuk biaya rutin. Saat yang sama,
- pemekaran wilayah tanpa ukuran, satgas satgas serabutan
diciptakan, biaya perjanalan "dinas" digelembungkan, dan
mark-up. b erbagai proyek rekaan dibangun denganKecenderungan sikap para politisi yang l ebih
mengendepankan keuntungan dan keselamatan sendiri,
ketimbang k ebaikan kolektif, membuat demokrasi Indone sia
tidak memiliki pijakan yang kuat dalam menghadapi apa yang
di sebut Robert Reich sebagai gempuran "superkapita li sme".
Superkap itali sme menggambarkan kecenderungan menguatnya
kompetisi di dunia bisnis dalam mempe rebu tkan konsumer dan
inve sto r yang merambah dunia p o litik. Persaingan bisnis
mendorong dana dalam jum l ah besar mengalir dari korpora si
da n badan-bada n keuangan untuk membiayai dan m eng arahkan
politik dan kebijakan publik guna kepe n tingan mereka.
D emokrasi yang dasar ontologi snya untu k menetrali si r
kekuatan-kekuatan per seo rang a n , j ustru jatu h ke tampuk para
pemo dal. Se m aki n kapitalisme menguat, semakin ketidakadila n
merebak, semakin demokrasi tergeru s. Kri sis demokrasi
timb ul manakala, " hasrat manusia sebagai investor dan
konsumer dim enang kan karena n ilai-nilai publik kewargaan
tidak memiliki sa r ana ekspresi yang efekt if ."- Dibanding negara negara dengan tradisi good governance
dan socia l a c countability yang baik, krisis demokrasi
Ind ones ia bisa lebih parah. Dalam p raktik demokrasi
patri m onial dengan pe rt a n ggu n g jawaban publik yang buruk,
para po litisi Indonesia l ebih mu da h mengbamba pada d aulat
mo dal, ketimbang daulat rakyat. Dem o krasi berkembang
menjadi se j enis pesta b erjamaah untu k membunuh politik.
Untuk m engh ind ari k ematian politik, politik h arus
di ke mb alikan ke khitahnya sebagai se n i untuk men ge l ola
kebaikan hidup be r sa ma . Dalam k onteks itu , politik harus
dijangkarkan k e mbali pada basis etika. Dan d alam po li tik yang
berbasi s etika, korup si ; ha rus dihapuskan karena tidak sesuai
dengan nilai ketuhanan, kemanusi aan, persatuan , hikmat- k e bijaksanaan , dan nilai-nilai keadilan sosi al . -
Pemberantasan korupsi merupakan prioritas penting dalam
upaya konsolidasi demokrasi. Sebab, seperti dikatakan
Edmund Burk e (1777), ' mong a p eop le generally
corrupt, liberty cannot long exist" (Dalam lingkungan orang-
orang yang korup, kebebasan tidak bisa b erta han lama).Pustaka Daftar Burk
The Oxford Dictionary of
Political Quotations, Oxford University Pre ss, Oxford,
1997, hal. 64 .Donatela, "Social Capital, Beliefs in Government and Della Porta,
Political SJ Ph arr dan RD. Putnam Corruption", dalam
(eds), Disaffected Democracies: What's Princeton
Troubling the Trilateral Countries, University Pre ss, Prince ton, 2000.
H awksley, Humphrey , Pan MacMillan , Demo cracy Kills,
United Kingd om, 2011. Huntin gton, Samuel, Political Order in Changing Societies, Yale University Press, New Heaven , 2006 (1968).
Latif, Yudi, Negara Paripurna: Historisit as, Rasionalitas, dan
Aktualitas Pancasila , Gramedia Pu staka Utama, Jakarta, 2011.Machia velli, Nicolo, vol. 1 2, Pa ine The Florentine Histories, &
- Burgess, New York, 1845.
Mauro, Paolo, 'The Effects of Corruption on Growth,
IMF
Investment, and Government Expenditure,"
Working Paper 96/98, Februari 1997.Rose-A ckerman, Susan , Government: Causes , Consequences, and
Reform, Cambridg e University Pr ess, Cambrid ge, 1999· Stiglitz, Joseph E., Allen Lane,
Making Global ization Work, London, 2005 . Weyland , Kurt , "The Polit ics of Corrupti o n in Latin America," 2 108-21.
25. Journal of Democracy 9, no . (April1998):