Tugas Makalah Ushul Fiqh EKONOMI ISLAM

Tugas Makalah: Ushul Fiqh

MUTLAQ, MUQAYYAD, HAQIQAT DAN MAJAZ

Disusun oleh
A.HAMID

Pembimbing
Prof. Dr. Al Yasa Abubakar, MA

PASCA SARJANA EKONOMI ISLAM
IAIN AR-RANIRY
Darussalam – Banda Aceh
2013

BAB I
PENDAHULUAN

Al-qur’an ialah kitab yang perlu dikaji mendalam, karena merupakan sumber hukum
yang pertama untuk kaum muslimin. Salah satu unsur penting yang digunakan sebagai
pendekatan dalam mengkaji Alqur’an adalah Ilmu Ushul Fiqh, yaitu ilmu yang mempelajari

kaidah-kaidah yang dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum-hukum syari’at yang bersifat
amaliyah yang diperoleh melalui dalil-dalil yang rinci. Melalui kaidah-kaidah Ushul Fiqh akan
diketahui nash-nash syara’ dan hukum-hukum yang ditunjukkannya
Dalam pandangan Para ulama Ushul Fiqh mengklasifikasi lafaz (kata) dari segi
pemakaiannya menjadi dua: hakikat (denotatif) dan majaz (konotatif). Mengenai kata dengan
makna hakikat, tidak dipertentangkan lagi keberadaannya dalam Alquran. Kata yang seperti ini
paling banyak ditemukan dalam Alquran. Sebagian bahasa dalam hukum Islamng hadir dalam
bentuk mutlaq dan terkadang adapula yang berbentuk muqayyad. Dan pengistilahan mutlaq dan
muqayyad kepada Kitabullah tersebut sering dikenal sebagai “Mutlaqu al-Quran wa
Muqayyaduh” atau kemutlakan al-qur‟an dan keterbatasanya.
Penanaman suatu lafazh dengan haqiqat dan majaz baru dapat ditetapkan setelah lafazh
itu dirangkai dalam suatu kalimat atau dipakai dalam suatu pembicaraan. Untuk mengetahui arti
hakikinya suatu lafazh ialah setelah mendengarkan bagaimana para ahli bahasa mengartikannya.
Cara yang demikian ini disebut dengan “sama’i” ( hasil pendengaran). Sedangkan untuk
mengetahui arti majazinya ialah setelaH meneliti dan menemukan qarinah-qarinah yang
menyertainya.
Diantara kaidah-kaidah Ushul Fiqh yang penting diketahui adalah Istinbath dari segi
kebahasaan, salah satunya adalah lafadz mutlaq dan lafadz muqayyad dan lafazh dari segi
pemakaian Arti. Makalah ini akan membahas lafadz mutlaq dan lafadz muqayyad secara lebih
mendalam.


A. MUTLAQ DAN MUQAYYAD
1. Definisi kata Mutlaq
Kata mutlaq secara bahasa, berarti tidak terikat dengan ikatan atau syarat tertentu.
Secara istilah, lahazh mutlaq didefinisikan ahli ushul fiqh sebagai lafazh yang memberikan
petunjuk terhadap muudhu’nya (sasaran penggunaan lafazh), tanpa memandang kepada satu,
banyak atau sifatnya, tetapi memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu menurut apa adanya.
Sedangkan Abdul Karim Zaidan mendefinisikan lafazh mutlaq sebagai lafazh yang menunjukkan
suatu satuan dalam dalam jenisnya. Dengan kata lain lafazh mutlak adalah lafazh yang
menunjukkan suatu satuan tanpa dijelaskan secara tertentu. Misalkan rajulun ( seorang kakilaki ) rajaalun ( banyak laki-laki ), kitabun ( buku-buku)1
Contoh lafazh mutlaq dalam nash dapat diamati dari lafazh raqqabah yang dalam
firman Allah :
          
            
Artinya : orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak
menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya)
memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur.
Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa
yang kamu kerjakan. ( Q.S. Al Mujadillah 58 ayat 3).
Ayat ini menjelaskan kaffarat zihar bagi suami yang menyerupakan isteri dengan ibu

kandungnya dengan memerdekakan

budak. Ini dipahami dari

memerdekakanlah seorang budak ” mengingat lafazh

ungkapan ayat “maka

raqqabah ( budak ) merupakan lafazh

mutlaq, mka perintah untuk memerdekakan budak sebagai kaffarat zhihar tersebut meliputi
pembebasan seorang budak yang mencakup segala jenis budak, baik yang mukmin maupun atau
yang kafir. Pemahaman ini didukung pula pemakaian kata raqabah pada ayat diatas merupakan
bentuk naqirah dalam konteks positif.
Contoh lafazh mutlaq lain:
1

Amir Syarifuddin, Ushul fih , Zikrul Hakim: Jakarta, Hal 147

       

 …….. 
Artinya : orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteriisteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat
bulan sepuluh hari.

( Q.S Al-Baqarah , 2: 234)

Lafazh azwajan (isteri-isteri) dalam ayat ii merupakan lafazh mutlaq oleh sebab itu
tidak dibedakan apakah wanita itu telah digauli atau belum digauli oleh suaminya, maka apabila
suaminya meninggal iddah wanita tersebut empat bulan sepuluh hari.
Mutlaq ialah lafazh-lafazh yang menunjukkan kepada pengertian yang tidak ada ikatan
( batas ) yang tersendiri berupa perkataan. Seperti Firman Allah SWT:
…….‫……فتحر ير قبة‬..
Artinya : Maka bebaskanlah oleh seorang hamba sahaya (Q.S. Mujadalah ayat 3 )
Ini berarti boleh membebaskan hamba sahaya yang tidak mukmin dan hamba sahaya
yang mukmin.2
Mutlaq adalah lafazh yang menunjukkan sesuatu yang tidak dibatasi oleh suatu batasan
yang akan mengurangi jangkauan makna secara keseluruhan. ‫ ييييير ر قبت فتحر‬kata yang
digarisbawahi adalah kata mutlak. Artinya mencakup budak secara mutlak. Tidak terbatas satu
atau lebih dan tidak dibatasi apakah budak mukmin maupun budak bukan mukmin.
Kaidah yang berhubungan dengan mutlak adalah

‫ط لمطئق ىبق عئ طل قه ما لم يقم د ليل عل تقييد ه‬
Artinya : Hukum mutlaq ditetapkan berdasarkan kemutlakan sebelum dalil yang
membatasinya.
Contoh QS. Nisa / 4; 23
  
2

Nazar,……… Hal 135

Ayat diatas mengandung makna mutlak, bahwa ibu mertua tidak boleh dinikahi, baik
istrinya (anak ibu mertuanya) itu sudah dicampuri atau belum.3
Dililhat secara sepintas lafazh mutlaq mirip dengan lafazh ‘amm, tetapi sebenarnya
diantara keduannya berbeda. Pada lafazh ‘amm keumuman bersifat syumuliy (melingkupi),
sementara keumuman lafazh mutlaq bersifat badali ( menggantikan). Umum yang syumuliy ialah
kulliy (keseluruhan) yang berlaku atas satuannya, sementara keumumannya yang badaliy adalah
kulliy dari sisi tidak terhalang menggambarkan untuk setiap satuannya. Hanya menggambarkan
satuan yang syumuliy . untuk melihat perbedaan antar kedua lafazh ini dapat diamati dari firman
Allah SWT dibawah ini.
          
      

Artinya : dan tidak ada suatu binatang melata[709] pun di bumi melainkan Allah-lah
yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu
dan tempat penyimpanannya[710]. semuanya tertulis dalam kitab yang
nyata (Lauh Mahfuzh).
Apabila diperhatikan secara seksama dalam ayat ini terdapat lafazh ‘amm yang bersifat
syumuliy (melingkupi) yaitu kata dabbah. Lafazh umum ini karena bentuknya nakirah yang
mencakup semua jenis binatang melata. Isyarat keumumman dalam ayat ini ( menafikan
sesuatu). Apbila lafazh ‘amm pada ayat itu di takhsis, bukan berarti menghapuskan maknamakna lain yang terkandung dalam keumuman lafazhnya. Makna-makna ini tetap dipandang
ada, karena keumuman lafazh ‘amm bersifat syumuliy.4
2. Definisi Muqayyad
Muqayad adalah suatu lafazh yang menunjukkan atas pengertian yang mempunyai batas
tertentu berupa perkataan. Seperti Firman Allah SWT.
.………        . ..……
Artinya : dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman (An. Nisa. Ayat
3
4

Sapiudin shidii, USHUL FIQH , Jakarta, kencana 2011 hal 186-187
Firdaus, Ushul Fiih . Jakarta : Zikrul Hakim 2004, hal 149


Disini tidak sembarang hamba sahaya yang dibebaskan, tetapi ditentukan, hnayalah
hamba sahaya yang beriman 5
Muqayyad adalah lafazh yang menunjukkan sesuatu yang dibatasi oleh sifat, syarat,
dan ghayah. Contohnya ‫ فتحرير رقبة مؤ منة‬. kata budak dalam ayat ini tidak lagi bersifat mutlak
karena sudah dibatasi kata mukmin .
‫با قى على تقييد ه ما لم يقم د ليل على ءا طل قهالمقيد‬
Artinya : Lafazh muttalaq tetap dihukumi

muqayyad

sebelum ada bukti yang

memutlakkannya.’’
Contoh kafar zhihar( perkataan suami kepada istri yang menyamakan istri dengan
ibunya) yaitu memerdekakan budak atau puasa dua bulan berturut-turut atau kalau tidak mampu
ia harus memberi makan 60 orang miskin ( Q.S Al Mujadallah : 3-4). Ayat tersebut telah dibatasi
kemutlakannnya maka harus diamalkan hukum muqoyad-nya.
            
             

            
             
Artinya : ”orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak
menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya)
memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur.
Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa
yang kamu kerjakan. Barang siapa yang tidak mendapatkan (budak), maka
(wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya
bercampur. Dan barang siapa yang tidak kuasa, maka wajiblah atasnya
memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Itulah hukum-hukum Allah, dan
bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.”6

5
6

Nazar Bakri, Fiih dan Ushul Fiih, Jakarta : PT. Raja Grafndd Persada, 2003: hal 135
Ibid, 188

3. Hukum Lafazh Mutlaq dan Muqayyad

a.

Jika terdapat suatu tuntutan yang mutlaq dalam suatu lafazh dan muqayyad pada

lafazh lain, jika keduannya bersesuaian menurut sebab dan hukum. Seperti hadist tentang kifarat
puasa.
‫صم شهر ين متتا بعين‬
Artinya : “Puasalah kamu dua bulan berturut-turut” (H.R Muttafaqun ‘alaihi)
Digabungkan kepadanya hadist:
‫ين متتا بعين‬
Artinya :“ puasa kamu dua bulan”
Hadis yang pertama ditentukan waktunya ( Muqayyad) sedangkan hadist yang kedua
tidak ada ketentuannya (Mutlaq), maka dikompromikan antara hadist yang kedua dengan hadist
yang pertama, karena bersesuaian menurut sebab dan hukumnya.
b.

Jika tidak bersesuaian

menurut sebab, tidak digabungkan mutlhlaq kepada


muqayyad. Seperti antara kifarat zhihar dengan kifarat membunuh.
Firman Allah SWT:
          
    
Artinya : orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak
menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya)
memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur.
(Q.S Mujadalah ayat 3).
Firman Allah SWT
..…        .....
Artinya : “Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman.” ( Q.S. An Nisa 92)

Kalau ayat ini berisikan hukum yang sama (sama-sama membebaskan budak), sedang
sebabnya berlainnan, yang pertama kapada Zhahar dan yang kedua karena membunuh dengan
tak sengaja, justru itu tidak dapat digabungkan mutlaq dan muqqayad7
Persoalan mutlaq dan muqayyad serupa dengan persoalan umum dan khusus, tetapi
umum dan khusus yang berkaitan dengan penerapan hukum, sedangkan mutlaq dan muqqayad
berkaitan dengan keadaan yang berbeda-beda dan sifat-sifat hukum itu sendiri. Umum dan
khusus menyangkut tatanan yang biasanya meliputi segala bentuk penerapan hukum yang

berbeda-beda, yang sebagiannya karena alasan tertentu, merupakan pengecualian dari yang
umum. Namun persoalan mutlaq dan muqqayad berhubungan dengan hakikat dan watak dari
kewajibanyang harus dilaksanakan oleh sipemikul kewajiban tersebut. Jika hakikat dan watak
dari kewajiban itu tidak memiliki syarat tertentu, ia berarti mutlaq, dan jka memiliki syarat
tertentu , ia berarti muqayyad 8
4. Membawa Mutlaq ke Muqayyad
Apabila adala lafazh dalam sebuah nash disebut secara mutlaq dan ada pula nash dalam
bentuk muqayyad, maka untuk menyelesaikannya dapat dilihat dari empat bentuk, yaitu:
a.

Hukum dan sebab yang terkadung dalam mutlaq dan muqayyad adalah sama

tegasnya. Ada kesamaan hukum dan sebab yang menimbulkan hukum pada nash berbeda. Dalam
kaitan ini, ulama ushul fiqh sepakat menetapkan bahwa nash mutlaq harus dibawa ke nash
muqayyad sehingga pemahaman terhadap nash itu sesuai dengan ungkapan muqayyad.
Umpamanya dalam Firman Allah SWT surat Al maidah ayat 5;3:
.……      
Artinya : diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi
Lafazh al-dam (darah) pada ayat ini merupakan lafazh mutlaq karena tanpa
membedakan antara darah mengalir dengan darah yang tidak mengalir dalam kesempatan itu.
Allah berfirman pada surat Al-An’am, 6: 145:
              
.…      
7
8

Nazar,….Hal. 228

Artinya : Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan
kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya,
kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging
babi.
Kata dalam al-damm dalam ayat ini di kaitkan dengan sifat masfutuha ( mengalir ).
Kedua ayat ini mengandung hukum yang sama, yaitu haram. Begitu pula dengan sebab yang
terdapat pada kedua ayat tersebut sama, yaitu haramnya darah karena mendatangkan mudharat.
Mengingat sama hukumnya dan sebabnya, maka untuk ayat mutlaq yang terdapat pada surat Al.
Maidah 5:3 diberlakukan ketentuan muqayyad dalam surat Al- An’am 6: 145. Atas dasar ini
darah yang diharamkan adalah darah yang mengalir bukan darah yang tersisa didalam daging
dan hati.
b.

Hukum dan sebab yang terkandung dalam mutalq dan muqayyad berbeda. Dalam

hal ini, ada dua nash yang masing-masing terdiri dari nash mutlaq dan nash muqayyad. Antara
dua nash ini berbeda hukum dan sebabnya. Ulama ushul fiqh sepakat menetapkan bahwa
masing-masing nash dipahami secara tersendiri misalnya firman Allah dalam surat Al- Maidah 5;
38.
         
    
Artinya : laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai
siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Dalam Surat Al- maidah 5: 6, Allah berfirman:
        
         
              
         
            
       
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat,
maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku,
Kata aidiya ( tangan) yang terdapat pada surat Al- Maidah, 5: 38, merupakan mutlaq.
Sementara kata aidiya pada ayat kedua adalah muqayyad yang dikaitkan dengan kata ila al-

marafi’ ( sampai kesiku). Hukum yang terdapat pada kedua ayat ini pun berbeda. Ayat pertama
terkait dengan hukum potong tangan sedangkan ayat kedua terkait dengan keharusan membasuh
tangan. Sebab berlakunya hukum kedua ayat tersebut juga berbeda. Pada ayat pertama karena
pencurian, sedangkan sebab pada ayat kedua ialah berwudhu’ untuk pelaksanaan shalat.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tidak boleh memberlakukan nash
muqayyad ( sampai siku) terhadap nash mutlaq. Tegasnya, tidak boleh memotong tangan sampai
siku terhadap pelaku pidana pencurian berdasarkan taqyid ayad kedua diatas, karena hukum dan
sebab kedua ayat ini berbeda.
Antara nash mutlaq dan muqayyad mempunyai hukum yang berbeda, sedangkan
sebabnya sama. Misalnya Firman Allah SWT yang terdapat dalam surat Al- Maidah, 5:6;
        
.……   
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat,
Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku.
Ayat tersebut menjelaskan tentang membasuh tangan

sampai siku dalam hukum

muqayyad. Pada lanjutan ayat, Allah berfirman :
            
         
  
Artinya : dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air
(kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka
bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan
tanganmu dengan tanah itu.
Ayat itu memerintahkan menyapu tangan ketika melakukan tayamum. Kata tangan disini
merupakan bentuk mutlaq. Hukum yang terdapat pada kedua ayat ini berbeda, yaitu mutlaq
untuk kewajiban menyapu tangan dan tayamum dan Muqayyad ada pada kewajiban membasuh
tangan dalam berwudhu’. Sebab dalam kedua ayat adalah sama, yaitu keharusan dalam bersuci
untuk mendirikan shalat.
c.

Ada dua nash mutlaq dan muqayyad yang hukumnya sama, tetapi sebabnya beda.

Misalnya firman Allah SWT dalam surat Mujadillah 58:3;
          
..…  

Artinya : orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak
menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya)
memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur.
Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, …..
Dalam kafarat zhihar diatas, lafazh raqabah dikaitkan dengan sifat mu’minah.
Sementara sebab yang menimbulkan hukum pada kedua ayat diatas berbeda, pada lafazh mutlaq
pada ayat pertama berkaitan dengan kasus kaffarat zhihar, sedangkan pada muqayyad ayat kedua
dalam kasus pembunuhan yang tidak disengaja. Hukum dalam kedua ayat ini adalah sama yaitu
kewajiban memerdekakan budak.
5. Syarat- syarat Membawa Mutlaq kepada Muqayyad
Untuk membawa lafazh mutlaq kepada muqayyad harus memenuhi sejumlah syarat
berikut:
a.

Bahwa yang taqyid merupakan sifat dari suatu zat. Syarat itu telah ditetapkan
Syekh Abu Hamid Al- Asfaraniy (344-405 H, ahli ushl fiqh mazhab syafi’i), AlMawardi ( 364-450 H, ahli ushul fiqh dan fiqih mazhab syafi’i) Al- Rubaniy, AlAbhari ( ulam mazhab Malikiyyah) Ibn Khairan al- Syafi’i.

b.

Mutlaq tersebut hanya satu, seperti syarat adil bagi para saksi. Syarat ini
dikemukakan Abu Mansur Al- Harisi, Abu Ishaq Al- syirazi (393-476 H. ahli
ushul Mazhab Syafi’i), Al- Mawardi dan Al- Qadhi abd al –Wahab ( ahli Ushul
fiqih mazhab Maliki)

c.

Mutlaq dalam konteks ammr, bukan naïf dan nahi. Syarat ini di rumuskan oleh
Al- Amidi ( Amid- turki, 551 H- Damaskus, 631 H: ahli ushl mazhab syafi’i), dan
ibn al-Hajib (570-646 H, ahli ushul fiqh mazhab Mailiki). Menurut Razi dn AlAsfahani membawa mutlaq kepada muqayyad tidaklah mesti sebatas ammr saja,
tetapi juga meliputi nahi dan bentuk-bentuk lainnya.

d.

Mutlaq tersebut tidak dalam persoalan-persoalan mubah.

e.

Antara mutlak dan muqayyad tidak dapat dipertemukan kecuai membawa mutlaq
kepada muqayyad.

f.

Sesudah penyebutan lafal mutlaq tersebut tidak diiringi dengan penyebutan lafal
muqayyad
Tidak ada dalil yang menghalangi pen-taqyid-an mutlaq tersebut. 9

g.
.

B. HAQIQAT DAN MAJAZ
1. Definisi Haqiqat
Suatu lafazh yang sengaja diciptakan untuk memberi suatu arti yang sesuai
dengan dengan peristilahan bidang ilmu disebut “ lafazh haqiqat” (sejati). Oleh karena itu
kehaqiqatannya itu dapat dikhususkan dalam bidang ilmu tertentu, maka ia mempunyai namanama sesuai dengan ilmu tempat ia dipergunakan, seperti:
a.

Haqiqat Lughawiyah’

Jika pemakaianya sesuai dengan istilah-bahasa. Seperti lafazh “insan”(manusia) yang
artinya hakikinya menurut syara’ adalah ucapan-ucapandan tindakan-tindakan sebagaimana yang
biasa dilakukan orang-orang Islam dalam menyembah Allah.

b.

Haqiqat Syar’iayah

Jika pemakaiannya sesuai dengan istilah syara’ . Seperti Lafazh Shalat yang arti
hakikinya menurut syara’ adalah ucapan-ucapan yang tindakan-tindakan yang sebagaimana yang
biasa dilakukan oleh orang-orang islam dalam menyembah Allah.
c.

Haqiqat ‘Urfiah ‘Ammah

Jika pemakaian artinya sesuai dengan istilah adat kebiasaan umum. Misalnya lafazh ‘
dabbah’’ yang dipakai untuk menerjemahkan semua binatang yang berkaki empat.
d.
9

Haqiqat ‘Urfiah Khashshah.

Firdaus,…hal 161

Jika pemakaiannya sesuai dengan adat kebiasaan yang khusus. Seperti lafazh-lafazh
“rafa, nasab dan jarr” dipakai oleh para ahli nahwu (grammarian) dalam pengertian yang khusus
perihal perubahan bunyi akhir kata dalam satu kalimat.
2. Definisi dan Macam-macam Majaz
Lafazh yang digunakan untuk suatu arti yang semula lafazh itu bukanlah
diciptakan untuknya. Sebagaimana halnya lafazh haqiqat itu terbagi kepada haqiqat lughawiyah,
syari’ah dan “urfiyah, demikian jugalah lafazh majaz. Sebagai contoh Majaz Lughawi seperti
lafazh “asad” (singa) yang dipakai memberikan sebutan kepada seorang pemberani. Contoh
Lafazh Syar’i seperti lafazh “Shalat”, bila digunakan untuk pengertian “do’a” sebagai ontoh
lafazh Majaz ‘Urfi seperti lafazh “dabbah” yang berarti setiap binatang yang melata dipermukaan
bumi.
a.

Macam-macam Majaz.

1.

Adanya tambahan dari susunan kata menurut bentuk yang sebenarnya. Contoh

menambahkan kata yang berarti “ seperti” dalam surat As- Syura ayat 11: “ tidak ada seperti
semisalnya sesuatupun”, tanpa kata itu pun sebenarnya tidak akan mengurangi artinya.
2.

Adanya kekurangan dalam susunan suatu kata dari yang sebenarnya dan

kebenaran maksud lafazh itu terletak pada yang kurang itu. Contohnya dalam surat Yusuf 82 :”
tanyalah kampong itu”. Secara makna hakikat adalah “ tanyalah penduduk kampung itu.”
Adanya kekurangan kata “penduduk “ dalam kata “ kampong “ itu menjadikannya sebagai
majaz.
3.

Mendahulukan dan membelakangkan atau dalam artian “ menukarkan kedudukan

suatu kata”. Contoh dalam surat An Nisa ayat11: “ sesudah mengeluarkan wasiat dan membayar
hutang”. Maksud sebenarnya ”sesudah membayar utang dan mengeluarkan wasiatnya.”.
4.

Meminjamkan kata atau ‘isti’arab adalah menanamkan sesuatu dengan

menggunakan meminjamkan kata lain) seperti memberi nama si A yang pemberani dengan
nama singa.10
3. Hukum Haqiqat dan Majaz
10

Sidi Nazar Bakri, Fiih dan Ushul Fiih, PT. Raja GrafnddPersada 2003 . Hal 252

Setiap lafazh haqiqat harus diamalkan menurut arti yang semula diciptakan
untuknya, baik bersifat amm maupun khash dalam bentuk (fi’il) amr atau nahl.
Misalnya firman Allah :
     
,Artinya : Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu

Arti yang dimaksud ialah lafadzh “irka’u” dan “usjudu” dalam ayat tersebut adalah
ruku’ dan sujud, sebagaimana yang kita kenal . Kedua lafadzh itu adalah khash (keduanya fi’il
amr) sedang orang yang diperintahkan melakukannya adalah umum.
Dan firmanNya lagi :
        
Artinya: dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya),
melainkan dengan suatu (alasan) yang benar…(Al-n Isra’ :33)
Arti membunuh yang terkandung didalam lafazh “ la tatqulu” adalah membunuh yang
sebenarnya. Lafazh ini termasuk lafazh khash, karena fiilnya nahyi, sedangkan orang yang
menerima khithab larangannya adalah umum seluruh manusia.
Demikian juga setiap lafazh majaz hendaklah diamalkan menurut arti yang
dipinjamkan unuknya. Seperti firman Tuhan :
..……      
Artinya : …….atau kembali dari tempat buang …..( Al-Maidah:6)
Makna majazi rangkaian kalimat ‘’ au ja’a ahadun minkum minal gha’ith” ialah apabila
seseorang berhadast kecil” makna inilah yang dikehendaki oleh ayat tersebut, bukan makna yang
sebenarnya kembali ketempat buang air.
Dan FirmanNya lagi:

..…  …..    
Artinya:…….."Sesungguhnya aku bermimpi, bahwa aku memeras anggur." ………
( Yusuf:36)
Arti hakiki dalam lafazh “ a’shiru kamran”dalam ayat taersebut ialah “aku memeras
khamr”, tetapi artinya yang demikian ini tidak dimaksudkan oleh ayatdan yang dimaksudkan
adalah arti majazi yaitu “ a’shiru inaban” aku memeras anggur untuk membuat khamr.
Apabila suatu lafazh dapat diartikan dengan arti yang hakiki dan dapat pula diartikan
dengan arti yang majazi, hendaklah diartikan menurut artinya yang hakiki. Karena itulah arti
yang asli, sedangkan arti menurut arti yang majazi bukan asli lagi. Akan tetapi lafazh itu sukar
diartikan menurut arti yang hakiki, hendaklah diartikan menurut arti yang majazi. Dan apabila
sulit diartikan dengan arti yang hakiki dan arti yang majazi, maka hendaklah didamkan (ihmal)
lafazh, yang demikian itu disebut lafazh muhmal.11
4.

Keumuman lafazh Majaz

Ulama syafi’iyah berpendapat bahwa suatu lafazh menjadi majaz bila ia sukar diartikan
dengan hakikat, sehingga dalalah lafazh kepada maknanya yang majazi itu adalah dadalah
dharuriyah (karena terpaksa). Oleh karena itu, ia hanya mencakup arti yang minimal, yang
dapat dibenarkan oleh rangkaian kalimat, bukan mencakup keseluruhan arti secara umum.
Misalnya sabda Rasulullah SAW:
‫تتبيعو ا الصا ع با ا لصا عين‬
Artinya: jangan menjual satu takar dengan dua takar.
Lafazh sha’ yang arti hakikinya suatu wadah untuk menakar, dalam hadist ini di
artikan secara majazi” barang-barang yang bila diperjualbelikan dengan ditakar”. Sebab jika
yang dilarang itu memperjualkan wadah untuk menakar, maka hal itu bertentangan dengan
maksud hadist. Di dalam periwayatan lain diisyaratkan bahwa yang dilarang di perjualbelikam
itu ialah sesuatu yang dapat ditakar. Kata Rasulullah SAW
11

Mukhtar Yahya & Fathur Rahman,Dasar-dasar pembinaan hukum fqh islami, Jakarta; ct .
5 hal. 262

‫ت تبيعو ا الصا ع با لصا عين‬
Artinya : jangan menjual sepenuh satu takar dengan sepenuh dua takar.
Perkataan” sepenuh satu takar” (mil’al-sha) memberi isyarat isi yang ditakar. Sekurangkurangnya yang dapat diterima oleh pembicaraan sesuatu yang ditakar itu ialah bahan makanan.
Ulama hanafiyah berpendapat bahwa dalalah lafazh majaz itu bukanlah dalalah darurat ,
akan tetapi ia merupakan salah cara diantara cara-cara (seni) mendatangkan makna. Bahkan
kadang-kadang lafazh majaz itu lebih mengenai daripada lafazh haqiqat. Itulah sebabnya
pengunaan lafazh majaz banyak didapati dalam kesusasteraan yang indah-indah dan memenuhi
lembaran-lembaran kitab suci Al-Quran. Misalnya :
……      
Artinya : dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan
…. ( Al – Isra : 24)
Penggunaan Lafazh” khafdhul-janah" ( melipat, sayap, menurunkan sayap) sebagai
terjemahan pengertian membungkukkan dada, menurunkan tangan, atau memberi penghormatan,
untuk memperindah susunan dalam seni sastra. Demikian juga dalam rangkaian firman Tuhan :
      …… 
Artinya : dan difirmankan: "Hai bumi telanlah airmu, dan Hai langit (hujan)
berhentilah….. ( Hud :44)
Dapat dirasakan betapa indah susunan katanya
Keumuman dan kekhususan suatu lafazh, menurut ulama Hanafitah, diketahui
berdasarkan dalil-dalil, bukan karena kehaqiqatan atau kemajazan suatu lafazh semata-mata.
Oleh karena itu, apabila suatu lafazh majaz dinyatakan dengan bentuk ‘amm, maka menjadilah
ia lafazh yang pengertiannya untuk umum. Misalnya ‘sha’ dalam hadist tersebut diatas adalah
lafazh yang di ma’rifatkan dengan alif lam (al)- jinsiyah. Sesuai dengan ketentuan yang berlaku,
maka ia mendapatkan lafazh ‘am, dan karenanya dapat mencakup pengertian seluruh satuansatuan yang dapat ditakar, baik berupa makanan maupun selainnya. Akan tetapi, karena ada dalil
yang menjelaskan ( mentakhshishkan) maka barang-barang yang dilarang diperjualbelikan
dengan menggunakan alat takar lantaran tidak seimbang takarannya adalah bahan makanan

dengan mutu sama. Untuk bahan makanan biarpun dalam transaksi jual-beli menggunakan tidak
mencukupi dalam hadist12
5. Mengumpulkan Lafazh Hakikat dan Lafazh Majaz
Menggunakan suatu lafazh dengan makna yang majazi yang tercakup juga maknanya
yang hakiki tidak terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama dalam memperbolehkannya.
Misalnya menggunakan lafazh ‘umm (ibu) dengan arti yang majaznya yaitu asal usul yang
menurunkan seseorang yang mencakup ibu dan ibu dari ibu (nenek) dan lafazh bintun (anak
perempuan) yang arti majaznya yakni anak turun perempuan yang dapat mencakup juga anak
perempuan kandung, cucu perempuan dari lak-laki ( bintun-ibnin) dan cucu perempuan dari anak
perempuan ( bintun bintin).
Adapun yang mereka perselisihkan dalam hal ini ialah jika penggunaan arti keduaduanya bersama-sama dalam satu ucapan, sedang masing-masing mempunyai ketentuan hukum
sendiri- sendiri. Misalnya jika

dikatakan uqtul al-asada dikatakan sebagai suatu perintah

membunuh singa ( arti haqiqinya) sekaligus dengan membunuh seseorang pemberani ( arti
majazinya). Dalam masalah ini terdapat dua pendapat:
Pertama,

Imam

Syafi’i,

kebanyakan

ahli

hadist

dan

sebagaian

Mutakallimin,

memperbolehkannya. Karena tidak ada penghalang untuk hal itu dan karena seseorang
diperbolehkan

mengecualikan salah satu arti yang dua macam itu, setelah lafazh itu

dipergunakan dalam suatu pembicaraan yang sekaligus dapat mencakup keduanya. Misalnya
firman Allah SWT:
…… …….  
Artinya : atau menyentuh perempuan,
Maka tidak ada halangan lafazh ia masa dalam ayat itu diartikan menyentuh dengan
tangan, sekaligus diartikan bersetubuh. Dalam pada itu dibenarkan pula mengecualikan salah
satu arti dari kedua arti tersebut, seperti bila dikatakan: “ atau kamu menyentuh perempuan ,
kecuali kalau sentuhan itu dengan tangan”. Akan tetapi, kalau dalam penggunaan kedua makna
itu menimbulkan perbedaan ketentuan, maka tidak dibenarkan mengumpulkan kedua arti haqiqi
dan majazi dalam satu pembicaraan. Misalkan menggunakan fiil ‘ammr untuk arti mewajibkan

12

Mukhtar Yahya,…. Hal 262

dan mensunatkan suatu perbuatan atau untuk arti membolehkan atau menghardik suatu tindakan
sekaligus dalam suatu percakapan.
Kedua,

Fuyafi’iyah dan Jumhur Mutakallimin melarang menggunakan

dua arti

sekaligus dalam suatu percakapan. Alasannya karena :
a) Pengumpulan yang demikian itu tidak dikenal dalam pemakaian bahasa. Sebab tidak pernah
terajadi dalam percakapan menggunakan lafazh insan untuk bani Adam dan binatang atau
menggunakan lafazh himar (keledai) untuk nama hewan dan sebutan orang yang tolol
sekaligus.
b) Pemakaian lafazh menurut haqiqat tidak memerlukam qarinah, sedangkan pemakaian lafazh
menurut arti majazi memerlukan suatu qarinah. Dengan demikian menggunakan keduaduanya.
Misalnya Sabda rasulullah SAW:
‫شر ب الخعر فا جلد و ه من‬
Artinya: barang siapa yang meminum khmar deralah dia.(H.R. Ahmad)
Maka makna hakiki dari lafazh khamr, yaitu minuman yang dibuat dari perasan anggur,
adalah makna yang sudah disepakati oleh para ulama (sahabat). Tidak dapat disertakan makna
majazi sekaligus dalam ucapan. Karena itu, siapa yang meminum minuman yang memabukkan
selain khamr tidak dapat diterapi hukuman dera berdasarkan makna majazi dari lafazh khmar
tersebut. Kecuali ada dalil lain yang menerangkannya, baik dalil sunnah maupun ijma’13
Begitupun ayat Al-Maidah ayat 6:
……… ……..  
Artinya :…...atau menyentuh perempuan, …..(Q.s. Al- Maidah;6)
Makna haqiqi dari lafazh “lamastum” dalam surat al-Maidah ayat 6 tersebut diatas ialah
menyentuh dengan tangan, sedangkan makna majazi ialah bersetubuh. Makna terakhir ini
(majazi)

makna yang dikehendaki oleh ijma’ dan dikuatkan oleh adanya qarinah. Yang

digunakan sighat mufa’alah ( musyarakah) untuk lafazh lamasa yang memberi petunjuk saling
adanya kerja sama dalam melakukan perbuatan yang dinyatakan oleh kata kerja ( sentuh
13

Nyak Umar, UshulFiih, Ar –Raniry Press Darussalam;Banda aceh 2008 hal 194

menyentuh) sedang yang dikendaki oleh lafazh itu maknanya haqiqi, yakni menyentuh dengan
tangan, niscaya tidak menggunakan fi’il yang menggunakan fi’il yang bersighat mufa’alah 14

DAFTAR ISI
PENDAHULUAN……………………………………………………………………………

1

A. MUTLAQ DAN MUQAYYAD ……………………………………………………

1

1. Definisi Kata Mutlaq…………………………………………………………….

1

2. Definisi Kata Muqayyad…………………………………………………………

4

3. Hukum Lafazh Mutlaq dan Muqayyad………………………………………….

6

4. Membawa Mutlaq ke Muqayyad…………………………………………………

7

5. Syarat-syarat Membawa Mutlaq Kepada Muqayyad……………………………. 10
B. HAQIQAT DAN MAJAZ…………………………………………………………… 11
14

Mukhtar yahya dan Fathur Rahman……hal. 266

1.

Definisi Haqiqat…………………………………………………………………

11

2.

Definisi dan Macam-macam Majaz……………………… ……………………

12

3.

Keumuman Lafazh Majaz………………………………………………………

15

4.

Mengumpulkan Lafazh Haqiqat dan Lafazh Majaz…………………………….

16

C. PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA
Bakri, Sidi Nazar Fiqh dan Ushul Fiqh, PT. Raja GrafindoPersada 2003
Firdaus, Ushul Fiqh ( Metode Menngkaji Dan Memahami Hukum Islam), Jakarta; Zikrul Hakim
2004.
Syarifuddin ,Amir, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Kencana, 2011
Umar, Mukhsin Nyak.Ushul Fiqh, Banda Aceh: Ar Raniry Press, 2008

Yahya, Mukhtar & Fathur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Fiqh Islam, Bandung: Al Ma’rif,
1986