BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH - Gambaran Penyesuaian Perkawinan Pada Pasangan Yang Melakukan Perkawinan Ganti Tikar

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Perkawinan merupakan unsur penting dalam kehidupan, sejak individu

  sepakat memutuskan untuk menikah, berarti telah terjadi perubahan peran serta tanggung jawab terhadap diri sendiri dan lingkungannya. Menurut Santrock (1995) perkawinan merupakan penyatuan dua pribadi yang unik, dengan membawa pribadi masing-masing berdasar atas latar belakang budaya serta pengalamannya. Hal tersebut menjadikan pernikahan bukanlah sekedar bersatunya dua individu tetapi lebih pada persatuan dua sistem keluarga secara keseluruhan dan pembangunan sebuah sistem yang baru. Artinya perbedaan-perbedaan yang ada perlu disesuaikan satu sama lain untuk membentuk sistem baru bagi keluarga mereka.

  Dalam menjalani pernikahan tidaklah pernah bersifat statis tetapi akan selalu berubah, tumbuh, dan berkembang. Tidak semua perkawinan dapat mencapai tujuan tersebut dengan baik, setiap orang mempunyai kemungkinan akan berpisah dengan pasangannya sebagai suatu bagian dari kehidupannya.

  Sebagian kecil persentasinya akan berpisah dengan pasangannya, yang kemudian melanjutkan kehidupannya sebagai seorang duda atau janda (DeGenova, 2008).

  Salah satu hal yang menyebabkan seseorang menjadi duda atau janda adalah karena kematian pasangan hidup. Kematian pasangan merupakan salah satu peristiwa hidup yang paling traumatik pada usia apapun. Beberapa individu yang mengalami kematian pada pasangannya, tidak lagi memiliki peran pasangan hidup dan merupakan kejadian yang memberikan dampak terbesar bagi dirinya dan bagi keluarga (Holmes & Rahe dalam Goldsmith, 1996 ).

  Kematian suami atau istri memiliki nilai perubahan kehidupan yang paling tinggi dibandingkan peristiwa-peristiwa lain dalam kehidupan individu selaku pihak yang ditinggalkan (Atkinson, dkk, 1991). Akhir dari suatu perkawinan apakah itu kematian atau perceraian menyangkut kehilangan pasangan bagi individu yang mengalami perubahan tersebut cenderung berduka atas apa yang terjadi karena hilangnya persahabatan, kebersamaan, dan bagian-bagian yang indah dari perkawinan. Kehilangan pasangan yang kita cintai adalah pengalaman manusia yang paling menyakitkan dan stress. Seseorang yang menjadi single

  parent karena kematian juga mengalami masalah yang berat (Degenova, 2008).

  Beberapa single parent yang ditinggal mati pasangannya mengalami masalah keuangan dan merasa kesepian. Efek dari kondisi menjanda atau menduda berbeda antara pria dan wanita.

  Wanita mungkin menunjukkan penderitaan mereka secara terbuka, akan tetapi para pria juga merasakan kehilangan tambatan mereka (Aldwin & Levenson, 2001 dalam Papalia & Old 2008). Wanita juga harus menghadapi kenyataan bahwa kesempatannya untuk menikah lagi menjadi semakin kecil sejalan dengan usianya yang semakin tua dan juga para wanita juga lebih banyak berkeluh kesah pada orang di luar perkawinan. Para wanita biasanya dapat menangani kebutuhan rumah tangga mereka sendiri sehingga banyak wanita yang tidak tertarik untuk menikah kembali (Talbott dalam Papalia & Old,1998 ). Pada pria yang kehilangan pasangan mengalami kekacauan pola hidup, cenderung merasa kesepian dan merasa bahwa status kesendiriannya tidak menyenangkan (Papalia & Feldman, 2004). Pria juga cenderung memiliki resiko kematian segera setelah istrinya. Hal ini disebabkan karena wanita atau istrinya merupakan satu- satunya orang terdekat kepercayaan pria atau juga karena pria tidak memiliki persiapan untuk hidup sendiri sehingga pria memutuskan untuk menikah kemabali. Hal ini sejalan dengan Penelitian Cleveland & Gianturco (1976) juga menyatakan bahwa lelaki yang ditanggal pasangan memiliki kecendrungan lebih besar untuk melakukan pernikahan kembali dari pada wanita.

  Menikah kembali menjadi solusi yang dapat membantu individu untuk menyesuaikan diri, tidak hanya untuk mendapatkan teman yang bisa dipercaya dan diajak berbagi serta pasangan dalam hubungan seksual, tetapi menikah kembali juga dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi (A.D. Shapiro dalam DeGenova, 2008). Hal ini juga didukung oleh Bray (Craig, 2001) yang mengatakan menikah kembali dilakukan karena perasaan cinta, untuk mengatasi kesepian, perasaan tidak menyenangkan bagi pasangan yang ditinggalkan, masalah finansial, mendapatkan bantuan dalam mengasuh anak, dan penerimaan sosial.

  Ada beberapa bentuk perkawinan di Indonesia menurut Hadikusuma (1987) yaitu perkawinan jujur, perkawinan semanda dan perkawinan mentas. Perkawinan jujur yaitu perkawinan yang dilakukan dengan pembayaran uang jujur (mahar) dari pihak pria kepada pihak wanita. Salah satu bentuk perkawinan jujur adalah perkawinan ganti istri atau perkawinan ganti tikar. Perkawinan ganti tikar, dalam bahasa asing sering disebut dengan levirate dan di beberapa suku disebut dengan

  rere pada suku Toba, gancihabu pada suku karo, turun atau naik ranjang pada

  suku Banten merupakan suatu perkawinan yang disebabkan istri meninggal, maka suami menikah lagi dengan kakak atau adik wanita dari istri yang telah wafat (Hadikusuma, 1987). Ada beberapa alasan yang mendasari terjadinya perkawinan ganti tikar yaitu agar istri pengganti dapat memberikan keturunan untuk penerusan keluarga, dan apabila sudah memiliki keturunan agar anak atau kemanakan dapat diurus dan dipelihara dengan baik. Alasan lain seseorang melakukan perkawinan kembali dengan ganti tikar adalah untuk menjalin kembali sistem kekerabatan oleh kedua keluarga dari perkawinan terdahulu (Hadikusuma, 1987). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Syafriadi (2010) juga menambahkan bahwa perkawinan ganti tikar atau turun ranjang dilandasi karena permintaan keluarga atau wasiat dari istri yang meninggal untuk menikahi saudaranya. Seperti yang terlihat dari hasil wawancara dengan partisipan berikut :

  “Dua tahun setelah kejadian meninggalnya almarhum, si mas masih sendiri belum ada yang tepat katanya buat gantiin almarhum, tapi karena perhatian yang paling kecil lebih sering ke kakak, maka para keluarga besar nyaranin kami buat nikah aja biar si kecil lengkap punya ayah ibu lagi, gitu kata mereka. Meski sebenarnya ada rasa janggal juga harus menganggap kakak ipar jadi suami, kakak mau gak mau harus nurut apa kata keluarga besar yaudah kakak dilamar sama Mas terus nikahnya sederhana aja.

  (komunikasi personal,02 Mei 2012) Berdasarkan hasil wawancara di atas terlihat jelas bahwa perkawinan ganti

  tikar terjadi bukan berasal dari keinginan pasangan, tetapi karena alasan anak dan

  permintaan dari keluarga. Umumnya alasan seseorang memutuskan untuk menikah, apabila adanya perasaan saling menyukai dan karena adanya suatu kedekatan emosional yang terjadi pada pasangannya. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Scheneider (dalam Wahyunigsih, 2002) yang menjelaskan motivasi seseorang dalam melakukan perkawinan karena perasaan cinta yang mendalam sehingga lebih memudahkan pasangan dalam melakukan penyesuaian perkawinan. Berbeda dengan perkawinan ganti tikar, seseorang memutuskan untuk menikah dikarenakan adanya permintaan dari keluarga, sehingga perkawinan terjadi bukan karena adanya perasaan saling menyukai. Jika hal ini terjadi maka akan menghambat pasangan dalam melakukan penyesuaian di dalam perkawinan.

  Keputusan seseorang untuk menikah dengan ganti tikar tentunya memiliki pengaruh dalam melakukan penyesuaian di dalam perkawinannya, Pada pasangan yang menikah tanpa ganti tikar penyesuaian dengan keluarga pasangan lebih sulit karena pasangan harus melakukan penyesuaian lagi dengan mertua baru, adik ipar dan juga anak antar keluarga pasangan yang belum saling mengenal. Menurut (Hurlock, 1999) salah satu faktor keberhasilan dalam penyesuaian dengan pihak keluarga pasangan apabila hubungan antar kedua keluarga baik dan istri maupun suami mau menerima masing-masing keluarga seperti keluarga sendiri.

  Pada pasangan yang menikah dengan ganti tikar keterlibatan keluarga pasangan seperti anak, mertua sudah terjalin sebelum pernikahan ganti tikar itu terjadi (Hadikusuma, 1977). Masing-masing keluarga pasangan sudah saling mengenal satu sama lain, sehingga ketika perkawinan itu terjadi, maka pasangan

  ganti tikar tidak mengalami kesulitan dalam melakukan adaptasi kembali dengan

  keluarga pasangan. Kondisi ini menjadi suatu kemudahan bagi pasangan ganti

  tikar dalam melakukan perkawinan karena pasangan tidak mengalami kesulitan

  dalam penyesuaian dengan keluarga pasangan. Hal tersebut sejalan dengan wawancara yang dilakukan pada salah satu pasangan yang melakukan perkawinan

  ganti tikar.

  ” karena toh kedua keluarga besar sudah terjalin hubungan sejak pernikahan almarhum dengan abang, dan malah keluarga besar nyuruh kami nikah mereka bilang, biar keluarga besar kita gak jadi renggang ada baiknya kan kamu nikah sama si mas aja. jadinya saya gak gitu kesulitan sama keluarga suami,malah mereka senang kakak mau gantiin almarhum”.

  (Komunikasi personal, 2 Mei 2012) Penyesuaian perkawinan sangat penting dilakukan karena menentukan seseorang dalam mencapai suatu kebahagian dalam perkawinan. Menurut Atwater

  & Duffy (1999) kebahagiaan perkawinan tergantung pada apa yang terjadi saat pasangan memasuki kehidupan perkawinan yaitu seberapa baik mereka mengalami kesesuaian atau kecocokan. Munculnya berbagai masalah yang dihadapi pasangan dalam menjalankan perkawinan, maka hal ini membuat pasangan butuh melakukan penyesuaian diri di dalam perkawinannya. Salah satu penyesuaian diri dalam perkawian menurut Hurlock (1999) adalah penyesuaian dengan pasangan.

  Penyesuaian pasangan merupakan masalah yang paling pokok yang pertama sekali dihadapi oleh pasangan baru menikah baik pada perkawinan pertama maupun pada perkawinan kembali (Hurlock, 1999). Penyesuaian dengan pasangan yang baik yaitu bagaimana kemampuan suami dan istri berhubungan dengan mesra dan saling memberi dan menerima cinta (Hurlock, 1999). Ditambah lagi konsep mengenai bagaimana peran sebagai suami istri menentukkan seseorang dalam penyesuaian perkawinan. Pada penelitian yang dilakukan oleh dilakukan (Sev’er & Bagli, 2006) menjelaskan bahwa pasangan ganti tikar mengalami kesulitan dalam menjalankan perkawinan ini. Kesulitannya terjadi karena adanya kebingungan peran, yaitu dahulu adik ipar kemudian berubah peran menjadi seorang istri untuk menggantikan peran dari perkawinan sebelumnya sehingga dibutukan penyesuaian yang berbeda dengan pasangan yang menikah tanpa ganti tikar.

  Dalam perkawinan ganti tikar seharusnya suami dalam memperlakukan istri

  nungkat (istri ganti tikar) harus setara perlakuaanya dengan istri yang telah wafat

  (Hadikusuma,1977). Namun hal ini tidak terjadi sehingga sering menimbulkan konflik dalam rumah tangga. Hal ini sesuai dengan penuturan istri yang menikah dengan ganti tikar :

  “Mungkin karena dia suami almarhum dulu, jadi kadang kalau kami berdua berantem, kakak merasa abang itu kayak ngebandingi kakak sama almarhum, meskipun gak dinyatakan secara langsung, tapi kakak merasa kayak gitu”.

  (Komunikasi personal 3 Mei 2012) Berdasarkan wawancara di atas dapat terlihat bahwa suami masih membanding-bandingkan istri yang telah wafat dengan istrinya dalam perkawinan kedua. Faktor yang menentukan keberhasilan dalam penyeseuaian pernikahan kembali yaitu apabila pasangan mampu menghilangkan atau mengekang sikap yang telah terpola dalam periode waktu yang sangat lama, dan berusaha untuk membentuk sikap baru (Hurlock, 1999).

  Dalam melakukan penyesuaian perkawinan, masalah penyesuaian seksual juga menjadi pengaruh penting dalam menentukan keberhasilan pasangan dalam perkawinan. Apabila pada penyesuaian seksual pasangan mengalami kesulitan maka akan berdampak pada perkawinannya (Hurlock,1999). Pada perkawinan

  ganti tikar masalah penyesuaian seksual menjadi salah satu penghambat didalam

  menjalankan perkawinannya. Seperti yang diutarakan oleh pasangan yang menikah dengan ganti tikar “Si Masnya sabar banget. Kami tidak malam pertama sampai dua minggu, nunggu aku siap mental dulu katanya. Rupanya dia juga belum bisa melupakan kalau aku itu udah bukan lagi adik iparnya tetapi udah jadi istrinya. Jadi secara mental dia belum sanggup menyetuhku”.

  (Komunikasi personal, 3 Mei 2012) Menurut Hurlock (1999) penyesuaian seksual menjadi penyesuaian yang penting setelah penyesuaian pada pasangan. Biasanya dikarenakan pasangan belum membuka diri terhadap pasangan ganti tikarnya. Baik pihak pria maupun wanita timbul perasaan segan pada kedua belah pihak. Mereka merasa kesulitan dalam merubah pemahaman mereka mengenai perubahan peran yang mereka alami saat ini yang dahulunya adalah saudara ipar yang memiliki banyak batasan, kini berbah menjadi sepasang suai istri yang seharusnya saling terbuka satu sama lain tanpa adanya batasan. Hal ini juga ditambahkan oleh (Anjani & Suyanto, 2006) yang mengatakan bahwa problematika perkawinan muncul karena buruknya penyesuaian seksual dari pasangan tersebut. Kurang baiknya penyesuaian seksual dapat menimbulkan perilaku seksual yang negatif.

  Gambaran umum mengenai penyesuaian perkawinan membuat penyesuaian perkawinan pada ganti tikar menjadi lebih sulit, karena perkawinan ganti tikar merupakan perkawinan yang jarang terjadi pada sekarang ini. Berdasarkan pada permasalahan-permasalahan diatas, seperti penyesuaian dengan pasangan, penyesuaian seksual, penyesuaian keuangan dan penyesuaian dengan keluarga, maka peneliti berkeinginan untuk meneliti lebih jauh tentang bagaimana penyesuaian pada pasangan yang menikah kembali dengan ganti tikar.

B. RUMUSAN MASALAH

  Berdasarkan penjelasan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka rumusan masalah yang peneliti ajukan adalah:

  1. Bagaimana proses terjadinya perkawinan ganti tikar pada masing-masing pasangan

  2. Bagaimana gambaran penyesuaian perkawinan pada pasangan yang melakukan perkawinan ganti tikar,bedasarkan faktor-faktor yang dikemukakan oleh Hurlock (1999) yaitu penyesuaian dengan pasangan, penyesuaian seksual, penyesuain keuangan dan penyesuaian dengan keluarga pasangan.

C. TUJUAN PENELITIAN

  Tujuan dari penelitian ini adalah : 1.

  Mengetahui bagaimana proses terjadinya perkawinan ganti tikar pada masing-masing pasangan.

  2. Mengetahui bagaimana gambaran penyesuaian perkawinan pada pasangan yang melakukan ganti tikar bedasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian perkawinan.

  D. MANFAAT PENELITIAN

  Manfaat penelitian ini adalah :

  1. Manfaat Teoritis a.

  Sebagai bahan referensi bagi pengembangan ilmu Psikologi Perkembangan, terutama yang mencakup permasalahan seputar keluarga, yakni penyesuaian pada pasangan yang melakukan perkawinan dengan cara ganti tikar.

  b.

  Merangsang peneliti – peneliti selanjutnya melakukan penelitian yang berhubungan dengan perkawinan yang terkait dengan konteks budaya di Indonesia.

  2. Manfaat Praktis a.

  Sebagai bahan informasi, terutama bagi pasangan yang menikah dengan bentuk ganti tikar, penelitian ini bisa dijadikan sebagai masukan untuk membantu pasangan agar memahami faktor-faktor apa saja yang dapat membantu mengurangi permasalahan dalam perkawinan ganti tikar b.

  Memberikan informasi tentang penyesuaian perkawinan kepada pasangan yang ingin melakukan perkawinan yang berguna sebagai

  .

  proses pembelajaran dalam menjalani suatu perkawinan nantinya

E. SISTEMATIKA PENULISAN

  Sistematika penulisan proposal penelitian ini adalah :

  BAB I : Pendahuluan Bab ini menguraikan latar belakang masalah, perumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penelitian.

  BAB II : Landasan Teori Bab ini menguraikan tentang tinjauan teoritis dan teori-teori yang menjelaskan dan mendukung data penelitian. Diantaranya adalah fungsi perkawinan, penyesuaian pernikahan dan faktor-faktor penyesuaian pernikahan, perkawinan kembali, dan perkawinan ganti tikar.

  BAB III : Metode Penelitian Bab ini berisi penjelasan mengenai metode penelitian kualitatif, alasan dipergunakannya pendekatan kualitatif, responden penelitian, metode pengambilan data, alat bantu pengumpulan data, kredibilitas penelitian serta prosedur penelitian.

  BAB IV : Hasil Analisa Data Bab ini menguraikan mengenai data dan pembahasan hasil analisa data penelitian dengan teori yang relevan untuk menjawab pertanyaan penelitian yang telah ditentukan sebelumnya.

  BAB V : Kesimpulan, diskusi, dan saran, berisikan hasil dari penelitian yang telah dilaksanakan dan diskusi terhadap data-data yang tidak dapat dijelaskan dengan teori atau penelitian sebelumnya karena merupakan hal baru, serta berisi saran-saran praktis sesuai dengan hasil dan masalah- masalah penelitian serta saran-saran metodologis untuk penyempurnaan penelitian selanjutnya.