BAB 2 LANDASAN TEORI - Aplikasi Watermarking Sebagai Teknik Penyembunyian Label Hak Cipta Pada Citra Digital Dengan Metode Randomly Sequenced Pulse Position Modulated Code
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Citra
Citra adalah representasi dari sebuah objek. Citra sebagai keluaran suatu sistem
perekaman data yang dapat bersifat sebagai optik (foto), analog (sinyal-sinyal video
seperti gambar pada monitor televisi), ataupun digital yang dapat langsung disimpan
pada suatu media penyimpan.
2.1.1
Citra Analog
Citra analog adalah citra yang bersifat kontinu, seperti gambar pada monitor televisi,
lukisan,
pemandangan
alam
dan
sebagainya.
Citra
analog
tidak
dapat
direpresentasikan dalam komputer sehingga tidak bisa diproses secara langsung. Citra
analog dihasilkan oleh alat-alat analog seperti kamera foto analog, sensor rontgen
untuk foto thorax, sensor gelombang pendek pada sistem radar, dan lain-lain. Oleh
sebab itu, agar citra ini dapat diproses di komputer, proses konversi analog ke digital
harus dilakukan terlebih dahulu [12].
2.1.2
Citra Digital
Citra digital adalah citra yang terdiri dari sinyal-sinyal frekuensi elektromagnetis yang
sudah di-sampling sehingga dapat ditentukan ukuran titik gambar tersebut yang pada
umumnya disebut piksel. Untuk menyatakan citra (image) secara matematis, dapat
didefinisikan fungsi f(x,y) di mana x dan y menyatakan suatu posisi dalam koordinat
dua dimensi dan harga f pada titik (x,y) adalah harga yang menunjukkan warna citra
pada titik tersebut [4].
Citra digital adalah citra yang dinyatakan secara diskrit (tidak kontinu), baik
untuk posisi koordinatnya maupun warnanya. Dengan demikian, citra digital dapat
Universitas Sumatera Utara
digambarkan sebagai suatu matriks, di mana indeks baris dan indeks kolom dari
matriks menyatakan posisi suatu titik di dalam citra dan harga dari elemen matriks
menyatakan warna citra pada titik tersebut. Dalam citra digital yang dinyatakan
sebagai susunan matriks seperti ini, elemen-elemen matriks tadi disebut juga dengan
istilah piksel yang berasal dari kata picture element [7].
Untuk mendapatkan suatu citra digital, dapat digunakan alat yang memiliki
kemampuan untuk mengubah sinyal yang diterima oleh sensor citra menjadi bentuk
digital, misalnya dengan menggunakan kamera digital atau scanner. Cara yang lain
adalah dengan menggunakan ADC (Analog-to-Digital Converter) untuk mengubah
sinyal analog yang dihasilkan oleh keluaran sensor citra menjadi sinyal digital,
misalnya dengan menggunakan perangkat keras video capture yang dapat mengubah
sinyal video analog menjadi citra digital [12].
2.2 Mode Warna
Menampilkan sebuah citra pada layar monitor diperlukan lebih dari sekedar informasi
tentang letak dari piksel-piksel pembentuk citra. Untuk memperoleh gambar yang
tepat dibutuhkan juga informasi tentang warna yang dipakai untuk menggambarkan
sebuah citra digital. Beberapa mode warna yang sering digunakan adalah:
1.
Bitmap mode memerlukan 1 bit data untuk menampilkan warna dan warna
yang dapat ditampilkan hanya warna hitam dan putih (monokrom)
2.
Indexed Color Mode, mengurutkan warna dalam jangkauan 0-255 (8 bit)
3.
Grayscale Mode, menampilkan citra dalam 256 tingkat keabuan.
4.
RGB Mode, menampilkan citra dalam kombinasi 3 warna dasar (Red, Green,
Blue) tiap warna dasar memiliki intensitas warna 0-255 (8 bit)
5.
CMYK Mode, menampilkan citra dalam kombinasi 4 warna dasar (cyan,
magenta, yellow, black) tiap warna dasar memiliki intensitas warna 0-255 (8 bit).
2.2.1
Citra Warna (True Color)
Citra warna memiliki mode warna RGB yang menghasilkan warna menggunakan
kombinasi dari tiga warna primer merah, hijau, biru. RGB adalah model warna
Universitas Sumatera Utara
penambahan, yang berarti bahwa warna primer dikombinasikan pada jumlah tertentu
untuk menghasilkan warna yang diinginkan. RGB dimulai dengan warna hitam
(ketiadaan semua warna) dan menambahkan merah, hijau, biru terang untuk membuat
putih. Kuning diproduksi dengan mencampurkan merah, hijau; warna cyan dengan
mencampurkan hijau dan biru; warna magenta dari kombinasi merah dan biru. Sensor
utama dalam mata adalah sel kerucut. Manusia mempunyai 5-7 juta sel yang yang
dibagi menjadi tiga kategori sensor (merah, hijau, biru). 65% sel kerucut sensitif pada
warna merah, 33% hijau, dan 2% biru. Kombinasi warna RGB dapat dilihat pada
Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Kombinasi Warna RGB [12]
Warna campuran (selain dari putih) dihasilkan dengan menambahkan warna
komponen RGB individual dengan berbagai tingkat saturasi, dengan tingkatan mulai
dari 0.0 hingga 1.0 (0 berarti tidak menggunakan warna tersebut; 1 berarti
menggunakan warna tersebut pada saturasi penuh).
Untuk mendapatkan masing-masing nilai R, G dan B setiap piksel dengan
rumus sebagai berikut:
Nilai R = c and 255
……………………………………………...…….. (2.1)
Nilai G = (c and 65280) / 256…………………………………..….……. (2.2)
Nilai B = ((c and 16,711,680)/256)/256 ……....……...…………..…....... (2.3)
Dimana c adalah nilai piksel citra
Universitas Sumatera Utara
2.2.2
Citra Keabu-abuan (Grayscale)
Citra keabu-abuan hanya memiliki satu komponen warna yang besarnya berkisar
antara 0 sampai 255. Citra keabu-abuan dapat dihasilkan dari citra warna dengan cara
menghitung rata-rata nilai komponen warnanya.
Secara matematis penghitungannya adalah sebagai berikut.
f0 (x,y) =
.….......………………..…… (2.4)
f0 (x,y) = nilai keabu-abuan pada kordinat x,y.
fR = nilai komponen merah
fG = nilai komponen hijau
fB = nilai komponen biru
Dalam proses watermarking , untuk menghitung nilai biner Citra label penyisip maka
akan dikonversi menjadi citra grayscale. Setelah citra grayscale didapat, maka akan
dicari nilai tengah (threshold). Persamaan untuk perhitungan nilai threshold seperti
berikut:
T = ( Gmin + Gmaks ) / 2 ...............................................................(2.5)
Sebagai contoh diberikan perbandingan antara citra warna dengan citra grayscale
dapat dilihat seperti pada Gambar 2.2.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2 Citra Warna dan Grayscale [12]
2.3 Definisi Steganografi
Steganografi (steganography) adalah ilmu dan seni menyembunyikan pesan rahasia
(hiding message) sedemikian sehingga keberadaan (eksistensi) pesan tidak terdeteksi
oleh indera manusia. Kata steganorafi berasal dari bahasa Yunani yang berarti “tulisan
tersembunyi” (covered writing). Steganografi membutuhkan dua properti yaitu wadah
penampung dan data rahasia yang akan disembunyikan. Steganografi digital
menggunakan media digital sebagai wadah penampung, misalnya citra, suara, teks,
dan video. Data rahasia yang disembunyikan juga dapat berupa citra, suara, teks, atau
video. Steganografi dapat dipandang sebagai kelanjutan kriptografi. Jika pada
kriptografi, data yang telah disandikan (ciphertext) tetap tersedia, maka dengan
steganografi cipherteks dapat disembunyikan sehingga pihak ketiga tidak mengetahui
keberadaannya.
Di
negara-negara
yang
melakukan
penyensoran
informasi,
steganografi sering digunakan untuk menyembunyikan pesan-pesan melalui gambar
(images), video, atau suara (audio) [7].
Secara umum penyembunyian pesan rahasia ke dalam media penampung pasti
mengubah kualitas media tersebut. Kriteria yang harus diperhatikan dalam
penyembunyian pesan [6] adalah :
1. Imperceptibility.
Keberadaan pesan rahasia tidak dapat dipersepsi oleh indra manusia. Misal
jika media penampung berupa citra, maka penyisipan pesan membuat stegotext
sukar dibedakan oleh mata dengan citra covertext-nya.
2.
Fidelity.
Mutu media penampung tidak berubah banyak akibat penyisipan. Perubahan
tersebut tidak dapat dipersepsi oleh inderawi. Misal jika covertext berupa citra,
maka penyisipan pesan membuat citra stegotext sukar dibedakan oleh mata
dengan citra covertext-nya.
3. Recovery.
Pesan yang disembunyikan harus dapat diungkapkan kembali. Karena tujuan
steganografi adalah data hiding, maka sewaktu–waktu pesan rahasia di dalam
stegotext harus dapat diambil kembali untuk digunakan lebih lanjut.
Universitas Sumatera Utara
Metode Steganografi ada 2 jenis yaitu:
a. ranah waktu, yaitu memodifikasi nilai byte dari media yang akan disisipinya
b. ranah frekuensi yaitu frekuensi memodifikasi langsung hasil transformasi
frekuensi sinyal.
2.4 Pengertian Watermarking
Watermarking adalah
bentuk dari Steganography yaitu ilmu yang mempelajarii
teknik-teknik bagaimana penyimpanan suatu data (digital) ke dalam data host digital
yang lain. Istilah host digunakan untuk data/sinyal digital yang ditumpangi [11].
Watermarking pada media digital disini dimaksudkan tidak akan dirasakan
kehadirannya oleh manusia tanpa alat bantu mesin pengolah digital seperti komputer,
dan sejenisnya sebab watermarking berbeda dengan tanda air pada uang kertas yang
masih dapat kelihatan oleh mata telanjang manusia dalam posisi kertas yang tertentu..
Dengan memanfaatkan kekurangan-kekurangan sistem indera manusia seperti mata
dan telinga metoda watermarking ini dapat diterapkan pada berbagai media digital.
Berdasarkan hasil keluarannya., Steganography berbeda dengan cryptography. Hasil
dari cryptography biasanya berupa data yang berbeda dari bentuk aslinya dan
biasanya datanya seolah-olah tek beraturan (tetapi dapat dikembalikan ke bentuk
semula) sedangkan hasil keluaran dan steganography ini memiliki bentuk persepsi
yang sama dengan bentuk aslinya yang tentunya persepsi disini oleh indera manusia
[6].
Jadi Watermarking merupakan suatu cara penyembunyian atau penanaman
data/informasi tertentu (baik hanya berupa catatan umum maupun rahasia) ke dalam
suatu data digital lainnya, tetapi tidak diketahui kehadirannya oleh indera manusia
(indera penglihatan atau indera pendengaran), dan mampu menghadapi proses-proses
pengolahan sinyal digital sampai pada tahap tertentu.
Universitas Sumatera Utara
2.4.1
Metode Watermarking
Terdapat banyak metoda watermarking untuk citra digital yang sudah diteliti. Ada
yang bekerja pada domain spasial atau waktu, dan ada yang mengalami transformasi
terlebih dahulu (seperti DCT, FFT, dsb) misalnya ke domain frekuensi. Bahkan ada
yang menerapkan teknologi-teknologi lain seperti fraktal, spread spectrum untuk
telekomunikasi dan sebagianya. Beberapa metoda yang pernah diteliti [7], diantaranya
adalah:
a. LSB (Least Significant Bit) Coding;
Metoda ini merupakan metoda yang paling sederhana tetapi yang paling tidak
tahan terhadap segala proses yang dapat mengubah nilai-nilai intensitas pada
citra. Metoda ini akan mengubah nilai LSB (Least Significant Bit) komponen
luminansi atau warna menjadi bit yang sesuai dengan bit label yang akan
disembunyikan. Memang metoda ini akan menghasilkan citra rekontruksi yang
sangat mirip dengan aslinya, karena hanya mengubah nilai bit terakhir dari
data. Tetapi sayang tidak tahan terhadap proses-proses yang dapat mengubah
data citra terutama kompresi JPEG. Metoda ini paling mudah diserang, karena
bila orang lain tahu maka tinggal membalikkan nilai dari LSB-nya maka data
label akan hilang seluruhnya. Proses dapat dilihat pada Gambar 2.3.
Key
Label Hak Cipta
Citra Ter-label
Watermarking
Gambar 2.3 Proses Watermarking Pada Citra
Universitas Sumatera Utara
b. Patchwork; merupakan metode yang diusulkan oleh Bender. Pada metode ini
dilakukan penanaman label 1 bit pada citra digital dengan menggunakan
pendekatan statistik. Dalam metoda ini, sebanyak n pasang titik (ai,bi) pada
citra dipilih secara acak. Brightness dari ai dinaikkan 1 (satu) dan brightness
dari pasangannya bi diturunkan satu. Nilai Harapan dari jumlah perbedaan n
pasang titik tersebut adalah 2n. Ketahanan metoda ini terhadap kompresi JPEG
dengan parameter kualitas 75%, maka label tetap dapat dibaca dengan
probabilitas kebenaran sebesar 85%.
c. Pitas & Kaskalis mengusulkan metode ini dengan membagi sebuah citra atas
dua bagian (subsets) sama besar (misalnya dengan menggunakan random
generator) atau dengan sebuah digital signature S yang merupakan pola biner
dengan ukuran N x M dimana jumlah biner "1" (satu) sama dengan jumlah
biner "0" (nol). Kemudian salah satu subset ditambahkan dengan faktor k
(bulat positif). Faktor k diperoleh dari perhitungan variansi dari kedua subset.
Verifikasi dilakukan dengan menghitung perbedaan rata-rata antara kedua
subset. Nilai yang diharapkan adalah k bila ada label yang ditanamkan. Metode
ini tahan terhadap kompresi JPEG dengan faktor kualitas sekitar 90%.
d. Caroni mengusulkan metode penyembunyian sejumlah bit label pada
komponen luminansi dari citra dengan membagi atas blok-blok, kemudian
setiap pixel dari satu blok akan dinaikan dengan faktor tertentu bila ingin
menanamkan bit '1', dan nilai-nilai pixel dari blok akan dibiarkan bila akan
menanamkan bit '0', metoda ini dapat tahan terhadap faktor kualitas sebesar
30%.
e. Metoda Cox ini menanamkan sejumlah urutan bilangan real sepanjang n pada
citra N x N dengan mentransformasikan terlebih dahulu menjadi koefisien
DCT Nx N. Bilangan real tersebut ditanamkan pada n koefisien DCT yang
paling besar, tidak termasuk komponen DC-nya. Verifikasi menggunakan citra
asli dikurangi dengan citra terwatermark.
f. Randomly Sequenced Pulse Position Modulated Code (RSPPMC) yang
diusulkan oleh Zhao & Koch, bekerja pada domain DCT seperti metoda Cox.
Universitas Sumatera Utara
Berbeda dengan metode Cox, metode ini berdasarkan prinsip format citra
JPEG, membagi citra menjadi blok-blok 8 x 8 dan kemudian dilakukan
transforamsi DCT, kemudian menggunakan prinsip spread spectrum (metoda
frequency hopped) dan RSPPMC (Randomly Sequenced Pulse Position
Modulated Code), koefisien-koefisien DCT tersebut diubah sedemikian rupa
sehingga akan mengandung informasi 1 bit dari label, seperti dipilih tiga
koefisien untuk disesuaikan dengan bit label yang ingin ditanamkan.
Contohnya untuk menanamkan bit '1' ke dalam suatu blok koefisien DCT 8 x
8, koefisien ketiga dari ketiga koefisien yang terpilih harus diubah sedemikian
rupa sehingga lebih kecil dari kedua koefisien lainnya.
2.4.2
Aplikasi Watermarking
Berikut ini merupakan berbagai macam aplikasi watermarking yang
dapat
dimanfaatkan untuk berbagai tujuan [1] seperti:
a.
Tamper-proofing, merupakan watermarking yang
digunakan
sebagai alat untuk mengidentifikasikan atau alat indikator yang
menunjukkan tinta digital (host) telah mengalami perubahan dari aslinya.
b.
Feature location, merupakan penggunaan metoda watermarking
sebagai alat untuk identifikasikan isi dan data digital pada lokasi-lokasi
tertentu, seperti contohnya penamaan objek tertentu dari beberapa objek
yang lain pada suatu citra digital.
c.
Annotation/caption, merupakan watermarking yang
hanya
digunakan sebagai keterangan tentang data digital itu sendiri.
d.
Copyright-Labeling, merupakan watermarking yang
dapat
digunakan sebagai metoda untuk penyembunyikan label hak cipta pada
data digital sebagai bukti kepemilikan karya digital yang otentik..
2.4.3
Trade-Off dalam Watermarking
Setiap aplikasi Watermarking memiliki parameter
yang berbeda dalam
penerapannya. Parameter-parameter yang perlu diperhatikan tersebut adalah:
Universitas Sumatera Utara
1.
Jumlah data (bitrate) yang akan disembunyikan.
2.
Ketahanan (robustness) terhadap proses pengolahan sinyal.
3.
Nilai penyembunyian data (invisibly).
Bila diinginkan ketahanan yang tinggi maka jumlah data akan menjadi rendah,
sedangkan akan semakin tampak, dan sebaliknya semakin tidak tampak
maka
ketahanan akan menurun. Jadi harus dipilih nilai-nilai dan parameter tersebut agar
memberikan hasil yang sesuai dengan kita inginkan.
2.4.4
Berbagai Domain untuk Penerapan Watermarking
Penerapan watermarking terhadap data digital
dapat diterapkan pada berbagai
domain. Maksudnya penerapan watermarking pada data digital seperti text, citra,
video dan audio, dilakukan langsung pada jenis data digital tersebut (Misalnya untuk
citra dan video pada domain spasial, dan audio pada domain waktu) atau terlebih
dahulu dilakukan transformasi ke dalam domain yang lain.
Berbagai transformasi yang dikenal dalam pemrosesan sinyal digital seperti
Fast Fourier Transform (FFT), DCT (Discrete Cosine Transform), Discrete
Wavelet Transform (DWT) dan sebagainya. Penerapan watermarking pada berbagai
domain dengan berbagai transformasi turut berbagai mempengaruhi parameter penting
dalam watermarking bitrate invisible, dan robustness [9].
2.4.5
DCT (Discrete Cosine Transform)
Discrete Cosine Transform (DCT) adalah sebuah fungsi dua arah yang memetakan
himpunan
buah bilangan real menjadi himpunan
buah real pula. Secara umum,
DCT satu dimensi menyatakan sebuah sinyal diskrit satu dimensi sebagai kombinasi
linier dari beberapa fungsi basis berupa gelombang kosinus diskrit dengan amplitudo
tertentu. Masing-masing fungsi basis memiliki frekuensi yang berbeda-beda, karena
itu, transformasi DCT termasuk ke dalam transformasi domain frekuensi [9].
Universitas Sumatera Utara
Amplitudo fungsi basis dinyatakan sebagai koefisien dalam himpunan hasil
transformasi DCT. DCT satu dimensi didefenisikan pada persamaan berikut:
............................. (2.6)
untuk 0
C(u) menyatakan koefisien ke-u dari himpunan hasil transformasi DCT.
dari himpunan asal.
menyatakan banyaknya suku
himpunan asal dan himpunan hasil transformasi.
dinyatakan oleh persamaan
menyatakan anggota ke-
berikut:
Untuk
................................. (2.7)
................. (2.8)
Transformasi balikan yang memetakan himpunan hasil transformasi DCT ke
himpunan bilangan semula disebut juga inverse DCT (IDCT).
IDCT didefinisikan oleh persamaan dibawah ini:
...................... (2.9)
untuk
DCT dua dimensi dapat dipandang sebagai komposisi dari DCT pada masingmasing dimensi. Sebagai contoh, jika himpunan bilangan real disajikan dalam array
dua dimensi terhadap masing-masing baris dan
kemudian melakukan DCT satu
dimensi terhadap masing-masing kolom dari hasil DCT tersebut. DCT dua dimensi
dapat dinyatakan sebagai berikut dengan persamaan:
..........(2.10)
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan transformasi balikannya (invers) dinyatakan dengan persamaan:
......... (2.11)
Fungsi basis DCT satu dimensi untuk N=8 dapat dilihat pada Gambar 2.4.
Koefisien DCT ke-n menyatakan amplitudo dari fungsi basis untuk u=n-1. Pada DCT
dua dimensi, fungsi basisnya adalah hasil perkalian antara fungsi basis yang
berorientasi horizontal dengan fungsi basis yang berorientasi vertikal, sehingga
koefisien-koefisien DCT dua dimensi biasa disajikan dalam bentuk matriks.
Gambar 2.4 Fungsi Basis DCT Satu Dimensi untuk N=8 [2]
Koefisien pertama, yaitu C(0) pada DCT satu dimensi atau C(0,0) pada DCT
dua dimensi disebut koefisien DC. Koefisien lainnya disebut koefisen AC. Dapat
dilihat bahwa fungsi basis yang berkorespondensi dengan koefisien DC memiliki nilai
tetap, sedangkan koefisien AC berkorespondensi dengan fungsi basis yang berbentuk
gelombang.
Pada transformasi DCT, dikenal juga istilah koefisien frekuensi rendah,
frekuensi menengah, dan frekuensi tinggi. Hal ini berkaitan dengan frekuensi
gelombang pada fungsi basis DCT. Jika frekuensi fungsi basisnya kecil, maka
koefisien yang berkorespondensi disebut koefisien frekuensi rendah. Contoh
Universitas Sumatera Utara
pembagian koefisien menurut frekuensinya pada DCT dua dimensi dengan ukuran
blok 8 x 8 ditunjukkan pada Gambar 2.5.
Gambar 2.5 Pembagian koefisien DCT untuk blok 8 x 8 [2]
Transformasi DCT dua dimensi sering digunakan dalam pemrosesan citra
digital. Ukuran blok yang banyak digunakan pada pemrosesan citra adalah ukuran
blok kecil, misalnya 8 x 8 seperti pada kompresi JPEG. Untuk citra digital, fungsi
basis dari DCT adalah sekumpulan citra yang disebut citra basis.
Dalam watermarking juga digunakan persamaan untuk memodifikasi koefisien
DCT. Persamaan untuk modifikasi koefisien DC pada domain DCT :
KoeDC = KoeDC + (1 + (2 * Nbiner))
………………………………….(2.12)
Persamaan untuk modifikasi koefisien DCT dengan frekuensi tertinggi setiap baris :
KoeDCT = KoeDCT + (3.14 * (2 * Nbiner)) …………………………….(2.13)
Dimana, Nbiner = nilai biner citra label yang telah di convert. Nilai 1 dan 0 di rubah
menjadi 1 dan -1.
2.4.6
Watermarking untuk Pelabelan Hak Cipta
Masalah Hak Cipta dari dahulu sudah menjadi hal yang utama dalam segala ciptaan
manusia, ini digunakan untuk menjaga originalitas atau kreatifitas pembuat akan hasil
karyanya. Hak cipta terhadap data-data digital sampai saat ini belum terdapat suatu
mekanisme atau cara yang handal dan efisien, dikarenakan adanya berbagai faktorfaktor tadi (faktor-faktor yang membuat data digital banyak digunakan). Beberapa
Universitas Sumatera Utara
cara yang pernah dilakukan oleh orang-orang untuk mengatasi masalah pelabelan hak
cipta pada data digital, antara lain:
1. Hearder Marking; dengan memberikan keterangan atau informasi hak cipta
pada header dari suatu data digital.
2. Visible Marking; merupakan cara dengan memberikan tanda hak cipta pada
data digital secara eksplisit.
3. Encryption; mengkodekan data digital ke dalam representasi lain yang berbeda
dengan representasi aslinya (tetapi dapat dikembalikan ke bentuk semula) dan
memerlukan sebuah kunci dari pemegang hak cipta untuk mengembalikan ke
representasi aslinya.
4. Copy Protection; memberikan proteksi pada data digital dengan membatasi
atau dengan memberikan proteksi sedemikian rupa sehingga data digital
tersebut tidak dapat diduplikasi.
Cara-cara tersebut diatas memiliki kelemahan tersendiri, sehingga tidak dapat
banyak diharapkan sebagai metoda untuk mengatasi masalah pelabelan hak citpa ini.
Contohnya:
1. Header Marking; Dengan menggunakan software sejenis Hex Editor, orang
lain dengan mudah membuka file yang berisi data digital tersebut, dan
menghapus informasi yang berkaitan dengan hak cipta dan sejenisnya yang
terdapat di dalam header file tersebut.
2. Visible Marking; Penandaan secara eksplisit pada data digital, memang
memberikan sejenis tanda semi-permanen, tetapi dengan tersedianya software
atau metoda untuk pengolahan, maka dengan sedikit ketrampilan dan
kesabaran, tanda yang semipermanen tersebut dapat dihilangkan dari data
digitalnya.
3. Encryption; Penyebaran data digital dengan kunci untuk decryption tidak dapat
menjamin penyebarannya yang legal. Maksudnya setelah data digital
terenkripsi dengan kuncinya telah diberikan kepada pihak yang telah
membayar otoritas (secara legal), maka tidak dapat dijamin penyebaran data
digital yang telah terdekripsi tadi oleh pihak lain tersebut.
Universitas Sumatera Utara
4. Copy Protection; Proteksi jenis ini biasanya dilakukan secara hardware, seperti
halnya saat ini proteksi hardware DVD, tetapi kita ketahui banyak data digital
saat ini tidak dapat diproteksi secara hardware (seperti dengan adanya
Internet) atau dengan kata lain tidak memungkinkan dengan adanya proteksi
secara hardware.
Gambar 2.6 Gambar asli (atas) dan Gambar (bawah) yang telah dihapus tulisannya
Dengan demikian, kita memerlukan suatu cara untuk mengatasi hal yang berkaitan
dengan pelanggaran hak cipta ini, yang memiliki sifat-sifat seperti:
1. Invisible atau inaudible; Tidak tampak (untuk data digital seperti citra, video,
text) atau tidak kedengaran (untuk jenis audio) oleh pihak lain dengan
menggunakan panca indera kita (dalam hal ini terutama mata dan telinga
manusia).
2. Robustness; Tidak mudah dihapus/diubah secara langsung oleh pihak yang
tidak bertanggung jawab, dan tidak mudah terhapus/terubah dengan adanya
proses pengolahan sinyal digital, seperti kompresi, filter, pemotongan dan
sebagainya.
3. Trackable; Tidak menghambat proses penduplikasian tetapi penyebaran data
digital tersebut tetap dapat dikendalikan dan diketahui.
Teknik watermarking tampaknya memiliki ketiga sifat-sifat diatas, karena faktorfaktor invisibility dan robustness dapat kita atur, dan data yang ter-watermark dapat
Universitas Sumatera Utara
diduplikasi seperti layaknya data digital. Watermarking sebagai metoda untuk
pelabelan hak cipta dituntut memiliki berbagai kriteria (ideal) sebagai berikut agar
memberikan unjuk kerja yang bagus:
1. Label Hak Cipta yang unik mengandung informasi.
2. pembuatan, seperti nama, tanggal, dst, atau sebuah kode hak cipta.
3. Data ter-label tidak dapat diubah atau dihapus (robustness) secara langsung
oleh orang lain atau dengan menggunakan software pengolahan sinyal sampai
tingkatan tertentu.
4. Pelabelan yang lebih dari satu kali dapat merusak data digital aslinya, supaya
orang lain tidak dapat melakukan pelabelan berulang terhadap data yang telah
dilabel.
Berbagai pengolahan sinyal digital yang mungkin dilakukan terhadap berbagai
tipe data digital, antara lain untuk citra adalah : Filter (seperti blur),
konversi DA/AD, crop (Pemotongan), Scaling, Rotasi, Translasi, kompresi loosy
(contohnya JPEG), konversi format, perubahan tabel warna. Untuk video, kompresi
loosy (contohnya MPEG),
konversi format, konversi DA/AD. Dan untuk audio
adalah : crop, filter, equalisasi, kompresi loosy (contohnya MP3), konversi sample
rate, format, konversi DA/AD, pengaruh echo, noise, dan sinyal lain [9].
2.4.7
Proses Watermarking
Proses-proses yang secara umum dilakukan pada penyisipan label pada file data asli
(data original) dengan pemasukan sebuah kunci (key) adalah seperti Gambar 2.7.
Gambar 2.7 Proses Watermarking
Universitas Sumatera Utara
Pada Gambar 2.7, proses watermarking, terdapat komponen key atau lebih
populer dengan password, key ini digunakan untuk mencegah penghapusan secara
langsung oleh pihak tak bertanggung jawab dengan menggunakan metoda enkripsi
yang sudah ada. Sedangkan ketahanan terhadap proses-proses pengolahan lainnya, itu
tergantung pada metoda watermarking yang digunakan. Tetapi dari berbagai
penelitian yang sudah dilakukan belum ada suatu metoda watermarking yang ideal
bisa tahan terhadap semua proses pengolahan digital. Biasanya masing-masing
penelitian menfokuskan pada hal–hal tertentu yang dianggap penting. Penelitian
dibidang watermarking ini masih terbuka luas dan semakin menarik, salah satunya
karena belum ada suatu standar yang digunakan sebagai alat penanganan masalah hak
cipta ini.
Sistem watermarking terdapat 3 sub-bagian yang membentuknya yaitu:
a. Penghasil Label Watermark
b. Proses penyembunyian Label
c. Menghasilkan kembali Label Watermark dari data yang ter-watermark.
Terdapat kontraversi antara beberapa penelitian mengenai masalah:
1. Label Watermark harus panjang atau hanya memberitahu ada tidaknya
watermark pada data digital yang ter-watermark. Maksudnya bila label yang
panjang, maka kita dapat mendapatkan informasi tambahan dari data yang terwatermark tersebut, sedangkan sebaliknya hanya diperoleh ada tidaknya (ada
atau tidak ada) watermark dalam data ter-watermark.
2. Cara menghasilkan kembali (ekstrasi atau verifikasi) label watermark tersebut
apakah diperlukan data digital aslinya, atau tidak. Dari hasil penelitian
memberikan hasil bahwa verifikasi dengan menggunakan data aslinya akan
memberikan performansi yang lebih baik dibandingkan dengan cara yang
tanpa menggunakan data asli. Dan cara ini dapat digunakan untuk menangani
masalah pengakuan kepemilikan oleh beberapa orang.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.8 Proses Ekstrak dengan data asli
Gambar 2.9 Proses Ekstrak tanpa data asli
Gambar 2.8 proses ekstraksi data ter-label (hasil proses watermarking) dibandingkan
dengan data asli berupa teks maupun citra yang menghasilkan data label berupa data
yang disisipkan (label). Sedang Gambar 2.9 proses ekstraksi data ter-label (hasil
proses watermarking) dibandingkan tanpa data asli berupa teks maupun citra yang
menghasilkan data label berupa data yang disisipkan (label).
Label watermark adalah sesuatu data/informasi yang akan kita masukkan ke
dalam data digital yang ingin di-watermark. Ada 2 jenis label yang dapat digunakan:
1. Label text yaitu label watermark dari teks biasanya menggunakan nilai-nilai ASCII
dari masing-masing karakter dalam text yang kemudian dipecahkan atas bit-perbit, kelemahan dari label ini adalah, kesalah pada satu bit saja akan menghasilkan
hasil yang berbeda dengan text sebenarnya.
2.
Label non text berupa Logo atau Citra atau Suara. Berbeda dengan label text,
kesalahan pada beberapa bit masih dapat memberikan persepsi yang sama dengan
aslinya oleh pendengaran maupun penglihatan kita, tetapi kelemahannya adalah
ukuran data yang cukup besar.
Universitas Sumatera Utara
Teks dan non teks
Gambar 2.10 Jenis label pada saat Pelabelan [9]
2.5
Teknik Watermarking dengan Metode RSPPMC pada Citra Digital
Pada metode ini dilakukan watermarking pada citra digital. Metoda watermarking
yang dicoba pada dasarnya menerapkan metoda RSPPMC, yakni watermarking
dilakukan pada domain frekuensi (DCT) dengan dilakukan sedikit perubahan.
Perubahan yang dilakukan sebagai perbandingan dengan RSPPMC yang asli, yakni
verifikasi label watermarking melibatkan citra asli, dimana pada RSPPMC proses
verifikasi tidak menggunakan citra asli.
Metoda RSPPMC seperti berikut:
1. Pembagian citra atas blok-blok 8 x 8, dan pemilihan blok secara pseudo
random.
2. Blok terpilih ditransformasikan dengan DCT.
Pemilihan 2 nilai koefisien DCT untuk dikodekan sebagai bit 1(high) atau bit 0
( low).
Contohnya:
Koefisien pertama = koefisien kedua + nilai konstan untuk bit 1 (high).
Sebaliknya untuk bit 0, dilakukan pengurangan Inverse DCT terhadap blok
yang telah di-encode.
3. Ulangi proses yang sama untuk seluruh bit label.
Sedangkan metoda yang dilakukan sebagai perbandingan dengan metode RSPPMC
Universitas Sumatera Utara
adalah pengkodean bit 1 dan bit 0 tidak dilakukan dengan membandingkan kedua nilai
koefisien DCT tersebut, tetapi dengan menambahkan kedua nilai tersebut dengan satu
koefisien tertentu yang sama, dan pada waktu verifikasi, dibandingkan dengan citra
aslinya [11].
Proses verifikasi dengan melibatkan citra asli memberikan hasil yang lebih
baik dibandingkan dengan proses verifikasi tanpa melibatkan citra asli. Selain itu,
keuntungan lain dengan terlibatnya citra asli adalah dapat digunakan untuk mengatasi
masalah proses pengolahan citra seperti rotasi, croping, translasi dan sebagainya.
Dengan adanya citra asli tersebut, maka citra asli tersebut dapat digunakan sebagai
referensi untuk dilakukan preprocessing (proses awal) sebelum proses verifikasi,
misalnya bagian yang hilang dari citra yang terpotong dapat disisipi dengan bagian
dari citra asli.
Pengolahan digital dan masih terbuka suatu kesempatan besar untuk
perkembangan-perkembangan lebih lanjut. Diatas telah dibicarakan aplikasi
watermarking pada data digital seperti citra, video dan audio, sebenarnya masih ada
penelitian pada data seperti text digital, maupun pada fax [11].
Agar watermarking sebagai proses pelabelan hak cipta pada data digital dapat
berfungsi dengan baik, juga diperlukan adanya suatu badan internasional yang
mencatat semua hasil karya yang terdaftar. Badan internasional tersebut sebagai suatu
badan hukum yang berkuasa untuk menentukan siapa yang memang merupakan
pemilik aslinya berdasarkan terdaftar tidaknya sebuah hasil karya atas nama
seseorang. Tanpa adanya suatu badan internasional tersebut, sebaik apapun metoda
watermarking yang ada, masalah hak cipta ini tidak dapat diatasi sepenuhnya. Karena
kepada siapa kita harus menuntut, dan menjadi penengah dalam persoalan ini, serta
apa bukti bahwa data tersebut memang milik orang ini dan bukan milik orang lain [8].
2.6 Penelitian Terkait
Dalam penelitian Rodiah (2004) yang berjudul Watermarking Sebagai Teknik
Penyembunyian Label Hak Cipta Pada Data Digital Menggunakan Algoritma DCT
Universitas Sumatera Utara
(Discrete Cosinus Transform) dilakukan penghitungan semua koefisien DCT citra
untuk proses kuantisasi terhadap nilai konstan. Kuantisasi ini dimaksud untuk
mengantisipasi proses kompresi JPEG. Dengan adanya kuantisasi ini memberikan
hasil yang lebih baik dibandingkan tanpa kuantisasi, tetapi menimbulkan efek kotakkotak pada citra.
Cara melakukan penyisipan bit adalah setelah dilakukan DCT 2 dimensi
terhadap matriks citra, nilai koefisien DCT yang diperoleh dikuantisasi sehingga akan
memiliki suatu matriks dalam domain frekuensi. Kelebihan dari domain frekuensi
adalah dapat mengganti data dengan lebih sedikit resiko, karena secara garis besar
citra aslinya tidak akan mengalami perbedaan yang besar. Pengubahan komponen
frekuensi rendah memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap citra. Tetapi tidak
harus mengubah ke frekuensi tinggi, karena ada pertimbangan teknis yang
menyebabkan hal ini sulit dilakukan. Semakin ke arah frekuensi tinggi, nilai koefisien
matriks akan semakin menuju nol. Karena itu pengubahan pada frekuensi tinggi sulit
dilakukan. Solusinya adalah menggunakan frekuensi tengah sebagai tempat
meletakkan informasi. Pada matriks hasil kuantisasi, frekuensi tengah biasanya berada
daerah dengan nomor baris antara 2 sampai 5 atau nomor kolom antara 2 sampai 5 [9].
Pada jurnal Winarso, 2007, Selama proses DCT, sebuah gambar dipecah-pecah
menjadi blok-blok yang kecil-kecil yang tiap bloknya memuat 8x8 piksel (titik-titik
elemen gambar), yang bertindak sebagai masukan bagi suatu DCT. Operasi matematik
yang rumit dikenakan pada setiap blok tersebut untuk memperoleh nilai-nilai yang
menyatakan karakter penting dari setiap bloknya seperti bagian sisi-sisi atau
konturnya yang nantinya harus dapat direpresentasikan.
Setelah tiap gambar mengalami proses DCT, kemudian DCT mengkuantisasi
dengan menggunakan fungsi-fungsi weighting (pembobotan) yang dioptimalkan
sehingga mendekati sistem visual manusia. Kuantisasi dimaksudkan untuk
menyederhanakan bobot angka-angka, yakni senilai 256 yang menunjukkan
keseluruhan palet warna dari putih murni sampai hitam murni. Setelah gambar kedua
mengalami proses yang sama maka gambar kedua akan disisipkan ke gambar pertama
berdasarkan nilai piksel yang dimiliki tiap blok [13].
Universitas Sumatera Utara
Penelitian
Rakhmatulloh,
(2006)
etal,
dilakukan
watermarking
untuk
memecahkan kasus penggandaan ilegal produk digital. Pada penelitian ini
watermarking citra digital ditransformasikan menggunakan Discrete Cosine
Transform (DCT). Pada proses penanaman watermark, citra ditransformasikan
menggunakan DCT menjadi domain frekuensi yang menghasilkan tiga area yaitu Low
Frequency (FL), Medium Frequency (FM), dan High Frequency (FH). Bit-bit
watermark ditanam pada area FM dengan menggunakan nilai Koefisien Selisih (K).
Kualitas citra ter-watermark diukur dengan Peak Signal of Noise Ratio (PSNR).
Semakin besar nilai K diperoleh nilai PSNR yang semakin kecil [8].
2.7
Flowchart
Flowchart adalah bagan alir yang menggambarkan arus data dari program. Fungsi dari
bagan alir ini adalah untuk memudahkan programmer di dalam perancangan program
aplikasi. Simbol-simbol yang digunakan pada bagan flowchart ini antara lain seperti
pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Simbol Flowchart Program [5]
Simbol
Fungsi
Terminator
Menunjukkan awal dan akhir suatu proses.
Data
Digunakan untuk mewakili data input/output.
Process
Digunakan untuk mewakili proses.
Decision
Digunakan untuk suatu seleksi kondisi didalam program.
Predefined Process
Menunjukkan suatu operasi yang rinciannya ditunjukkan di
tempat lain.
Preparation
Digunakan untuk memberi nilai awal variabel.
Universitas Sumatera Utara
Flow Lines Symbol
Menunjukkan arah dari proses.
Connector
Menunjukkan penghubung ke halaman yang sama.
Menunjukkan penghubung ke halaman yang baru.
.
2.8
Unified Modeling Language (UML)
Unified Modeling Language adalah keluarga notasi grafis yang didukung oleh metamodel tunggal, yang membantu pendeskripsian dan desain sistem perangkat lunak,
khususnya sistem yang dibangun menggunakan pemrograman berorientasi objek [3].
Saat ini UML telah menyediakan diagram-diagram yang merepresentasikan
secara grafis bagaimana setiap objek saling berinteraksi. Salah satu diagram yang
dimaksud adalah Use Case Diagram.
2.8.1
Use Case Diagram
Use case diagram memberikan gambaran menurut perspektif pengguna perangkat
lunak. Sebuah use-case diagram mengandung actor, use-case dan interaksi antara
actor dengan use-case [10].
2.8.1.1 Actor
Actor adalah suatu elemen yang berinteraksi dengan sistem untuk melakukan
komunikasi. Actor memberikan suatu gambaran jelas tentang apa yang harus
dilakukan perangkat lunak.
Gambar 2.11 Actor
Universitas Sumatera Utara
2.8.1.2 Use Case
Use case menggambarkan fungsi – fungsi sistem yang dilakukan oleh sebuah sistem
perangkat lunak. Sebuah use case merepresentasikan satu tujuan tunggal dari sistem
dan menggambarkan satu rangkaian kegiatan dan interaksi pengguna untuk mencapai
tujuan.
Case 1
Gambar 2.12 Use Case
Universitas Sumatera Utara
LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Citra
Citra adalah representasi dari sebuah objek. Citra sebagai keluaran suatu sistem
perekaman data yang dapat bersifat sebagai optik (foto), analog (sinyal-sinyal video
seperti gambar pada monitor televisi), ataupun digital yang dapat langsung disimpan
pada suatu media penyimpan.
2.1.1
Citra Analog
Citra analog adalah citra yang bersifat kontinu, seperti gambar pada monitor televisi,
lukisan,
pemandangan
alam
dan
sebagainya.
Citra
analog
tidak
dapat
direpresentasikan dalam komputer sehingga tidak bisa diproses secara langsung. Citra
analog dihasilkan oleh alat-alat analog seperti kamera foto analog, sensor rontgen
untuk foto thorax, sensor gelombang pendek pada sistem radar, dan lain-lain. Oleh
sebab itu, agar citra ini dapat diproses di komputer, proses konversi analog ke digital
harus dilakukan terlebih dahulu [12].
2.1.2
Citra Digital
Citra digital adalah citra yang terdiri dari sinyal-sinyal frekuensi elektromagnetis yang
sudah di-sampling sehingga dapat ditentukan ukuran titik gambar tersebut yang pada
umumnya disebut piksel. Untuk menyatakan citra (image) secara matematis, dapat
didefinisikan fungsi f(x,y) di mana x dan y menyatakan suatu posisi dalam koordinat
dua dimensi dan harga f pada titik (x,y) adalah harga yang menunjukkan warna citra
pada titik tersebut [4].
Citra digital adalah citra yang dinyatakan secara diskrit (tidak kontinu), baik
untuk posisi koordinatnya maupun warnanya. Dengan demikian, citra digital dapat
Universitas Sumatera Utara
digambarkan sebagai suatu matriks, di mana indeks baris dan indeks kolom dari
matriks menyatakan posisi suatu titik di dalam citra dan harga dari elemen matriks
menyatakan warna citra pada titik tersebut. Dalam citra digital yang dinyatakan
sebagai susunan matriks seperti ini, elemen-elemen matriks tadi disebut juga dengan
istilah piksel yang berasal dari kata picture element [7].
Untuk mendapatkan suatu citra digital, dapat digunakan alat yang memiliki
kemampuan untuk mengubah sinyal yang diterima oleh sensor citra menjadi bentuk
digital, misalnya dengan menggunakan kamera digital atau scanner. Cara yang lain
adalah dengan menggunakan ADC (Analog-to-Digital Converter) untuk mengubah
sinyal analog yang dihasilkan oleh keluaran sensor citra menjadi sinyal digital,
misalnya dengan menggunakan perangkat keras video capture yang dapat mengubah
sinyal video analog menjadi citra digital [12].
2.2 Mode Warna
Menampilkan sebuah citra pada layar monitor diperlukan lebih dari sekedar informasi
tentang letak dari piksel-piksel pembentuk citra. Untuk memperoleh gambar yang
tepat dibutuhkan juga informasi tentang warna yang dipakai untuk menggambarkan
sebuah citra digital. Beberapa mode warna yang sering digunakan adalah:
1.
Bitmap mode memerlukan 1 bit data untuk menampilkan warna dan warna
yang dapat ditampilkan hanya warna hitam dan putih (monokrom)
2.
Indexed Color Mode, mengurutkan warna dalam jangkauan 0-255 (8 bit)
3.
Grayscale Mode, menampilkan citra dalam 256 tingkat keabuan.
4.
RGB Mode, menampilkan citra dalam kombinasi 3 warna dasar (Red, Green,
Blue) tiap warna dasar memiliki intensitas warna 0-255 (8 bit)
5.
CMYK Mode, menampilkan citra dalam kombinasi 4 warna dasar (cyan,
magenta, yellow, black) tiap warna dasar memiliki intensitas warna 0-255 (8 bit).
2.2.1
Citra Warna (True Color)
Citra warna memiliki mode warna RGB yang menghasilkan warna menggunakan
kombinasi dari tiga warna primer merah, hijau, biru. RGB adalah model warna
Universitas Sumatera Utara
penambahan, yang berarti bahwa warna primer dikombinasikan pada jumlah tertentu
untuk menghasilkan warna yang diinginkan. RGB dimulai dengan warna hitam
(ketiadaan semua warna) dan menambahkan merah, hijau, biru terang untuk membuat
putih. Kuning diproduksi dengan mencampurkan merah, hijau; warna cyan dengan
mencampurkan hijau dan biru; warna magenta dari kombinasi merah dan biru. Sensor
utama dalam mata adalah sel kerucut. Manusia mempunyai 5-7 juta sel yang yang
dibagi menjadi tiga kategori sensor (merah, hijau, biru). 65% sel kerucut sensitif pada
warna merah, 33% hijau, dan 2% biru. Kombinasi warna RGB dapat dilihat pada
Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Kombinasi Warna RGB [12]
Warna campuran (selain dari putih) dihasilkan dengan menambahkan warna
komponen RGB individual dengan berbagai tingkat saturasi, dengan tingkatan mulai
dari 0.0 hingga 1.0 (0 berarti tidak menggunakan warna tersebut; 1 berarti
menggunakan warna tersebut pada saturasi penuh).
Untuk mendapatkan masing-masing nilai R, G dan B setiap piksel dengan
rumus sebagai berikut:
Nilai R = c and 255
……………………………………………...…….. (2.1)
Nilai G = (c and 65280) / 256…………………………………..….……. (2.2)
Nilai B = ((c and 16,711,680)/256)/256 ……....……...…………..…....... (2.3)
Dimana c adalah nilai piksel citra
Universitas Sumatera Utara
2.2.2
Citra Keabu-abuan (Grayscale)
Citra keabu-abuan hanya memiliki satu komponen warna yang besarnya berkisar
antara 0 sampai 255. Citra keabu-abuan dapat dihasilkan dari citra warna dengan cara
menghitung rata-rata nilai komponen warnanya.
Secara matematis penghitungannya adalah sebagai berikut.
f0 (x,y) =
.….......………………..…… (2.4)
f0 (x,y) = nilai keabu-abuan pada kordinat x,y.
fR = nilai komponen merah
fG = nilai komponen hijau
fB = nilai komponen biru
Dalam proses watermarking , untuk menghitung nilai biner Citra label penyisip maka
akan dikonversi menjadi citra grayscale. Setelah citra grayscale didapat, maka akan
dicari nilai tengah (threshold). Persamaan untuk perhitungan nilai threshold seperti
berikut:
T = ( Gmin + Gmaks ) / 2 ...............................................................(2.5)
Sebagai contoh diberikan perbandingan antara citra warna dengan citra grayscale
dapat dilihat seperti pada Gambar 2.2.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2 Citra Warna dan Grayscale [12]
2.3 Definisi Steganografi
Steganografi (steganography) adalah ilmu dan seni menyembunyikan pesan rahasia
(hiding message) sedemikian sehingga keberadaan (eksistensi) pesan tidak terdeteksi
oleh indera manusia. Kata steganorafi berasal dari bahasa Yunani yang berarti “tulisan
tersembunyi” (covered writing). Steganografi membutuhkan dua properti yaitu wadah
penampung dan data rahasia yang akan disembunyikan. Steganografi digital
menggunakan media digital sebagai wadah penampung, misalnya citra, suara, teks,
dan video. Data rahasia yang disembunyikan juga dapat berupa citra, suara, teks, atau
video. Steganografi dapat dipandang sebagai kelanjutan kriptografi. Jika pada
kriptografi, data yang telah disandikan (ciphertext) tetap tersedia, maka dengan
steganografi cipherteks dapat disembunyikan sehingga pihak ketiga tidak mengetahui
keberadaannya.
Di
negara-negara
yang
melakukan
penyensoran
informasi,
steganografi sering digunakan untuk menyembunyikan pesan-pesan melalui gambar
(images), video, atau suara (audio) [7].
Secara umum penyembunyian pesan rahasia ke dalam media penampung pasti
mengubah kualitas media tersebut. Kriteria yang harus diperhatikan dalam
penyembunyian pesan [6] adalah :
1. Imperceptibility.
Keberadaan pesan rahasia tidak dapat dipersepsi oleh indra manusia. Misal
jika media penampung berupa citra, maka penyisipan pesan membuat stegotext
sukar dibedakan oleh mata dengan citra covertext-nya.
2.
Fidelity.
Mutu media penampung tidak berubah banyak akibat penyisipan. Perubahan
tersebut tidak dapat dipersepsi oleh inderawi. Misal jika covertext berupa citra,
maka penyisipan pesan membuat citra stegotext sukar dibedakan oleh mata
dengan citra covertext-nya.
3. Recovery.
Pesan yang disembunyikan harus dapat diungkapkan kembali. Karena tujuan
steganografi adalah data hiding, maka sewaktu–waktu pesan rahasia di dalam
stegotext harus dapat diambil kembali untuk digunakan lebih lanjut.
Universitas Sumatera Utara
Metode Steganografi ada 2 jenis yaitu:
a. ranah waktu, yaitu memodifikasi nilai byte dari media yang akan disisipinya
b. ranah frekuensi yaitu frekuensi memodifikasi langsung hasil transformasi
frekuensi sinyal.
2.4 Pengertian Watermarking
Watermarking adalah
bentuk dari Steganography yaitu ilmu yang mempelajarii
teknik-teknik bagaimana penyimpanan suatu data (digital) ke dalam data host digital
yang lain. Istilah host digunakan untuk data/sinyal digital yang ditumpangi [11].
Watermarking pada media digital disini dimaksudkan tidak akan dirasakan
kehadirannya oleh manusia tanpa alat bantu mesin pengolah digital seperti komputer,
dan sejenisnya sebab watermarking berbeda dengan tanda air pada uang kertas yang
masih dapat kelihatan oleh mata telanjang manusia dalam posisi kertas yang tertentu..
Dengan memanfaatkan kekurangan-kekurangan sistem indera manusia seperti mata
dan telinga metoda watermarking ini dapat diterapkan pada berbagai media digital.
Berdasarkan hasil keluarannya., Steganography berbeda dengan cryptography. Hasil
dari cryptography biasanya berupa data yang berbeda dari bentuk aslinya dan
biasanya datanya seolah-olah tek beraturan (tetapi dapat dikembalikan ke bentuk
semula) sedangkan hasil keluaran dan steganography ini memiliki bentuk persepsi
yang sama dengan bentuk aslinya yang tentunya persepsi disini oleh indera manusia
[6].
Jadi Watermarking merupakan suatu cara penyembunyian atau penanaman
data/informasi tertentu (baik hanya berupa catatan umum maupun rahasia) ke dalam
suatu data digital lainnya, tetapi tidak diketahui kehadirannya oleh indera manusia
(indera penglihatan atau indera pendengaran), dan mampu menghadapi proses-proses
pengolahan sinyal digital sampai pada tahap tertentu.
Universitas Sumatera Utara
2.4.1
Metode Watermarking
Terdapat banyak metoda watermarking untuk citra digital yang sudah diteliti. Ada
yang bekerja pada domain spasial atau waktu, dan ada yang mengalami transformasi
terlebih dahulu (seperti DCT, FFT, dsb) misalnya ke domain frekuensi. Bahkan ada
yang menerapkan teknologi-teknologi lain seperti fraktal, spread spectrum untuk
telekomunikasi dan sebagianya. Beberapa metoda yang pernah diteliti [7], diantaranya
adalah:
a. LSB (Least Significant Bit) Coding;
Metoda ini merupakan metoda yang paling sederhana tetapi yang paling tidak
tahan terhadap segala proses yang dapat mengubah nilai-nilai intensitas pada
citra. Metoda ini akan mengubah nilai LSB (Least Significant Bit) komponen
luminansi atau warna menjadi bit yang sesuai dengan bit label yang akan
disembunyikan. Memang metoda ini akan menghasilkan citra rekontruksi yang
sangat mirip dengan aslinya, karena hanya mengubah nilai bit terakhir dari
data. Tetapi sayang tidak tahan terhadap proses-proses yang dapat mengubah
data citra terutama kompresi JPEG. Metoda ini paling mudah diserang, karena
bila orang lain tahu maka tinggal membalikkan nilai dari LSB-nya maka data
label akan hilang seluruhnya. Proses dapat dilihat pada Gambar 2.3.
Key
Label Hak Cipta
Citra Ter-label
Watermarking
Gambar 2.3 Proses Watermarking Pada Citra
Universitas Sumatera Utara
b. Patchwork; merupakan metode yang diusulkan oleh Bender. Pada metode ini
dilakukan penanaman label 1 bit pada citra digital dengan menggunakan
pendekatan statistik. Dalam metoda ini, sebanyak n pasang titik (ai,bi) pada
citra dipilih secara acak. Brightness dari ai dinaikkan 1 (satu) dan brightness
dari pasangannya bi diturunkan satu. Nilai Harapan dari jumlah perbedaan n
pasang titik tersebut adalah 2n. Ketahanan metoda ini terhadap kompresi JPEG
dengan parameter kualitas 75%, maka label tetap dapat dibaca dengan
probabilitas kebenaran sebesar 85%.
c. Pitas & Kaskalis mengusulkan metode ini dengan membagi sebuah citra atas
dua bagian (subsets) sama besar (misalnya dengan menggunakan random
generator) atau dengan sebuah digital signature S yang merupakan pola biner
dengan ukuran N x M dimana jumlah biner "1" (satu) sama dengan jumlah
biner "0" (nol). Kemudian salah satu subset ditambahkan dengan faktor k
(bulat positif). Faktor k diperoleh dari perhitungan variansi dari kedua subset.
Verifikasi dilakukan dengan menghitung perbedaan rata-rata antara kedua
subset. Nilai yang diharapkan adalah k bila ada label yang ditanamkan. Metode
ini tahan terhadap kompresi JPEG dengan faktor kualitas sekitar 90%.
d. Caroni mengusulkan metode penyembunyian sejumlah bit label pada
komponen luminansi dari citra dengan membagi atas blok-blok, kemudian
setiap pixel dari satu blok akan dinaikan dengan faktor tertentu bila ingin
menanamkan bit '1', dan nilai-nilai pixel dari blok akan dibiarkan bila akan
menanamkan bit '0', metoda ini dapat tahan terhadap faktor kualitas sebesar
30%.
e. Metoda Cox ini menanamkan sejumlah urutan bilangan real sepanjang n pada
citra N x N dengan mentransformasikan terlebih dahulu menjadi koefisien
DCT Nx N. Bilangan real tersebut ditanamkan pada n koefisien DCT yang
paling besar, tidak termasuk komponen DC-nya. Verifikasi menggunakan citra
asli dikurangi dengan citra terwatermark.
f. Randomly Sequenced Pulse Position Modulated Code (RSPPMC) yang
diusulkan oleh Zhao & Koch, bekerja pada domain DCT seperti metoda Cox.
Universitas Sumatera Utara
Berbeda dengan metode Cox, metode ini berdasarkan prinsip format citra
JPEG, membagi citra menjadi blok-blok 8 x 8 dan kemudian dilakukan
transforamsi DCT, kemudian menggunakan prinsip spread spectrum (metoda
frequency hopped) dan RSPPMC (Randomly Sequenced Pulse Position
Modulated Code), koefisien-koefisien DCT tersebut diubah sedemikian rupa
sehingga akan mengandung informasi 1 bit dari label, seperti dipilih tiga
koefisien untuk disesuaikan dengan bit label yang ingin ditanamkan.
Contohnya untuk menanamkan bit '1' ke dalam suatu blok koefisien DCT 8 x
8, koefisien ketiga dari ketiga koefisien yang terpilih harus diubah sedemikian
rupa sehingga lebih kecil dari kedua koefisien lainnya.
2.4.2
Aplikasi Watermarking
Berikut ini merupakan berbagai macam aplikasi watermarking yang
dapat
dimanfaatkan untuk berbagai tujuan [1] seperti:
a.
Tamper-proofing, merupakan watermarking yang
digunakan
sebagai alat untuk mengidentifikasikan atau alat indikator yang
menunjukkan tinta digital (host) telah mengalami perubahan dari aslinya.
b.
Feature location, merupakan penggunaan metoda watermarking
sebagai alat untuk identifikasikan isi dan data digital pada lokasi-lokasi
tertentu, seperti contohnya penamaan objek tertentu dari beberapa objek
yang lain pada suatu citra digital.
c.
Annotation/caption, merupakan watermarking yang
hanya
digunakan sebagai keterangan tentang data digital itu sendiri.
d.
Copyright-Labeling, merupakan watermarking yang
dapat
digunakan sebagai metoda untuk penyembunyikan label hak cipta pada
data digital sebagai bukti kepemilikan karya digital yang otentik..
2.4.3
Trade-Off dalam Watermarking
Setiap aplikasi Watermarking memiliki parameter
yang berbeda dalam
penerapannya. Parameter-parameter yang perlu diperhatikan tersebut adalah:
Universitas Sumatera Utara
1.
Jumlah data (bitrate) yang akan disembunyikan.
2.
Ketahanan (robustness) terhadap proses pengolahan sinyal.
3.
Nilai penyembunyian data (invisibly).
Bila diinginkan ketahanan yang tinggi maka jumlah data akan menjadi rendah,
sedangkan akan semakin tampak, dan sebaliknya semakin tidak tampak
maka
ketahanan akan menurun. Jadi harus dipilih nilai-nilai dan parameter tersebut agar
memberikan hasil yang sesuai dengan kita inginkan.
2.4.4
Berbagai Domain untuk Penerapan Watermarking
Penerapan watermarking terhadap data digital
dapat diterapkan pada berbagai
domain. Maksudnya penerapan watermarking pada data digital seperti text, citra,
video dan audio, dilakukan langsung pada jenis data digital tersebut (Misalnya untuk
citra dan video pada domain spasial, dan audio pada domain waktu) atau terlebih
dahulu dilakukan transformasi ke dalam domain yang lain.
Berbagai transformasi yang dikenal dalam pemrosesan sinyal digital seperti
Fast Fourier Transform (FFT), DCT (Discrete Cosine Transform), Discrete
Wavelet Transform (DWT) dan sebagainya. Penerapan watermarking pada berbagai
domain dengan berbagai transformasi turut berbagai mempengaruhi parameter penting
dalam watermarking bitrate invisible, dan robustness [9].
2.4.5
DCT (Discrete Cosine Transform)
Discrete Cosine Transform (DCT) adalah sebuah fungsi dua arah yang memetakan
himpunan
buah bilangan real menjadi himpunan
buah real pula. Secara umum,
DCT satu dimensi menyatakan sebuah sinyal diskrit satu dimensi sebagai kombinasi
linier dari beberapa fungsi basis berupa gelombang kosinus diskrit dengan amplitudo
tertentu. Masing-masing fungsi basis memiliki frekuensi yang berbeda-beda, karena
itu, transformasi DCT termasuk ke dalam transformasi domain frekuensi [9].
Universitas Sumatera Utara
Amplitudo fungsi basis dinyatakan sebagai koefisien dalam himpunan hasil
transformasi DCT. DCT satu dimensi didefenisikan pada persamaan berikut:
............................. (2.6)
untuk 0
C(u) menyatakan koefisien ke-u dari himpunan hasil transformasi DCT.
dari himpunan asal.
menyatakan banyaknya suku
himpunan asal dan himpunan hasil transformasi.
dinyatakan oleh persamaan
menyatakan anggota ke-
berikut:
Untuk
................................. (2.7)
................. (2.8)
Transformasi balikan yang memetakan himpunan hasil transformasi DCT ke
himpunan bilangan semula disebut juga inverse DCT (IDCT).
IDCT didefinisikan oleh persamaan dibawah ini:
...................... (2.9)
untuk
DCT dua dimensi dapat dipandang sebagai komposisi dari DCT pada masingmasing dimensi. Sebagai contoh, jika himpunan bilangan real disajikan dalam array
dua dimensi terhadap masing-masing baris dan
kemudian melakukan DCT satu
dimensi terhadap masing-masing kolom dari hasil DCT tersebut. DCT dua dimensi
dapat dinyatakan sebagai berikut dengan persamaan:
..........(2.10)
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan transformasi balikannya (invers) dinyatakan dengan persamaan:
......... (2.11)
Fungsi basis DCT satu dimensi untuk N=8 dapat dilihat pada Gambar 2.4.
Koefisien DCT ke-n menyatakan amplitudo dari fungsi basis untuk u=n-1. Pada DCT
dua dimensi, fungsi basisnya adalah hasil perkalian antara fungsi basis yang
berorientasi horizontal dengan fungsi basis yang berorientasi vertikal, sehingga
koefisien-koefisien DCT dua dimensi biasa disajikan dalam bentuk matriks.
Gambar 2.4 Fungsi Basis DCT Satu Dimensi untuk N=8 [2]
Koefisien pertama, yaitu C(0) pada DCT satu dimensi atau C(0,0) pada DCT
dua dimensi disebut koefisien DC. Koefisien lainnya disebut koefisen AC. Dapat
dilihat bahwa fungsi basis yang berkorespondensi dengan koefisien DC memiliki nilai
tetap, sedangkan koefisien AC berkorespondensi dengan fungsi basis yang berbentuk
gelombang.
Pada transformasi DCT, dikenal juga istilah koefisien frekuensi rendah,
frekuensi menengah, dan frekuensi tinggi. Hal ini berkaitan dengan frekuensi
gelombang pada fungsi basis DCT. Jika frekuensi fungsi basisnya kecil, maka
koefisien yang berkorespondensi disebut koefisien frekuensi rendah. Contoh
Universitas Sumatera Utara
pembagian koefisien menurut frekuensinya pada DCT dua dimensi dengan ukuran
blok 8 x 8 ditunjukkan pada Gambar 2.5.
Gambar 2.5 Pembagian koefisien DCT untuk blok 8 x 8 [2]
Transformasi DCT dua dimensi sering digunakan dalam pemrosesan citra
digital. Ukuran blok yang banyak digunakan pada pemrosesan citra adalah ukuran
blok kecil, misalnya 8 x 8 seperti pada kompresi JPEG. Untuk citra digital, fungsi
basis dari DCT adalah sekumpulan citra yang disebut citra basis.
Dalam watermarking juga digunakan persamaan untuk memodifikasi koefisien
DCT. Persamaan untuk modifikasi koefisien DC pada domain DCT :
KoeDC = KoeDC + (1 + (2 * Nbiner))
………………………………….(2.12)
Persamaan untuk modifikasi koefisien DCT dengan frekuensi tertinggi setiap baris :
KoeDCT = KoeDCT + (3.14 * (2 * Nbiner)) …………………………….(2.13)
Dimana, Nbiner = nilai biner citra label yang telah di convert. Nilai 1 dan 0 di rubah
menjadi 1 dan -1.
2.4.6
Watermarking untuk Pelabelan Hak Cipta
Masalah Hak Cipta dari dahulu sudah menjadi hal yang utama dalam segala ciptaan
manusia, ini digunakan untuk menjaga originalitas atau kreatifitas pembuat akan hasil
karyanya. Hak cipta terhadap data-data digital sampai saat ini belum terdapat suatu
mekanisme atau cara yang handal dan efisien, dikarenakan adanya berbagai faktorfaktor tadi (faktor-faktor yang membuat data digital banyak digunakan). Beberapa
Universitas Sumatera Utara
cara yang pernah dilakukan oleh orang-orang untuk mengatasi masalah pelabelan hak
cipta pada data digital, antara lain:
1. Hearder Marking; dengan memberikan keterangan atau informasi hak cipta
pada header dari suatu data digital.
2. Visible Marking; merupakan cara dengan memberikan tanda hak cipta pada
data digital secara eksplisit.
3. Encryption; mengkodekan data digital ke dalam representasi lain yang berbeda
dengan representasi aslinya (tetapi dapat dikembalikan ke bentuk semula) dan
memerlukan sebuah kunci dari pemegang hak cipta untuk mengembalikan ke
representasi aslinya.
4. Copy Protection; memberikan proteksi pada data digital dengan membatasi
atau dengan memberikan proteksi sedemikian rupa sehingga data digital
tersebut tidak dapat diduplikasi.
Cara-cara tersebut diatas memiliki kelemahan tersendiri, sehingga tidak dapat
banyak diharapkan sebagai metoda untuk mengatasi masalah pelabelan hak citpa ini.
Contohnya:
1. Header Marking; Dengan menggunakan software sejenis Hex Editor, orang
lain dengan mudah membuka file yang berisi data digital tersebut, dan
menghapus informasi yang berkaitan dengan hak cipta dan sejenisnya yang
terdapat di dalam header file tersebut.
2. Visible Marking; Penandaan secara eksplisit pada data digital, memang
memberikan sejenis tanda semi-permanen, tetapi dengan tersedianya software
atau metoda untuk pengolahan, maka dengan sedikit ketrampilan dan
kesabaran, tanda yang semipermanen tersebut dapat dihilangkan dari data
digitalnya.
3. Encryption; Penyebaran data digital dengan kunci untuk decryption tidak dapat
menjamin penyebarannya yang legal. Maksudnya setelah data digital
terenkripsi dengan kuncinya telah diberikan kepada pihak yang telah
membayar otoritas (secara legal), maka tidak dapat dijamin penyebaran data
digital yang telah terdekripsi tadi oleh pihak lain tersebut.
Universitas Sumatera Utara
4. Copy Protection; Proteksi jenis ini biasanya dilakukan secara hardware, seperti
halnya saat ini proteksi hardware DVD, tetapi kita ketahui banyak data digital
saat ini tidak dapat diproteksi secara hardware (seperti dengan adanya
Internet) atau dengan kata lain tidak memungkinkan dengan adanya proteksi
secara hardware.
Gambar 2.6 Gambar asli (atas) dan Gambar (bawah) yang telah dihapus tulisannya
Dengan demikian, kita memerlukan suatu cara untuk mengatasi hal yang berkaitan
dengan pelanggaran hak cipta ini, yang memiliki sifat-sifat seperti:
1. Invisible atau inaudible; Tidak tampak (untuk data digital seperti citra, video,
text) atau tidak kedengaran (untuk jenis audio) oleh pihak lain dengan
menggunakan panca indera kita (dalam hal ini terutama mata dan telinga
manusia).
2. Robustness; Tidak mudah dihapus/diubah secara langsung oleh pihak yang
tidak bertanggung jawab, dan tidak mudah terhapus/terubah dengan adanya
proses pengolahan sinyal digital, seperti kompresi, filter, pemotongan dan
sebagainya.
3. Trackable; Tidak menghambat proses penduplikasian tetapi penyebaran data
digital tersebut tetap dapat dikendalikan dan diketahui.
Teknik watermarking tampaknya memiliki ketiga sifat-sifat diatas, karena faktorfaktor invisibility dan robustness dapat kita atur, dan data yang ter-watermark dapat
Universitas Sumatera Utara
diduplikasi seperti layaknya data digital. Watermarking sebagai metoda untuk
pelabelan hak cipta dituntut memiliki berbagai kriteria (ideal) sebagai berikut agar
memberikan unjuk kerja yang bagus:
1. Label Hak Cipta yang unik mengandung informasi.
2. pembuatan, seperti nama, tanggal, dst, atau sebuah kode hak cipta.
3. Data ter-label tidak dapat diubah atau dihapus (robustness) secara langsung
oleh orang lain atau dengan menggunakan software pengolahan sinyal sampai
tingkatan tertentu.
4. Pelabelan yang lebih dari satu kali dapat merusak data digital aslinya, supaya
orang lain tidak dapat melakukan pelabelan berulang terhadap data yang telah
dilabel.
Berbagai pengolahan sinyal digital yang mungkin dilakukan terhadap berbagai
tipe data digital, antara lain untuk citra adalah : Filter (seperti blur),
konversi DA/AD, crop (Pemotongan), Scaling, Rotasi, Translasi, kompresi loosy
(contohnya JPEG), konversi format, perubahan tabel warna. Untuk video, kompresi
loosy (contohnya MPEG),
konversi format, konversi DA/AD. Dan untuk audio
adalah : crop, filter, equalisasi, kompresi loosy (contohnya MP3), konversi sample
rate, format, konversi DA/AD, pengaruh echo, noise, dan sinyal lain [9].
2.4.7
Proses Watermarking
Proses-proses yang secara umum dilakukan pada penyisipan label pada file data asli
(data original) dengan pemasukan sebuah kunci (key) adalah seperti Gambar 2.7.
Gambar 2.7 Proses Watermarking
Universitas Sumatera Utara
Pada Gambar 2.7, proses watermarking, terdapat komponen key atau lebih
populer dengan password, key ini digunakan untuk mencegah penghapusan secara
langsung oleh pihak tak bertanggung jawab dengan menggunakan metoda enkripsi
yang sudah ada. Sedangkan ketahanan terhadap proses-proses pengolahan lainnya, itu
tergantung pada metoda watermarking yang digunakan. Tetapi dari berbagai
penelitian yang sudah dilakukan belum ada suatu metoda watermarking yang ideal
bisa tahan terhadap semua proses pengolahan digital. Biasanya masing-masing
penelitian menfokuskan pada hal–hal tertentu yang dianggap penting. Penelitian
dibidang watermarking ini masih terbuka luas dan semakin menarik, salah satunya
karena belum ada suatu standar yang digunakan sebagai alat penanganan masalah hak
cipta ini.
Sistem watermarking terdapat 3 sub-bagian yang membentuknya yaitu:
a. Penghasil Label Watermark
b. Proses penyembunyian Label
c. Menghasilkan kembali Label Watermark dari data yang ter-watermark.
Terdapat kontraversi antara beberapa penelitian mengenai masalah:
1. Label Watermark harus panjang atau hanya memberitahu ada tidaknya
watermark pada data digital yang ter-watermark. Maksudnya bila label yang
panjang, maka kita dapat mendapatkan informasi tambahan dari data yang terwatermark tersebut, sedangkan sebaliknya hanya diperoleh ada tidaknya (ada
atau tidak ada) watermark dalam data ter-watermark.
2. Cara menghasilkan kembali (ekstrasi atau verifikasi) label watermark tersebut
apakah diperlukan data digital aslinya, atau tidak. Dari hasil penelitian
memberikan hasil bahwa verifikasi dengan menggunakan data aslinya akan
memberikan performansi yang lebih baik dibandingkan dengan cara yang
tanpa menggunakan data asli. Dan cara ini dapat digunakan untuk menangani
masalah pengakuan kepemilikan oleh beberapa orang.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.8 Proses Ekstrak dengan data asli
Gambar 2.9 Proses Ekstrak tanpa data asli
Gambar 2.8 proses ekstraksi data ter-label (hasil proses watermarking) dibandingkan
dengan data asli berupa teks maupun citra yang menghasilkan data label berupa data
yang disisipkan (label). Sedang Gambar 2.9 proses ekstraksi data ter-label (hasil
proses watermarking) dibandingkan tanpa data asli berupa teks maupun citra yang
menghasilkan data label berupa data yang disisipkan (label).
Label watermark adalah sesuatu data/informasi yang akan kita masukkan ke
dalam data digital yang ingin di-watermark. Ada 2 jenis label yang dapat digunakan:
1. Label text yaitu label watermark dari teks biasanya menggunakan nilai-nilai ASCII
dari masing-masing karakter dalam text yang kemudian dipecahkan atas bit-perbit, kelemahan dari label ini adalah, kesalah pada satu bit saja akan menghasilkan
hasil yang berbeda dengan text sebenarnya.
2.
Label non text berupa Logo atau Citra atau Suara. Berbeda dengan label text,
kesalahan pada beberapa bit masih dapat memberikan persepsi yang sama dengan
aslinya oleh pendengaran maupun penglihatan kita, tetapi kelemahannya adalah
ukuran data yang cukup besar.
Universitas Sumatera Utara
Teks dan non teks
Gambar 2.10 Jenis label pada saat Pelabelan [9]
2.5
Teknik Watermarking dengan Metode RSPPMC pada Citra Digital
Pada metode ini dilakukan watermarking pada citra digital. Metoda watermarking
yang dicoba pada dasarnya menerapkan metoda RSPPMC, yakni watermarking
dilakukan pada domain frekuensi (DCT) dengan dilakukan sedikit perubahan.
Perubahan yang dilakukan sebagai perbandingan dengan RSPPMC yang asli, yakni
verifikasi label watermarking melibatkan citra asli, dimana pada RSPPMC proses
verifikasi tidak menggunakan citra asli.
Metoda RSPPMC seperti berikut:
1. Pembagian citra atas blok-blok 8 x 8, dan pemilihan blok secara pseudo
random.
2. Blok terpilih ditransformasikan dengan DCT.
Pemilihan 2 nilai koefisien DCT untuk dikodekan sebagai bit 1(high) atau bit 0
( low).
Contohnya:
Koefisien pertama = koefisien kedua + nilai konstan untuk bit 1 (high).
Sebaliknya untuk bit 0, dilakukan pengurangan Inverse DCT terhadap blok
yang telah di-encode.
3. Ulangi proses yang sama untuk seluruh bit label.
Sedangkan metoda yang dilakukan sebagai perbandingan dengan metode RSPPMC
Universitas Sumatera Utara
adalah pengkodean bit 1 dan bit 0 tidak dilakukan dengan membandingkan kedua nilai
koefisien DCT tersebut, tetapi dengan menambahkan kedua nilai tersebut dengan satu
koefisien tertentu yang sama, dan pada waktu verifikasi, dibandingkan dengan citra
aslinya [11].
Proses verifikasi dengan melibatkan citra asli memberikan hasil yang lebih
baik dibandingkan dengan proses verifikasi tanpa melibatkan citra asli. Selain itu,
keuntungan lain dengan terlibatnya citra asli adalah dapat digunakan untuk mengatasi
masalah proses pengolahan citra seperti rotasi, croping, translasi dan sebagainya.
Dengan adanya citra asli tersebut, maka citra asli tersebut dapat digunakan sebagai
referensi untuk dilakukan preprocessing (proses awal) sebelum proses verifikasi,
misalnya bagian yang hilang dari citra yang terpotong dapat disisipi dengan bagian
dari citra asli.
Pengolahan digital dan masih terbuka suatu kesempatan besar untuk
perkembangan-perkembangan lebih lanjut. Diatas telah dibicarakan aplikasi
watermarking pada data digital seperti citra, video dan audio, sebenarnya masih ada
penelitian pada data seperti text digital, maupun pada fax [11].
Agar watermarking sebagai proses pelabelan hak cipta pada data digital dapat
berfungsi dengan baik, juga diperlukan adanya suatu badan internasional yang
mencatat semua hasil karya yang terdaftar. Badan internasional tersebut sebagai suatu
badan hukum yang berkuasa untuk menentukan siapa yang memang merupakan
pemilik aslinya berdasarkan terdaftar tidaknya sebuah hasil karya atas nama
seseorang. Tanpa adanya suatu badan internasional tersebut, sebaik apapun metoda
watermarking yang ada, masalah hak cipta ini tidak dapat diatasi sepenuhnya. Karena
kepada siapa kita harus menuntut, dan menjadi penengah dalam persoalan ini, serta
apa bukti bahwa data tersebut memang milik orang ini dan bukan milik orang lain [8].
2.6 Penelitian Terkait
Dalam penelitian Rodiah (2004) yang berjudul Watermarking Sebagai Teknik
Penyembunyian Label Hak Cipta Pada Data Digital Menggunakan Algoritma DCT
Universitas Sumatera Utara
(Discrete Cosinus Transform) dilakukan penghitungan semua koefisien DCT citra
untuk proses kuantisasi terhadap nilai konstan. Kuantisasi ini dimaksud untuk
mengantisipasi proses kompresi JPEG. Dengan adanya kuantisasi ini memberikan
hasil yang lebih baik dibandingkan tanpa kuantisasi, tetapi menimbulkan efek kotakkotak pada citra.
Cara melakukan penyisipan bit adalah setelah dilakukan DCT 2 dimensi
terhadap matriks citra, nilai koefisien DCT yang diperoleh dikuantisasi sehingga akan
memiliki suatu matriks dalam domain frekuensi. Kelebihan dari domain frekuensi
adalah dapat mengganti data dengan lebih sedikit resiko, karena secara garis besar
citra aslinya tidak akan mengalami perbedaan yang besar. Pengubahan komponen
frekuensi rendah memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap citra. Tetapi tidak
harus mengubah ke frekuensi tinggi, karena ada pertimbangan teknis yang
menyebabkan hal ini sulit dilakukan. Semakin ke arah frekuensi tinggi, nilai koefisien
matriks akan semakin menuju nol. Karena itu pengubahan pada frekuensi tinggi sulit
dilakukan. Solusinya adalah menggunakan frekuensi tengah sebagai tempat
meletakkan informasi. Pada matriks hasil kuantisasi, frekuensi tengah biasanya berada
daerah dengan nomor baris antara 2 sampai 5 atau nomor kolom antara 2 sampai 5 [9].
Pada jurnal Winarso, 2007, Selama proses DCT, sebuah gambar dipecah-pecah
menjadi blok-blok yang kecil-kecil yang tiap bloknya memuat 8x8 piksel (titik-titik
elemen gambar), yang bertindak sebagai masukan bagi suatu DCT. Operasi matematik
yang rumit dikenakan pada setiap blok tersebut untuk memperoleh nilai-nilai yang
menyatakan karakter penting dari setiap bloknya seperti bagian sisi-sisi atau
konturnya yang nantinya harus dapat direpresentasikan.
Setelah tiap gambar mengalami proses DCT, kemudian DCT mengkuantisasi
dengan menggunakan fungsi-fungsi weighting (pembobotan) yang dioptimalkan
sehingga mendekati sistem visual manusia. Kuantisasi dimaksudkan untuk
menyederhanakan bobot angka-angka, yakni senilai 256 yang menunjukkan
keseluruhan palet warna dari putih murni sampai hitam murni. Setelah gambar kedua
mengalami proses yang sama maka gambar kedua akan disisipkan ke gambar pertama
berdasarkan nilai piksel yang dimiliki tiap blok [13].
Universitas Sumatera Utara
Penelitian
Rakhmatulloh,
(2006)
etal,
dilakukan
watermarking
untuk
memecahkan kasus penggandaan ilegal produk digital. Pada penelitian ini
watermarking citra digital ditransformasikan menggunakan Discrete Cosine
Transform (DCT). Pada proses penanaman watermark, citra ditransformasikan
menggunakan DCT menjadi domain frekuensi yang menghasilkan tiga area yaitu Low
Frequency (FL), Medium Frequency (FM), dan High Frequency (FH). Bit-bit
watermark ditanam pada area FM dengan menggunakan nilai Koefisien Selisih (K).
Kualitas citra ter-watermark diukur dengan Peak Signal of Noise Ratio (PSNR).
Semakin besar nilai K diperoleh nilai PSNR yang semakin kecil [8].
2.7
Flowchart
Flowchart adalah bagan alir yang menggambarkan arus data dari program. Fungsi dari
bagan alir ini adalah untuk memudahkan programmer di dalam perancangan program
aplikasi. Simbol-simbol yang digunakan pada bagan flowchart ini antara lain seperti
pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Simbol Flowchart Program [5]
Simbol
Fungsi
Terminator
Menunjukkan awal dan akhir suatu proses.
Data
Digunakan untuk mewakili data input/output.
Process
Digunakan untuk mewakili proses.
Decision
Digunakan untuk suatu seleksi kondisi didalam program.
Predefined Process
Menunjukkan suatu operasi yang rinciannya ditunjukkan di
tempat lain.
Preparation
Digunakan untuk memberi nilai awal variabel.
Universitas Sumatera Utara
Flow Lines Symbol
Menunjukkan arah dari proses.
Connector
Menunjukkan penghubung ke halaman yang sama.
Menunjukkan penghubung ke halaman yang baru.
.
2.8
Unified Modeling Language (UML)
Unified Modeling Language adalah keluarga notasi grafis yang didukung oleh metamodel tunggal, yang membantu pendeskripsian dan desain sistem perangkat lunak,
khususnya sistem yang dibangun menggunakan pemrograman berorientasi objek [3].
Saat ini UML telah menyediakan diagram-diagram yang merepresentasikan
secara grafis bagaimana setiap objek saling berinteraksi. Salah satu diagram yang
dimaksud adalah Use Case Diagram.
2.8.1
Use Case Diagram
Use case diagram memberikan gambaran menurut perspektif pengguna perangkat
lunak. Sebuah use-case diagram mengandung actor, use-case dan interaksi antara
actor dengan use-case [10].
2.8.1.1 Actor
Actor adalah suatu elemen yang berinteraksi dengan sistem untuk melakukan
komunikasi. Actor memberikan suatu gambaran jelas tentang apa yang harus
dilakukan perangkat lunak.
Gambar 2.11 Actor
Universitas Sumatera Utara
2.8.1.2 Use Case
Use case menggambarkan fungsi – fungsi sistem yang dilakukan oleh sebuah sistem
perangkat lunak. Sebuah use case merepresentasikan satu tujuan tunggal dari sistem
dan menggambarkan satu rangkaian kegiatan dan interaksi pengguna untuk mencapai
tujuan.
Case 1
Gambar 2.12 Use Case
Universitas Sumatera Utara