Skripsi revisi Bab I II III Daris 19 sep

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap warga negara berhak atas pendidikan yang layak dan berkualitas
untuk membangun generasi yang memiliki daya saing dalam era globalisasi
seperti saat ini. Pemerintah mempunyai peran penting dalam meningkatkan sarana
dan prasarana kebutuhan di dunia pendidikan. Tetapi sangat di sayangkan pada
masa sekarang ini bahwa peran pemerintah belum terealisasikan dengan
maksimal. Karena ikut campur oknum yang kurang bertanggung jawab dalam
proses pengeloaan kurikulum pendidikan di Indonsia. Peningkatan mutu dan
kualitas seharusnya dapat mengambil banyak sumber, misalnya dengan
mengadaptasi kebudayaan-kebudayaan dan kekayaan alam yang dimiliki oleh
Indonesia. Karena sebenarnya Indonesia merupakan salah satu negara yang
memiliki kekayaan atau ragam flora, fauna, dan kebudayaan yang berlipah.
Tidaklah sulit bagi pemerintah untuk mengambangkan potensi yang sudah
dimiliki oleh Negara Indonesia. Namun, tidak begitu saja pemerintah ataupun
pihak dinas pendidikan mengadaptasi budaya secara langsung. Pemerintah juga
memerlukan pemilahan dalam proses pengadaptasian budaya yang akan
dipergunakan dalam proses belajar mengajar di Indonesia. Karena tidak semua
kebudayaan lokal bisa secara langsung di terapkan dalam proses pembelajaran.
Banyak peninggalan-peninggalan budaya masa lampau

yang menjadi warisan lelulur nenek moyang kita sangat beragam

1

2

dan banyak menarik perhatian para ilmuwan, salah satu
diantaranya folklor. Folklor tergolong ilmu atau sebuah disiplin
budaya. Folklor merupakan ilmu yang luas, apa saja bisa masuk
di dalamnya. Sadar atau tidak, kehadiran folklor memperkaya
khasanah budaya yang bersangkutan. Folklor Jawa, misalnya
akan menjadi ciri atau identitas kejawaan yang membedakan
dengan etnik lain. Jati diri orang Jawa akan memupuk jiwa
kolektif kejawaan.
Foklor sangat kaya dengan nilai-nilai kearifan lokal. Kearifan
lokal (lokal wisdom) adalah produk budaya masa lalu yang
dipercaya dapat memberi kontribusi terhadap terciptanya
kehidupan yang damai dan tenteram. Sebagai produk kearifan
lokal, folklor sebenarnya mengandung aspek sejarah,
pengalaman, pandangan hidup, adat istiadat, kepercayaan,

politik, obsesi dan berbagai kegiatan lain yang terdapat disuatu
komunitas atau daerah. Namun, potensi lokal tersebut masih
terabaikan dan belum tersentuh oleh pemerintah daerah karena
rendahnya pengetahuan pengelolaan terhadap bidang sosial
budaya.
(Heriman, 2010:34) Sekolah berbasis kearifan lokal seirama dengan upaya
pemerintah dalam melestarikan budaya yang ada di Indonesia. Saat ini generasi
muda penerus bangsa mulai meninggalkan budayanya sendiri dan beralih kepada
budaya barat. Hal yang mencoreng nama Indonesia adalah dengan adanya

3

peristiwa beberapa tahun belakangan. Salah satu penyebab kejadian tersebut
adalah generasi muda tidak mau mempelajari budaya sendiri. Heriman
mengatakan bahwa dalam suatu kasus, ditemukan generasi muda menolak budaya
yang hendak oleh generasi pendahulunya.
Budaya di Indonesia sangatlah beragam. Indonesia memiliki berbagai
macam budaya yang banyak dan memiliki nilai-nilai di balik budaya tersebut.
Dengan keberagaman budaya yang di miliki Indonesia serta nilai-nilai kearifan
yang terdapat di dalamnya, kita dapat mengambil teladan untuk di angkat ke dunia

pendidikan. Terutama budaya atau kearifan lokal Indonesia itu sendiri.
Pada pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, banyak membutuhkan
sumbangan-sumbangan materi pembelajaran yang mengangkat kearifan-kearifan
lokal milik Indonesia sendiri. Banyak budaya yang masuk kriteria sebagai materi
pembelajaran dan memberikan teladan-teladan yang dapat diterapkan pada
kehidupan bagi peserta didik yang mempelajarinya. Selain itu, budaya yang
dijadikan sebagai materi juga akan tetap terjaga keberadaanya dan akan tetap
lestari.
Pendidikan saat ini sangat membutuhkan sosok-sosok teladan dari pahlawan
maupun cerita-cerita di Indonesia. Hal ini di nyatakan karena kurangnya nilai-nilai
keteladan yang di miliki peserta didik. Karena peserta didik adalah sebagai
penerus pemimpin bangsa dan sebagai para pewaris budaya Indonesia. Kita
menginginkan budaya dan kearifan Indonesia dapat tetap lestari dengan di jadikan
sarana belajar peserta didik.

4

Sesuai dengan uraian di atas, peneliti memilih judul dengan mengangkat
Nilai Kearifan Lokal pada Cerita Rakyat Sunan Bonang Tuban dan
Relevansinya dengan Pembelajaran Sastra di Sekolah. Cerita rakyat Sunan

Bonang memiliki banyak nilai-nilai yang dapat berkontribusi dalam dunia
pendidikan. Cerita rakyat Sunan Bonang Tuban sendiri sudah sering kita dengar
dan sering kita baca. Di dalam cerita rakyat tersebut banyak nilai-nilai yang dapat
di jadikan contoh atau teladan yang baik bagi peserta didik. Cerita rakyat Sunan
Bonang Tuban merupakan cerita yang berisi tentang perjalanan kewalian
seseorang dalam menyebarkan ajaran agama islam di bumi Jawa Indonesia, salah
satunya di Jawa Timur. Banyak teladan cerita yang dapat di ambil dari sumber di
luar Jawa Timur. Maka dari itu, peneliti ingin mengangkat kembali cerita-cerita
daerah yang berasal dari Jawa Timur untuk di jadikan materi pembelajaran di
sekolah secara formal. Hal tersebut juga sangat dianjurkan oleh pemerintah,
karena sekarang pembelajaran di sekolah banyak mengangkat tentang lokalitas
lingkungan sekolah masing-masing dan diolah sebaik mungkin agar menjadi inti
pembelajaran yang memberi manfaat untuk lingkungan tersebut juga untuk
pemerintah.
B. Ruang Lingkup Penelitian
Pembatasan masalah dalam penelitian ini dimaksudkan agar
penelitian lebih jelas dan terarah. Batasan masalah diperlukan
untuk mengatisipasi meluasnya objek tinjauan. Dalam penelitian ini,
peneliti fokus penelitian hanya pada kearifan lokal religius, kearifan lokal
kesenian dan relevansinya dengan pembelajaran sastra di sekolah. Nilai-nilai


5

kearifan lokal akan di lihat dari tokoh utama dan refleksi sosial sastra
lisan pada jamannya serta refleksi sosial masyarakatnya saat ini.
Kemudian nilai-nilai nilai kearifan lokal dan nilai pendidikan yang
ada dalam foklor tersebut dihubungkan dengan pembelajaran
sastra di sekolah.
C. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah, dan ruang lingkup, dapat dirumuskan
tiga pertanyaan penelitian.
1. Bagaimanakah nilai kearifan lokal religius yang terdapat dalam cerita rakyat
Sunan Bonang Tuban?
2. Bagaimanakah nilai kearifan lokal kesenian yang terdapat dalam cerita rakyat
Sunan Bonang Tuban?
3. Bagaimanakah relevansi kearifan lokal cerita rakyat Sunan Bonang Tuban
dengan pembelajaran sastra di sekolah?
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah di atas, dirumuskan tujuan penelitian.
1. Tujuan Umum

a. Memberikan wawasan kepada pembaca mengenai pendidikan ragam
kearifan lokal yang dimiliki Indonesia.
b. Memberikan alternatif pembelajaran kepada pengajar yang lebih
berinovasi pada pembelajaran sastra.
2. Tujuan Khusus

6

a. Mengetahui nilai kearifan lokal religius yang terdapat dalam cerita rakyat
Sunan Bonang Tuban.
b. Mengetahui nilai kearifan lokal kesenian yang terdapat dalam cerita
rakyat Sunan Bonang Tuban.
c. Mengetahui relevansi kearifan lokal cerita rakyat Sunan Bonang Tuban
dengan pembelajaran sastra di sekolah.
E. Kegunaan Penelitian
Penelitian diharapkan memberikan beberapa manfaat.
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini digunakan untuk mengembangkan keilmuan dan wawasan
dalam kegiatan ilmiah. Pengembangan keilmuan ini dengan meneliti bagaimana
implementasi Sekolah berbasis kearifan lokal di Sekolah.

2. Manfaat Praktis
a. Bagi Guru
1) Memberi gambaran sejauh mana implementasi Sekolah Berbasis
Kearifan Lokal tersebut.
2) Sebagai upaya untuk menindaklanjuti Sekolah Berbasis Kearifan Lokal
yang telah diamanahkan oleh pemerintah.
3) Sebagai penunjang pembelajaran kreatif berbasis Kearifan Lokal Jawa
Timur.
b. Bagi Sekolah
1) Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai refleksi pelaksanaan Sekolah
Berbasis Kearifan Lokal di Jawa Timur.

7

2) Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi bagi semua tenaga
pengajar mengenai Sekolah Berbasis Kearifan Lokal di Jawa Timur.
c. Bagi Dinas Pendidikan
1) Melakukan tinjauan ulang terhadap Sekolah Berbasis Kearifan Lokal di
Jawa Timur.
2) Upaya pengembangan kebijakan tersebut supaya lebih optimal dalam

proses pelaksanaannya.

BAB II
LANDASAN TEORI
A. Konsep Nilai Kearifan Lokal
a. Pengertian Nilai
Pengertian nilai menurut para ahli sangat beragam, hal ini sengaja
dipaparkan dalam rangka memperoleh pengertian yang lebih utuh. Gazalba
(dalam Thoha, 1996: 61) menjelaskan bahwa nilai adalah sesuatu yang bersifat
abstrak, ia ideal, bukan benda kongkrit, bukan fakta, bukan hanya persoalan benar
dan salah yang menuntut pembuktian empirik, melainkan soal penghayatan yang
dikehendaki dan tidak di kehendaki, disenangi dan tidak disenangi. Pendapat
Darajat, dkk., (1994: 260) memberikan pengertian bahwa nilai adalah suatu
perangkat keyakinan ataupun perasaan yang diyakini sebagai suatu identitas yang
memberikan corak yang khusus kepada pola pemikiran perasaan, keterikatan,
maupun perilaku. Pengertian yang diberikan oleh Darajat, Una (dalam Thoha,
1996: 60) menjelaskan bahwa nilai adalah suatu tipe kepercayaan yang berbeda
dalam ruang lingkup sistem kepercayaan dalam mana seseorang bertindak atau
menghindari suatu tindakan, atau mengenai suatu yang pantas atau tidak pantas
dikerjakan.

Dari beberapa pengertian tentang nilai di atas dapat difahami bahwa nilai itu
adalah sesuatu yang abstrak, ideal, dan menyangkut persoalan keyakinan terhadap
yang dikehendaki, dan memberikan corak pada pola pikiran, perasaan, dan
perilaku. Dengan demikian untuk melacak sebuah nilai harus melalui pemaknaan
terhadap kenyataan lain berupa tindakan, tingkah laku, pola pikir dan sikap
8

9

seseorang atau sekelompok orang. Nilai merupakan kumpulan sikap perasaan
ataupun anggapan terhadap sesuatu hal mengenai baik buruk, benar salah, patuttidak patut, mulia-hina, maupun penting atau tidak penting. Dalam kenyataannya
orang dapat saja mengembangkan perasaannya sendiri yang mungkin saja berbeda
dengan perasaan sebagian besar warga masyarakat. Kenyataan ini melahirkan
adanya nilai individual, yakni nilai-nilai yang dianut oleh individu sebagai orang
perorangan yang mungkin saja selaras dengan nilai-nilai yang dianut oleh orang
lain, tetapi dapat pula berbeda atau bahkan bertentangan.
b. Pengertian Nilai Kearifan Lokal
Dalam pengertian kamus, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua kata:
kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam kamus Inggris Indonesia John M.
Echols dan Hasan Syadly (2012:875) dalam Agung Wahyudi 2014: 11 lokal

berarti setempat sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara
umum local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan
setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan
diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai
strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal
dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Dalam
bahasa asing sering juga dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat “local
wisdom” atau pengetahuan setempat “local knowledge” atau kecerdasan setempat
“local genious”.

10

Kearifan lokal memiliki kandungan nilai kehidupan yang tinggi dan layak
terus digali, dikembangkan, serta dilestarikan sebagai keunggulan budaya lokal.
Bahkan sering pula diartikan sebagai antitesa atas perubahan sosial budaya dan
modernitasi. Kearifan lokal produk budaya masa lalu yang runtut secara terusmenerus dijadikan pegangan hidup, meskipun bernilai lokal tapi nilai yang
terkandung didalamnya dianggap sangat universal. Kearifan lokal terbentuk
sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam
arti luas.

Wietoler, 2007 (dalam Akbar, 2006) Kearifan lingkungan atau kearifan lokal
masyarakat (local wisdom) sudah ada di dalam kehidupan masyarakat semenjak
zaman dahulu mulai dari zaman prasejarah hingga saat ini, kearifan lingkungan
merupakan perilaku positif manusia dalam berhubungan dengan alam dan
lingkungan sekitarnya yang dapat bersumber dari nilai-nilai agama, adat istiadat,
petuah nenek moyang atau budaya setempat, yang terbangun secara alamiah
dalam suatu komunitas masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan di
sekitarnya, perilaku ini berkembang menjadi suatu kebudayaan di suatu daerah
dan akan berkembang secara turun-temurun, secara umum, budaya lokal atau
budaya daerah dimaknai sebagai budaya yang berkembang di suatu daerah, yang
unsur-unsurnya adalah budaya suku-suku bangsa yang tinggal di daerah itu.
Secara umum, kearifan local memiliki ciri dan fungsi berikut ini: (1) sebagai
penanda identitas sebuah komunitas; (2) sebagai elemen perekat kohesi sosial; (3)
sebagai unsur budaya yang tumbuh dari bawah, eksis dan berkembang dalam
masyarakat; bukan unsur budaya yang dipaksakan dari atas; (4) berfungsi

11

memberikan warna kebersamaan bagi sebuah komunitas; (5) dapat mengubah pola
pikir dan hubungan timbal balik individu dan kelompok dengan meletakkan-nya
di atas common ground; (6) mampu mendorong terbangunnya kebersamaan,
apresiasi dan mekanisme bersama untuk mempertahankan diri dari kemungkinan
terjadinya gangguan atau perusakan solidaritas kelompok sebagai komunitas yang
utuh dan terintegrasi.
Dari paparan di atas dapat dipahami, bahwa kearifan lokal adalah seluruh
gagasan, nilai, pengetahuan, aktivitas, dan benda-benda budaya yang spesifik dan
dibanggakan yang menjadi identitas dan jati diri suatu komunitas atau kelompok
etnis tertentu. Kearifan lokal tersebut bersumber dari tradisi setempat dan selama
berabad-abad telah dijadikan kebanggaan dan rujukan dalam hidup dan
kehidupan. Kearifan lokal masyarakat Jawa bukan hanya tercermin dari tradisi
lisan yang disebarkan dari mulut ke mulut secara turun-temurun, tetapi juga dari
tradisi tulisnya, terutama karya sastra yang ditulis oleh para pujangga.
Zuhdan K. Prasetyo (2013: 3) (dalam Agung Wahyudi, 2014: 11)
mengatakan bahwa local wisdom (kearifan lokal) dapat dipahami sebagai
gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai
baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Dan Nuraini Asriati
(2012:111) dalam Agung Wahyudi berpandangan bahwa kearifan lokal
merupakan suatu gagasan konseptual yang hidup dalam masyarakat, tumbuh dan
berkembang secara terus-menerus dalam kesadaran masyarakat dari yang sifatnya
berkaitan dengan kehidupan yang sakral sampai dengan yang profan (bagian
keseharian dari hidup dan sifatnya biasa-biasa saja).

12

Jamal Ma’mur (2012: 30) dalam Agung Wahyudi yang mengatakan bahwa
pendidikan berbasis kearifan lokal adalah pendidikan yang memanfaatkan
keunggulan lokal dalam aspek ekonomi, budaya, bahasa, teknologi informasi dan
komunikasi, ekologi, dan lain-lain, yang semuanya bermanfaat bagi
pengembangan kompetensi peserta didik. Oleh karena itu pendidikan membuat
orang berbudaya. Tidak hanya berupa kegiatan, pada proses pembelajaran bukan
hanya menyampaikan budaya kepada siswa, melainkan lebih kepada
menggunakan budaya tersebut agar siswa menemukan makna, kreativitas, dan
memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang materi yang sedang
dipelajari. Masing-masing guru memiliki kreativitas untuk merancang dan
melaksanakan pembelajaran berbasis kearifan lokal. Selain itu, guru juga harus
berani mengambil resiko untuk menciptakan proses pembelajaran yang kreatif. Ni
Wayan Sartini (2004: 111) dalam Agung Wahyudi (2014: 11) dalam judul Skirpsi
Implementasi Sekolah Berbasis Kearifan Lokal di SD Negeri Sendangsari
Pajangan yang mengatakan bahwa kearifan lokal (local wisdom) dapat dipahami
sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan,
bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Dari pendapat para ahli di atas, peneliti dapat mengambil benang merah
bahwa kearifan lokal merupakan gagasan yang timbul dan berkembang secara
terus-menerus di dalam sebuah masyarakat berupa adat istiadat, tata aturan/norma,
budaya, bahasa, kepercayaan, dan kebiasaan sehari-hari. Kearifan lokal daat di
ambil dari budaya yang sudah ada dan sudah dimiliki Indonesia. Maka, alangkah

13

baiknya jika budaya yang sudah dimiliki di jaga dan dikembangkan oleh para
pendidik dan dapat dijadikan bahan pembelajaran yang berinovasi.
c. Jenis-Jenis Nilai Kearifan Lokal
1. Nilai Kepemimpinan
(Tannebaum, Weschler and Nassarik, 1961: 24) dalam Septian Raha Nilai
kepemimpinan bisa dimaknai sebagai sebuah nilai atau ajaran tentang
kepemimpinan. Kepemimpinan itu biasanya memiliki jiwa melindungi,
mengayomi dan memberikan pencerahan. Kepemimpinan adalah pengaruh antar
pribadi, dalam situasi tertentu dan langsung melalui proses komunikasi untuk
mencapai satu atau beberapa tujuan tertentu. (Shared Goal, Hemhiel & Coons,
1957: 7) dalam Septian Raha, pendapat lain kepemimpinan adalah sikap pribadi,
yang memimpin pelaksanaan aktivitas untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Dan pendapat Rauch & Behling (1984: 46) dalam Septian Raha, kepemimpinan
adalah suatu proses yang mempengaruhi aktifitas kelompok yang diatur untuk
mencapai tujuan bersama.
Kepemimpinan adalah proses memengaruhi atau memberi contoh oleh
pemimpin kepada pengikutnya dalam upaya mencapai tujuan organisasi. Cara
alamiah mempelajari kepemimpinan adalah "melakukanya dalam kerja" dengan
praktik seperti pemagangan pada seorang senima ahli, pengrajin, atau praktisi.
Dalam hubungan ini sang ahli diharapkan sebagai bagian dari peranya
memberikan pengajaran/instruksi.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan jiwa kepemimpinan yang
menggambarkan asumsi bahwa kepemimpinan dihubungkan dengan proses

14

mempengaruhi orang baik individu maupun masyarakat. Dalam kasus ini, dengan
sengaja mempengaruhi dari orang ke orang lain dalam susunan aktivitasnya dan
hubungan dalam kelompok atau organisasi. John C. Maxwell mengatakan bahwa
inti kepemimpinan adalah mempengaruhi atau mendapatkan pengikut. Pemimipin
yang efektif mempunyai sifat atau ciri-ciri tertentu yang sangat penting misalnya,
kharisma, pandangan ke depan, daya persuasi, dan intensitas. Kepemimpinan juga
mengandung dimensi luas, sebagai ajaran bisa digali konsep kepemimpinan dari
sebuah folklor di suatu daerah.
2. Nilai Pengabdian
Pengabdian dimaknai sebagai kepatuhan kepada atasan atau pimpinan.
Bisa pula diartikan sebagai dedikasi kepada daerah atau kepada bangsa.
Pengabdian adalah perbuatan baik yang berupa pikiran, pendapat ataupun tenaga
sebagai perwujudan kesetiaan, cinta kasih sayang, norma, atau satu ikatan dari
semua itu dilakukan dengan ikhlas. Pengabdian itu pada hakekatnya adalah rasa
tanggung jawab. Apabila orang bekerja keras sehari penuh untuk mencapai
kebutuhan, hal itu berarti mengabdi keapada keluarga. Manusia tidak ada dengan
sendirinya, tetapi merupakan makhluk ciptaan Tuhan. Sebagai ciptaan Tuhan
manusia wajib mengabdi kepada Tuhan. Pengabdian berarti penyerahan diri
sepenuhnya kepada Tuhan, dan merupakan perwujudan tanggung jawab kepada
Tuhan.
3. Nilai Tradisi dan Kebudayaan
(Said Hamid, 2010: 8) Di dalam tradisi dan budaya lokal terkandung
banyak ajaran dan nilai-nilai kearifan lokal yang bisa dipelajari, dan

15

dikembangkan untuk menjawab persoalan zaman yang makin kompleks. Tradisi
merupakan sistem kebiasaan masyarakat. Nilai budaya sebagai suatu kebenaran
bahwa tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat yang tidak didasari oleh nilainilai budaya yang diakui masyarakat itu. Nilai-nilai budaya itu dijadikan dasar
dalam pemberian makna terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antar
anggota masyarakat itu. Posisi masyarakat itu. Posisi budaya yang demikian
penting dalam kehidupan masyarakat mengharuskan budaya menjadi sumber nilai
dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa.
Nilai-nilai budaya merupakan nilai-nilai yang disepakati dan tertanam
dalam suatu masyarakat, lingkup organisasi, lingkungan masyarakat, yang
mengakar pada suatu kebiasaan, kepercayaan, simbol-simbol, dengan karakteristik
tertentu yang dapat dibedakan satu dan lainnya sebagai acuan prilaku dan
tanggapan atas apa yang akan terjadi atau sedang terjadi. Nilai-nilai budaya akan
tampak pada simbol-simbol, slogan, moto, visi misi, atau sesuatu yang nampak
sebagai acuan pokok moto suatu lingkungan atau organisasi.
Ada tiga hal yang terkait dengan nilai-nilai budaya ini yaitu: 1) simbolsimbol, slogan atau yang lainnya yang kelihatan kasat mata (jelas), 2) sikap,
tindak laku, gerak gerik yang muncul akibat slogan, moto tersebut, 3) kepercayaan
yang tertanam (believe system) yang mengakar dan menjadi kerangka acuan
dalam bertindak dan berperilaku.
4. Nilai Sosial
(Zubaedi, 2004: 21) dalam Miladiyah Nilai sosial adalah nilai yang
dianut oleh sesuatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap buruk oleh

16

masyarakat. Untuk menentukan sesuatu itu dikatakan baik atau buruk sangat
dipengaruhi oleh kebudayaan yang dianut masyarakat. Pendekatan analisis nilai
(values analysi approach) memberikan penekanan pada perkembangan
kemampuan peserta didik untuk berpikir logis, dengan cara menganalisis masalah
yang berhubungan dengan nilai-nilai sosial.Nilai sosial adalah nilai yang dianut
oleh suatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap
buruk oleh masyarakat. Sebagai contoh, orang menganggap menolong memiliki
nilai baik, sedangkan mencuri bernilai buruk.
Untuk menentukan sesuatu itu dikatakan baik atau buruk, pantas atau tidak
pantas harus melalui proses menimbang. Hal ini tentu sangat dipengaruhi oleh
kebudayaan yang dianut masyarakat. Tak heran apabila antara masyarakat yang
satu dan masyarakat yang lain terdapat perbedaan tata nilai. Contoh, masyarakat
yang tinggal di perkotaan lebih menyukai persaingan karena dalam persaingan
akan muncul pembaharuan-pembaharuan. Sementara pada masyarakat tradisional
lebih cenderung menghindari persaingan karena dalam persaingan akan
mengganggu keharmonisan dan tradisi yang turun-temurun.
Ciri nilai sosial di antaranya sebagai berikut: 1) merupakan konstruksi
masyarakat sebagai hasil interaksi antarwarga masyarakat, 2) disebarkan di antara
warga masyarakat (bukan bawaan lahir), 3) terbentuk melalui sosialisasi (proses
belajar), 4) merupakan bagian dari usaha pemenuhan kebutuhan dan kepuasan
sosial manusia, 5) bervariasi antara kebudayaan yang satu dengan kebudayaan
yang lain, 6) dapat memengaruhi pengembangan diri sosial, 7) memiliki pengaruh
yang berbeda antarwarga masyarakat, 8) cenderung berkaitan satu sama lain.

17

d. Bentuk Kearifan lokal
Nuraini Asriati (2012: 111) dalam Agung Wahyudi, 2014: 13 mengatakan
bahwa bentuk kearifan lokal dalam masyarakat dapat berupa budaya (nilai, norma,
etika, kepercayaan, adat istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus). Nilainilai luhur terkait kearifan lokal ialah:
a. cinta kepada Tuhan, alam semester beserta isinya;
b. tanggung jawab, disiplin, dan mandiri;
c. jujur;
d. hormat dan santun;
e. kasih sayang dan peduli;
f. percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah;
g. keadilan dan kepemimpinan;
h. baik dan rendah hati;
i. toleransi, cinta damai, dan persatuan.
Haidlor Ali Ahmad (2010: 34) dalam Agung Wahyudi 2014: 13,
mengemukakan kearifan lokal merupakan tata aturan tak tertulis yang menjadi
acuan masyarakat yang meliputi seluruh aspek kehidupan, berupa.
a. Tata aturan yang menyangkut hubungan antar sesama manusia, misalnya dalam
interaksi sosial baik antar individu maupun kelompok, yang berkaitan dengan
hirarkhi dalam kepemerintahan dan adat, aturan perkawinan antar klan, tata
karma dalam kehidupan sehari-hari.
b. Tata aturan menyangkut hubungan manusia dengan alam, binatang, tumbuhtumbuhan yang lebih bertujuan pada upaya konservasi alam.

18

c. Tata aturan yang menyangkut hubungan manusia dengan yang gaib, misalnya
Tuhan dan roh-roh gaib. Kearifan lokal dapat berupa adat istiadat, institusi,
kata-kata bijak, pepatah (Jawa: parian, paribasan, bebasan dan saloka). Dalam
masyarakat, kearifan-kearifan lokal dapat ditemui dalam nyayian, pepatah,
sasanti, petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam perilaku
sehari-hari.
Kearifan lokal ini akan berwujud menjadi budaya tradisi, kearifan lokal
akan tercermin dalam nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok masyarakat
tertentu. (Joko Tri Haryanto, 2013: 368) dalam Agung Wahyudi, 2014: 140
kearifan lokal diungkapkan dalam bentuk kata-kata bijak (falsafah) berupa
nasehat, pepatah, pantun, syair, folklore (cerita lisan) dan sebagainya; aturan,
prinsip, norma dan tata aturan sosial dan moral yang menjadi sistem sosial; ritus,
seremonial atau upacara tradisi dan ritual; serta kebiasaan yang terlihat dalam
perilaku sehari-hari dalam pergaulan sosial.
(Joko Sutarso, 2012: 507) dalam Agung Wahyudi selain berupa nilai dan
kebiasaan kearifan lokal juga dapat berwujud benda-benda nyata salah contohya
adalah wayang. Wayang kulit diakui sebagai kekayaan budaya dunia karena
paling tidak memiliki nilai edipeni (estetis) adiluhung (etis) yang melahirkan
kearifan masyarakat, terutama masyarakat Jawa. Bahkan cerita wayang
merupakan pencerminan kehidupan masyarakat Jawa sehingga tidak aneh bila
wayang disebut sebagai agamanya orang Jawa. Dengan wayang, orang Jawa
mencari jawab atas permasalahan kehidupan mereka.

19

Dalam pertunjukan wayang bergabung keindahan seni sastra, seni musik,
seni suara, seni sungging dan ajaran mistik Jawa yang bersumber dari agamaagama besar yang ada dan hidup dalam masyarakat Jawa. Bentuk kearifan lokal
yang terdapat pada masyarakat jawa selain wayang adalah joglo (rumah
tradisional jawa). Salah satu wujud kearifan lokal ditemukan dalam rumah
tradisional jawa (joglo). Tidak hanya di jawa, wujud kearifan lokal yang berupa
benda juga tersebar di seluruh pelosok nusantara, seperti rumah honai yang
dimiliki oleh masyarakat papua, makam batu yang terkenal di toraja, dan masih
banyak lagi.
Ni Wayan Sartini (2009: 28) dalam Agung Wahyudi, 2014: 15 mengatakan
bahwa salah satu kearifan lokal yang ada di seluruh nusantara adalah bahasa dan
budaya daerah. Bahasa adalah bagian penting dari budaya. Sebagai alat
komunikasi dalam masyarakat ia memiliki peran penting dalam mempertahankan
budaya suatu masyarakat. (Farid Rusdi, 2012: 347) dalam Agung Wahyudi, 2014:
15 karena bahasa memanfaatkan tanda-tanda yang ada di lingkungan suatu
masyarakat. Bahasa daerah merupakan salah satu bahasa yang dikuasai oleh
hampir seluruh anggota masyarakat pemiliknya yang tinggal di daerah itu. Banyak
sekali bahasa daerah yang terdapat di nusantara ini seperti bahasa sunda, bahasa
jawa, bahasa melayu, dan lain-lain. Bahasa itu merupakan sebuah kearifan lokal
yang dimiliki oleh masyarakat setempat. Adat, kebiasaan, tradisi, tata nilai dan
kebudayaan masyarakat lingkungannya juga terekam di dalam bahasa daerah
tersebut. Bahkan ada beberapa masyarakat sangat membanggakan bahasa
daerahnya.

20

(Farid Rusdi, 2012: 347) Kearifan lokal suatu daerah bisa tercermin dari
bahasa yang digunakan. Oleh karena itu setiap bahasa daerah memiliki nilai luhur
untuk menciptakan masyarakatnya berkehidupan lebih baik menurut mereka.
Dalam bahasa Jawa terdapat banyak ungkapan, peribahasa, bebasan, dan saloka.
Semuanya mengandung nilai-nilai yang mencerminkan latar belakang budaya
masyarakatnya. Jadi, bentuk ungkapan seperti peribahasa, bebasan, dan saloka
adalah wujud konkret bahasa, sedangkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya
mencerminkan kearifan lokal masyarakatnya.
e. Konsep Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal
Zuhdan K. Prasetyo, (2013: 3) dalam Agung Wahyudi kearifan lokal dalam
hal ini juga dapat disebut dengan keunggulan lokal, local genius atau local
wisdom, seperti yang dikatakan oleh Kemendikbud bahwa Istilah local wisdom,
local genius, kearifan lokal, yang kemudian disebut keunggulan lokal. Kearifan
lokal dapat dimasukkan ke dalam pendidikan sebagai salah satu usaha untuk
melestarikan budaya lokal yang terdapat pada suatu daerah.
Menurut Zuhdan K. Prasetyo (2013:3) Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal
merupakan usaha sadar yang terencana melalui penggalian dan pemanfaatan
potensi daerah setempat secara arif dalam upaya mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran, agar peserta didik aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki keahlian, pengetahuan dan sikap dalam upaya ikut serta
membangun bangsa dan negara.
1. Landasan Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal

21

Landasan yuridis kebijakan nasional tentang pendidikan berbasis
keunggulan lokal/kearifan lokal, diantaranya:
a. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 BAB XIV Pasal 50
ayat 5 menegaskan bahwa pemerintah kabupaten/kota mengelola pendidikan
dasar dan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis pendidikan lokal.
b. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 pasal 34, bahwa “Pendidikan
berbasis keunggulan lokal adalah pendidikan yang diselenggarakan setelah
memenuhi Standar Nasional Pendidikan dan diperkaya dengan keunggulan
kompetitif dan/komparatif daerah”,
c. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 pasal 35 ayat 2, bahwa
“Pemerintah kabupaten/kota melaksanakan dan/memfasilitasi perintisan
program dan/satuan pendidikan yang sudah atau hampir memenuhi Standar
Nasional Pendidikan untuk dikembangkan menjadi program dan/satuan
pendidikan bertaraf internasional dan/atau berbasis keunggulan lokal”.
d. Renstra Kemendiknas 2010-2014 bahwa: Pendidikan harus menumbuhkan
pemahaman tentang pentingnya keberlanjutan dan keseimbangan ekosistem,
yaitu pemahaman bahwa manusia adalah bagian dari ekosistem. Pendidikan
harus memberikan pemahaman tentang nilai-nilai tanggung jawab sosial dan
natural untuk memberikan gambaran pada peserta didik bahwa mereka adalah
bagian dari sistem sosial yang harus bersinergi dengan manusia lain dan bagian
dari sistem alam yang harus bersinergi dengan alam beserta seluruh isinya.
2. Tujuan Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal

22

Pendidikan berbasis kearifan lokal tentu memiliki tujuan yang bersifat
positif bagi peserta didik, seperti dikatanakan oleh Jamal Ma’mur Asmani (2012:
41) yang menyebutkan beberapa tujuan pendidikan berbasis kearifan lokal.
a. Agar siswa mengetahui keunggulan lokal daerah tempat tinggal, memahami
berbagai aspek yang berhubungan dengan kearifan lokal tersebut.
b. Mampu mengolah sumber daya, terlibat dalam pelayanan/jasa atau kegiatan
lain yang berkaitan dengan keunggulan, sehingga memperoleh penghasilan
sekaligus melestarikan budaya, tradisi, dan sumber daya yang menjadi
unggulan daerah, serta mampu bersaing secara nasional dan global.
c. Siswa diharapkan mencintai tanah kelahirannya, percaya diri menghadapi masa
depan, dan bercita-cita mengembangkan potensi lokal, sehingga daerahnya bisa
berkembang pesat seiring dengan tuntutan era globalisasi dan informasi.
f. Konsep Pembelajaran Berbasis Kearifan Lokal
(Johnson, 2000) dalam Susilo, 2001 pada satuan pendidikan, proses
pembelajaran yang kontekstual akan menjadikan pembelajaran bermakna karena
selalu dikaitkan dengan kehidupan nyata dengan konteks lingkungan pribadi,
sosial, dan budayanya sehingga peserta didik mudah memahami materi. Pada
akhirnya memotivasi peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan
dengan penerapannya dalam kehidupan mereka.
(Carlton & Winsler, 1998; Kohn, 1998; Sax & Kohn, 1996) lebih lanjut,
motivasi yang timbul adalah motivasi belajar secara umum. Motivasi intrinsik
hendaknya menjadi bagian ideal (wajib) dari siswa. (Markus dan Nurius, 1986

23

dalam Sobur, 2003)Pada akhirnya motivasi yang dimiliki merupakan suatu proses
internal yang aktif, membimbing dan memelihara perilaku peserta didik sepanjang
waktu (Elliot et al. 1999) sesuai dengan aspek-aspek konsep diri antara lain aspek
fisik, konsep diri sebagai proses, sosial, cita diri (apa yang diinginkan).
B. Cerita Rakyat
Sastra daerah yang berbentuk lisan maupun tulisan merupakan cagar budaya
dan ilmu pengetahuan. Salah satu sastra daerah yang perlu dilestarikan adalah
cerita rakyat. Setiap wilayah tentunya mempunyai cerita rakyat yang dituturkan
secara lisan. Cerita rakyat yang pada mulanya dilisankan selain berfungsi untuk
menghibur, juga dapat memberikan pendidikan moral. Cerita rakyat merupakan
pencerminan dari kehidupan masyarakat pada saat itu, pola pikir dan hayalan yang
menarik, sehingga masyarakat merasa tertarik dan memperoleh keteladanan
moral. Adapun jenis ajaran moral mencakup seluruh persoalan hidup dan
kehidupan.
(Nurgiyantoro, 2000: 324) Secara garis besar persoalan hidup dan
kehidupan manusia itu dapat dibedakan ke dalam.
1. Hubungan manusia dengan diri sendiri;
2. Hubungan manusia dengan manusia lain dalam lingkup sosial termasuk
hubungannya dengan lingkungan alam;
3. Hubungan manusia dengan Tuhannya.
Hal itu dapat disinyalir bahwa cerita rakyat mempunyai kedudukan dan
fungsi yang sangat penting dalam masyarakat pendukungnya. Cerita rakyat
mengandung nilai luhur bangsa terutama nilai-nilai atau ajaran moral. Pada setiap

24

wilayah cerita rakyat yang mempunyai nilai luhur tentunya beragam. Namun ada
pula yang mempunyai kemiripan tema, tetapi pengungkapannya maupun unsur
budaya yang mendorong tema berbeda. Misalnya legenda candi Prambanan
sebagai wujud cerita Roro Jonggrang ada kesamaan tema dengan legenda candi
Jago yang ada di Malang. Cerita Malin Kundang ada kemiripan tema dengan
cerita Batu yang Menangis, yaitu bertemakan tentang anak yang durhaka karena
tidak mengakui pada orang tuanya.
Apabila dikaji lebih jauh, isi cerita tersebut mempunyai pesan bahwa
seorang anak tidak boleh sombong dan tidak mengakui ibunya meskipun
kondisinya lebih baik dari ibunya. Akibatnya seperti yang ada dalam cerita Malin
Kundang menjadi batu dan anak gadis yang ada dalam cerita Batu yang Menangis
kakinya juga menjadi batu atas kutukan ibunya. Hal itu mengandung budi pekerti
yang luhur sebagai sarana untuk mengajarkan moral kepada anak. Budi pekerti
luhur yang terkandung dalam cerita rakyat itu dapat dijadikan pula sebagai bahan
ajar sastra di sekolah untuk disampaikan kepada siswa.
Hal itu sesuai dengan hasil penelitian V.Propp. (1997) mengatakan bahwa
cerita rakyat atau folklor sangat perlu diperhatikan sebagai tanda perubahan
masyarakat. Folklor dalam masyarakat menyuarakan perilaku proses mendidik
sesamanya. Perubahan yang dilakukan manusia terutama melalui proses
pengenalan kebudayaan yang terus menerus akan dapat diidentifikasikan
pemahaman manusia kepada kebudayaannya.
Pendapat Alan dalam Danandjaja (1986) menerangkan bahwa folklor atau
cerita rakyat mempunyai kegunaan dalam kehidupan bersama suatu kolektif,

25

misalnya sebagai alat pendidikan, penglipur lara, protes sosial, dan proyeksi
keinginan terpendam. Berdasarkan hasil penelitian (Sulistyorini, 2003), dalam
cerita rakyat mempunyai nilai-nilai luhur yang perlu dilestarikan. Dibalik isi cerita
terkandung makna yang bersifat mendidik, seperti halnya dalam cerita Mbok
Rondho Dhadhapan, cerita Kera ngujang, dan cerita Joko Bodho yang ada di
Tulungagung. Pemahaman nilai-nilai luhur bangsa melalui cerita rakyat
merupakan bekal anak untuk mengembangkan kepribadiannya berdasarkan etika.
Upaya mengembangkan kepribadian dalam perilaku melalui cerita rakyat tersebut
dapat memengaruhi etika dalam pergaulan hidup sehari-hari.
Cerita rakyat merupakan satu bentuk cerita yang popular dalam kalangan
rakyat yang menjadi hiburan penting di masyarakat berkenaan. Dalam masyarakat
Melayu, terdapat berbagai jenis cerita rakyat seperti cerita binatang, cerita jenaka,
cerita penglipur lara dan cerita pengalaman. Cerita rakyat juga sebagai ekspresi
budaya suatu masyarakat melalui bahasa tutur yang berhubung langsung dengan
berbagai aspek budaya, seperti agama dan kepercayaan, undang-undang, kegiatan
ekonomi, sistem kekeluargaan, dan susunan nilai sosial masyarakat tersebut.
Fungsi cerita rakyat selain sebagai hiburan juga bisa dijadikan suri tauladan
terutama cerita rakyat yang mengandung pesan-pesan pendidikan moral. Banyak
yang tidak menyadari kalau negeri ini mempunyai banyak cerita rakyat karena
cerita rakyat sendiri hanya menyebar dari mulut ke mulut yang diwariskan secara
turun temurun. Namun banyak juga cerita rakyat yang ditulis dan dipubli-kasikan
sehingga tidak sampai hilang dan punah seperti Sangkuriang, Lutung Kasarung,
Bawang Merah Bawang Putih, dll.

26

C. Nilai Kearifan Lokal Kesenian dalam Cerita Rakyat
Folklor termasuk salah satu unsur dan bagian dari kebudayaan. Soejanto
(dalam Soedarsono, 1996: 426) berpendapat bahwa folklor merupakan bagian dari
wujud kebudayaan yaitu kesenian khususnya seni sastra. (Danandjaja, 1997: 2)
Folklor sebagai salah satu seni sastra merupakan bagian kebudayaan suatu
kolektif yang terbesar dan diwariskan secara turun temurun, di antara kolektif apa
saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun
gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device).
Folklor menurut Jan Harold Brunvard (dalam Danandjaja, 1997: 20) dibagi
menjadi tiga golongan besar, yaitu folklor lisan (verbal folklore), folklor sebagian
lisan (partly verbal folklore), dan folklor bukan lisan (non verbal folklore). Sastra
lisan merupakan bagian dari suatu kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di
tengah-tengah masyarakat dan diwariskan secara turun temurun secara lisan
sebagai milik bersama. Sastra lisan merupakan pencerminan situasi, kondisi, dan
tata krama masyarakat pendukungnya. Pertumbuhan dan perkembangan sastra
lisan dalam kehidupan masyarakat merupakan pertumbuhan dari gerak dinamis
pewarisnya dalam melestarikan nilai budaya leluhur. Dalam hal ini, sastra lisan
berperan sebagai modal apresiasi sastra yang telah membim-bing anggota
masyarakat ke arah pemahaman gagasan-gagasan berdasarkan cerita yang ada.
Apresiasi sastra itu telah menjadi tradisi selama berabad-abad sebagai dasar
komunikasi antara pencipta dan masyarakat, dalam arti komunikasi ciptaan yang
berdasarkan sastra lisan.

27

(Danandjaja, 1997: 2) Folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif
yang tersebar dan diwariskan turun-temurun. Folklor juga tersebar di antara
kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam
bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat bantu
pengingat. Danandjaja lebih lanjut menjelaskan.
(1995: 205) In Indonesia, Folklore is define as: those meterials in culture
that circulate traditionally among members of any group in different
versions, whether in oral form, or by means of customary example. Thus
folk in Indonesia means: any group, native or immigrant, as long as they
have lived in Indonesia for generations, urban as well as rural, literate
or illiterate, noble or commoner. And lore: is the part of Indonesian
cultures that is disseminated though oral traditional.
Folklor biasanya mempunyai bentuk yang berpola sebagaimana dalam cerita
rakyat atau permainan rakyat pada umumnya. Folklor pada umumnya mempunyai
kegunaan atau fungsi dalam kehidupan bersama suatu kolektif misalnya cerita
rakyat sebagai alat pendidik, hiburan, protes sosial, dan proyeksi suatu keinginan
yang terpendam. Folklor bersifat pralogis yaitu logika yang khusus dan kadang
berbeda dengan logika umum. Hal tersebut karena folklor sebagai bentuk
kebudayaan milik bersama.
Fang (1991: 4) menyebut sastra rakyat (folklor) dengan nama tradisi lisan.
Tradisi lisan ini mencakup suatu bidang yang cukup luas, seperti cerita-cerita,
ungkapan, peribahasa, nyanyian, tarian, adat resam, undang-undang dan teka-teki
permainan (games).

28

Purwadi (2009: 3) dalam Puspitasari, 2012 mengungkapkan bahwa hakikat
folklor merupakan identitas lokal yang terdapat dalam kehidupan masyarakat
tradisional. (James Danandjaja, 1997: 2) Folklor adalah sebagian kebudayaan
suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, diantara kolektif
macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk
tulisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu
pengingat. Wininck (dalam Purwadi, 2009: 1) folklor adalah
The common orally transmitted traditions, myths, festival, songs,
superstition and of all peoples, folklore has come to mean all kind of oral
artistic expression. It may be found in societies. Originally folklore was
the study of the curiousities.
Folklor meliputi dongeng, cerita, hikayat, kepahlawanan, adat-istiadat,
lagu, tata cara, kesusastraan, kesenian, dan budaya daerah. Folklor
merupakan milik masyarakat tradisional secara kolektif. Perkembangan
folklor mengutamakan jalur lisan dari waktu ke waktu bersifat inovatif
atau jarang mengalami perkembangan.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut folklor adalah bagian kebudayaan
yang tersebar, diadatkan turun temurun dalam bentuk perbuatan di antara kolektif
macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk
lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat,
mencakup suatu bidang yang cukup luas, seperti cerita-cerita, ungkapan,
peribahasa, nyanyian, tarian, adat resam, undang-undang dan teka-teki permainan

29

(games), serta digunakan sebagai alat untuk memahami masyarakat
yang menciptakannya, termasuk kecenderungan penguasa.
Menurut Jan Harold Brunvand (1988: 23), seorang ahli folklor dari Amerika
Serikat, folklor dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan
tipenya yaitu folklor lisan, sebagian lisan, dan bukan lisan.
1. Folklor Lisan (verbal folklore)
Folklor yang bentuknya memang murni lisan. Bentuk-bentuknya (genre)
folklor yang termasuk ke dalam kelompok besar ini antara lain: 1) bahasa
rakyat (folk speech) seperti logat, julukan, pangkat tradisional dan titel
kebangsawanan, 2) ungkapan tradisional, seperti peribahasa, pepatah, dan
pameo, 3) pertanyaan tradisional, seperti teka-teki, 4) puisi rakyat, seperti
pantun, gurindam dan syair, 5) cerita prosa rakyat, seperti mite, legenda
dan dongeng, 6) nyanyian rakyat.
2. Folklor Sebagian Lisan (partly verbal folklore)
Folkor yang sebagian bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan
bukan lisan. Bentuk-bentuk folklor yang termasuk kelompok besar selain
kepercayaan rakyat adalah permainan rakyat, tarian rakyat,adat istiadat,
upacara, pesta rakyat, dan lain-lain.
3. Folklor Bukan Lisan (non verbal folklore)
(Dananjaya 1984 : 21-22) Folklor yang bentuknya bukan lisan walaupun
cara pembuatannya disampaikan secara lisan. Kelompok ini dibagi
menjadi yang material dan yang bukan material. Bentuk yang material
antara lain: arsitektur rakyat (bentuk rumah asli daerah, bentuk lumbung

30

padi dsb). Kerajinan tangan rakyat, pakaian dan perhiasan tubuh adat,
makanan dan minuman rakyat obat-obatan tradisional. Yang termasuk
bukan material adalah : gerak isyarat tradisional, bunyi isyarat untuk
komunikasi rakyat (kentongan tanda bahaya di Jawa atau bunyi gendang
untuk mengirim berita seperti yang dilakukan masyarakat Afrika) dan
musik rakyat.
Bertolak dari pengertian di atas tidak dijelaskan atau dibedakan antara
folklor lisan dengan folklor tertulis/folklor tulisan. Hal ini dapat dimengerti
karena pada dasarnya folklor yang berbentuk tulisan adalah jenis folklor lisan,
sebagian lisan, maupun folklor bukan lisan yang ditrasnkripsi dalam bentuk tulis.
Jenis folklor yang diteliti dalam penelitian ini dispesifikasikan pada jenis folklor
yang berbentuk cerita rakyat.
D. Nilai Kearifan Lokal Religius dalam Cerita Rakyat
Budi pekerti dalam sebuah cerita dapat dilihat dari nilai moral religi. Nilai
moral religi pada dasarnya merupakan hubungan manusia dengan Tuhannya.
Salam (1997: 15) mengemukakan bahwa akhlak atau moralitas manusia kepada
Tuhan di antaranya:
1. beriman; meyakini bahwa sesungguhnya Dia ada;
2. taat; menjalankan perintah dan menjahui larangan-Nya;
3. ikhlas; kewajiban manusia beribadah kepada-Nya dengan ikhlas dan pasrah;
4. tadlarru’ dan khusyuk; dalam beribadah hendaklah sungguh-sungguh,
merendahkan diri serta khusyuk kepada-Nya;

31

5. ar-raja’; mempunyai pengharapan atau optimisme bahwa Allah akan
memberikan rahmat kepada-Nya;
6. husnud-dhan; berbaik sangka kepada Allah;
7. tawakal; mempercayakan sepenuhnya kepada Allah;
8. bersyukur kepada Allah;
9. taubat dan istighfar.
Dalam cerita rakyat mengandung nilai luhur bangsa terutama nilai-nilai budi
pekerti maupun ajaran moral. Apabila cerita rakyat itu dikaji dari sisi nilai moral,
maka dapat dipilah adanya nilai moral individual, nilai moral sosial, dan nilai
moral religi.Adapun nilai-nilai moral individual, meliputi:
1. kepatuhan;
2. pemberani;
3. rela berkorban;
4. jujur;
5. adil dan bijaksana;
6. menghormati dan menghargai;
7. bekerja keras;
8. menepati janji;
9. tahu Balas Budi;
10. baik budi pekerti;
11. rendah hati; dan
12. hati-hati dalam bertindak.
Sedangkan nilai-nilai moral sosial, meliputi:

32

13. bekerjasama;
14. suka menolong;
15. kasih sayang;
16. kerukunan;
17. suka memberi nasihat;
18. peduli nasib orang lain;
19. suka mendoakan orang lain.
Nilai-nilai moral religi, meliputi:
1. percaya kekuasaan Tuhan;
2. percaya adanya Tuhan;
3. berserah diri kepada Tuhan/Bertawakal;
4. memohon ampun kepada Tuhan.
Budi pekerti yang terkait dengan moral religi tercermin pada percaya kepada
Tuhan. Percaya kepada Tuhan adalah mempunyai keyakinan atau kepercayaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta alam semesta ini. Keyakinan atau
kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa merupakan dasar, maupun sesuatu
yang paling tinggi dan paling utama. Sikap percaya adanya Tuhan tersirat dalam
cerita Sunan Ampel yang ditunjukkan oleh tokoh Raden Rahmat. Raden Rahmat
mengajak para penduduk Krian untuk mengakui dan percaya bahwa Tuhan itu
ada. Beliau pun membagikan kipas dari akar tumbuh-tumbuhan dan anyaman
rotan kepada penduduk setempat secara gratis cukup menukarnya dengan kalimat
syahadat.

33

Selain itu, sikap berserah diri kepada Tuhan/Bertawakal tersirat dalam cerita
Sunan Giri yang ditunjukkan oleh Raden Paku. Beliau selalu bermunajat meminta
pertolongan dan petunjuk hanya kepada Allah. Adapun sikap memohon ampun
kepada Tuhan dapat ditemukan dalam cerita Pertentangan Dua Saudara yang
ditunjukkan oleh seorang raja yang bernama Raja Kameswara. Setiap saat raja
memohon ampun kepada Tuhan atas kesewenang-wenangannya di masa lalu.
Budi pekerti pada cerita di atas secara tidak langsung mengajarkan moral religi.
Nilai moral religi adalah nilai-nilai yang mengatur hubungan manusia dengan
Tuhannya.
Manusia adalah makhluk religius (makhuk yang beragama), sehingga
sebagai makhluk beragama manusia senantiasa mempercayai adanya kekuasaan
dan Dzat yang tertinggi, yaitu Tuhan yang menciptakan manusia dan alam
semesta ini. Moral religi yang ada dalam cerita rakyat dapat dijadikan sebagai
nasehat kepada anak terkait pengajaran budi pekerti.

BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Pada penelitian ini diterapkan. Pertama, pendekatan yang
didasarkan pada materi yaitu sosiologi sastra dan budaya,
karena dalam penelitian ini meneliti tentang nilai-nilai kearifan
religius dan kesenian dalam cerita rakyat. Dan kedua,
pendekatan yang didasarkan pada metodologi, yaitu pendekatan
kualitatif. Setiap penelitian selalu menggunakan pendekatan
untuk membuktikan bahwa hasil penelitian tersebut benar.
Menurut Moleong (2012: 6) penelitian kualitatif yaitu penelitian
yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan
prosedur analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya.
Sebagaimana pengertian penelitian kualitatif yang didefinisikan oleh Lexy J.
Moleong (2007: 6) berikut ini: “Penelitian kualitatif adalah penelitian yang
bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek
penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll. Secara holistik,
dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks
khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah”. Salah
satu ciri dari pendekatan kualitatif adalah bersifat deskriptif atau bisa disebut
dengan cara mendeskripsikan. Sehingga data yang terkumpul berupa kata-kata,
gambar, dan bukan angka-angka.

34

35

Endraswara (2011: 8) berpendapat bahwa metode penelitian
sastra adalah cara yang dipilih oleh peneliti untuk
mempertimbangkan bentuk, isi, dan sifat sastra sebagai subyek
kajian. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode
deskriptif. Dalam penelitian ini informasi dideskripsikan secara
teliti dan analitis. Sebagai upaya mencapai tujuan penelitian, maka penelitian
ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif yang berdasarkan pada fakta
bahwa hasil laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan data yang berupa katakata tertulis yang terdapat dalam cerita rakyat. Dalam hal ini
pendekatan kualitatif lebih tepat digunakan dalam penelitian analisis berupa
kata-kata, gambar pada naskah atau teks cerita rakyat.
B. Jenis Penelitian
Penelitian yang berjudul Nilai Kearifan Lokal dalam Cerita Rakyat Sunan
Bonang Tuban dan Relevansinya dengan Pembelajaran Sastra(Nana Syaodih
Sukmadinata, 2010: 72) Dalam penelitian ini permasalahan yang diteliti
merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Penelitian deskriptif adalah suatu
bentuk penelitian yang paling dasar yang ditujukan untuk mendeskripsikan atau
menggambarkan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena yang bersifat
alamiah ataupun rekayasa manusia. Dengan demikian dapat diketahui bahwa
tujuan utama dilakukannya penelitian deskriptif adalah menggambarkan secara
sistematis fakta dan karakteristik objek atau subjek yang diteliti secara tepat.

36

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan suatu keadaan, melukiskan
dan menggambarkan data meliputi: 1) Nilai kearifan lokal Relgius yang terdapat
dalam cerita Rakyat Sunan Bonang Tuban, 2) Nilai Kearifan lokal kesenian yang
terdapat dalam cerita Rakyat Sunan Bonang Tuban, 3) dan Relevansi cerita rakyat
Sunan Bonang Tuban dengan pembelajaran sastra di sekolah. Oleh karena itu,
penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan
penelitian kualitatif.
C. Instrumen Penelitian
(Lexy J. Moelong, 2012: 163) Ciri khas penelitian kualitatif
tidak dapat dipisahkan dari pengamat, namun peran peneliti
yang menentukan keseluruhan skenario