MAKALAH PENGOLAHAN LIMBAH MINYAK BUMI

MAKALAH PENGOLAHAN LIMBAH MINYAK
BUMI

OLEH:



ROBBY SUDARMAN (F1C1 08 043)
MUHAMMAD EDIHAR (F1C1 08 045)



SUBARDIN (F1C1 08 040)

JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2011
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Kemajuan dalam bidang industri di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan ini
memberikan berbagai dampak positif yaitu terbukanya lapangan kerja, membaiknya sarana
transportasi dan komunikasi serta meningkatnya taraf sosial ekonomi masyarakat. Suatu
kenyataan yang perlu disadari bahwa perkembangan kegiatan industri secara umum juga
merupakan sektor yang sangat potensial sebagai sumber pencemaran yang akan merugikan
bagi kesehatan dan lingkungan (Assegaf, 1993).

Salah satu industri yang pertumbuhannya cukup pesat adalah industri perminyakan, yang
diawali dengan berdirinya kilang minyak di Indonesia yaitu Unit Pengolahan (UP) I
Pangkalan Brandan dengan kapasitas 5.000 barrel/hari, UP II Dumai dan Sungai Pakning
dengan kapasitas 170.000 barrel/hari, UP III Plaju dan Sungai Gerong dengan kapasitas
135.000 barrel/hari, UP IV Cilacap dengan kapasitas 348.000 barrel/hari, UP V Balikpapan
dengan kapasitas 270.000 barrel/hari, UP VI Balongan dengan kapasitas 125.000 barrel/hari,
dan UP VII Kasim Irian Jaya dengan kapasitas 10.000 barrel/hari (Susilo, 2006).
Pengolahan minyak mentah (crude oil) sangat membutuhkan energi yang merupakan bahan
baku sumber daya alam sangat berpotensi terjadinya kerusakan/pencemaran lingkungan,
disamping melalui proses fisik dan kimia dalam pengolahan bahan baku cenderung
menghasilkan polusi seperti : partikel, gas karbon monoksida (CO), gas karbon dioksida
(CO2), gas belerang oksida (SO2), dan uap air. Sesuai dengan jenis produksinya, maka kilang

minyak tidak dapat lepas dari masalah limbah dan polusi yang timbul terutama pada
lingkungan yaitu pencemaran air, tanah, dan udara.(Peter et al., 1989; Setiani, 2005).
Salah satu dampak negatif dari kilang minyak adalah timbulnya pencemaran lingkungan oleh
limbah yang berbentuk gas, padatan atau cairan yang timbul pada proses dan hasil
pengolahan minyak tersebut. Limbah ini akan mencemari daerah kilang minyak dan
lingkungannya, sehingga pekerja maupun masyarakat disekitar kilang minyak dapat terpapar
oleh limbah. Limbah gas, padat maupun cair dapat berpengaruh terhadap lingkungan dan
kesehatan manusia bila tidak ditangani dengan baik dan benar (Susilo, 2006).
Menurut Marsaoli (2004), pada umumnya pencemaran laut yang terjadi baik secara fisika,
kimiawi maupun biologis, banyak menghasilkan racun bagi biota laut dan manusia. Salah
satu dari bahan pencemar itu adalah hidrokarbon minyak bumi. Minyak bumi adalah
campuran hidrokarbon yang terbentuk berjuta-juta tahun yang lalu di masa lampau sebagai
hasil dekomposisi bahan-bahan organik dari tumbuhan-tumbuhan dan hewan. Minyak bumi
berupa cairan kental berwarna kehitaman yang teradapat dalam cekungan-cekuangan kerak
bumi dan merupakan campuran sangat kompleks dari senyawa-senyawa hidrokarbon dan
bukan hidrokarbon. Dewasa ini terdapat 500 senyawa yang pernah dideteksi dalam suatu
cuplikan minyak bumi yang terdiri dari minyak bumi fraksi ringan dan fraksi berat. Minyak
bumi fraksi ringan, komponen utamanya adalah n-alkana dengan atom C15-17, sedangkan
minyak bumi fraksi berat komponen utamanya adalah fraksi hidrokarbon dengan tidik didih
tinggi (Farrington dkk, 1975).

Kegiatan usaha minyak bumi mempunyai peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi
nasional. Minyak bumi merupakan komoditas ekspor utama Indonesia yang digunakan
sebagai sumber bahan bakar dan bahan mentah bagi industri petrokimia. Kegiatan eksploitasi
yang meliputi pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan,
penyimpanan, dan pengolahan untuk pemisahan dan pemumian minyak bumi sering
mengakibatkan terjadinya pencemaran minyak pada lahan-lahan di area sekitar aktivitas
tersebut berlangsung. Minyak pencemar tersebut mengandung hidrokarbon bercampur
dengan air dan bahan-bahan anorganik maupun organik yang terkandung di dalam tanah.
Undang-undang No 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi mensyaratkan pengelolaan
lingkungan hidup, yakni pencegahan dan penanggulangan pencemaran serta pemulihan atas
terjadinya kerusakan lingkungan hidup sebagai akibat kegiatan pertambangan, bagi badan
usaha yang menjalankan usaha di bidang eksploitasi minyak bumi (Prijambada, 2006).

Limbah lumpur minyak bumi (LMB) merupakan limbah akhir dari serangkaian proses dalam
industri pengilangan minyak bumi (Scora et al., 1997). Kegiatan operasinya dimulai dari
eksplorasi, produksi (pengolahan sampai pemurnian) sampai penimbunan dan berpotensi
menghasilkan limbah berupa lumpur minyak bumi (oily sludge) (Rossiana et al., 2007).
Limbah lumpur minyak bumi terdiri dari senyawa hidrokarbon yang merupakan polialifatik
hidrokarbon seperti alkana (n-normal, iso dan siklo) dan poliaromatik hidrokarbon (PAH)
seperti naftaeno, benzena, naftalena, benzo(a)pirena, air, unsur logam (As, Cd, Cr, Hg, Pb,

Zn, Ni, Cu) serta non hidrokarbon seperti senyawa nitrogen, sulfur, oksigen dan aspal
(Connell & Miller, 1995). Limbah tersebut, termasuk dalam kategori limbah B3 yaitu Limbah
Bahan Berbahaya dan Beracun karena sifat dan konsentrasinya dapat membahayakan
kesehatan manusia dan lingkungan hidup. Oleh karena itu sesuai dengan peraturan yang
berlaku yaitu Peraturan Pemerintah No. 85 tahun 1999 tentang pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun (B3), tertera bahwa limbah lumpur minyak termasuk kedalam daftar
limbah B3 dari sumber spesifik dengan kode kegiatan 2320, maka pengelolaannya diperlukan
penanganan secara baik sehingga tidak mencemari lingkungan (BAPEDAL, 2001). Hal inilah
yang dibahas dalam makalah ini yaitu bagaimana mengolah limbah minyak bumi baik
melalui pendekatan secara biologis atau dikenal dengan istilah bioremediasi (Kementerian
Lingkungan Hidup, 2003), melalui pendekatan secara kimiawi maupun dengan cara lain yang
bermanfaat dalam menangani masalah pencemaran akibat limbah minyak bumi.
1.2 Masalah
1. Bagaimana karakteristik dari minyak bumi?
2. Apa saja sumber-sumber limbah minyak yang terdapat di lingkungan?
3. Bagaimana dampak limbah minyak bumi terhadap lingkungan?
4. Bagaimana metode pengolahan limbah minyak bumi?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui karakteristik dari minyak bumi?
2. Untuk mengetahui sumber-sumber limbah minyak yang terdapat di lingkungan?

3. Untuk mengetahui dampak limbah minyak bumi terhadap lingkungan?
4. Untuk mengetahui metode pengolahan limbah minyak bumi?

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Karakteristik Minyak Bumi
a. Sifat Kimia Minyak Bumi
Minyak bumi merupakan senyawa hidrogen dan Carbon (C dan H) ditambah beberapa
senyawa lain yang tidak dominan seperti: Nitrogen, Oksigen, Sulfur, Hidrogen Sulfida,
Porfirin dan senyawa Logam.
Senyawa Hidrocarbon (HC) dapat digolongkan menjadi tiga:
-

HC padat adalah senyawa HC yang bersifat padat. Contoh : Aspal

HC cair adalah senyawa HC yang berbentuk cair. Contoh : minyak bumi yang
merupakan rembesan di permukaan atau di dalam reservoir.
HC yang bersifat gas, ini selalu berasosiasi dengan minyak bumi dan dapat berwujud
gas bebas, gas yang terlarut dalam minyak bumi (gelembung-gelembung gas) dan gas

tercairkan, pada kondisi reservoir dengan tekanan dan temperatur (suhu) yang tinggi maka
gas akan mencair.
b. Sifat Fisika Minyak Bumi
Sifat fisika minyak bumi yaitu :
Semakin dalam terdapatnya minyak bumi serta semakin tua umurnya maka berat jenis
minyak bumi semakin kecil. Berat jenis minyak bumi berkisar antara 0,84 sampai 0,89.
Viskositas/ kekentalan (satuan centipoise/ cp) adalah daya hambatan suatu cairan bila
kedalam cairan tersebut dimasukkan suatu materi atau benda yang diputar. Semakin kecil
berat jenis minyak, semakin besar temperatur dan tekanan semakin kecil viskositasnya.
Titik didih dan titik nyala, titik didih adalah titik dimana minyak bumi mulai
mendidih. Semakin besar berat jenis, titik didih semakin tinggi. Titik nyala adalah
kemampuan materi untuk bisa terbakar. Semakin ringan berat jenis, titik nyala semakin
tinggi.
Warna, senyawa hidrokarbon sebenarnya tidak berwarna, tetapi adanya impurities dan
senyawa- senyawa yang lain akan mempengaruhi warna dari minyak bumi. Untuk minyak
berberat jenis besar maka berwarna hijau kehitaman, sedang yang berat jenis ringan berwarna
coklat kehitaman.
Nilai kalori minyak bumi cukup tinggi antara 11.700- 11.750 kal/ gram untuk minyak
BJ= 0,75 dan antara 10000- 10.500 kal/ gram untuk minyak BJ= 0,9- 0,95.



Proses transformasi oil spill di laut

Ketika oil spill terjadi di lingkungan laut, minyak akan mengalami serangkaian perubahan/
pelapukan (weathering) atas sifat fisik dan kimiawi. Sebagian perubahan tersebut mengarah
pada hilangnya beberapa fraksi minyak dari permukaan laut, sementara perubahan lainnya
berlangsung dengan masih terdapatnya bagian material minyak di permukaan laut. Meskipun

minyak yang tumpah pada akhirnya akan terurai/ terasimilisi oleh lingkungan laut, namun
waktu yang dibutuhkan untuk itu tergantung pada karakteristik awal fisik dan kimiawi
minyak dan proses peluruhan (weathering) minyak secara alamiah. Beberapa faktor utama
yang mempengaruhi perubahan sifat minyak adalah (Syakti, 2005):
-

Karaterisik fisika minyak, khususnya gravitasi spesifik, viskositas dan rentang didih;

-

Komposisi dan karakteristik kimiawi minyak;


Kondisi meteorologi (sinar matahari (foto oksidasi), kondisi oseanograpi dan
temperatur udara); dan
Karakteristik air laut (pH, gravitasi spesifik, arus, temperatur, keberadaan bakteri,
nutrien, dan oksigen terlaut serta padatan tersuspensi).
2.2 Sumber Limbah Minyak Bumi
Berdasarkan buku Pertamina (1986), sumber limbah cair minyak bumi berasal dari kegiatankegiatan antara lain:
1. Air pendingin di kilang minyak, dimana bila terjadi kebocoran pada pipa pendingin,
bocoran minyak akan terbawa air.
2. Air sisa umpan boiler untuk pembangkit uap air.
3. Air sisa dari lumpur pembocoran.
4. Air bekas mencuci peralatan-peralatan dan tumpahan-tumpahan/ ceceran minyak di
tempat kerja.
5. Air hujan.
Perusahaan minyak menghasilkan limbah minyak dalam bentuk lumpur dari berbagai
lapangan produksi. Menurut Damanhuri (1996), lumpur adalah bahan berfase solid yang
bercampur dengan media air (liquid), namun tidak dapat disebut atau disamakan dengan air.
Sedangkan limbah lumpur minyak (oil sludge) adalah kotoran minyak yang terbentuk dari
proses pengumpulan dan pengendapan kontaminan minyak yang tidak dapat digunakan atau
diproses kembali dalam proses produksi. Kandungan terbesar dalam oil sludge adalah
petroleum hydrocarbon (Pertamina, 2001), yang dapat diolah dengan proses bioremediasi.

Keberadaan senyawa hidrokarbon minyak bumi di perairan laut dapat berasal dari berbagai
sumber (Tabel 1).
Tabel 1. Perkiraan Minyak Bumi yang Masuk ke Lingkungan Laut
Keberadaan senyawa hidrokarbon di perairan berasal dari beberapa sumber, antara lain dari
biosintesis, geokimia, dan antropogenik. Menurut Farrington dan Meyers (1975) jumlah
senyawa hidrokarbon yang berasal dari biosintesis berkisar antara 1-10 juta ton per tahun, dan
menurut Mulyono (1988) senyawa hidrokarbon yang berasal dari rembesan geologi adalah
sekitar 0,6 juta ton per tahun. Sisanya berasal dari sumber antropogenik hasil pengelolaan
minyak bumi (pengolahan, tranportasi, dan pengeboran) (Marsaoli, 2004).

Senyawa aromatik dalam minyak lebih toksis dibandingkan dengan senyawa alkana. senyawa
aromatik yang mengandung lebih dari dua cincin benzen, PAH bersifat toksis. Kadar PAH
yang relatif tinggi juga pernah ditemukan oleh beberapa peneliti (Maher et al., 1979; Bagg et
al., 1981), dalam sedimen yang lokasinya berdekatan dengan perkotaan. Ini pola umum di
mana PAH cenderung berkumpul dalam sedimen perairan yang dekat dengan daerah
perkotaan. Menurut Connel dan Miller (1981), PAH dapat berasal dari air buangan, seperti
buangan rumah tangga dan industri, sampah, dan aliran buangan kota, serta dalam buangan
atmosferik dari pembakaran bahan bakar fosil. Menurut Clark dan Macleod (1977)
hidrokarbon alifatis dan aromatis terdapat di seluruh estuari, daerah pantai, dan lingkungan
samudera dengan kadar tertinggi di daerah estuari dan habitat intertidal.



Sumber Limbah Solvent Acidity

Untuk mendukung kelancaran operasi kilang, baik BBM, non BBM, maupun kilang
paraxylene, tidak lepas dari sarana-sarana penunjang. Sarana tersebut antara lain adalah
Laboratorium Kilang yang telah mendapatkan sertifikat SNI 19-17025 berfungsi sebagai
pengontrol spesifikasi dan kualitas bahan baku serta produk antara maupun produk akhir.
Keberadaan fasilitas ini amat menentukan suatu keberhasilan perusahaan, terlebih pada era
perdagangan bebas. Karena itu laboratorium dilengkapi dengan fasilitas penelitian dan
pengembangan, sehingga produk yang dihasilkan terjaga kualitasnya, agar tetap mampu
bersaing di pasaran. Laboratorium Kilang Pertamina UP IV Cilacap yang bertugas sebagai
pengontrol spesifikasi dan kualitas produk Pertamina mempunyai tiga seksi laboratorium,
salah satunya adalah Laboratorium Lindungan Lingkungan dan Riset yang mempunyai tugas
antara lain memeriksa keasaman pada sampel pelumas, minyak bumi dan sebagian fraksifraksinya. Dari pemeriksaan keasaman ini timbul limbah acidity yang tergolong pada limbah
B3 cair sebanyak 220 ml untuk setiap sampel/contoh (Susilo, 2006).
1. Pemeriksaan Keasaman (Conshohocken, 1999)
Pemeriksaan keasaman ini mencakup penentuan zat-zat yang bersifat asam didalam minyak
bumi dan pelumas, baik yang larut maupun agak larut dalam campuran toluene dan isopropyl
alcohol. Untuk menentukan keasaman, contoh dilarutkan dalam solvent acidity yang terdiri

dari campuran toluene 50 %, isopropyl alcohol 49,5 %, dan air 0,5 %. Pada larutan homogen
yang terbentuk dititrasi pada suhu kamar dengan larutan standard basa dalam alcohol, sampai
titik akhir yang ditandai dengan perubahan warna larutan p-naphtholbenzein yang
ditambahkan (warnanya orange dalam suasana asam dan hijau dalam suasana basa).
1. Arti dan Kegunaan
Hasil-hasil minyak bumi yang baru maupun bekas kemungkinan mengandung zat-zat basa
atau asam yang berada sebagai additive atau hasil degradasi yang terbentuk selama
penggunaannya, misalnya hasil oksidasi. Jumlah relatif dari zat-zat ini dapat ditentukan
dengan titrasi menggunakan asam atau basa. Angka keasaman adalah ukuran dari jumlah zat
yang bersifat asam dalam minyak, dalam kondisi pengujian. Angka ini sebagai pengendalian
kualitas dalam minyak mentah maupun pembuatan pelumas. Juga seringkali digunakan
sebagai ukuran degradasi pelumas dalam penggunaanya.
2.3 Dampak Pencemaran Limbah Minyak Bumi

Akibat-akibat jangka pendek dari pencemaran minyak bumi sudah banyak dilaporkan
(Connel dkk, 1981). Molekul-molekul hidrokarbon minyak bumi dapat merusak membran sel
yang berakibat pada keluarnya cairan sel dan berpenetrasinya bahan tersebut ke dalam sel.
Ikan-ikan yang hidup di lingkungan yang tercemar oleh minyak dan senyawa hidrokarbon
akan mengalami berbagai gangguan struktur dan fungsi tubuh. Berbagai jenis udang dan ikan
akan beraroma dan berbau minyak, sehingga berkurang mutunya (Soesanto, 1973). Secara
langsung minyak dapat menimbulkan kematian pada ikan. Hal ini disebabkan oleh
kekurangan oksigen, keracunan karbondioksida dan keracunan langsung oleh bahan beracun
yang terdapat dalam minyak.
Akibat jangka panjang dari pencemaran minyak ternyata dapat pula menimbulkan beberapa
masalah yang serius terutama bagi biota yang masih muda (Sumadhiharga, 1995). Satu kasus
yang menarik adalah usaha perikanan di Santa Barbara, California, yang mengalami
penurunan hasil perikanan setiap bulannya dari tahun 1965-1969. Penurunan yang paling
rendah terjadi ketika pelabuhan Santa Barbara dicemari oleh minyak buangan. Kasus limbah
minyak yang menyebabkan bau ikan tidak enak terjadi pada ikan-ikan yang diolah di
pelabuhan Osaka. Hal ini juga terjadi pada ikan-ikan belanak yang berasal dari suatu tambak
yang diisi air yang mengandung limbah minyak dari lapangan terbang Iwakuni. Ikan belut
dan ikan sebelah yang ditangkap beberapa kilometer dari pelabuhan Yokkaichi juga berbau
minyak karena masuknya limbah minyak dari pabrik minyak. Hasil penelitian terhadap kedua
jenis ikan tersebut dapat diketahui bahwa batas toleransi minyak pada air laut berada antara
0,001-0,01 ppm. Apabila batas tertinggi kadar tersebut sudah terlewati maka bau minyak
mulai timbul (Nitta, 1970). Di beberapa tempat di Australia telah ditemukan bahwa zat
hidrokarbon dari minyak tanah terdapat pada ikan belanak yang diduga berasal dari air
limbah pabrik penggilingan minyak yang dibuang ke laut (Sidhu, 1970).
Seperti yang diungkapkan di atas bahwa senyawa hidrokarbon aromatik ini bersifat racun,
salah satunya adalah PAH yakni senyawa aromatik dengan dua atau lebih cincin benzen. PAH
yang larut pada konsentrasi 0,1-0,5 ppm dapat menyebabkan keracunan pada makhluk hidup(
Connel dan Miller, 1981), sedangkan PAH dalam kadar rendah dapat menurunkan laju
pertumbuhan, perkembangan, dan makan makhluk perairan (Neff, 1979). Keadaan ini telah
diungkapkan oleh Connel dan Miller (1981) untuk ikan, hewan berkulit keras dan moluska.
Selain itu hidrokarbon minyak bumi yang terserap ke dalam tubuh biota menimbulkan rasa
yang menyengat dan memerlukan waktu tertentu untuk dapat hilang (Tabel 2). Tabel 3
memperlihatkan pola perubahan perilaku biota laut terhadap senyawa hidrokarbon aromatik
yang larut (Miller, 1982).
Tabel 2. Waktu Paruh Senyawa Hidrokarbon Minyak Bumi dalam Biota

Tabel 3. Tanggapan Biota Laut terhadap Hidrokarbon Aromatik yang Larut

Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa pada kadar 10 ppm kandungan senyawa hidrokarbon
aromatik dapat menyebabkan perubahan pola perilaku pada biota laut dan pada kadar > 1000
ppm dapat menyebabkan kematian. Keadaan ini berbahaya bagi organisme perairan yang
hidup dan mencari makan di dalam sedimen perairan. Nilai Ambang Batas (NAB)
hidrokarbon aromatik untuk biota laut adalah 0,003 ppm (Kementrian KLH, 2004). Tabel 7

memperlihatkan tingkat toksisitas senyawa aromatik yang larut terhadap kelas makhluk hidup
laut (Connel dkk, 1981).


Minyak Menyebabkan Munculnya Gangguan Kesehatan Serius

Seperti halnya dengan bahan-bahan kimia, gangguan-gangguan kesehatan yang disebabkan
minyak mungkin sulit dibuktikan karena memang butuh waktu yang panjang untuk
menimbulkan dampak kesehatan warga.Tetapi, sebagian besar warga yang tinggal di dekat
lokasi pengeboran minyak dan kilang sudah terbiasa dengan polusi udara dan air dari
minyak.Mengebor untuk mendapatkan minyak, memprosesnya, dan membakar minyak
sebagai bahan bakar, semua kegiatan ini akan mendatangkan masalah-masalah kesehatan
serius.


Dampak Kesehatan Jangka Panjang

Minyak menyebabkan munculnya gangguan reproduksi
Menghirup uap atau menelan makanan atau cairan yang terkontaminasi minyak dan gas dapat
menyebabkan munculnya problem kesehatan reproduksi seperti siklus haid yang tidak teratur,
keguguran, meninggal dalam kandungan, dan cacat lahir. Masalah-masalah ini mungkin
punya tanda-tanda peringatan dini seperti nyeri lambung atau haid yang tidak teratur.
Minyak menyebabkan kanker
Pemaparan secara periodik dengan gas dan minyak menyebabkan kanker.Anak-anak yang
tinggal di sekitar kilang lebih mungkin mendapatkan kanker darah (leukemia) dari pada
mereka yang tinggal jauh dari fasilitas tersebut.Orang-orang yang tinggal di kawasan
pengeboran minyak lebih mungkin mendapatkan kanker usus, kantong kemih, paru-paru
daripada mereka yang tinggal jauh dari lokasi pengeboran.Para pekerja di kilang-kilang
minyak punya resiko tinggi mengidap kanker mulut, usus, ulu hati, pankreas, jaringan sel,
prostat, mata, otak, dan darah.
Ketika Texaco mulai mengebor untuk mencari minyak di Ekuador, kanker tidak dikenal di
kawasan ini.Empat puluh tahun kemudian, pada 2 daerah minyak yang paling sering
dieksploitasi di Amazon, para penggerak kesehatan komunitas mensurvei 80 komunitas.
Mereka menemukan bahwa 1 dari 3 orang menderita sejenis kanker.


Tumpahan Minyak

Di mana ada minyak, di situ pasti ada tumpahan. Kapal-kapal dan truk bisa kecelakaan, dan
jalur pipa bisa bocor.Perusahaan bertanggung jawab untuk mencegah tumpahan dan
membersihkannya jika hal ini terjadi.
Ada pepatah: “Minyak dan air tidak mungkin bercampur.” Tetapi, ketika minyak tumpah ke
air, bahan-bahan kimia yang berasal dari minyak tersebut pasti bercampur dengan air dan
menggenang didalam air untuk beberapa waktu.Lapisan minyak yang lebih tebal menyebar di
seluruh permukaan dan mencegah masuknya udara ke dalam air.Ikan, khewan, dan tumbuhtumbuhan yang hidup di air tidak bisa bernafas.Ketika minyak tumpah ke dalam air, bahanbahan kimianya yang tertinggal di sana bisa membuat air tersebut tidak aman diminum,
bahkan setelah minyak yang kasat mata dikeluarkan.

Ketika minyak tumpah ke tanah, ia akan menghancurkan lapisan tanah dengan mendesak
udara keluar dan membunuh makhluk-makhluk hidup yang membuat lapisan tanah menjadi
sehat. Hal yang hampir serupa terjadi jika minyak mengenai kulit kita atau kulit khewan.
Minyak akan menutupi kulit dan menghalangi udara masuk. Racun-racun yang berasal dari
minyak juga meresap ke dalam tubuh melalui kulit, dan menimbulkan penyakit.


Dampak di Laut

Akibat yang ditimbulkan dari terjadinya pencemaran minyak bumi di laut adalah:
1. Rusaknya estetika pantai akibat bau dari material minyak. Residu berwarna gelap
yang terdampar di pantai akan menutupi batuan, pasir, tumbuhan dan hewan.
Gumpalan tar yang terbentuk dalam proses pelapukan minyak akan hanyut dan
terdampar di pantai.
2. Kerusakan biologis, bisa merupakan efek letal dan efek subletal. Efek letal yaitu
reaksi yang terjadi saat zat-zat fisika dan kimia mengganggu proses sel ataupun subsel
pada makhluk hidup hingga kemungkinan terjadinya kematian. Efek subletal yaitu
mepengaruhi kerusakan fisiologis dan perilaku namun tidak mengakibatkan kematian
secara langsung. Terumbu karang akan mengalami efek letal dan subletal dimana
pemulihannya memakan waktu lama dikarenakan kompleksitas dari komunitasnya.
3. Pertumbuhan fitoplankton laut akan terhambat akibat keberadaan senyawa beracun
dalam komponen minyak bumi, juga senyawa beracun yang terbentuk dari
proses biodegradasi. Jika jumlah pitoplankton menurun, maka populasi ikan, udang,
dan kerang juga akan menurun. Padahal hewan-hewan tersebut dibutuhkan manusia
karena memiliki nilai ekonomi dan kandungan protein yang tinggi.
4. Penurunan populasi alga dan protozoa akibat kontak dengan racun slick (lapisan
minyak di permukaan air). Selain itu, terjadi kematian burung-burung laut. Hal ini
dikarenakan slick membuat permukaan laut lebih tenang dan menarik burung untuk
hinggap di atasnya ataupun menyelam mencari makanan. Saat kontak dengan minyak,
terjadi peresapan minyak ke dalam bulu dan merusak sistem kekedapan air dan
isolasi, sehingga burung akan kedinginan yang pada akhirnya mati.


Dampak Limbah Solvent Acidity Terhadap Kesehatan

Limbah solvent acidity berasal dari buangan proses pemeriksaan keasaman, merupakan
limbah kimia cair yang terdiri dari campuran isopropyl alcohol, toluene dan sample,
berwarna gelap yang sangat berbahaya terhadap kesehatan (Imamkhasani, 1998). Bahaya
isopropyl alcohol terhadap kesehatan adalah :
1. Efek jangka pendek (akut) antara lain pada penghirupan konsentrasi 400 ppm dapat
menimbulkan iritasi pada saluran pernafasan bagian atas.
2. Penghirupan lebih besar akan menyebabkan pusing dan mengganggu keseimbangan
tubuh.
3. Kontak dengan mata dapat menyebabkan iritasi, tetapi tidak pada kulit.
4. Bila terminum dapat menyebabkan muntah, diare dan hilang kesadaran.

5. Efek jangka panjang (kronis) antara lain bila terkena kulit dapat menyebabkan kulit
kering dan pecah-pecah. Nilai Ambang Batas : 200 ppm (500 mg/m3)-kulit; STEL =
250 ppm; Toksisitas : LD50 (tikus, oral) = 1870-6500 mg/kg.
2.4 Pengolahan Limbah Minyak Bumi
Pengolahan limbah minyak bumi dilakukan secara fisika, kimia dan biologi. Pengolahan
secara fisika dilakukan untuk pengolahan awal yaitu dengan cara melokalisasi tumpahan
minyak menggunakan pelampung pembatas (oil booms), yang kemudian akan ditransfer
dengan perangkat pemompa ( oil skimmers) ke sebuah fasilitas penerima “reservoar” baik
dalam bentuk tangki ataupun balon dan dilanjutkan dengan pengolahan secara kimia, namun
biayanya mahal dan dapat menimbulkan pencemar baru. Pengolahan limbah secara biologi
merupakan alternatif yang efektif dari segi biaya dan aman bagi lingkungan. Pengolahan
dengan metode biologis disebut juga bioremediasi, yaitu biotek-nologi yang memanfaatkan
makhluk hidup khususnya mikroorganisme untuk menurunkan konsentrasi atau daya racun
bahan pencemar (Lasari, 2010).
Secara umum beberapa teknik penanggulangan tumpahan minyak yang menjadi limbah
diantaranya in-situ burning, penyisihan secara mekanis, bioremediasi, penggunaan sorbent,
penggunaan bahan kimia dispersan, dan washing oil (Anonim, 1994).




In-situ burning adalah pembakaran minyak pada permukaan laut, sehingga mengatasi
kesulitan pemompaan minyak dari permukaan laut, penyimpanan dan pewadahan
minyak serta air laut yang terasosiasi. Teknik ini membutuhkan booms (pembatas
untuk mencegah penyebaran minyak) atau barrier yang tahan api. Namun, pada
peristiwa tumpahan minyak dalam jumlah besar sulit untuk mengumpulkan minyak
yang dibakar. Selain itu, penyebaran api sering tidak terkontrol.
Penyisihan minyak secara mekanis melalui 2 tahap, yaitu melokalisir tumpahan
dengan menggunakan booms dan melakukan pemindahan minyak ke dalam wadah
dengan menggunakan peralatan mekanis yang disebut skimmer.



Bioremediasi yaitu proses pendaurulangan seluruh material organik. Bakteri pengurai
spesifik dapat diisolasi dengan menebarkannya pada daerah yang terkontaminasi.
Selain itu, teknik bioremediasi dapat menambahkannutrisi dan oksigen, sehingga
mempercepat penurunan polutan.



Penggunaan sorbent dilakukan dengan menyisihkan minyak melalui
mekanisme adsorpsi (penempelan minyak pad permukaan sorbent) danabsorpsi
(penyerapan minyak ke dalam sorbent). Sorbent ini berfungsi mengubah fasa minyak
dari cair menjadi padat, sehingga mudah dikumpulkan dan disisihkan. Sorbent harus
memiliki karakteristik hidrofobik, oleofobik, mudah disebarkan di permukaan
minyak, dapat diambil kembali dan digunakan ulang. Ada 3 jenis sorbent yaitu
organik alami (kapas, jerami, rumput kering, serbuk gergaji), anorganik alami
(lempung, vermiculite, pasir) dan sintetis (busa poliuretan, polietilen, polipropilen dan
serat nilon).



Dispersan kimiawi merupakan teknik memecah lapisan minyak menjadi tetesan kecil
(droplet), sehingga mengurangi kemungkinan terperangkapnya hewan ke dalam
tumpahan minyak. Dispersan kimiawi adalah bahan kimia dengan zat aktif yang
disebut surfaktan.



Washing oil yaitu kegiatan membersihkan minyak dari pantai.

Ø Peralatan

Alat-alat yang digunakan untuk membersihkan tumpahan minyak:



Booms merupakan alat untuk menghambat perluasan hambatan minyak.
Skimmers yaitu kapal yang mengangkat minyak dari permukaan air.



Sorbent merupakan spons besar yang digunakan untuk menyerap minyak.



Vacuums yang khusus untuk mengangkat minyak berlumpur dari pantai atau
permukaan laut.



Sekop yang khusus digunakan untuk memindahkan pasir dan kerikil dari minyak di
pantai.

Kegiatan huiu dan hilir industri minyak bumi tidak terlepas dari kemungkinan pencemaran
minyak di ke lingkungan, khususnya perairan dan sedimen. Salah satu metode pengolahan
limbah secara yang saat ini terus dikembangkan adalah bioremediasi yang merupakan
teknologi ramah lingkungan, cukup efektif dan efisien serta ekonomis (Yani et al., 2007).
Terdapat tiga cara untuk mengatasi masalah lahan tercemar minyak yang dapat dipilih
berdasarkan jenis minyak pencemar, konsentrasi minyak pencemar dan lokasi pencemaran,
yakni dibakar, diberi disperser dan kemudian dihisap kembali dengan skimmer untuk diolah
di kilang minyak, dan didegradasi dengan memanfaatkan mikroorganisme pendegradasi
hidrokarbon. Bioremediasi, pengelolaan yang mengandalkan degradasi dengan
memanfaatkan mikroorganisme pendegradasi hidrokarbon, merupakan cara yang paling
ekonomis dan dapat diterima lingkungan. Bioremediasi dapat digunakan untuk mengatasi
masalah lahan tercemar minyak baik secara in situ maupun ex situ. Biostimulation dan
bioaugmentation merupakan contoh pelaksanaan bioremediasi secara in situ, sedangkan
landfarming, biopile, dan composting merupakan contoh pelaksanaan bioremediasi secara ex
situ (Arifin et al., 2004).
Dalam pelaksanaan bioremediasi, baik secara in situ maupun ex situ, perlu dilakukan
pemantauan terhadap proses pengolahan dan hasil akhir pengolahan. Hal itu perlu dipantau
adalah kandungan minyak bumi dan/atau kandungan total hidrokarbon minyak bumi.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup no. 128 tahun 2003 tentang Tata Cara dan
Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi oleh
Minyak Bumi secara Biologis mensyaratkan kandungan total hidrokarbon minyak bumi yang
tidak lebih dan 15 % di awal proses bioremediasi. Selama proses bioremediasi, kandungan
total hidrokarbon minyak bumi perlu dipantau setidaknya setiap 2 minggu. Pemantauan
kandungan bensena, toluene, etil-bensena, silena, dan hidrokarbon polisilkik aromatic perlu
dilakukan di akhir proses bioremediasi. Kandungan total hidrokarbon minyak bumi di akhir
proses bioremediasi disyaratkan di bawah 1 %. Di akhir proses bioremediasi, kandungan
toluene, etil-bensena, silena, dan hidrokarbon polisilkik aromatik disyaratkan masing-masing
berada di bawah 10 ppm, sedangkan kandungan bensena disyaratkan berada di bawah 10
ppm.
Limbah industri minyak bumi (Oil sludge) yang berupa cairan dan padatan merupakan obyek
dalam makalah ini, limbah tersebut merupakan limbah bahan beracun dan berbahaya (B3).

Detoksifikasi dan degradasi limbah tersebut dapat dilakukan secara biologis yang aman dan
ramah lingkungan dengan menggunakan 3 jenis bakteri dan tumbuhan yang dikenal dengan
Fitoremediasi. Penggunaan eceng gondok untuk limbah cair dan sengon bermikoriza untuk
pengolahan dan penurunan zat organik dalam limbah padat diharapkan dapat menunjang
pengelelolaan limbah secara terpadu dan berkelanjutan di lingkungan industri minyak pada
khususnya dan umumnya bagi seluruh perindustrian (Rossiana et al., 2007).
Fitoremediasi adalah pemanfaatan tumbuhan, mikroorganisme untuk meminimalisasi dan
mendetoksifkasi polutan, karena tanaman mempunyai kemampuan menyerap logam dan
mineral yang tinggi atau sebagai fitoakumulator dan fitochelator. Konsep pemanfaatan
tumbuhan dan mikroorganisme untuk meremediasi tanah yang terkontaminasi polutan adalah
pengembangan terbaru dalam teknik pengolahan limbah. Fitoremediasi dapat diaplikasikan
pada limbah organik maupun anorganik dalam bentuk padat, cair, dan gas (Salt et al., 1998).
Menurut Corseuil & Moreno (2000), mekanisme tumbuhan dalam menghadapi toksikan
adalah:
1. Penghindaran (escape) fenologis. Apabila pengaruh yang terjadi pada tanaman
musiman, tanaman dapat menyelesaikan siklus hidupnya pada musim yang cocok.
2. Ekslusi. Tanaman dapat mengenal ion yang bersifat toksik dan mencegah penyerapan
sehingga tidak mengalami keracunan.
3. Penanggulangan (ameliorasi). Tanaman mengabsorpsi ion tersebut, tetapi berusaha
untuk meminimumkan pengaruhnya. Jenisnya meliputi pembentukkan kelat
(chelation), pengenceran, lokalisasi atau bahkan ekskresi.
4. Toleransi. Tanaman dapat mengembangkan sistem metabolit yang dapat berfungsi
pada konsentrasi toksik tertentu dengan bantuan enzim.
Tanaman meremediasi polutan organik melalui tiga cara, yaitu menyerap secara langsung
bahan kontaminan, mengakumulasi metabolisme non fitotoksik ke sel-sel tanaman, dan
melepaskan eksudat dan enzim yang dapat menstimulasi aktivitas mikroba, serta menyerap
mineral pada daerah rizosfer. Tanaman juga dapat menguapkan sejumlah uap air. Penguapan
ini dapat mengakibatkan migrasi bahan kimia ( Schnoor et al., 1995 ).
Tanaman melepaskan eksudatnya yang dapat membantu bioremediasi bahan organik oleh
mikroba agar bahan organik tersebut dapat diserap dan dimetabolisme dalam tubuh tanaman.
Penyerapan polutan berupa bahan organik dibatasi oleh mekanisme penyerapan oleh tanaman
dan jenis tanaman ( Schnoor, 2000).
Tanaman dapat memperluas daerah perakaran menuju ke daerah yang terkena polutan (EPA,
2000). Beberapa bahan kimia dimineralisasi oleh tanaman dengan bantuan air dan CO2.
Tanaman mengeluarkan sekret melalui akar eksudat akar sebesar 10 – 20% dari hasil
fotosintesis melalui eksudat akar. Hal ini dapat membantu proses pertumbuhan dan
metabolisme mikroba maupun fungi yang hidup disekitar rizosfer. Beberapa senyawa organik
yang dikeluarkan melalui eksudat akar (misalnya phenolik, asam organik, alkohol, protein)
dapat menjadi sumber karbon dan nitrogen sebagai sumber pertumbuhan mikroba yang dapat
membantu proses degradasi senyawa organic. Sekret berupa senyawa organik dapat
membantu pertumbuhan dan meningkatkan aktivitas mikroba rhizosfer ( Salt et al., 1998 ).

Tumbuhan mempunyai kemampuan untuk menahan substansi toksik dengan cara biokimia
dan fisiologisnya serta menahan substansi non nutritif organik yang dilakukan pada
permukaan akar. Bahan pencemar tersebut akan dimetabolisme atau diimobilisasi melalui
sejumlah proses termasuk reaksi oksidasi, reduksi dan hidrolisa enzimatis (Khan et al., 2000).
Eichhornia crassipes (Mart). Solms merupakan tumbuhan air yang dapat menyerap hara dan
logam berat dalam jumlah yang cukup signifikan. Zat hara yang terserap oleh akar tanaman
akan ditranslokasikan di dalam tubuh tanaman. Hasil penelitian yang telah dilakukan di bak
percobaan menunjukkan bahwa penggunaan eceng gondok dengan penutupan 50% dari luas
area percobaan pengolahan limbah cair tahu dapat menurunkan residu tersuspensi 75,74 –
85,5 % dan COD 55,52 – 76,83 % (Dhahiyat, 1990).
Eichhornia crassipes ( Mart ). Solms dapat tumbuh dengan sangat cepat, yaitu mencapai 10 g
m-2 per hari. Hal ini berpengaruh terhadap penyerapan unsur hara, seperti nitrat ( NO3-) dan
orthofosfat ( PO43-) Eichhornia crassipes ( Mart ). Solms dapat menyerap nitrogen secara
langsung sebesar 5850 kg/ha per tahun dan dapat menyerap fosfor sebesar 350 – 1125 kg/ ha
per tahun. Hal ini dapat mengurangi konsentrasi kontaminan pada limbah perairan
(McEldowney et al., 1993 ).
Tanaman sengon merupakan tanaman Leguminosae, sering digunakan sebagai tanaman untuk
reboisasi karena bersifat fast growing trees. Selain mempunyai dua nama latin yakni Albizia
falcataria (L) Forberg dan Paraserianthes falcataria (L) Nielsen, sengon mempunyai nama
daerah yang bermacam-macam. Hal ini dapat dilihat dengan adanya program pemerintah
berupa proyek “Sengonisasi” bagi daerah-daerah kritis yang rawan bencara erosi (National
Academy of Sciences, 1979). Manfaat penting dari penggunaan mikoriza adalah asosiasi
jamur dan tanaman berkemampuan sebagai biofertilizer, mendetoksifikasi dan mendegradasi
senyawa yang sukar diuraikan dalam tanah. Peranan mikoriza dalam rizosfer adalah
memfasilitasi pergerakan mineral tanah menuju tanaman.
Hasil penelitian yang telah dilakukan di laboratorium, rumah kaca dan terakhir dalam skala
lapangan selama 6 bulan menunjukkan bahwa fitoremediasi limbah lumpur minyak
konsentrasi 20% dengan tanaman sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen) bermikoriza
yang mediumnya diinokulasi bakteri Pseudomonas mallei, Bacillus alvei dan Pseudomonas
sphaericus potensial untuk dikembangkan. Tanaman sengon mengalami pertumbuhan baik
selama fitoremediasi. Hasil analisis setelah fitoremediasi menunjukkan bahwa terjadi
penurunan kandungan minyak sampai 51,23% dan kandungan logam berat Cd, Cr, Pb, Cu, Zn
dan Ni.masing-masing sebesar 30,2%, 2,5%, 32,6%, 71,9%, 62,8% dan 47,09%. (Rossiana,
2005).
Saat ini pengetahuan mengenai mekanisme fisiologi fitoremediasi mulai digabungkan dengan
biologi dan teknik untuk mengoptimalkan fitoremediasi sehingga terbagi menjadi (Salt et al.,
1998):
1. Fitoekstraksi : pemanfaatan tumbuhan pengakumulasi polutan untuk memindahkan
logam berat atau polutan organik dari tanah dengan cara mengakumulasikannya di
bagian tumbuhan yang dapat dipanen.
2. Fitodegradasi : pemanfaatan tumbuhan dan asosiasi mikroorganisme untuk
mendegradasi polutan organik.

3. Rhizofiltrasi : pemanfaatan akar tumbuhan untuk menyerap polutan, terutama logam
berat, dari air dan aliran limbah.
4. Fitostabilisasi : pemanfaatan tumbuhan untuk mengurangi polutan dalam lingkungan.
5. Fitovolatilisasi : pemanfaatan tumbuhan untuk menguapkan polutan. Pemanfaatan
tumbuhan untuk memindahkan polutan dari udara.
Penggunaan metode dan proses biologi dalam menurunkan kadar polutan yang bersifat toksik
terhadap lingkungan akibat adanya xenobiotik/zat yang menyebabkan pencemaran, adalah
nama lain dari bioremediasi (Baker & Herson, 1994). Bioremediasi merupakan salah satu
teknologi inovatif untuk mengolah kontaminan, yaitu dengan memanfaatkan mikroba,
tanaman, enzim tanaman atau enzim mikroba (Gunalan, 1996).
Metode dan prinsip proses bioremediasi adalah biodegradasi yang dilakukan secara aerob,
oksigen dalam konsentrasi rendah akan mempengaruhi proses tersebut (Eweis, et al.,1998).
Pentingnya aerasi untuk memenuhi kekurangan oksigen berkaitan dengan kurang efektifnya
kerja enzim oksigenase dalam penguraian fraksi aromatik. Selain oksigen, rendahnya
kandungan nutrisi dalam medium akan membatasi pertumbuhan mikroorganisme untuk
mendegradasi.
Faktor penghambat bioremediasi adalah bahan yang akan diremediasi mengandung klorin
atau logam berat. Kandungan logam berat baik dalam lumpur minyak maupun dalam medium
pasca bioremediasi akan mempengaruhi penguraian bahan organik, karena akan menghambat
kerja enzim dan populasi mikroorganisme yang selanjutnya akan menjadi kendala bagi
pertumbuhan tanaman (Garcia et al., 1995).
Selain itu perlu ada upaya menghilangkan terlebih dahulu logam berat yang terdapat dalam
limbah dengan menggunakan adsorben sebelum proses bioremediasi. Penggunaan pasir dan
zeolit sebagai campuran dan adsorben alam penyerap logam berat merupakan penanganan
awal sebelum dilakukan proses lebih lanjut, sehingga kemungkinan adanya proses inhibisi
enzim oleh ion logam dapat diatasi.
Dalam bioremediasi penggunaan mikrooorganisme indigenous (indigen) saja masih belum
maksimum sehingga diperlukan inokulasi mikroorganisme eksogenous (eksogen) yang
merupakan kultur campuran (konsorsium) beberapa jenis bakteri atau jamur yang potensial
dalam mendegradasi pencemar tersebut (Udiharto & Sudaryono, 1999).
Sedangkan pengolahan limbah cair minyak bumi dapat dilakukan dengan beberapa cara:
1. Incineration
Incineration adalah salah satu cara untuk menguraikan liquid wastes, dan dengan cara dan
alat yang didesain baik dapat menghasilkan effluent/ limbah yang memenuhi peraturan
pencemaran.
Liquid waste dari sisi combustion dapat dikelompokkan atas :
1. Combustible Liquids
2. Partially Combustible Liquids

Combustible liquids tidak dapat dikerjakan atau dibuang ke incinerator. Pada kelompok
pertama akan terdiri dari bahan-bahan yang mempunyai nilai yang cukup menunjang
pembakaran dalam combustor, burner, atau alat lain yang menghasilkan CO2 dan H2O bila
dibakar. Kelompok kedua akan meliputi bahan-bahan yang sulit terbakar tanpa penambahan
bahan bakar. Bahan yang partially combustible mungkin mengandung mateial yang terlarut
dalam fase liquid, bila zat inorganik akan membentuk inorganik oxida.
Dalam pelaksanaannya harus dialirkan udara secukupnya pada suhu diatas ignation point
agar terjadi pembakaran yang cepat dan menghasilkan CO2, N2 dan uap air. Karena
pembakaran akan lebih cepat dan lebih baik bila bahan dalam keadaan butir halus maka
atomizer diperlukan untuk menginjeksikan waste liquids ke incinerator bila viscositinya
memungkinkan.
1. Dilution (Liquid Waste Dispersion)
Suatu cara lain membuang cairan limbah yang dapat diterima adalah kembali ke lingkungan
dengan pengenceran secukupnya hingga tidak menimbulkan bahaya atau peracunan terhadap
lingkungan. Dengan perancangan subsurface disfersion system yang baik, akan
memungkinkan wadah penerima dapat menampung buangan secara memadai. Beberapa
peralatan yang dibutuhkan antara lain mencakup open end pipes dengan nozzle atau diffuser
system yang terdiri dari sederetan pipa-pipa kecil dengan lubang-lubang atau celah. Limbah
harus dapat dibuang pada sudut yang baik terhadap aliran air agar terencerkan atau terdispersi
secara sempurna. Pipa dispersi harus ditempatkan sedemikian rupa agar discharge point
cukup jauh dari garis pantai, dengan demikian pabrik dan water intake akan terlindungi.
1. Deep Well Disposal
Cara ini dilakukan oleh industri yang banyak membuang limbah asam lemah dalam jumlah
besar. Limbah tersebut dipompakan ke dalam lapisan tanah sampai pada lapisan tanah yang
cocok untuk menampung limbah. Lapisan tanah dimana limbah ditampung harus lebih rendah
dari lapisan fresh water circulation, dan area tadi harus terisolasi oleh bahan yang kedap air.
Lapisan sandstones, limestones atau dolomite umumnya membentuk lapisan yang banyak
mengandung air asin, tetapi cukup baik sebagai tempat penampungan limbah cair. Sedangkan
lapisan yang mengandung minyak, gas, batubara dan belerang harus dijaga agar tidak
tercemar limbah. Lapisan yang kedap air harus berada diatas dan dibawah layer untuk
mencegah vertical escape dari buangan, atau dengan kata lain limbah harus ditempatkan pada
kedalaman tertentu. Penetapan area buangan harus ditetapkan sesuai dengan keadaan
subsurface geology, dimana daerah yang banyak batuan vulkanik dihindari karena
memungkinkan limbah lolos kepermukaan tanah atau badan air.
1. Secara Mikrobiologis
Limbah minyak bumi banyak mengandung unsur Hidrokarbon. Limbah Hidrokarbon cair
bersifat hidrofob dan mempunyai kerapatan lebih rendah dari air. Oleh sebab itu limbah ini
selalu terapung diatas air. Pembuangan limbah ke sungai akan menutupi permukaan air yang
mengakibatkan oksigen terlarut menurun, dan pada akhirnya tumbuh-tumbuhan air dan
hewan air dapat mati. Untuk penanganan limbah Hidrokarbon sebagai salah satu alternatif
adaalah dengan menggunakan mikroba.

Penanganan Limbah Hidrokarbon dimulai dengan pemisahan padatan dan pemisahan minyak
yang terdapat dalam limbah, dan selanjutnya dilakukan penanganan limbah secara
mikrobiologi untuk mendegradasikan Hidrokarbon dan senyawa organik lain. Efluent lebih
lanjut diolah secara kimiawi untuk menghilangkan senyawa fosfat dan nitrogen. Selanjutnya
logam-logam dan senyawa organik yang terlarut dipisahkan melalui proses filtrasi dan
absorbsi oleh karbon aktif. Efluent sebelum dibuang, diklorinasikan untuk mematikan
mikroba patogen dan dinetralkan pH-nya sehingga aman bagi lingkungan.
Pengolahan limbah Hidrokarbon secara mikrobiologis dilakukan dengan proses aerob. Oleh
sebab itu dalam kolam-kolam pengolahan limbah diperlukan aerasi yang cukup agar oksidasi
Hidrokarbon berlangsung. Aerasi yang dilakukan adalah memasukkan oksigen ke dalam
limbah melalui proses pengadukan. Gabungan aerasi dan pengadukan lebih cocok karena
permukaan limbah yang luas membuat kontak mikroba menjadi lebih besar dan degradasi
lebih efektif. Hidrokarbon tidak akan larut dalam air pada saat pengadukan. Untuk
memperbesar distribusi mikroba dalam limbah Hidrokarbon, maka perlu ditambah zat
pengemulsi sehingga terjadi emulsi Hidrokarbon, maka perlu ditambah zat pengemulsi
sehingga terjadi emulsi Hidrokarbon dalam air. Selama degradasi, maka temperatur harus
diperhatikan. Temperatur akan naik dari suhu psikofilik (4-20 ºC) sampai mesofilik (20-40
ºC). Namun hal ini tidak banyak mempengaruhi aktivitas mikroba. pH limbah yang netral
atau sedikit asam kurang mempengaruhi aktivitas mikroba. Namun setelah dimetabolisme,
maka pH efluent menjadi asam. Oleh sebab itu perlu dinetralkan dengan kapur (gamping)
setelah tahap klorinasi.
Menurut Sugiharto (1987), pengolahan limbah cair minyak bumi dilakukan dengan 2 cara
pengolahan pendahuluan (pre treatment), yaitu:
1. Pengambilan/ penyedotan minyak, dan menyaring kotoran atau sampah padat seperti
daun-daunan, plastic dan lain sebagainya.
2. Pengambilan pasir-pasir yang mengendap yang didapat dari proses pengolahan
minyak bumi yaitu lumpur/ sludge.
Proses pengambilan/ pengerukan pasir atau lumpur dilakukan setiap 3 bulan sekali dan pasir
atau lumpur yang telah dikeruk akan dibuang ke tempat khusus yang ada di sekitar lokasi
pengolahan limbah.


Pengendalian Sumber Limbah Cair Minyak Bumi

Program pengendalian pencemaran bahan buangan cair minyak bumi antara lain (Pertamina,
1986) :
1. Mengoperasikan dan memelihara oil catcher (perangkap minyak) baik di kilang
maupun pusat pengumpul produksi dengan sebaik-baiknya.
2. Pemantauan secara berkala jumlah dan jenis bahan buangan cair yang menuju ke
perairan.
3. Melokalisir tumpahan dan bocoran minyak sebagai akibat dari kecelakaan dan atau
kerusakan yang terjadi pada alat-alat pengangkut, penimbun, pengisian, dan lain-lain.
4. Mengambil kembali tumpahan minyak.

5. Penyediaan sarana penanggulangan pencemaran berupa : oil sorbent, dispersant, oil
skimmer dan dispersant pump.
6. Membakar tumpahan minyak yang tidak mungkin diambil kembali atau dibersihkan.


Limbah Padat Minyak Bumi

Pada umumnya limbah padat yang dihasilkan adalah sludge (lumpur) yang terdiri dari Arsen,
Barium, Boron, Chromium, Cadmium, Mercury, Timbal dan Seng. Sludge yang didapatkan
dari pembersihan tangki akan diolah ke dalam suatu bak untuk pengolahan lebih lanjut.


Limbah Gas Minyak Bumi

Upaya pengelolaan lingkungan yang dilakukan untuk mengurangi dampak kualitas udara
ambient yang berupa gas diantaranya :
1. Melewatkan gas H2S kedalam larutan NaOH atau Ca(OH)2 sehingga gas yang keluar
merupakan sisa yang tidak tertangkap oleh larutan NaOH atau Ca(OH)2.
2. Melakukan pendinginan dan penangkapan gas yang keluar telah sesuai dengan udara
luar.
3. Penanaman tanaman pelindung di sekeliling lokasi Stasiun Pengumpul/ Stasiun
Kompresor.
4. Melakukan perawatan cerobong.


Aplikasi Pengolahan Limbah Minyak Bumi

Percobaan skala lapang dilakukan di lagoon area pengolahan limbah lumpur minyak bumi
Pertamina unit VI Balongan Indramayu. Pengolahan limbah cair dilakukan pada 6 kolam
percobaan ukuran 25 X 20 meter. Tipe aliran air permukaan merupakan tipe aliran yang ada
di daerah berawa dengan air diam pada permukaan dengan kedalaman 0,5 – 1 meter. Pada
aliran air dibawah permukaan, aliran limbah cair mengalir pada zona perakaran tumbuhan air
dipermukaan. Kedalaman airnya dapat mencapai 0,5 – 1,5 meter. Pada tipe aliran dalam, air
diperoleh dari bagian permukaan yang kemudian mengalir ke bagian bawah dan terserap oleh
akar tanaman.
Sedangkan pengolahan limbah padat percobaan dilakukan pada 4 plot berukuran 6 x 6 x 0,50
meter terbagi menjadi 3 x 3 x 4 ulangan. Faktor tunggal adalah konsentrasi limbah yang
ditempatkan dalam 12 plot tempat medium pengomposan lumpur minyak masing-masing
konsentrasi yaitu 20%, 30% dan 40% dari total volume yang dicampur dengan zeolit 10%,
pasir dan tanah perbandingan 2:1. Sebagai nutrisi digunakan pupuk kascing Medium diaduk
dengan garu dan pacul dan disemprot dan disiram air setiap hari. Kultur mikroorganisme
bakteri Pseudomonas malei, Bacillus alvei, Bacillus sphaericus. diinokulasikan ke dalam
medium pengomposan masing-masing sebanyak 2000 ml dengan jumlah sel 108 sel /ml
diinkubasikan selama satu bulan, Kondisi medium dipertahankan yaitu pH 6-7, kelembaban
60-70 % dan temperatur tanah sekitar 300C.
Penyiraman dan pengadukan dilakukan secara periodik untuk menjaga kelembaban dan aerasi
medium. Medium tanah bergerombol, dihaluskan dengan pacul supaya mudah untuk ditanam.
Sebelum dilakukan fitoremediasi, terlebih dulu biji sengon disemaikan dalam polibag.

Setelah berumur 2 minggu dipindahkan kedalam polibag baru dan disekitar akar ditambahkan
50 gram mikoriza. Pertumbuhan sengon dipelihara sampai 3 bulan sampai ditanamkan pada
medium hasil pengomposan dengan jarak tanam 2 x 2 meter dan diamati setiap bulan selama
3 tahun.
Parameter pencemaran minyak bumi yang dianalisis setiap bulan adalah:
1. Kadar minyak/lemak dan logam berat sebelum dan sesudah fitoremediasi
2. Penentuan kadar hidrokarbon aromatik (PAH) sebelum dan sesudah proses
fitoremediasi.
3. Pemantauan jumlah mikroorganisme
4. Pemantauan toksisitas medium dengan uji toksisitas Lc-50 terhadap Daphnia
carinata King
5. Pertumbuhan tanaman sengon, , pH dan kelembaban medium.
6. Karakteristik tumbuh dihitung dengan metode Coombs et al. (1985), yaitu:
-

Laju Tumbuh Tanaman Rata-rata (LTT)

-

Laju Asimilasi Bersih Rata-rata (LAB)

-

Index Luas Daun Rata-rata (ILD)

Dalam rangka program pemerintah hal produksi bersih, penelitian ini dapat diaplikasikan
sebagai pemantauan terhadap pengelolaan lumpur minyak bumi secara bioremediasi.
Fitoremediasi merupakan bioremediasi yang memanfaatkan tumbuhan untuk memindahkan
atau mengurangi kerusakan karena pencemar. Sengon sebagai tanaman fast growing trees
berasosiasi dengan mikoriza yaitu sejenis jamur yang bersimbiosis dengan akar membantu
menurunkan kadar senyawa toksik dalam lumpur minyak bumi. Parameter keberhasilan
fitoremediasi dapat dilihat dari nilai penurunan kadar senyawa toksik apakah dalam standard
bakumutu lingkungan (Kementerian Lingkungan Hidup, 2003 dan Environmental Protection
Agency, 2002) Biomonitoring seperti Uji Lc-50, Uji LD-50 baik chronis maupun sub-akut
serta biopatologi terhadap hewan uji merupakan pemantauan biologi yang akan menyatakan
bahwa hasil fitoremediasi aman dan ramah lingkungan.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka diperlukan suatu upaya kegiatan pemulihan
lingkungan yang telah tercemar oleh minyak tersebut antara lain melalui pendekatan
pemulihan secara biologis atau dikenal dengan istilah bioremediasi. Keterbatasan
bioremediasi adalah bahan yang akan diremediasi mempunyai khlorin atau logam berat yang
sukar didegradasi oleh mikroorganisme, sehingga dalam medium hasil perlakuan masih
meninggalkan sisa logam berat dengan konsentrasi cukup tinggi. Adanya kandungan logam
bera