52 Kecerdasan Emosi, Persepsi Terhadap Pendidikan Karakter Cinta Damai Dan Penyesuaian Diri Remaja

Persona, Jurnal Psikologi Indonesia
Januari 2014, Vol. 3, No. 01, hal 52 - 64

Kecerdasan Emosi, Persepsi Terhadap Pendidikan Karakter
Cinta Damai Dan Penyesuaian Diri Remaja

Sjaiful Bachri

Suharnan

SMA Negeri 1 Ketapang, Sampang
Madura

Universitas Darul ‘Ulum
Jombang
e-mail: prof_suharnan@yahoo.com

Abstract. The purpose of this study to examine the relationship of emotional intelligence
and perception of the peace-loving character education to adolescent adjustment. The
subjects of this study were 150 high school students in the country I Ketapang Sampang.
Data collected melui scale of emotional intelligence, perception and character education

peaceful adjustment. Data analysis using regression and correlation techniques. The
results of the study show that there is no correlation between emotional intelligence and
adolescent adjustment. However, different results indicated that there is significant and
positive relationship between perceptions of peace-loving character education with
adolescent adjustment.
Keywords : Emotional Intelligence, Perception of Peace-Loving Character Education,
Adolescent Adjustment.
Intisari. Tujuan penelitian ini untuk menguji hubungan kecerdasan emosi dan persepsi
terhadap pendidikan karakter cinta damai dengan penyesuaian diri remaja. Subyek
penelitian ini adalah 150 siswa di SMA negeri I ketapang Sampang. Data dikumpulkan
melui skala kecerdasan emosi, persepsi terhadap pendidikan karakter cinta damai dan
penyesuaian diri. Analisis data menggunakan teknik regresi berganda dan korelasi parsial.
Hasil analisi regresi menunjukkan hasil bahwa terdapat korelasi antara kecerdasan emosi
dan persepsi terhadap pendidikan karakter cinta damai dengan penyesuaian diri remaja.
Hasil selanjutnya, tidak terdapat korelasi antara kecerdasan emosi dengan penyesuaian diri
remaja. Namun, hasil yang berbeda ditunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang
signifikan antara persepsi terhadap pendidikan karakter cinta damai dengan penyesuaian
diri remaja.
Kata kunci : Kecerdasan Emosi, Persepsi Terhadap Pendidikan Karakter Cinta Damai,
Penyesuaian Diri Remaja.


PENDAHULUAN
Masa remaja identik dengan masa-masa
indah dan menyenangkan yang tidak ingin
dilewatkan dengan sia-sia. Masa remaja juga
identik dengan masa yang penuh kerumitan
karena harus berhadapan dengan masa transisi
nilai dari masa kanak-kanak beralih ke tahap
dewasa.
Hurlock (1987) memberi batasan masa
remaja berdasarkan usia kronologis, yaitu
antara usia 13 hingga 18 tahun. beberapa masalah dialami oleh remaja dalam memenuhi tugas-

tugas perkembangan yaitu masalah pribadi,
seperti misalnya masalah-masalah yang berhubungan dengan situasi dan kondisi di rumah,
sekolah, kondisi fisik, penampilan, emosi,
penyesuaian sosial, tugas dan nilai-nilai.
Disamping itu masalah khas remaja, yaitu
masalah yang timbul akibat status yang tidak
jelas pada remaja, seperti masalah pencapaian

kemandirian, kesalahpahaman atau penilaian
berdasarkan stereotip yang keliru, adanya hakhak yang lebih besar dan lebih sedikit kewajiban dibebankan oleh orang tua.

52

Kecerdasan Emosi, Persepsi Terhadap Pendidikan Karakter Cinta Damai Dan Penyesuaian Diri Remaja

Realitas yang dihadapi remaja seperti tersebut diatas memberikan gambaran betapa majemuknya masalah yang dialami remaja masa
kini. Tekanan-tekanan sebagai akibat perkembangan fisiologis pada masa remaja, dan tekanan akibat perubahan kondisi sosial budaya,
serta perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang demikian pesat seringkali mengakibatkan timbulnya masalah-masalah psikologis berupa gangguan penyesuaian diri atau
ganguan perilaku. Menurut Blos (dalam
Sarwono, 2011) perkembangan pada hakikatnya
adalah usaha penyesuaian diri (coping), yaitu
untuk secara aktif mengatasi stress dan mencari
jalan keluar baru dari berbagai masalah yang
dihadapi. Sehingga dalam tataran perkembangan remaja, penyesuaian diri sangatlah
penting.
Penyesuaian diri merupakan suatu usaha
manusia untuk mencapai keharmonisan pada

diri sendiri dan pada lingkungannya (dalam
Kartono, 2000). Proses penyesuaian diri lebih
bersifat suatu proses sepanjang hayat (life long
process) dan manusia secara terus-menerus
berupaya menemukan dan mengatasi tekanan
dan tantangan hidup guna mencapai pribadi
yang sehat. Respons penyesuaian baik atau
buruk, secara sederhana dapat dipandang sebagai suatu upaya individu untuk mereduksi atau
menjauhi ketegangan dan untuk memelihara
kondisi-kondisi keseimbangan yang lebih wajar.
Penyesuaian diri merupakan suatu proses dinamis
yang bertujuan untuk mengubah perilaku individu
agar terjadi hubungan yang lebih sesuai antara diri
individu dengan lingkungannya. Atas dasar
pengertian tersebut dapat diberikan batasan bahwa kemampuan manusia sanggup untuk membuat
hubungan-hubungan yang menyenangkan antara
manusia dengan lingkungannya (Gunarsa, 2003).
Menurut Sceheneiders (dalam Yusuf, 2004)
Penyesuaian diri juga merupakan aspek penting
dalam usaha manusia menguasai perasaan yang

tidak menyenangkan atau tekanan akibat dorongan kebutuhan, usaha memelihara keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan dan tuntutan lingkungan dan usaha menyelaraskan
individu dengan realitas. Oleh sebab itu penyesuaian diri dapat diartikan sebagai kemampuan
individu dalam menghadapi tuntutan-tuntutan,
baik dari dalam diri maupun lingkungan sehi-

ngga terdapat keseimbangan antara pemenuhan
kebutuhan dengan tuntutan lingkungan, dan
tercipta keselarasan antara individu dengan
realitas. Namun kenyataannya, tidak semua
individu mampu menyesuaikan diri dengan
lingkungannya utamanya remaja. Remaja
banyak mengalami dilema dalam penyesuaian
diri. Karena umumnya mereka mengalami dua
tuntutan sekaligus yaitu tuntutan untuk konformitas dengan kelompok sebaya agar diterima
oleh remaja lain sebagai teman sebaya, di lain
pihak mereka dituntut untuk patuh pada orang
tua. Atau dengan kata lain, dalam berinteraksi
dengan teman sebaya dan orang tua remaja
mengalami tekanan psiko-sosial yang berat,
yang mendorong remaja untuk selalu menyesuaikan diri dengan tekanan-tekanan tersebut.

Persoalan lain yang juga sering dihadapi oleh
remaja antara lain adalah terkait dengan situasi
sekolah, yang mana penyesuaian diri yang
mungkin timbul adalah penyesuaian diri yang
berkaitan dengan kebiasaan belajar yang baik.
Bagi siswa yang baru masuk sekolah lanjutan
mungkin mengalami kesulitan dan membagi
waktu belajar, yakni adanya pertentangan antara
belajar dan keinginan untuk ikut aktif dalam
kegiatan sosial, dan kegiatan ekstrakurikuler.
Padahal implikasi proses penyesuaian remaja
terhadap penyelenggaraan pendidikan seperti
lingkungan sekolah mempunyai pengaruh yang
besar terhadap perkembangan jiwa remaja.
Sekolah selain mengemban fungsi pengajaran
juga berfungsi sebagai transformasi norma.
Dalam kaitannya dengan pendidikan, peranan
sekolah pada hakikatnya tidak jauh dari peranan
keluarga yaitu sebagai rujukan tempat perlindungan jika anak didik mengalami masalah.
Penyesuaian diri bagi remaja perlu dipertahankan eksistensinya demi memperoleh kesejahteraan baik secara jasmaniah dan rohaniah,

serta dapat mengadakan relasi yang memuaskan
dan menyesuaikan dengan tuntutan sosial, sesuai dengan standar atau prinsip. Menurut Sundari
(2005) penyesuaian diri remaja merupakan
kemampuan untuk membuat rencana dan mengorganisasi respons-respons terhadap lingkungan, sehingga remaja bisa mengatasi segala
macam konflik, kesulitan, dan frustasi-frustasi
secara efisien serta memiliki penguasaan dan
kematangan emosional. Dengan penyesuaian

53

Sjaiful Bachri dan Suharnan

diri tersebut, diharapkan remaja mampu menjalani kehidupan yang lebih baik, terhindar dari
permasalahan dan lebih siap menghadapi perubahan yang merupakan bagian dari tugas perkembangannya sebagai remaja.
Banyak hal yang dapat melatarbelakangi
penyesuaian diri pada remaja diantaranya suasana psikologis keluarga seperti keretakan
keluarga. Menurut Gunarsa (2003) banyak
penelitian yang membuktikan bahwa remaja
yang hidup didalam rumah tangga yang retak,
akan mengalami masalah secara emosi. Sehingga tampak adanya kecendrungan yang besar

untuk marah, suka menyindir, kurang peka
terhadap penerimaan sosial dan kurang mampu
menahan diri serta lebih gelisah dibandingkan
dengan remaja yang hidup dalam rumah tangga
yang wajar. Hal ini disebabkan dengan adanya
karakteristik penyesuaian diri remaja yang
terbagi atas dua macam, yaitu karakteristik
penyesuaian diri secara positif dan karakteristik
penyesuaian diri yang salah. Penyesuaian diri
positif yaitu saat individu melakukan hal-hal
yang dapat membawa dampak baik dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sedangkan penyesuaian diri yang salah
adalah saat individu melakukan hal-hal yang
dapat merugikan dirinya sendiri maupun orang
lain baik dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
Sundari (2005) menyatakan bahwa selain
faktor suasana psikologis keluarga, faktor lainnya yang dapat mempengaruhi penyesuaian diri
meliputi kondisi-kondisi fisik yang meliputi
keturunan, konstitusi fisik, susunan saraf, kelenjar dan sistem otot, kesehatan, penyakit, dan

lain-lain. Perkembangan dan kematangan yang
meliputi kematangan secara, intelektual, sosial,
moral, dan emosional. dan penentu psikologis
yang meliputi pengalaman, belajar, pengkondisian, penentu diri atau self-deter-mination, frustasi dan konflik, serta kondisi lingkungan yang
meliputi keluarga dan sekolah, dan juga penentu
kultural yaitu agama.
Berpijak pada hal tersebut diatas, disinyalir
bahwa banyak faktor psikologis yang berperan
dalam proses penyesuaian diri remaja, yang
sebenarnya erat kaitannya dengan karakter atau
pembentukan watak (jati diri) remaja dan lingkungannya. Oleh sebab itu, pembentukan karak-

ter remaja yang mampu menyesuaikan diri
dengan baik sangatlah penting dan menjadi
tuntutan yang perlu ditindak lanjuti secara
serius. Secara psikologis dikatakan bahwa tingkah laku seseorang merupakan fungsi dari cara
seseorang memandang, oleh karena itu, untuk
mengubah tingkah laku seseorang harus dimulai
dari proses merubah persepsinya.
Menurut Sobur (2011) pada saat menafsirkan

suatu pesan yang masuk, individu akan mengalami serangkaian proses yang melibatkan kondisi individu secara utuh. Fase awal masuknya
rangsangan melalui panca indera dan untuk
selanjutnya dilakukan proses penyeleksian dan
pengorganisaian serta mencapai kulminasi yang
disebut dengan persepsi. Ketebatasan kemampuan manusia dalam memperhatikan rangsangan yang masuk melalui panca indera cenderung akan melakukan serangkaian proses seleksi terhadap stimulus yang masuk, yang dalam
penyeleksian ini melibatkan faktor intern dan
ekstern organisme. Kondisi internal individu
merupakan situasi yang berkaitan dengan dunia
dalam diri kita seperti kebutuhan psikologis,
latar belakang, pengalaman, kepribadian, sikap
dan kepercayaan umum, dan penerimaan diri.
Sedangkan faktor eksternal dalam hal ini
diartikan sebagai kondisi yang ada diluar diri
individu yang memiliki pengaruh terhadap
proses penafsiran pesan yang masuk seperti
intensitas rangsangan, ukuran, kontras, pengulangan, stimulus, gerakan, keakraban dan sesuatu yang baru.
Menurut Rakhmat (2007) terdapat dua faktor
yang menentukan persepsi seseorang yaitu
adanya faktor fungsional dan faktor struktural.
Faktor fungsional dihasilkan dari kebutuhan,

kegembiraan yang meliputi suasana hati, pengalaman masa lalu dan latar belakang budaya serta
kerangka rujukan yang dimiliki oleh individu.
Pada dasarnya yang menentukan persepsi bukan
jenis atau bentuk stimuli, akan tetapi karakteristik orang yang memberikan respon terhadap
stimuli. Sedangkan faktor struktural diartikan
sebagai faktor yang berasal dari sifat stimuli
fisik dan efek-efek syaraf yang ditimbulkannya
pada sistem syaraf individu. Para psikolog
aliran Gestalt merumuskan prinsip-prinsip yang
bersifat struktural, bahwa bila individu mempersepsi sesuatu akan mempersepsinya sebagai

54

Kecerdasan Emosi, Persepsi Terhadap Pendidikan Karakter Cinta Damai Dan Penyesuaian Diri Remaja

suatu keseluruhan, tidak boleh dilihat bagianbagian saja lalu menghimpunnya. Dengan kata
lain medan yang terpisah dari persepsi berada
dalam interdepedensi yang dinamis dalam
interaksi, dan dinamika khusus dalam interaksi
menentukan distribusi fakta dan kualitas lokalnya seperti pemahaman tentang seseorang, kita
harus melihat dari segi konteksnya, dalam
lingkungannya dan masalah yang dihadapinya,
dimana dalam penelitian ini dikaitkan dengan
masa perkembangan remaja dengan tugas perkembangannya dan lingkungan yang mempengaruhi baik sekolah ataupun keluarga.
Salah satu cara dalam membentuk karakter
remaja yang diharapkan dapat mempersiapkan
mereka mampu menyesuaikan diri dengan baik
adalah dengan menyelenggarakan pendidikan
karakter di sekolah-sekolah menengah. Dasar.
Harus dipahami bahwa pendidikan karakter
sama dengan watak, yaitu pengembangan dari
jati diri seseorang, lebih sekedar aspek kepribadian dari seorang manusia yang lainya seperti
identitas, intelektual, keterampilan, dan sebagainya. Oleh sebab itu pengembangan karakter
menjadi sesuatu yang sangat penting dan strategis karena dapat diidentikkan dengan pembentukan budi pekerti atau akhlak. Selain itu,
pendidikan karakter dapat menjadi upaya untuk
mendukung perwujudan cita-cita sebagaimana
diamanatkan dalam Pancasila dan Pembukaan
UUD 1945, Sulistyowati (2012).
Menurut Ramli (2003), pendidikan karakter
memiliki esensi dan makna yang sama dengan
pendidikan moral dan pendidikan akhlak.
Tujuannya adalah membentuk pribadi anak,
supaya menjadi manusia yang baik, warga
masyarakat, dan warga negara yang baik.
Menurut Lickona (1997) Pendidikan karakter
adalah pendidikan budi pekerti plus dimana
melibatkan aspek pengetahuan (cognitive),
perasaan (feeling), dan tindakan (action).
Sehingga tanpa ketiga aspek ini merupakan satu
kesatuan yang tidak bisa dipahami secara
parsial saja,melainkan secara utuh sehingga
pendidikan karakter dapat berjalan dengan
sistematis dan efisien.
Pendidikan karakter akan menciptakan seorang anak menjadi cerdas dalam mengelola
emosinya. Kecerdasan emosi merupakan bekal
terpenting dalam mempersiapkan anak me-

nyongsong masa depan, karena dengannya seseorang akan dapat berhasil dalam menghadapi
segala macam tantangan, termasuk tantangan
untuk berhasil secara akademis dan tantangan
penyesuaian diri dengan lingkungan. Menurut
Goleman (2000) menyatakan bahwa keberhasilan seseorang di masyarakat, ternyata 80 %
lebih dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan
hanya 20 % ditentukan oleh kecerdasan intelektual (IQ). Oleh sebab itu, anak-anak yang
mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya, akan mengalami kesulitan belajar, bergaul
dan tidak dapat mengontrol emosinya. Anakanak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat
sejak usia pra-sekolah, jika tidak ditangani akan
terbawa sampai usia dewasa. Sebaliknya para
remaja yang berkarakter atau mempunyai kecerdasan emosi tinggi akan terhindar dari masalahmasalah umum yang dihadapi oleh remaja
seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras,
perilaku seks bebas, dan sebagainya. Dengan
kata lain remaja dengan karakter yang baik
dapat mewujudkan kecerdasan emosinya dalam
melakukan penyesuaian diri di masyarakat
Berdasarkan uraian diatas, penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut : bagaimana
hubungan antara kecerdasan emosi dan persepsi
terhadap pendidikan karakter dengan penyesuaian diri remaja. penelitian ini dilakukan
untuk mengetahui hubungan lebih jauh secara
empiris hubungan antara kecerdasan emosi dan
persepsi terhadap karakter cinta damai dengan
penyesuaian diri pada remaja di Sekolah
Menengah Atas (SMA) I Negeri Ketapang
Sampang. Karena penyesuaian diri pada remaja
dengan tugas dan perkembangan remaja sangat
penting.
Penyesuain Diri
Menurut Kartono (2000), penyesuaian diri
adalah usaha manusia untuk mencapai harmoni
pada diri sendiri dan pada lingkungannya.
Sehingga permusuhan, kemarahan, depresi, dan
emosi 55ias55ive lain sebagai respon pribadi
yang tidak sesuai dan kurang efisien 55ias
dikikis. Hariyadi, dkk (2003) menyatakan penyesuaian diri adalah kemampuan mengubah
diri sesuai dengan keadaan lingkungan atau
dapat pula mengubah lingkungan sesuai dengan
keadaan atau keinginan diri sendiri.

55

Sjaiful Bachri dan Suharnan

Ali dan Asrori (2005) juga menyatakan
bahwa penyesuaian diri dapat didefinisikan
sebagai suatu proses yang mencakup responrespon mental dan perilaku yang diperjuangkan
individu agar dapat berhasil menghadapi kebutuhan-kebutuhan internal, ketegangan, frustasi,
konflik, serta untuk menghasilkan kualitas
keselarasan antara tuntutan dari dalam diri
individu dengan tuntutan dunia luar atau lingkungan tempat individu berada.
Scheneiders (dalam Yusuf, 2004), menjelaskan penyesuaian diri sebagai suatu proses yang
melibatkan respon-respon mental dan perbuatan
individu dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan, dan mengatasi ketegangan, frustasi dan
konflik secara sukses serta menghasilkan hubungan yang harmonis antara kebutuhan dirinya
dengan norma atau tuntutan lingkungan dimana
dia hidup. Sementara tidak jauh berbeda
Hurlock (dalam Gunarsa, 2003) memberikan
perumusan tentang penyesuaian diri secara
lebih umum, yaitu bilamana seseorang mampu
menyesuaikan diri terhadap orang lain secara
umum ataupun terhadap kelompoknya, dan ia
memperlihatkan sikap serta tingkah laku yang
menyenangkan berarti ia diterima oleh kelompok atau lingkungannya. Dengan perkataan lain,
orang itu mampu menyesuaikan sendiri dengan
baik terhadap lingkungannya.
Sedangkan Hurlock (1990) sendiri juga menyatakan bahwa penyesuaian sosial merupakan
keberhasilan seseorang untuk menyesuaikan
diri terhadap orang lain pada umumnya dan
terhadap kelompok pada khususnya. Menurut
Jourard (dalam Hurlock, 1990) salah satu
indikator penyesuaian sosial yang berhasil
adalah kemampuan untuk menetapkan hubungan yang dekat dengan seseorang.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri adalah proses mengubah diri sesuai dengan norma atau
tuntutan lingkungan dimana dia hidup agar
dapat berhasil menghadapi kebutuhan-kebutuhan internal, ketegangan, frustasi dan konflik
sehingga tercapainya keharmonisan pada diri
sendiri serta lingkungannya dan akhirnya dapat
diterima oleh kelompok dan lingkungannya.

Kecerdasan Emosi
Goleman (2000) mengemukakan bahwa
kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih
yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri,
ketahanan dalam meghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan,
serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan emosional tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat,
memilah kepuasan dan mengatur suasana hati.
Sementara Cooper dan Sawaf (1998) mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara
selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi
sebagai sumber energi dan pengaruh yang manusiawi. Kecerdasan emosi menuntut penilikan
perasaan, untuk belajar mengakui, menghargai
perasaan pada diri dan orang lain serta menanggapinya dengan tepat, menerapkan secara
efektif energi emosi dalam kehidupan seharihari.
Selanjutnya Howes dan Herald (1999) mengatakan pada intinya, kecerdasaan emosional
merupakan komponen yang membuat seseorang
menjadi pintar menggunakan emosi. Lebih
lanjut dijelaskan bahwa emosi manusia berada
diwilayah dari perasaan lubuk hati, naluri yang
tersembunyi, dan sensasi emosi yang apabila
diakui dan dihormati, kecerdasaan emosional
menyediakan pemahaman yang lebih mendalam
dan lebih utuh tentang diri sendiri dan orang
lain. Sedangkan menurut Harmoko (2005)
Kecerdasan emosi dapat diartikan kemampuan
untuk mengenali, mengelola, dan mengekspresikan dengan tepat, termasuk untuk memotivasi
diri sendiri, mengenali emosi orang lain, serta
membina hubungan dengan orang lain. Jelas
bila seorang indiovidu mempunyai kecerdasan
emosi tinggi, dapat hidup lebih bahagia dan
sukses karena percaya diri serta mampu
menguasai emosi atau mempunyai kesehatan
mental yang baik.
Solovey (dalam Goleman, 1999) menempatkan kecerdasan pribadi dari konsep Gardner
kedalam definisi tentang kecerdasan emosional,
dia membagi kecerdasan emosional kedalam
lima dimensi yaitu Pertama, mengenal emosi
diri yaitu kesadaran dalam mengenali perasaan
sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan untuk
mengenali emosi diri ini merupakan dasar bagi

56

Kecerdasan Emosi, Persepsi Terhadap Pendidikan Karakter Cinta Damai Dan Penyesuaian Diri Remaja

kecerdasan emosional dan merupakan hal yang
penting bagi pemahaman diri. Kedua, mengelola emosi, yaitu menangani perasaan agar
perasaan tersebut dapat terungkap dengan tepat.
Pengelolaan emosi ini terwujud dengan adanya
kemampuan seperti kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kemurungan dan
mengurangi ketersinggungan, Ketiga, memotivasi diri. Motivasi diri ini dapat terwujud dalam
suatu kemampuan untuk antusias, gairah dan
daya juang yang tinggi dalam mencapai
kesuksesan yang disertai dengan dorongan hati
yang kuat untuk mencapai cita-cita, Keempat,
empati yaitu suatu kekuatan untuk mengetahui
bagaiman perasa
Cooper (1999) mendefinisikan kecerdasan
emosi sebagai kemungkinan individu untuk
dapat merasakan dan memahami dengan benar,
mampu menggunakan daya dan kepekaan emosinya sebagai energi informasi dan pengaruh
yang manusiawi. Sebaliknya bila individu tida
memiliki kematangan emosi maka akan sulit
mengelola emosinya secara baik dalam bekerja.
Disamping itu individu akan menjadi pekerja
yang tidak mampu beradaptasi terhadap perubahan, tidak mampu bersikap terbuka dalam
menerima perbedaan pendapat, kurang gigih
dan sulit berkembang.
Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapatlah dikatakan bahwa kecerdasan emosional
menuntut diri untuk belajar mengakui dan
menghargai perasaan diri sendiri dan orang lain
dan untuk menanggapinya dengan tepat, menerapkan dengan efektif energi emosi dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari terdapat tiga
unsur penting kecerdasan emosional yang
terdiri dari kecakapan pribadi (mengelola diri
sendiri), kecakapan sosial (menangani suatu
hubungan), dan keterampilan sosial (kepandaian
menggugah tanggapan yang dikehendaki pada
orang lain).
Persepsi Terhadap Pendidikan Karakter
Cinta Damai
Kotler (2000) menjelaskan persepsi sebagai
proses bagaimana seseorang menyeleksi, mengatur dan menginterpretasikan masukan-masukan informasi untuk menciptakan gambaran
keseluruhan yang berarti. Sedangkan Mangkunegara (dalam Arindita, 2002) berpendapat

bahwa persepsi adalah suatu proses pemberian
arti atau makna terhadap lingkungan. Dalam hal
ini persepsi mecakup penafsiran obyek, penerimaan stimulus (Input), pengorganisasian stimulus, dan penafsiran terhadap stimulus yang
telah diorganisasikan dengan cara mempengaruhi perilaku dan pembentukan sikap.
Robbins (2003) mendeskripsikan persepsi
dalam kaitannya dengan lingkungan, yaitu sebagai proses di mana individu-individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera
mereka agar memberi makna kepada lingkungan mereka. Dan menurut Walgito (1993)
persepsi seseorang merupakan proses aktif yang
memegang peranan, bukan hanya stimulus yang
mengenainya tetapi juga individu sebagai satu
kesatuan dengan pengalaman-pengalamannya,
motivasi serta sikapnya yang relevan dalam
menanggapi stimulus. Individu dalam hubungannya dengan dunia luar selalu melakukan
pengamatan untuk dapat mengartikan rangsangan yang diterima dan alat indera dipergunakan sebagai penghubungan antara individu
dengan dunia luar. Agar proses pengamatan itu
terjadi, maka diperlukan objek yang diamati alat
indera yang cukup baik dan perhatian merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan
dalam mengadakan pengamatan. Persepsi dalam
arti umum adalah pandangan seseorang terhadap sesuatu yang akan membuat respon bagaimana dan dengan apa seseorang akan bertindak.
Leavitt (dalam Rosyadi, 2001) membedakan
persepsi menjadi dua pandangan, yaitu pandangan secara sempit dan luas. Pandangan yang
sempit mengartikan persepsi sebagai penglihatan, bagaimana seseorang melihat sesuatu.
Sedangkan pandangan yang luas mengartikannya sebagai bagaimana seseorang memandang
atau mengartikan sesuatu. Sebagian besar dari
individu menyadari bahwa dunia yang sebagaimana dilihat tidak selalu sama dengan kenyataan, jadi berbeda dengan pendekatan sempit,
tidak hanya sekedar melihat sesuatu tapi lebih
pada pengertiannya terhadap sesuatu tersebut.
Menurut Sulistyowati (2012) Pendidikan
karakter adalah suatu sistem penanaman nilainilai karakter kepada warga sekolah yang
meliputi komponen pengetahuan, kesadaran
atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan

57

Sjaiful Bachri dan Suharnan

Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi
manusia insan kamil. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders)
harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum,
proses pembelajaran dan penilaian, kualitas
hubungan, penanganan atau pengelolaan mata
pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan
aktivitas, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.
Fitri (2012) juga menjelaskan bahwa Pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam
pembelajaran pada setiap mata pelajaran.
Materi pembelajaran yang berkaitan dengan
norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian pembelajaran nilai-nilai
karakter tidak hanya pada tataran kognitif,
tetapi menyentuh pada internalisasi dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik
sehari-hari di masyarakat.
Selanjutnya Fitri (2012) menjelaskan bahwa
Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia
peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik
mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilainilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari. Melalui
program ini diharapkan setiap lulusan memiliki
keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, berkarakter mulia,
kompetensi akademik yang utuh dan terpadu,
sekaligus memiliki kepribadian yang baik
sesuai norma-norma dan budaya Indonesia.
Pada tataran yang lebih luas, pendidikan karakter nantinya diharapkan menjadi budaya sekolah.
Menurut Triatmanto (2010) Pendidikan karakter di sekolah sangat terkait dengan manajemen atau pengelolaan sekolah. Pengelolaan
yang dimaksud adalah bagaimana pendidikan

karakter direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan dalam kegiatan-kegiatan pendidikan di
sekolah secara memadai. Pengelolaan tersebut
antara lain meliputi, nilai-nilai yang perlu
ditanamkan, muatan kurikulum, pembelajaran,
penilaian, pendidik dan tenaga kependidikan,
dan komponen terkait lainnya. Dengan demikian manajemen sekolah merupakan salah satu
media yang efektif dalam pendidikan karakter
di sekolah. Pada tataran sekolah, kriteria pencapaian pendidikan karakter adalah terbentuknya
budaya sekolah. Budaya sekolah yang dimaksud yaitu perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh
semua warga sekolah dan masyarakat sekitar
sekolah.
Menurut Suyanto (dalam Warni dan Fatimah, 2011) menyatakan bahwa karakter adalah
cara berfikir dan berperilku yang menjadi ciri
khas tiap individu untuk hidup dan bekerja
sama, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap bertanggungjawab dari
setiap akibat dari keputusan yang telah dibuat.
Pendidikan karakter cinta damai merupakan
salah satu bentuk dari delapan belas pendidikan
pendidikan karakter dimana targetan yang ingin
dicapai dalam aplikasi pendidikan karakter cinta
damai adalah perubahan sikap, perkataan dan
tindakan yang menyebabkan orang lain merasa
senang dan aman terhadap kehadiran dirinya.
Pendidikan karakter cinta damai termanivestasi
dalam mata pelajaran tertentu semisal pada
mata pelajaran sosiologi dan pendidikan kewarganegaraan, Kemendiknas (2010). Nilai pendidikan karakter cinta damai menurut Sulistyowati (2012) adalah sikap, perkataan dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa
senang dan aman atas kehadiran dirinya.
Berdasarkan pengertian diatas tentang persepsi, pendidikan karakter dan nilai pendidikan
karakter cinta damai dapat disimpulkan bahwa
persepsi terhadap pendidikan karakter cinta
damai proses bagaimana seseorang menyeleksi,
mengatur dan menginterpretasikan masukanmasukan informasi dan pengalaman-pengalaman yang ada dan kemudian menafsirkannya
untuk menciptakan keseluruhan gambaran yang
berarti menurut kemampuan daya pikirnya sen-

58

Kecerdasan Emosi, Persepsi Terhadap Pendidikan Karakter Cinta Damai Dan Penyesuaian Diri Remaja

diri sehingga mampu mengaplikasikan dalam
kehidupan nyata di lingkungannya.atau dengan
kata lain Proses persepsi terhadap pendidikan
karakter cinta damai ini melibatkan proses
aspek kognitif, afektif dan konasi.
Hipotesis
1. Terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara kecerdasan emosi dengan
penyesuaian diri remaja di SMA Negeri 1
Ketapang Sampang.
2. Terdapat hubungan positif dan signifikan
antara persepsi terhadap pendidikan karakter cinta damai terhadap dengan penyesuaian diri remaja di SMA Negeri 1 Ketapang Sampang.
3. Terdapat hubungan positif dan signifikan
antar kecerdasan emosi dan persepsi terhadap pendidikan karakter cinta damai dengan
penyesuaian diri remaja di SMA Negeri I
Ketapang Sampang.
Subyek Penelitian

sesuai dengan potensi yang ada pada dirinya
dan kenyataan objektif di luar dirinya, rasa
hormat pada manusia dan mampu bertindak
toleran, Mampu bertindak sesuai dengan norma
yang berlaku, dan mampu mengontrol emosi.
Jumlah aitem skala adalah 68 aitem kemudian
diuji cobakan terpakai aitem shahih sebanyak
49 yang memiliki rentang indeks diskriminasi
aitem yang bergerak dari item yaitu yang
memiliki index corrected item total correlation
0,261 s/d 0,610 dengan reliabilitas Alpha
Cronbach sebesar 0,908.
Kecerdasan emosi dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan skala kecerdasan
emosi yang disusun sendiri pula oleh peneliti
berdasarkan aspek: mengenal emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri dan empati.
Jumlah aitem skala adalah sebanyak 66 aitem,
selanjutnya di ujicoba terpakai sehingga aitem
yang shahih tersisa 20 item yang memiliki
index corrected item total correlation 0,208 s/d
0,356 dengan reliabilitas Alpha Cronbach sebesar 0,755.
Persepsi terhadap pendidikan karakter cinta
damai dalam penelitian ini diukur menggunakan
skala persepsi terhadap pendidikan karakter
cinta damai disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan aspek : kognisi, konasi dan afektif.
Jumlah aitem skala adalah sebanyak 41 aitem,
selanjutnya di ujicoba terpakai sehingga aitem
shahih yang tersisa sebanyak 23 item yang
memiliki index corrected item total correlation
0,264 s/d 0,530 dengan reliabilitas Alpha Cronbach sebesar 0,819.

Subyek yang dijadikan responden dalam
penelitian adalah siswa di Sekolah Menengah
Atas (SMA) Negeri I Ketapang Sampang
dengan jumlah total sebanyak 570 siswa. Selanjutnya sampel yang diambil dari jumlah populasi sebanyak 20% sehingga jumlah sampel
sebanyak 150 orang siswa. Metode pengambilan sampel dengan menggunkan Proportional
Random Sampling. Pemilihan sampel dalam
penelitian ini didasarkan pada teori Arikunto
(2006) yang menyatakan apabila dalam pengambilan sampel jumlah subyek besar (lebih
HASIL PENELITIAN
dari 100 orang) maka, dapat diambil antara 1015% atau 20-25% atau lebih. Selanjutnya data 1. Hasil olah statistik dengan analisa regresi
ganda menghasilkan harga koefisien F =
dianalisis dengan menggunakan regresi ber14,775 pada p = 0,000 (p < 0,05). Sehingga
ganda dengan bantuan SPSS (Statistical Pacdapat disimpulkan bahwa secara bersamakage For Sosial Scienses).
sama variabel Kecerdasan Emosi dan Persepsi terhadap Pendidikan Karakter Cinta
Alat Ukur
Damai berkorelasi dengan variabel PenyePenyesuaian diri pada penelitian ini diungsuaian Diri, dengan demikian hipotesis dikap menggunakan skala penyesuain diri yang
terima.
disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan aspek:
2. Hasil analisis regresi juga menunjukkan
Kemampuan menerima dan memahami diri
Harga sumbangan efektif kedua variabel (X1
sebagaimana adanya, Kemampuan menerima
& X2) yaitu kecerdasan emosi dan persepsi
dan menilai kenyataan lingkungan di luar diriterhadap pendidikan karakter cinta damai
nya secara objektif, Kemampuan bertindak
59

Sjaiful Bachri dan Suharnan

dengan penyesuaian diri (Y) ditunjukkan dari
harga R2 = 0,167 yang berarti variabel
Kecerdasan Emosi dan Persepsi terhadap
Pendidikan Karakter Cinta Damai secara
bersama-sama memberikan pengaruh sebesar
16,7% terhadap Penyesuaian Diri. Sehingga
ada 83,3% variabel lain yang memberi
pengaruh terhadap Penyesuaian Diri selain
kedua variabel kecerdasan emosi dan persepsi terhadap pendidikan karakter cinta
damai yang diteliti.
3. Hasil analisis regresi juga menunjukkan
harga korelasi parsial, untuk korelasi antara
variabel Kecerdasan Emosi dengan Penyesuaian Diri yaitu dari harga koefisien t =
1,876 pada p = 0,63 (p>0,05). Hal ini berarti
bahwa tidak terdapat hubungan antara variabel kecerdasan emosi (X1) dengan penyesuaian diri remaja (Y). Dengan demikian
hipotesis ditolak. Sedangkan hubungan antara variabel Persepsi terhadap Pendidikan
Cinta Damai dengan Penyesuaian Diri diperoleh koefisien harga t = 3,831 pada p =
0,000 (p