KEDUDUKAN MOTIVASI DALAM PENDIDIKAN ISLAM

  

KEDUDUKAN MOTIVASI DALAM

PENDIDIKAN ISLAM

  

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................. i

DAFTAR ISI .............................................................................................. ii

  BAB I PENDAHULUAN

  1.1 Latar Belakang .................................................................... 1

  1.2 Perumusan Masalah ............................................................ 1

  1.3 Tujuan Penulisan ................................................................ 1

  BAB II PEMBAHASAN

  2.1 Motivasi .............................................................................. 2

  2.2 Pendidikan Islam ................................................................ 5

  2.3 Kedudukan Motivasi Dalam Teori Pendidikan Islam ........... 6

  2.4 Kedudukan Motivasi Dalam Praktek Pendidikan Islam ....... 10

  BAB III PENUTUP

  3.1 Kesimpulan ......................................................................... 15

  3.2 Saran ................................................................................... 16

  

DAFTAR PUSATAKA .............................................................................. 17

BAB I PENDAHULUAN

  1.1 Latar Belakang

  Dalam dunia pendidikan, termasuk pendidikan Islam tentunya perihal motivasi amatlah menarik dan penting untuk di perbincangkan. Oleh karena itu, motivasi sangat berkaitan erat dengan tercipta atai tidaknya semangat untuk melakukan sesuatu. Perihal motivasi juga berhubungan dengan senang atau tidaknya seseorang terhadap pekerjaan yang dilakukannya, termasuk dalam kegiatan Pendidikan Islam. Semakin senang seseorang dalam mengerjakan sesuatu maka semakin baiklah hasilnya. Disinilah letak pentingnya motivasi, sejauh mana teori dan praktek pendidikan Islam ada relevensinya dengan perihal motivasi.

  1.2 Perumusan Masalah

  Dari latar belakang di atas dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut :

1. Apakah pengertian motivasi dan Pendidikan Islam ? 2.

  Bagaimana kedudukan motivasi dalam teori Pendidikan Islam ? 3. Bagaimana kedudukan motivasi dalam praktek Pendidikan Islam ?

1.3 Tujuan Penulisan 1.

  Mengetahui definisi motivasi dan Pendidikan Islam.

  2. Mengetahui kedudukan motivasi dalam teori Pendidikan Islam.

  3. Mengetahui kedudukan motivasi dalam praktek Pendidikan Islam.

  4. Untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Bahasa Indonesia.

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Motivasi

  Dari segi bahasa, kata motivasi berasal dari motivation yang semula berarti : alasan, daya batin atau dorongan (5). Tetapi dari segi istilah, ada yang mengartikan bahwa motivasi adalah latar belakang atau sebab-sebab yang menjadi pendorong tindakan seseorang (8). Ada pula yang memakai istilah motif, yang diartikan sebagai keadaan dalam pribadi orang yang mendorong individu untuk melakukan aktivitasaktivitas tertentu guna mencapai sesuatu tujuan (12). Dan masih banyak lagi pengertian motivasi, terutama yang terdapat dalam buku-buku psikologi.

  Berdasarkan uraian tersebut, bisa diambil dua pengertian pokok tentang motivasi. Pertama, motivasi berhubungan dengan kehidupan batin seseorang, menyangkut fungsi psikis atau berkaitan dengan soal kejiwaan yang abstrak sifatnya. Karena bersifat abstrak, maka sulit dilihat bagaimana wujud yang sebenarnya. Tetapi motivasi itu memang ada, walaupun keberadaannya hanya bisa dirasakan secara pasti oleh orang yang bersangkutan. Ke dua, motivasi juga berkaitan erat dengan tingkah lahiriah seseorang. Maksudnya, sebelum seseorang melakukan suatu perbuatan, di dalam dirinya telah ada motivasi yang menjadi pendorong serta penggerak pertamanya. Setiap perbuatan, pada hakikatnya dipengaruhi oleh macam dan intensitas motif yang melatarbelakangi dilakukannya perbuatan tersebut.

  Jika dihubungkan dengan kegiatan pendidikan, motivasi dapat diartikan sebagai : suasana psikis yang terdapat dalam diri pendidik dan dinidik yang mendorong serta menyertai aktifitas mereka, baik selaku subyek dan atau obyek pendidikan. seorang guru, dalam menjalankan tugasnya sehari-hari pasti didasari oleh motif tertentu. Motif itu, ada yang semata-mata demi keridhaan Tuhan, demi kemanusiaan, untuk kemajuan bangsa, dan ada pula yang dirasakannya sebagai konsekuensi atas gaji yang diterimanya. Juga di kalangan murid, mereka belajar karena bermacam- macam dorongan. Ada yang semata-mata untuk memperoleh ilmu, ada yang karena takut kepada orang tua, ada yang secara sadar untuk mencapai pangkat, ada yang tidak mengetahui untuk apa ia belajar, dan sebagainya. Yang jelas, semua itu pasti mempengaruhi cara serta semangat mereka dalam melaksanakan tugas dan kewajiban sehari-hari.

  Selanjutnya, dalam upaya untuk lebih memahami perihal motivasi ini, para ahli telah merumuskan klasifikasinya berdasarkan kriteria tertentu. Woodworth & Marquis membagi motif menjadi tiga : motif organik, motif darurat dan motif obyektif (12 : 72-73). Orang terdorong untuk melakukan sesuatu, mungkin karena motif organik seperti kebutuhan makan-minum, kebutuhan seksual, kebutuhan beristirahat dan semacamnya. Ada yang karena motif darurat, misalnya untuk menyelamatkan diri, untuk membalas serangan lawan, dan sebagainya. Bisa pula karena motif obyektif, yaitu terdorong untuk melakukan percobaan (eksplorasi), untuk menghadapi kenyataan hidup beserta segala kebutuhannya, untuk mengetahui hal-ihwal sesuatu yang dipelajari, dan sebagainya.

  Berdasarkan cara terbentuknya, ada yang mengklasifikasikan motif menjadi dua : motif bawaan dan motif yang dipelajari (12 : 73). Motif bawaan seperti warisan biologis manusia yang ada sejak lahir dan yang menimbulkan berbagai dorongan misalnya makan-minum, tidur, bergerak dan lain-lain. Dorongan-dorongan tersebut kadang-kadang menjadi motif pokok bagi seseorang untuk melakukan sesuatu, misalnya mencari nafkah untuk hidup dengan berbagai cara. Sedang motif yang dipelajari, sebagai contoh dorongan untuk mengejar pangkat atau jaminan sosial yang memadai, bahkan yang mewah kalau bisa seseorang mengenal dorongan tersebut, karena ia memiliki pengetahuan berdasarkan yang dilihatnya dari orang lain, jadi melalui proses belajar dalam kehidupan sehari-hari. Karena terdorong untuk memperoleh kenikmatan hidup semacam itu, seseorang juga bisa tergerak hatinya untuk melakukan apa saja.

  Ada pula yang membagi motif menjadi dua : rohaniah dan jasmaniah (12 : 75). Motif rohaniah, wujudnya seperti bermacam-macam-keinginan tersebut di atas, mau ini mau itu, lalu terdorong untuk melakukan perbuatan guna memenuhi kemauannya. Adapun motif jasmaniah contohnya bila dorongan itu lahir karena desakan refleks, instink, nafsu dan sebagainya, meskipun ini semua juga bisa menjadi pendorong timbulnya motif rohaniah, atau boleti jadi campur aduk antara keduanya.

  Dan akhirnya, sementara ahli membedakan motif menjadi dua : ekstrinsik dan instrinsik (12 : 74). Motif ekstrinsik, ialah yang muncul karena adanya perangsang dari luar, misalnya seorang murid belajar sungguh-sungguh karena sebentar lagi akan menempuh ujian. Sedangkan motif instrinsik, munculnya dari dalam diri sendiri, karena dorongan itu memang ada sejak semula, misalnya seorang murid yang berpembawaan gemar membaca, ia akan terdorong untuk selalu mencari bahan bacaan walaupun tanpa perintah dari siapapun. Jadi sifatnya otomatis, telah ada dalam diri murid itu sendiri kebiasaan atau dorongan untuk selalu membaca tersebut. Hanya jika dipertanyakan lebih lanjut, dari mana ia memperoleh dorongan yang serba otomatis itu, maka jawabnya skan lari kepada soal pembawaan dan lingkungan dengan berbagai teori yang menjadi pendukungnya.

  Atas dasar pernyataan yang terakhir ini, maka jelas bahwa motivasi seseorang untuk melakukan sesuatu, dalam batas tertentu, bisa dibentuk atau dipengaruhi oleh pihak lain di luar dirinya, baik pengaruh yang baik maupun yang jelek. Pendidikan, dalam kaitan ini bertugas untuk menciptakan kondisi tertentu supaya di kalangan pendidik dan dinidik selalu terjilma motivasi yang aktif dan positif, hingga pelaksanaan tugas dan kewajiban masing-masing berjalan lancar.

2.2 Pendidikan Islam

  Ada yang merumuskan, pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani-rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam (6 : 19). menurut definisi ini, ada tiga unsur yang mendukung tegaknya pendidikan Islam. Pertama, harus ada usaha yang berupa bimbingan bagi pengembangan potensi jasmani dan rohani dinidik secara berimbang. Kedua, usaha tersebut didasarkan atas ajaran Islam, yang para ulama sepakat menetapkan sumbernya berupa Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas (11 : 74 - 75). Ketiga, usaha tersebut bertujuan agar dinidik pada akhirnya memiliki kepribadian utama menurut ukuran Islam (kepribadian Muslim).

  Tiga unsur utama pendidikan Islam di atas, dalam banyak hal bisa dikaji keterkaitannya dengan perihal motivasi. Pertama, usaha atau pelaksanaan pendidikan Islam baik di kalangan pendidik maupun dinidik jelas memerlukan motivasi, hingga usaha tersebut beralan lancar. Kedua, sumber hukum yang menjadi tempat berpijak bagi usaha tersebut yakni ajaran Islam, sebagaimana diketahui, mengandung banyak dorongan atau motivasi untuk berbuat baik (amal shaleh) termasuk di dalamnya kegiatan pendidikan. Ketiga, tujuan yang hendak dicapai oleh kegiatan pendidikan Islam, dalam prakteknya pasti dipengaruhi pula oleh motivasi pendidik maupun dinidik ketika melaksanakan tugas dan kewajiban masing-masing.

  Jika dilihat dari segi teoritisnya, di antara tiga unsur pokok Pendidikan Islam tersebut, pangkal tolaknya adalah unsur yang ke dua, yakni sumber atau fondasi pelaksanaannya berupa ajaran Islam. Dengan demikian, kajian tentang motivasi dalam pendidikan Islam, mau tidak mau harus mengkaji ajaran Islam itu sendiri, untuk mencari butir-butir petunjuknya yang berkaitan dengan itu. Ini adalah kajian teoritis, yang lebih jelasnya bisa diikuti uraian sebagai berikut.

2.3 Kedudukan Motivasi Dalam Teori Pendidikan Islam

  Agar pelaksanaan Pendidikan Islam berjalan serta berhasil dengan baik, maka diperlukan petunjuk teoritis yang disusun dan dipersiapkan sebelumnya oleh para ahli dalam bidang tersebut. Tanpa teori yang sistematis, praktek pendidikan Islam akan kehilangan arah, bahkan cenderung bersifat coba-coba, yang tentu saja tidak bakal menguntungkan hasilnya. Teori memang penting. Paling tidak, teori merupakan obor atau penerang jalan bagi keperluan praktek, termasuka dalam kegiatan pendidikan Islam.

  Teori atau konsep pendidikan Islam, biasanya dibicarakan dalam studi Filsafat Pendidikan Islam (lihat 13 : 1-2). Walaupun, ada pula pengertian teori atau konsep yang sifatnya sederhana, yakni sekedar petunjuk untuk keperluan praktek, supaya pekedaan tersebut berjalan lancar. Teori dalam pengertian terakhir ini, selain dasar-dasarnya memang menjadi obyek kajian Filsafat Pendidikan Islam, penjabaran lebih lanjut biasanya menjadi obyek kajian Ilmu Pendidikan Islam, misalnya dalam studi didaktik atau metodik khusus tertentu. Sebelum seragaman mengenai pengertian “Teori Pendidikan Islam” bisa difahami, mengingat sampai dengan akhir abad ke dua puluhan ini, masalah tersebut memang belum tuntas, masih selalu menjadi topik diskusi di kalangan cendekiawan muslimin di berbagai kesempatan.

  Tetapi berbeda dengan itu, telah disepakati bahwa sumber pokok bagi Teori Pendidikan Islam itu tidak lain adalah ajaran Islam itu sendiri. Dua sumber utama ajaran Islam adalah AI-Qur’an dan Hadits. Keduanya menjadi pegangan setiap muslim, sebagai referen dalam cara berfikir dan tingkah laku mereka sehari-hari, termasuk dalam merencanakan dan melaksanakan kegiatan pendidikan. Sedangkan di lain pihak, pendidikan Islam memerlukan dukungan motivasi, baik di kalangan pendidik maupun dinidik. Maka dipertanyakan, adakah di dalam sumber pokok ajaran Islam tersebut butir-butir petunjuk yang bisa ditarik relevansinya dengan perihal motivasi dalam pendidikan Islam ?.

  Jawabnya, bisa dimulai dari kajian tentang motivasi itu sendiri. Sebagaimana diketahui, motivasi berkaitan dengan fungsi psikis, menyangkut kejiwaan manusia. Dalam kaitan ini, ajaran Islam menyatakan bahwa di samping unsur pisik atau raganya, manusia juga dilengkapi dengan unsur psikis atau jiwa (7 : 61). Jiwa yang menjadi penggerak tingkah raga seseorang, termasuk dalam wujud motivasi, untuk mengerjakan perbuatan tertentu. Dari jalan fikiran ini jelaslah, bahwa sumber pokok Islam mengakui keberadaan jiwa, dan dengan demikian dapat dihubungkan dengan pirihal motivasi.

  Tersebut di dalam Al-Qur’an, surat AI-Zalzalah : 7-8 yang artinya sebagai berikut :

  Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barang siapa yang mengedakan kejahatan seberat zarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula (10 : 1087).

  Jika dihubungkan dengan pengertian motivasi sebagai faktor yang menyebabkan seseorang memulai dan melaksanakan aktifitas dengan semangat dan penuh ketekunan (3 : 491), maka janji ayat tersebut di atas, secara teoritis, akan menjadi pendorong yang kuat bagi pihak pendidik maupun anak didik untuk giat melaksanakan kewajiban dan tugas masing- masing. Oleh karena, keterlibatan mereka dalam kegiatan pendidikan, pada dasarnya merupakan pekedaan yang baik. Setiap pekerjaan yang baik walaupun sebesar butir debu ibaratnya. Allah S.W.T. menyediakan pahala kebaikan pula bagi pelakunya, demikian sebaliknya.

  Dalam konteks pembicaraan ini, ayat tersebut bisa dipandang sebagai sumber motivasi. Tegasnya, sumber motivasi untuk melakukan kebaikan dalam kancah pendidikan. Bagi pendidik, kebaikan itu mestilah diwujudkan dengan cara Melakukan tugas kependidikan sebaik-baiknya. Sedang bagi anak didik, belajar dengan tekun adalah amal kebaikan yang bakal menerima pahalanya di akhirat. Disamping tentunya, semua pihak yang terlibat dalam aktifitas pendidikan akan memperoleh keuntungan pula bagi keperluan hidup di dunia.

  Penekanan segi akhirat dalam menafsirkan ayat di atas penting, mengingat pendidik maupun anak didik tidak selalu berhasil memetik buah jerih payahnya secara langsung. Dalam proses pendidikan, boleh jadi pada suatu saat muncul kenyataan yang mengecewakan. Karena suatu hal, pendidik maupun anak didik terkadang tidak terpenuhi harapan mereka, lalu kecewa. Ini soal biasa. Kekecewaan sebagai dimaksud, misalnya karena kekurangan dana atau biaya, lingkungan yang tidak mendukung, bentrok dalam pergaulan, dan berbagai macam musibah yang lain. Tanpa pegangan hidup yang teguh, kekecewaan dapat membuat seseorang berputus asa, patah semangat, hilang harapan, sehingga tidak bergairah lagi dalam menjalankan tugasnya.

  Dengan memegang teguh janji ayat tersebut, pihak pendidik maupun anak didik mestilah memandang kekecewaan semacam itu sekedar cobaan belaka. Cobaan yang harus ditanggulangi melalui usaha yang lebih giat lagi, terus mencari alternatif pemecahannya sampai berhasil. Baiklah diingat, “I berdasarkan ayat 155 surat Al-Bagarah, cobaan hidup memang selalu ada (10 : 39). Diri sendirilah yang harus menyingkirkannya, tidak boleh pasrah menyerah. Dalam surat Al-Ra’d ayat 11 disebutkan, bahwa sesungguhnya Allah tidak merubah nasib atau keadaan sesuau kaum, sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri’ (10 : 370). Ayat-ayat ini juga menjadi sumber motivasi, agar kegiatan belajar dan mengajar tetap dilaksanakan sebagaimana mestinya, kendatipun cobaan datang bertubi-tubi.

  Selanjutnya, dalam sebuah hadits yang amat populer, Rasulullah S.A.W. memberi petunjuk, bahwa sebelum melakukan pekerjaan, seseorang hendaklah berniat lebih dahulu, karena niat tersebut akan mempengaruhi proses dan hasil atau nilai pekerjaannya. Ini pun memiliki makna motivasi. Setiap kali menjalankan tugas, mereka yang terlibat dalam kegiatan pendidikan Islam mestilah mengawalinya dengan niat yang baik, bersungguh-sungguh, membulatkan tekad selurus mungkin, agar tidak tergoda atau membelok di tengah jalan.

  Dalam setiap pekerjaan, juga di bidang pendidikan, Islam memandang niat sedemikian penting. Niat, disamping bisa diasosiasikan dengan sah atau batalnya suatu amal perbuatan, juga mempunyai manfaat lain yang bersifat psikis. Dalam arti terakhir ini, niat berfungsi sebagai pengikat dan pendorong seseorang untuk tetap berada pada arah cita-citanya semula. Maka jelaslah, berdasarkan ayat Al-Qur’an dan hadits Rasul tersebut di atas, ajaran Islam yang sekaligus merupakan sumber pokok pendidikan Islam memiliki konsep yang mapan tentang motivasi.

  Kedudukan motivasi dalam teori Pendidikan Islam, dapat pula dikaji dari firman Allah s.w.t. dalam Al-Qur’an surat al-Nahl ayat 125, yang terjemahannya sebagai berikut ini :

  Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasehat-nasehat yang baik, dan bertukar fikiranlah dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya, dan Dialah yang mengetahui siapa yang terpimpin (9:154).

  Biasanya, ayat ini dipahami dalam konteks Da’wah Islamiyah, yaitu kegiatan tabligh atau penyiaran agama untuk menyeru manusia kepada jalan Allah s.w.t, Akan tetapi bisa pula dipahami dalam konteks pendidikan Islam karena toh sama-sama menyeru orang lain kepada jalan Allah s.w.t. Cara menyeru tersebut, menurut ayat di atas, ialah secara bijaksana. Seorang pendidik termasuk bijaksana, jika ia berhasil menciptakan suasana senang tetapi tenang di kalangan anak didik, suasana santai tetapi serius, suasana akrab tetapi berwibawa. Seperti ditunjukkan lebih lanjut dalam ayat tersebut, seorang pendidik seharusnya memberi nasehat kepada anak didiknya dengan cara yang baik, dengan memperhatikan situasi dan kondisi yang tepat, tidak dengan cara membentak atau sengaja menyinggung perasaan, apalagi yang dapat meruntuhkan harga diri anak didik.

  Apabila teori semacam ini diikuti sebagaimana seharusnya, niscaya akan membuahkan proses pendidikan yang segar dan tegar, tidak lesu atau selalu diliputi suasana murung. Di kalangan anak didik tidak bakal ada perasaan tertekan atau terpaksa dalam memenuhi kewajiban sehari-hari. Dengan diperhatikannya kebutuhan psikis mereka, maka tanggung jawab akademis menjadi semakin merata. Bukan hanya guru yang aktif mengajar, tetapi murid pun bergairah dalam belajar. Semua ini juga merupakan sumber motivasi, malah sekaligus juga cara memeliharanya, hingga pelaksanaan pendidikan berjalan lancar. Demikianlah, secara teoritis, sumber pokok pendidikan Islam memiliki sejumlah konsep yang jelas tentang motivasi. Selanjutnya, bagaimana dalam praktek ?

2.4 Kedudukan Motivasi Dalam Praktek Pendidikan Islam

  Pentingnya motivasi bagi kepentingan praktek pendidikan sudah tidak diragukan lagi. Menurut Crow & Crow, pengajaran telah rnengambil ketetapan, bahwa salah satu bagian integral dari prosedur belajar adalah bentuk motivasi yang efektif (4 : 361). Ini merupakan kesimpulan teoritis, yang tentu saja telah diuji kebenarannya berdasarkan penelitian empiris. Maka tinggal perwujudannya dalam praktek, apakah setiap kegiatan pendidikan berhasil mengikuti petunjuk tersebut atau belum. Dalam uraian berikut ini hendak disajikan hasil pengamatan lapangan, apakah dalam praktek Pendidikan Islam juga memperhatikan perihal motivasi, atau sebaliknya masih banyak yang mengabaikannya.

  Untuk menyatakan mana yang termasuk lembaga pendidikan Islam dan mana yang bukan, khususnya di Indonesia, adalah sulit sekali. Dikotomi antara sekolah dan madrasah, atau antara sekolah umum dan sekolah agama, tidaklah secara tuntas menunjukkan bahwa kelompok paling akhir saja yang bisa dikategorikan sebagai lembaga Pendidikan Islam. Tetapi untuk menyederhanakan masalah, yang dimaksud Pendidikan Islam dalam tulisan ini hanyalah madrasah atau sekolah agama (Islam) dari tingkat yang paling rendah sampai dengan tingkat perguruan tinggi.

  Dihubungkan dengan perihal motivasi, praktek Pendidikan Islam bisa dibagi menjadi tiga tahap, yaitu perencanaan, pelaksanaan dan penilaian (evaluasi). Dalam bidang perencanaan, karena kurangnya fasilitas dana dan kemampuan managemen, lembaga pendidikan Islam masih banyak yang menjalankan kegiatannya asal jalan saja. Masalah pergedungan sampai dengan soal-soal kecil menyangkut perabot sehari-hari, biasanya diusahakan secara tambal sulam, bukan berdasarkan rencana yang matang sebelumnya. Lebih dari itu, dalam aspek non fisik misalnya tata laksana peraturan, seringkali masih menimbulkan jumlah problem.

  Di lingkungan IAIN (Institut Agama Islam Negeri), dahulu sebelum berlakunya sistem kredit semester (SKS), ditemui banyak kasus drop out mahasiswa, lantaran tidak naik tingkat dan malu mengulang bersama-sama adik tingkatnya. Ada kalanya, mereka terperangkap tidak lulus dalam mata kuliah tertentu, yang semestinya menurut peraturan harus lulus, tidak boleh tidak. Tetapi disayangkan, oleh sebab-sebab tertentu pula, peraturan bahwa mata kuliah yang diistimewakan tersebut memang harus ditempuh sampai lulus, mahasiswa tidak selalu mengetahuinya. Banyak yang mengira, status mata kuliah semua sama saja. Atau dengan kata lain, mereka terkena sangsi oleh peraturan yang sebelumnya diketahui sebelumnya.

  Kasus semacam ini menyangkut rencana pendidikan, yang seharusnya diketahui oleh semua pihak secara terbuka dan merata. Sebab dengan pengetahuan sebagai dimaksud, pihak mahasiswa misalnya, mereka dapat mempersiapkan diri dan sekaligiis menjadi motivasi untuk giat belajar sebaik mungkin dalam hal yang semestinya harus dipersiapkan demikian. Tetapi kenyataannya tidak, sering kali peraturan hanya berada di buku khusus seorang pimpinan, kurang komunikatif. Lebih dari itu, karena rencana yang sulit diketahui rahasia manfaatnya, pernah terjadi seorang mahasiswa tidak dapat mengetahui nilai hasil studinya, karena benar-benar dirahasiakan. Padahal semestinya, nilai itu mengandung motivasi yang amat besar bagi seseorang. Jika mengetahui nilainya jelek, seseorang akan berusaha memperbaiki pada tahap ujian selanjutnya. Dan jika baik, ia akan berusaha mempertahankannya sedapat mungkin.

  Kini, setelah sistem kredit semester diberlakukan di mana-mana, persoalannya menjadi lain. Dengan diterapkannya sistem itu, maksud semula adalah untuk keuntungan mahasiswa, karena mendapat pelayanan akademis menurut variasi individual mereka. Tetapi kenyataannya, penyediaan fasilitas dan tenaga yang kurang memadai, menyebabkan program tersebut berjalan acak-acakan saja. Sepertinya, yang penting asal formalitas sudah mengikuti sistem kredit semester, agar tidak dikatakan ketinggalan zaman. Padahal sesungguhnya, bagi mahasiswa hampir tidak berbeda sistem tersebut dengan sistem gugur yang pernah diterapkan pada masa yang lalu. Sementara, pihak penyelenggara pendidikan sendiri benar- benar merasa beban mereka sedemikian beret, mengingat terbatasnya persediaan dana dan tenaga. Jelas, kasus semacam ini tidak mendukung bagi terbinanya motivasi dan semangat bekerja di lingkungan lembaga pendidikan Islam.

  Dalam proses belajar mengajar, atau istilah lainnya kegiatan “tatap muka,” juga masih ditemui berbagai kejadian yang tidak mendukung terciptanya motivasi yang segar di kalangan lembaga pendidikan Islam. Misalnya cara mengajar “gaga lama,” yaitu dengan mendektekan bahan pelajaran di muka kelas satu persatu, ada pula pengajar yang selalu berupaya menampilkan dirinya agar kelihatan “angker” di hadapan murid atau mahasiswa, sementara ada pula yang sering mangkir karena kesibukan pribadi, juga karena sibuknya ada yang sama sekah tidak sempat menimba informasi baru di bidang ilmu dan pendidikan. Di kalangan siswa bahkan mahasiswa, ada kalanya belajar hanya mencari predikat formal sebagai kelompok terpelajar, padahal ia tidak tahu, apa-apa dan anehnya juga tidak berusaha untuk tabu. Banyak ditemui siswa atau mahasiswa pergi ke kampus hanya dengan sehelai buku skrip, itu saja untuk mencatat kalu mendapat pelajaran, juga itu sajalah yang diandalkan nanti untuk menempuh ujian, tidak membeli buku literatur yang diwajibkan, sementara juga malas pergi ke perpustakaan. Suasana studi semacam ini, pada umumnya benar- benar lesu, tidak ada gairah terhadap ilmu, karena sulit sekali diharapkan bisa maju.

  Dalam pelaksanaan pendidikan Islam, motivasi untuk belajar dengan rajin di kalangan anak didik memang perlu ditumbuhkan terus-menerus. Disini, tanggung jawab pendidik amat menentukan. Berilah mereka kesempatan, kepercayaan, perlakuan yang wajar, bangkitkanlah keyakinan terhadap potensi dan harga diri mereka. Janganlah malah ditakut-takuti, dibentak dengan kasar, dibenci, diisolasi, disakiti perasaannya di hadapan umum, dan semacamnya. Perlakuan semacam ini, disamping tidak manusiawi, sesungguhnya sudah kuno, ketinggalan zaman. Dan biasanya, dilestarikan hanya oleh mereka yang menyandang segi-segi kelemahan akademis, kurang memiliki wibawa intelektual, sementara dirinya ingin dihormati terus-menerus, lalu dicarilah akal-akalan untuk bertingkah seperti itu. Sama sekali, dalam suasana tersebut tidak terdapat benih-benih motivasi bagi anak didik.

  Selanjutnya, perihal evaluasi atau penilaian, juga ditemui masih banyak yang perlu disempurnakan. Misalnya, soal keadilan ketika ujian, ini amat peka di kalangan pelajar atau mahasiswa. Jika yang satu memperoleh kesempatan untuk ngerpek atau membuka catatan biasanya mereka yang mengambil tempat duduk di bagian pojok yang aman dari jangkauan pengawas ujian akibatnya akan mempengaruhi sikap mental dan kejujuran yang lain. Sebab nantinya berhubungan dengan masalah nilai, yang dalam prakteknya menjadi ukuran prestasi studi di antara mereka. Bagi mereka yang mendapat nilai baik (tinggi) dari perbuatan cuang dan ternyata tidak ketahuan, padahal di antara kawan sendiri sudah saling mengetahui, akibatnya fatal sekali. Yang pada mulanya rajin belajar untuk menghadapi ujian menjadi pudar kehilangan gairah, karena merasakan toh tidak ada obyektifitas dalam proses evaluasi. Mereka yang belajar dan yang tidak, akhirnya sama saja, sehingga timbul semboyan buat apa payah-payah belajar !.

  Akhirnya, tulisan ini hendak menyoroti problems yang sering timbul dalam program penulisan tesis atau skripsi di lingkungan perguruan tinggi Islam. Inti persoalannya, terkadang ada unsur “untung-untungan.” Untung bagi mahasiswa yang memperoleh dosen pembimbing yang ramah tetapi memiliki otoritas intelektual dan aktif membimbingnya, untung jika akhirnya mendapat penguji tertentu yang tidak suka mecari-cari kesalahan untuk menjatuhkan, untung bagi yang topik pembahasannya menarik perhatian pihak tertentu, dan lain sebagainya. Sebaliknya, ada pula mahasiswa yang mengeluh, menderita bahkan gagal menyelesaikan studinya, semata-mata karena kebetulan tidak mendapatkan “untung” seperti digambarkan di atas.

  Berbagai langkah untuk mengatasinya memang telah ditempuh, misalnya mahasiswa diberi kesempatan untuk memilih dosen pembimbing, dosen pembimbing jumlah lebih dari satu, yang menguji adalah sebuah team, dan sebagainya. Akan tetapi, problems yang lain pun selalu muncul. Misalnya, mahasiswa dibimbing oleh dua orang dosen. Ini pun ada kelemahannya. Bisa jadi, keduanya memiliki persepsi ilmiah yang berbeda, atau karena faktor lain yang menyebabkan keinginan masing-masing tidak pernah bertemu, dan lain-lain. Dalam kasus semacam ini, mahasiswa sering kesal, putus asa, bahkan gagal dibuatnya. Skripsinya bukan memperoleh bimbingan sebagaimana mestinya, melainkan menjadi ajang pertengkaran ilmiah yang tidak jelas pangkal ujungnya. Jelas pula, ini pun bertolak belakang dengan keharusan untuk mempersemaikan benih motivasi dalam praktek pendidikan Islam.

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

  Sumber pokok ajaran Islam, terutama Al-Qur’an dan Hadits, mengandung petunjuk yang bisa ditarik relevansinya dengan soal motivasi untuk mendorong manusia ke arah kebaikan, termasuk dalam wujud kegiatan pendidikan. Karena sumber pokok ajaran Islam tersebut menjadi pedoman bagi kaum muslimin dalam setiap langkah kehidupan, maka otomatis juga menjadi pedoman dalam aktifitas Pendidikan Islam. Berarti, dalam teori atau konsep pendidikan Islam terdapat ketentuan tentang motivasi. Ketentuan sebagai dimaksud datangnya dari Allah s.w.t. dan Rasul-Nya, karenanya secara deduksi pastilah benar. Sampai di sini dapat disimpulkan, bahwa dalam pendidikan Islam terdapat teori motivasi.

  Tetapi dalam praktek sehari-hari, kegiatan yang biasanya dikenal sebagai Pendidikan Islam, belum sepenuhnya melaksanakan teori tersebut dengan baik. Dari berbagai kasus yang dapat diamati menunjukkan, bahwa proses perencanaan, pelaksanaan dan penilaian dalam lembaga pendidikan Islam belum sepenuhnya menempatkan dinidik (anak didik) sebagai pihak yang seharusnya didorong dengan memberikan motivasi untuk maju kepada mereka. Anak didik, pada umumnya masih dipandang sebagai obyek pendidikan dengan segala keharusannya untuk memenuhi keinginan pelaksana pendidikan. Masih terdapat kecenderungan untuk menganggap dinidik sebagai pihak yang mesti dibina berdasarkan tatacara yang ada, bukan selaku pribadi yang mempunyai potensi untuk berkembang guna menatap hari depan mereka sendiri. alhasil, kedudukan motivasi dalam praktek pendidikan Islam belumlah memadai.

3.2 Saran

  Bila kita ingin mengerjakan sesuatu hendaknya di kerjakan dengan senang hati. Saya menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan- kekeurangan. Oleh karena itu, tegur sapa dari semua pihak sangat kami harapkan. Atas kerjasamanya kami ucapkan terima kasih.

  DAFTAR PUSTAKA Bawani, Imam. 1987. Segi-Segi Pendidikan Islam, 1987. Al-Ikhlas : Surabaya.