Okupasi Liar Kaaphout in Landbouw Conces

Okupasi Liar, Kaaphout in Landbouw Concessie dan Tanah Jaluran:
Kriminalisasi Petani dalam Zaman Setelah Perang di Sumatera Timur (1947 – 1960)
A. Okupasi Liar atas Tanah-Tanah Konsesi Perkebunan Asing
Pemeriksaan-pemeriksaan lapangan yang dilakukan pihak perkebunan terhadap tanah-tanah
perkebunan selepas aksi polisionil 1948 menemukan keadaan dimana banyak dan tersebarnya
penduduk yang mengusahakan tanah-tanah tersebut untuk tanaman pangan dan tempat
tinggal.1 Kondisi ini menyebabkan kesulitan yang amat sangat dari pihak perkebunan untuk
melakukan rehabilitasi perkebunan secara utuh. Kedatangan Jepang di wilayah ini pada
tahun-tahun sebelumnya menyebabkan terjadinya penutupan seluruh perkebunan yang ada. Di
sisi lainnya impor beras terhenti. Dua kejadian itu menurut Van de Waal menyebabkan
kelumpuhan (ontwricht) seluruh sel ekonomi di wilayah ini.2
Jepang tidak saja menghancurkan fundamen penting pengelolaan perkebunan namun juga
terlibat penuh mendorong penduduk yang bukan berasal dari wilayah perkebunan (tembakau
utamanya) untuk menanam tanaman pangan, apalagi perang diperkirakan akan panjang dan
kebutuhan akan bahan pangan utama seperti beras dan palawija meningkat. Selepas kapitulasi
Jepang dan pemerintahan dikuasai oleh Republik Indonesia, ternyata okupasi lahan
perkebunan ini tidak juga mengecil termasuklah juga di dalamnya berbagai praktek
penguasaan lahan menjadi kepemilikan pribadi.3
Kondisi ini menyebabkan penerima hak tanah jaluran tidak bisa lagi menggarap lahan-lahan
tembakau yang sudah dipanen, para buruh kebun tidak lagi mendapatkan upahnya dan
wilayah ini kehilangan hasil padi sekurang-kurangnya 10.000 ton per bulan, dan ini sama

nilainya dengan 50% dari konsumsi total penduduk per bulan. Teminologi Okupasi lahan
(grond occupatie) mulai diperkenalkan dalam periode ini.4 Satu terminologi yang nantinya
secara negatif dikonstruksikan sebagai okupasi yang bertentangan dengan undang-undang
atau “Okupasi Liar” (onwettige of wilde occupatie). Okupasi mana terjadi di atas tanah-tanah
yang dulunya dikonsesikan untuk perusahaan perkebunan.
Aliran penduduk yang kelaparan datang dari mana saja, tak terkecuali dari kawasan Tapanuli,
terutama dari kawasan sekitar Danau Toba yang relatif padat penduduknya. Di kawasan ini,
eksploitasi tanah dengan sistem intensif pada masa sebelum perang telah menyebabkan
kerusakan kualitas tanah dan menyebabkan erosi dan kegersangan tanah. Kebutuhan tanah
yang lebih subur dan epidemi cacar ( pokkenepidemie) di tanah Batak pada tahun 1948
menyebabkan mereka pergi meninggalkan kampung halamannya menuju dataran rendah di
bekas-bekas lahan perkebunan.5
1

Satu peraturan tertanggal 1 Mei 1947 (No.1138/VI/16), yang dikeluarkan Residen Sumatera Timur di Tebing
Tinggi menyebutkan alasan kekurangan bahan makanan di wilayah ini sebagai suatu kondisi yang
melatarbelakangi diterbitkannya peraturan tersebut. Judul peraturan tersebut berbunyi: Peraturan tentang Tanah
Konsessi Kosong di Keresidenan Sumatera Timur. Dalam peraturan ini, tanah-tanah kosong dalam lingkungan
konsesi perkebunan meliputi juga tanah-tanah yang telah dipinjamkan kepada penduduk di zaman pemerintahan
Belanda, Jepang dan Negara Republik Indonesia. Pasal 4 dari peraturan ini berbunyi: “Penduduk yang tidak

mempunyai tanah perkebunan/persawahan boleh mendapat 1 Ha untuk tiap-tiap satu kelamin dan sudah harus
selesai dikerjakan (diusahai) selambat-lambatnya dalam tempo 6 (enam) bulan.
2
Van de Waal, Op.cit. Hal.70.
3
Economisch Weekblad voor Ned.Indie, 14 Augustus 1948, No.33. Hal.1
4
Van de Waal, Loc.cit.
5
Sebelum perang, umumnya tidak ada kesulitan bagi pemerintah (Hindia Belanda) untuk menyelesaikan kasuskasus onrechtmatigen occupanten melalui tindakan-tindakan pengosongan berbasis pasal-pasal dalam BW,
ordonansi Erfpacht, Staatsblad 1937/No/560, yang aturan pokoknya mengatakan bahwa individu atau mereka

Usaha-usaha untuk membatasi onwettig occupatie sulit sulit dijalankan mengingat situasi
sosial, ekonomi dan politik yang terjadi pada saat ini, apalagi untuk menerapkan satu aturan
yang tegas akan hal tersebut. Padahal, di tahun itu (1948) satu staatsblad dengan no 110,
tertanggal 24 Juni 1948 telah dikeluarkan dengan sebuah pasal yang memberi ancamam
hukuman bagi pengambilan tanah pemerintah serta tanah perkebunan dengan tidak sah. Van
de waal mengambarkan situasi pada saat itu: “ De tijden waren onzeker, zodat de bevolking
zich zoveel doenlijk door grondbezit veilig trachtte te stellen tegen een mogelijk
voedseltekort bij stagnerende rijstaanvoer. De Chinezen die van grondbezit uitgesloten

waren geweest, kwamen naast de andere groepen van ocuppanten beslag leggen op een
bouwveld en toonden zich nog onhandelbaarder dan de overigen. Bovendien was de
occupatie ook een politiek strijd middel tegen het Nederlandse gezag.” (Situasi tidak
menentu, penduduk berusaha untuk mengamankan penguasan tanah untuk keamanan diri atas
kemungkinan berkurangnya bahan makanan akibat dihentikannya impor beras. Orang-orang
Cina yang tertutup kemungkinannya untuk menguasai tanah, datang untuk ikut juga menyita
tanah-tanah tersebut disamping kelompok-kelompok okupasi lainnya, dan juga tidak bisa
dikendalikan dibanding sebelumnya. Lagipula, Okupasi yang dilakukan merupakan juga
perlawanan politik yang dilakukan penduduk terhadap kekuasaan pemerintah Hindia
Belanda.)
Para buruh perkebunan sebenarnya sebelum perang juga sudah mulai merasakan masuknya
kelompok-kelompok orang yang mulai mengusahakan lahan “secara tidak sah”. Ketika
selesai peperangan tidak ada kepemimpinan yang jelas, kelompok-kelompok ini, dalam
rangka untuk memperkuat tindakan-tindakan mereka dalam mengusahakan lahan/tanah eks
perkebunan, secara sosiologis membentuk persatuan-persatuan (tani bonden). Pengukuran
dilakukan untuk kepentingan para anggota persatuan tani. Baik pihak Belanda maupun
Pemerintah Indonesia kemudian berulangkali berusaha untuk mengakhir okupasi yang
dilakukan oleh kelompok-kelompok ini, namun tidak memberikan hasil yang memuaskan.
Pada tahun 1947, onwettige occupatie di lahan tembakau sudah mencapai ± 12.000 ha. Dan
pada akhir tahun 1951 telah mencapai 25.000 ha,6 dan angka ini terus bertambah di tahuntahun berikutnya. Untuk jenis tanaman lainnya yang belum diusahakan, pada tahun 1951, ada

sekitar 54.000 ha yang diusahai dalam terminologi onwettige occupatie, sementara 22.000 ha
mendapatkan izin dari perusahaan perkebunan.7
Akibat perkembangan-perkembangan politik, pemerintah Republik Indonesia merasa perlu
sesudah bulan Desember 1949 mengeluarkan pernyataan tegas terhadap pengambilan tanah
kebun secara tidak sah. Maka, pada tanggal 22 Mei 1950 dalam Maklumat Bersama
No.248/1950 yang ditandatangani oleh Wali Negara Sumatera Timur (T. Dr. Mansoer) dan
Gubernur Militer VII (Kolonel M.Simbolon), diulangi lagi ketentuan-ketentuan dalam
staatsblad 1948/110 tersebut bagi daerah ini. Inti dari Maklumat Bersama itu adalah bahwa
untuk pengambilan tanah secara tidak sah yang terjadi hingga waktu itu tidak digugat. 8 Hanya
yang menguasai tanah secara tidak sah harus meninggalkan tanah-tanah yang dikuasainya tersebut. Malah
Staatsblad 1937/No.560 tersebut juga menyediakan fasilitas ganti rugi bagi pihak perkebunan yang tanahnya
diambil dengan cara yang tidak sah.
6
Van de Waal, Loc.cit.
7
Kekurangan bahan makanan menjadi alasan pembenar okupasi itu dilakukan. Satu data menurut keadaan tahun
1942 yang dikeluarkan oleh salah satu organisasi tani menunjukkan perbandingan yang tidak seimbang antara
luas tanah yang diusahai dengan penduduk Sumatera Timur. Diperkirakan ada sejumlah 2.225.00 jiwa dengan
luas tanah yang diusahai 103.500 ha (rata-rata 0.20 ha per rumah tangga) sementara luas tanah konsesi saat itu
850.000 ha. Lihat Surat GerakTani Daerah Sumatera Utara tertanggal 7 April 1950 yang ditujukan kepada

Pengurus Perkebunan Sumatera Timur.
8
Tanggal 1 Mei 1947 dengan No.1138/VI/16, Residen Sumatera Timur memberikan kekuasaan kepada Jabatan
Pertanian pada waktu itu untuk membagi-bagikan tanah kepada orang-orang yang membutuhkan.

pengambilan tanah secara tidak sah sesudah tanggal 22 Mei 1950 akan dihukum, dengan
harapan serta kepercayaan bahwa hal ini akan menghalangi pengambilan-pengambilan tanah
selanjutnya oleh Serikat-Serikat Tani.9 Di sini dapatlah dikatakan adanya standfast untuk
pertamakalinya sejak berlakunya ketentuan mengenai ancaman hukum dalam Staatsblad
1948/110 tersebut.
Fakta di lapangan menunjukkan juga bahwa Ketetapan Residen Sumatera Timur N.R.I
No.1138/VI/16 tertanggal 1 Mei tahun 1947 tentang peminjaman lahan sebesar 40.000 ha
kepada kelompok-kelompok tani tidak berjalan dengan apa yang dibayangkan, terutama oleh
para petani. Pengurus Gerak Tani, salah satu Serikat Tani yang terkemuka di saat itu
menunjukkan sejumlah hambatan untuk mengusahakan lahan yang dipinjamkan oleh pihak
perkebunan. Kondisi yang menyebabkan semakin parahnya kemelaratan kelompok tani
dipakai oleh Serikat Tani untuk melancarkan tekanan kepada pihak perkebunan untuk
konsisten menjalankan Ketetapan Residen Sumatera Timur. Jika tidak mereka akan maju
untuk mengusahai kembali tanah-tanah yang dipinjamkan.10
Satu surat11 seorang petani yang bernama Abdoel Manan Damanik yang ditujukan kepada

pimpinan perkebunan dan kepala wilayah di bawah ini bisa dipakai sebagai gambaran atas
kebutuhan tanah untuk pertanian di masa itu dan tekanan yang mereka lakukan terhadap
perkebunan dan kepala wilayah setempat.
Padoeka Toean,
Saja Abdoel Manan Damanik, atas nama rajat asli Simeloengoen
dan pendoedoek kampoeng Bandar Sahkoeda, Timbaan, Hoeta Bajoe dan
Bah Bajoe bermohon seperti berikoet. Berhoeboeng karena
berkembangnya rajat asli dari pendoedoek kampoeng jang tersebut di
atas, djadi pada masa ini rajat kekoerangan tanah ontoek
perladangan/peroesahaan
pentajaharian,
berarti
kemoendoeran
keselamatan pendoedoek tentang hal makanan. Djadi permohonan rajat
kehadapan Pd. Toean, agar Pd. Toean menolong soepaja Pemerintah
dapat memberi tanah perladangan kepada Rajat oentoek kemakmoeran
berarti kemakmoeran Soematra Toimoer. Teroetama sekali jang akan
ditoejoe dalam hal ini agar sebagian ketjil dari keboen Kerasaan dapat
diberikan kepada rajat asli (Simeloengoen). Rajat meminta agar afdeeling
Bah Bajoe/ bekas persawahan jang diboeat semasa Nippon/ dapat

diberikan kepada rajat boeat dijadikan persawahan.
Benar saja akoei pada masa ini banjak bangsa lain jang tinggal di
dalam kampoeng (seoempama: Sipirok, Djawa, Soenda d.l.l) jang
mempoenjai tanah dalam kampoeng, tetapi itu boekan kesalahan dari
rajat. Dahoeloe antara tahoen 1918 sampai tahun 1922, wakil Pemerintah
di dalam kampoeng (Penghoeloe/Perbapaan) memberikan tanah hak rajat
asli kepada siapa saja jang maoe dengan membajar oeang pantjang sadja.
9

3 dari 8 organisasi Tani di Sumatera Timur yang terkemuka adalah Barisan Tani Indonesia (BTI) di bawah
pimpinan sdr. Tarigan, Gerakan Tani, dibawah pimpinan sdr.Samosir dan SEKATA, di bawah pimpinan
sdr.Pattipeluhu. BTI di Sumatera Timur adalah cabang dari Organisasi pusatnya di Jogyakarta. Gerakan Tani
didirikan tahun 1945 dan berkedudukan di Pematang Siantar, sedangka SEKATA berdiri tanggal 1 Juli 1948,
lebih kurang 1 bulan sesudah Negara Sumatera Timur berdiri. Jusuf Muda Dalam dan I.J. Kasimo. Laporan
Penyelidikan di Sumatera Timur tentang Soal Tanah Perkebunan dan Pemkaian Tanah-Tanah Bekas
Perkebunan oleh Rakyat. Jakarta, 27 Mei. 1950. Hal.6.
10
Surat Gerak Tani, Loc.cit.
11
Inventaris Arsip Avros, tahun 1950.


Permohonan rajat ini apabila sampai 3 (tiga) boelan sesoedah
soearat ini ta’ berhasil, maka rajat semoea akan mengambil tindakan
memantjang tanah keboen Kerasaan untuk diperoesahai masing-masing.
Saja soedahi dengan pengharapan yang penoeh. Soepaja permohonan
rajat ini dapat dikabulkan
Pekan Kerasaan, 9 April 1950,
Hormat saja,
ttd. Abdoel Manan Damanik.
Rekaman soerat ini dikirimkan:
Kehadapan Pd.Toean Departemen Kemakmoeran (Medan)
Kehadapan Pd.Toean Administrateur Avros (Medan)
Kehadapan Pd.Toean Kepala Wilajah Simeloengoen (P.Siantar)
Kehadapan Pd.Toean Districthoofd Bandar (Perdagangan)
Pemerintahan di Jakarta, dalam masa itu (khususnya antara tahun 1950 – 1953) memandang
sangat penting untuk mempertahankan perkebunan di Sumatera Timur sebagai bagian dari
kebutuhan ekonomi nasional. Maka, atas Surat Keputusan DPR Republik Indonesia Serikat
tertanggal 13 April 1950 ditetapkanlah satu tim penyelidik soal tanah-tanah konsesi
perkebunan dan soal pemakaian tanah-tanah bekas perkebunan oleh rakyat di daerah Sumatera
Timur. Tim tersebut terdiri dari Jusuf Muda Dalam dan I.J.Kasimo. Dari penelusuran mereka

terkait pemaiakan tanah untuk wilayah Negara Sumatera Timur seluas 3.031.000 ha
terpampang struktur dasar penguasaan dan atau pemakaian seperti tertera dalam tabel di
bawah ini:
No.
`1.

2.

12

Jenis Peruntukan/Pemakaian Tanah12
Tanah Konsesi Perkebunan:
a. Konsesi Tembakau
b. Konsesi Perkebunan Tanaman Keras
b1. Sudah ditanami
b2. Belum ditanami
Jumlah Konsesi Perkebunan
Tanah Pertanian Rakyat
a. Tanaman Keras
a1. Karet

a2. Kopi
a3. Kelapa
a4. Aren
a.5.Pohon Buah-Buahan

Luas
261.000 ha
394.000 ha
233.000 ha
888.000 ha13
60.000 ha
500 ha
15.000 ha
500 ha
7.000 ha

Menilik angka-angka di atas hampir 30% dari luas Negara Sumatera Timur masuk dalam tanah-tanah konsesi
perkebunan dan hanya lebih kurang 8% saja merupakan tanah pertanian bumiputera. Tanah pertanian rakyat
yang merupakan sumber produksi bahan makanan (jadi tidak termasuk tanah dengan tanaman karet milik
penduduk) , hanya berjumlah 192.000 ha atau 6% saja dari luas keseluruhan daerah Sumatera Timur.

Pertambahan penduduk yang semakin meningkat sementara lahan terbatas menimbulkan terjadinya apa yang
dikonseptualisasikan sebagai okupasi liar. Lihat lebih jauh , Jusuf Muda Dalam dan I.J. Kasimo. Op.cit. Hal. 3.
13
Tanah konsesi seluas 888.000 ha di atas dikuasai oleh 257 pemegang konsesi berkebangsaan Belanda dan 197
pemegang konsesi berkebangsaan Amerika, Belgia dan Inggris. Konsesi yang semula dipegang oleh mereka
yang berkebangsaan Jerman dan Jepang saat itu sudah dikuasai oleh Pemerintahan RIS, seperti misalnya
Onderneming Marihat di Simalungun. Lihat Jusuf Muda dalam dan I.J.Kasimo, Ibid. Hal.5.

.3.
4.

b. Tanaman Padi
b1. Sawah Irigasi
b2. Sawah Bukan Irigasi
b3. Huma
b. Tanaman Sayuran dan Makanan
c. Ladang
d. Tanah yang Dulu Ditanami
Jumlah Tanah Pertanian Rakyat
Hutan Cadangan (Reservebos))
Hutan Rimba Liar dan Tanah yang
Dipergunakan

Tidak

19.000 ha
21.000 ha
7.000 ha
2.000 ha
100.000 ha
20 000 ha
252.000 ha
519.000 ha
172.000 ha

Beberapa kesimpulan dan saran dari penyelidikan yang dilakukan secara cepat oleh tim yang
dimaksudkan di atas menunjukkan kepekaan yang tinggi terhadap persoalan dasar yang
dihadapi oleh penduduk dan utamanya petani, yakni landhonger (Kurangnya tanah pertanian
bagi kaum tani). Pada butir 26 laporan tersebut dkatakan: “Kekurangan lahan pertanian mesti
segera diselesaikan. Menurut keterangan kepala bagian agraria departemen pemerintahan
NST, dari perkebunan tembakau dan perkebunan tanaman keras akan dapat dilepaskan tanah
sejumlah 230.000 ha. Dari pendapat tim, jumlah ini dapat mudah dinaikkan hingga menjadi
150.000 ha dari konsesi tembakau dan 150 ha lagi dari konsesi perkebunan keras.”
Selanjutnya dalam butir 27-nya dikatakan: “ Penglepasan 150.000 ha dari konsesi tembaau
akan mudah dilaksanakan apabila sistem rotasi atau giliran yang sekarang lamanya 8 atau 9
tahun diperpendek menjadi paling lama 6 tahun. Tindakan memperpendek waktu rotasi tidak
akan membawa akibat buruk bagi cultuur dan kwaliteit tembakau. Pada sisi lainnya biaya
produksi mungkin akan sedikit naik, tetapi untuk kepentingan umum tegasnya kepentingan
rakjat dan negara, soal ini tak oleh terlalu diberatkan.”14
Melalui keputusan Menteri Dalam Negeri No.12/5/14 tertanggal 28 Juni 1951 diputuskan
bahwa 125.000 ha lahan perkebunan tembakau di wilayah ini diserahkan ke dalam sebuah
status hak kebendaan baru untuk paling lama 30 tahun dan dengan syarat-syarat yang
ditetapkan oleh pemerintah sementara sisanya (125.000 ha) akan jatuh kembali ke tangan
negara. Gubernur Sumatera Utara dengan bekerjasama dengan perusahaan perkebunan yang
dimaksud bertanggunggjawab untuk melaksanakan keputusan tersebut. Oleh AVROS 15 dibuat
14

Dari tanah konsesi tanaman keras, yang berjumlah 627.000 ha, masih ada 233.000 ha yang belum ditanami
oleh pemegang konsesi dan dianggap cocok untuk pertanian rakyat. Lihat Jusuf Muda Dalam dan I.J. Kasimo.
Ibid. Hal.9.
15
Krisis tahun 1891 memaksa para pengusaha mencari alternatif pengganti dan karet menjadi pilihan yang
masuk akal walaupun harus dikelola dengan tenaga kerja dan modal besar. Percobaan penanaman karet (Heva
brasiliensis Muel Erg) dilakukan pada awal 1885 di onderneming eks tembakau seperti Mariendal dekat Medan
dan Rimbun di bagian tanah tinggi Medan. Pada tahun 1902, Maskapai Deli mempunyai kira-kira 5000 pohon
karet di perkebunan Batang Serangan di Langkat. Perkebunan ini diperluas sampai dengan 19.999 pohon karet
ficus dan 1000 pohon karet hevea sampai dengan tahun 1905. Persaingan pesat industri karet memicu persaingan
antar para pengusaha. Fenomena ini kontraproduktif terhadap perdagangan karet mentah di tingkat yang lebih
luas menghadapi pesaing dari luar seperti Malaya dan Brazil. Menghadapi keadaan seperti itu, pada tahun 1909
didirikan organisasi pengusaha-pengusaha karett di Sumatera Utara dengan nama AVROS (Algemeene
Vereneging van Rubberplanters ter Oostkust van Sumatra). Organisasi ini tidak saja menghimpun pengusaha
karet melainkan juga pengusaha kelapa sawit. Kegiatan pokok AVROS adalah menyediakan tenaga kerja
perkebunan, membuat peraturan perekrutan serta mengadakan pengawasan terhadap kuli-kuli kontrak
seandainya melarikan diri dari perkebunan yang satu ke perkebunan lainnya. Dengan adanya organisasi
penghubung seperti AVROS, pengusaha sangat terbantu mengingat tajamnya fluktuasi harga karet. Penggunaan
kuli kontrak di Sumatera Timur mulai dilakukan sejak maraknya perkebunan tembakau tahun 1863. Selepas
perang kemerdekaan, perusahaan perkebunan yang dikelola oleh modal asing terkena dampak revolusi
kemerdekaan sehingga pengusaan perusahaan-perusahaan memaksa reorganisasi perkumpulan pengusaha-

sebuah ikhtisar (gambaran) tanah yang akan tetap diperuntukkan untuk tanaman tembakau
(125.000 ha). Ikhtisar atau gambaran inilah yang dipergunakan sebagai dasar keluarnya Surat
Keputusan Gubernur Sumatera Utara No.36/K/Agr. tertanggal 28 September 1951 tentang
peruntukan tanah untuk perkebunan tembakau.16
Di dalam Surat Keputusan Gubernur tersebut disebutkan sejumlah syarat atau ketentuan
tambahan atas alokasi tanah 125.000 ha yang diperuntukkan bagi tanaman tembakau.
Pertama, untuk tanah-tanah ditepi-tepi jalan antara a. Tanjung Pura – Bindjei – Medan –
Tebing Tinggi dan b. Medan- Bandar Baru, selebar 250 meter dari tepi jalan masuk ke dalam
dan dikembalikan kepada pemerintah.17 Kedua, untuk persawahan yang sudah ada diserahkan
kembali oleh perusahaan perkebunan kepada pemerintah. Ketiga, untuk tanah-tanah
perkampungan dan kota serta tanah-tanah yang diperlukan untuk perluasannya untuk selama
30 tahun akan ditentukan dan diserahkan kepada pemerintah yang patut luasnya buat
menampung pertumbuhan penduduk kampung yang dimaksud. Keempat, Tanah-tanah kirikanan sungai-sungai dan anak-anak sungai yang mana airnya terus mengalir sepanjang
minimum 5 meter diukur dari pinggir sungai dan anak-anak sungai itu dan sekeliling mata air
minimum 100 meter diukur dari pinggirnya wajib dihutankan atau ditanami dengan pohonpohon keras seperti jati, rumbia, bambu, juar dan lain-lain yang diperlukan untuk usahanya
serta diurus oleh pihak perkebunan, untuk mencegah adanya erosi dan lain-lain.
Pertengahan tahun 1951, satu dinas baru yang dinamakan Kantor Penyelenggara Pembagian
Tanah dibentuk untuk mengatur pembagian tanah-tanah bekas konsesi perkebunan tembakau
untuk penduduk. Oleh Kantor tersebut, pada bulan Pebruari tahun 1952, dibuat dua
pengelompokan penduduk yang akan mendapatkan jatah tanah-tanah eks konsesi tersebut,
yakni kelompok tani dan kelompok buruh tani (para buruh kebun di lingkungan tanah-tanah
itu berada). Dengan kelompok tani, dimaksudkan adalah mereka-mereka yang
pendapatan/mata pencahariannya total dari pertanian (sawah/ladang), satu pembatasan yang
sulit dijalankan karena sedikitnya orang dengan kategori tersebut di wilayah ini. Sementara
itu, kelompok buruh tani adalah mereka-mereka yang pendapatan utamanya berasal dari luar
pertanian dan tidak lebih dari Rp.500 per tahun. Untuk para petani diberikan tanah kering
(ladang) 2 ha atau 1 ha sawah untuk memulai penghidupannya, sementara untuk buruh tani,
mendapatkan 0.2 ha ladang. Atas tanah-tanah tersebut diberlakukan sewa.18

pengusaha perkebunan, seperti AVRO dipersatukan dengan DPV (Deli Planters Vereeniging) pada tahun 1952.
Demikian pula apa yang terjadi pada pusat-pusat penelitian yang dikelola oleh AVROS. Pada tahun 1957 APA
(Algemeene Proeffstation de AVROS) dikelola oleh Gabungan Perusahaan Perkebunan Sumatera (GAPPERSU)
diubah namanya menjadi RISPA (Research Institute of Sumatera Planters Association). Lebih jauh lihat,
Inventaris Arsip AVROS, 1892-1985. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 2009. Hal.viii.
16
Dari Memorandum yang dikeluarkan oleh AVROS, ternyata dalam prakteknya Pemerintah meminta
pengusaha perkebunan untuk melepaskan lagi 13.000 ha, sehingga secara riil di lapangan, pengusaha
perkebunan mempergunakan 112.000 ha. Lihat Memorandum AVROS tertanggal 22 Pebruari 1954.
17
Penyerahan kembali kepada pemerintah atas tanah-tanah tersebut pada ayat a dan b tidak berlaku pada
bahagian-bahagian tanah di atas mana ada terdapat bangunan-bangunan berikut pekarangannya dari pihak
perkebunan yang sangat diperlukan olehnya seperti rumah-rumah, kantor-kantor, gedung-gedung, bangsalbangsal, jalan-jalan air, jalan kenderaan, tanaman jati dan bambu yang belum diduduki rakyat pada tangga
ketetapan ini. Lihat Surat Keputusan Gubernur Sumatera Utara No.36/K/Agr. tertanggal 28 September 1951.
18
Van de Waal, Op.cit. Hal.73. Dalam Pengumuman Penjelasan Mengenai Pembagian Tanah yang dikeluarkan
oleh Jawatan Penerangan Propinsi Sumatera Utara, tertanggal 21 Agustus 1951, tidak ada disebutkan bahwa
kelompok buruh tani mendapatkan 0.2 ha. ladang. Butir keempat dari Pengumuman tersebut berbunyi: “Tanahtanah konsesi yang kembali kepada negara itu dibagi-bagikan baik kepada petani yang dipindahkan dari tanahtanah yang telah ditunjuk menjadi tanah-tanah perusahaan tembakau, maupun kepada petani-petani yang telah
menduduki bahagian-bahagian tanah konsesi yang kembali kepada negara.”

Berikut perkiraan kebutuhan tanah untuk tani dan buruh tani sebelum 1 Januari tahun 1953
(dalam hitungan hektar)19
Wilayah

Tani
Buruh Tani
Sawah
Ladang
Ladang
Deli Bawah
8.242
3.056
11.544
Deli Atas
8.429
3.921
1.011
Serdang Bawah 8.278
8.451
1.720
Serdang Atas
1.385
Langkat Bawah 3.473
113
138
Langkat Atas
2.006
7.199
3.486
Tanah
yang 28.428 x 1 = 24.125 x 2 = 17.899 x 0.2 =
dibutuhkan
28.428
48.250
3.580

Jumlah Total
22.842
13.361
16.449
1.385
3.724
12.691
80.258

Angka-angka di atas ternyata hanya berujung pada pemetaan belaka dan sulit untuk
direalisasikan. Pertama karena, persoalan tanah ini kemudian menjadi isu atau alat perjuangan
politik dari kelompok-kelompok tani dan kesulitan-kesulitan dari Kantor Penyelenggara
Pembagian Tanah untuk melakukan konversi atas tanah-tanah perkebunan tembakau eks asing
tersebut. Alasan lainnya menyangkut kevakuman kekuasaan (gezagvacuum) yang dirasakan
saat itu, sehingga sangat sulit untuk memastikan pemberlakuan keputusan Menteri Dalam
Negeri tersebut. Kondisi inilah yang kemudian dilihat sebagai dasar awal “okupasi liar” yang
dimaksudkan perusahaan perkebunan dan pemerintah berkembang dan memasuki satu zaman
pergolakan baru yang kelak akan mempresentasikan situasi zaman waktu itu dan implikasi
sesudahnya.
Satu zaman atau situasi yang baru itu adalah dibawanya sejumlah petani yang dituduhkan
telah melakukan okupasi liar itu ke ranah hukum formal yang tak pernah mereka kenal dan
duga sebelumnya. Kasus pertama yang disidangkan di Pengadilan Negeri Medan oleh Hakim
yang bernama Batara Harahap pada tanggal 25 Maret 1952 adalah kasus 26 tani (anggota
BTI) yang dituduh telah melakukan okupasi liar di kawasan Sei Agul, Medan. Sidang pertama
ini dipenuhi oleh sekitar 150 tani lainnya sebagai bagian dari solidaritas.20 Salah satu dialog
antara hakim dengan ke 26 tani tersebut antara lain:
“Apakah benar, tanah yang terletak di afdeeling I Helvetia telah
diusahakan; dari mana mendapatkan tanah tersebut, dan apakah ada
mendapatkan izin untuk mengusahakan tanah tersebut. Dan apakah kalian
mengetahui Keputusan Gubernur Sumatera Utara tertanggal 28 September
1951 No.36/K/Agr. terkait pengembalian tanah-tanah perkebunan kepada
para pengusaha perkebunan.”
Jawaban dari para petani kira-kira bebunyi:

19

Ibid.
Harian Rakyat, 26 Maret 1952. Tidak jelas kemudian apakah ke 26 tani tersebut dikenakan hukuman, namun
yang pasti pada persidangan terhadap 30 tani di PN Medan (persidangan ketiga) dan juga dipimpin oleh Hakim
Batara Harahap, keseluruhan petani divonnis dengan hukuman 2 hari kurungan dan denda Rp.10 untuk tiap
petani karena mengusahakan tanah tanpa izin di kawasan Helvetia. Para petani sangat terkejut karena dalam
pandangan mereka bahwa sejak zaman kolonial Hindia Belanda , kapitulasi Jepang dan zaman kemerdekaan, tak
satu jengkalpun tanah itu milik Belanda. Namun dengan vonnis tersebut sadarlah mereka sekarang bahwa zaman
sudah berubah dan tanah-tanah tersebut jelas diperuntukkan untuk perusahaan dengan modal besar.
20

“Tanah tersebut telah kami usahakan sejak zaman pendudukan Jepang
sampai era pemerintahan republik Indonesia. Setelah evakuasi kami
mengusahakan kembali tanah tersebut. Tentu saja kami tidak meminta izin
atas tanah yang telah kami usahakan terdahulu. Dan demi menghindarkan
kelaparan anak dan istri kami, tanah itu kami usahakan lagi, selain itu kami
tidak bisa menunggu terlalu lamu keputusan pemerintah terkait tanah
tersebut”
Satu keputusan yang menguatkan posisi petani terkait tuduhan okupasi liar, lahir dari tangan
Mahkamah Agung, di atas sebuah kasasi yang diajukan oleh sejumlah petani di daerah Lubuk
Pakam. Putusan bernomor Reg.No.33K/Kr./1954 memberikan kemenangan pertama kepada
para petani yang mengajukan kasasi atas putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi di Lubuk
Pakam tertanggal 8 Desember 1953 (Reg. No.2091/1953 P.L). R.Wirjono Prodjodikoro yang
menjadi hakim ketua dalam perkara ini menilai bahwa para petani tersebut memiliki hak
untuk mengolah atau mengusahakan tanah-tanah eks perkebunan tersebut dengan alasan:
bahwa tanah-tanah yang dulunya merupakan tanah konsesi, namun saat di mana para petani
mulai mengusahakannya tidak berlaku lagi. Hal ini dikarenakan waktu konsesi telah berakhir
tatkala para petani mulai mengusahakan lahan tersebut. Selain itu Majelis yang beranggotakan
hakim R, Soekardono dan R.Soetjotjokro mengatakan bahwa walaupun perusahaan
perkebunan tersebut memiliki hak, namun itu hanyalah hak atas objek yang fungsinya sudah
tidak sesuai lagi dengan aturan yang ada.21
Proses kriminalisasi terhadap para petani terus berlansung dalam periode ini dan sesudahnya.
Di salah satu harian di Belanda, Algemeen Handelsblad, Amsterdam termuat satu informasi
singkat tentang hukuman yang dijatuhkan terhadap 21 petani:
“Onwettige Occupatie in Deli Berecht”
Voor de Landraad van Medan hebben in de afgelopen twee weken wegens
onwettige occupatie van ondernemingsgronden
21 Indonesische
landbouwers te rechtsgestaan. De beklaagden zijn verordeeld tot
voorwaardelijke gevangenisstraffen van drie tot zes maanden onder
voorwarde, dat zij de onwettig geoccupeerde gronden verlaten. Deze
beklaagden zijn tot occupatie van de betrokken gronden overgegaan na 20
April 1954. Binnenkort zullen vijftig andere gevalen worden berecht.22
Keresahan di kalangan penguasa pekebunan sangat terlihat dengan jelas dari surat menyurat
yang yang terjadi antara AVROS sebagai wakil pengusaha perkebunan dengan Gubernur
Sumatera Utara. Dalam salah satu suratnya, Ketua AVROS, Mr. R.Nolen, menyerang
Gubernur dengan mengatakan bahwa berbagai instruksi dan keputusan Gubernur yang
ditujukan kepada para pemimpin dan polisi setempat tidak dihiraukan di dalam prakteknya
oleh para petani (Zoals in onze brief van 19 Februari j.l.nr.326 moeten wij helaas thans
wederom constateren, dat de instructies die Uwerzijds onlangs aan de plaatselijke
ambtenaren van bestuur en politie zijn gegeven om pal en perk te stellen aan de occupatie
excessen, nog immer nagenoeg geen effect sorteren).23
AVROS menunjukkan tingkat kepentingan perusahaan-perusahaan perkebunan di Sumatera
Utara bagi ekonomi negara dan penduduk wilayah ini dengan mengatakan bahwa luas tanah
21

Salinan Putusan Kasasi MA Reg.No.33K/Kr./1954.
Algemeen Handelsblad, Amsterdam, 8 Juli 1954.
23
Penggalan Surat AVROS kepada Gubernur Sumatera Utara tertanggal 4 Maret 1954.
22

yang diserahkan dengan konsesi dan erfpacht kepada kebun-kebun di Sumatera Utara ialah
kira-kira 90.000 ha atau hanya 7% dari seluruh luas Propinsi yang besarnya 12.500.000 ha.
Selain itu, sekitar 550.000 (± 12%) dari jumlah penduduk 4.500.000 jiwa bermata
pencaharian di kebun-kebun serta penduduk-penduduk yang mendapatkan keuntungan tidak
langsung dari keberadaan kebun yakni perusahaan-perusahaan dagang, pengangkutan,
pelayaran dan perkebunan). Ditaksir sekitar seperempat dari penduduk Sumatera Utara
mendapat penghidupan dari perkebunan. Dan di tahun 1952, nilai keuntungan negara dari
eksport perkebunan mencapi 1,9 milyard rupiah (sekitar 18% dari total dari keuntungan
eksport Indonesia dalam tahun itu, yang berjumlah 10,4 milyard rupiah).24
Negara dengan mempertimbangkan soal kesulitan bahan pangan akibat tindakan yang
dilakukan Jepang sebelumnya dan blokade musuh ( agresi I dan II Belanda), akhirnya pada 12
Juni Tahun 1954 mengeluarkan UU Darurat No.8 Tahun 1954 tentang Penyelesaian Soal
Pemakaian Tanah Perkebunan oleh Rakyat. UU Darurat tersebut menunjukkan sebuah
pembelaan terhadap rakyat tanpa ingin merendahkan pengusaha perkebunan yang telah
menjalankan usaha tersebut selama ini. Pasal 6 ayat 2 nya berbunyi: “Di dalam mengambil
keputusan tersebut di atas (soal-soal perundingan pengusaha dan rakyat, pen) harus
diperhatikan kepentingan rakyat yang bersangkutan, kepentingan penduduk di daerah tempat
letaknya perusahaan kebun dan kedudukan perusahaan kebun itu dalam perekonomian negara
pada umumnya.”
UU Darurat ini menetapkan tanggal 12 Juni 1954 sebagai standfast 25untuk mengakhiri
kemelut tanah-tanah yang diusahakan rakyat di atas tanah-tanah perkebunan asing. Itu artinya
adalah bahwa segala tanah-tanah yang diduduki, diambil, dikerjakan, diusahakan, digarap
oleh rakyat sebelum tanggal tersebut dianggap sebagai pendudukan tetap oleh rakyat. 26 Di
kalangan pengusaha perkebunan, cara-cara dengan menggeser-geser waktu standfast ini
adalah bagian dari maksud-maksud jahat para petani untuk terus memperbesar tanah yang
diduduki dengan bantuan Pemerintah.27 Kekesalan para pengusaha perkebunan ini
ditunjukkan juga dengan cara menggugat ketidakkonsistenan polisi dan pengadilan dalam
menindak para petani yang menduduki tanah-tanah perkebunan tersebut. Intensifitas petani
dalam pendudukan tanah-tanah perkebunan melalui strategi menanam tanaman bahan-bahan
makanan, utamanya padi, pisang dan jagung, dalam prakteknya dibiarkan saja oleh kepolisian.
Padahal menurut AVROS, seharusnya polisi sudah bisa melakukan tindakan pengamanan
untuk meluasnya pendudukan tanah-tanah tersebut.28

24

AVROS, Memorandum tentang Masalah Tanah di Sumatera Timur. Medan 22 Pebruari 1954. Hal.1
Setidaknya telah terjadi beberapa kali standfast sebelum tanggal 12 Juni 1954. Pertama adalah tanggal 24 Juni
1948, melalui staatsblad 1948/10 yang menyatakan bahwa pengambilan tanah pemerintah serta tanah kebun
secara tidak sah diancam dengan hukum. Seterusnya 22 Mei 1950, dalam maklumat bersama No.248/1950 yang
ditandatangani oleh Wali Negara Sumatera Timur dan Gubernur Militer dan kemudian 27 Agustus 1953, sebagai
janji yang diberikan oleh serikat-serikat tani pada waktu itu untuk tidak lagi mengambil tanah-tanah perkebunan.
Secara keseluruhan standfast yang dilakukan tidak dipatuhi dan pendudukan tanah-tanah perkebunan terus
berlangsung.
26
Pasal 1 ayat 3 UU Darurat No.8 tahun 1954, yang kelak diubah lagi dengan UU Darurat No.1 Tahun 1956
merumuskan pengertian “Memakai Tanah Perkebunan” dengan kalimat: “ialah dengan nyata-nyata menduduki,
mengerjakan atau menguasai sebidang tanah perkebunan atau mempunyai tanaman, rumah atau bangunan
lainnya di atasnya, dengan tidak dipersoalkan apakah rumah atau bangunan itu ditempati atau dipergunakan
sendiri atau tidak.”
27
Lihatlah Dokumen Prosedure Standfast dalam Masa yang Lampau Berkenaan dengan Pengambilan Lahan.
Tanpa tahun dan tempat.
28
AVROS. Memorandum tentang Pengadilan para Pengambil Tanah Secara Tidak Sah berdasarkan UU
darurat 1954 No.8. Medan, 26 Nopember 1955.
25

Atas dasar UU Darurat tersebut, pemerintah menyusun pokok-pokok konsepsi tentang
penyelesaian soal pembagian tanah perkebunan Sumatera Timur. Butir 5 dari dokumen itu
menjadi inti pengaturan yang menyatakan bahwa rakyat yang ada di tanah-tanah yang akan
dilangsungkan menjadi tanah perkebunan diharuskan pindah. Sementara di dalam butir 7
pokok-pokok konsepsi tersebut disebutkan bahwa rakyat yang menduduki tanah perkebunan
di Sumatera Timur didaftar dan di bagi menjadi tiga golongan, yakini: pertama, mereka yang
ingin bertani; kedua, meeka yang ingin pindah ke tepi jalan dan ketiga, mereka yang ingin
pindah ke kota-kota. Untuk golongan yang pertama akan di beri tanah pertanian masingmasing 2 hektar sedang golongan kedua dan ketiga diberi pembagian tanah masing-masing
setengah hektar dan 400 m² luasnya. Khusus untuk golongan rakyat penunggu, akan diberi
masing-masing kelamin 2 hektar, sepanjang mereka berhak menurut syarat-syarat termaktub
dalam akte konsesi dan juga orang-ornag yang diharuskan pindah berdasarkan pokok-pokok
konsepsi ini.29
Implementasi dari pokok-pokok konsepsi penyelesaian itu ternyata juga dalam prakteknya
tidak menggembirakan, terutama di mata para pengusaha perkebunan. Hal ini disebabkan
tidak ada tindakan yang tegas dari aparat hukum untuk mencegah dan mengambil tindakan
terhadap ekspansi tanah yang dilakukan oleh mereka-mereka yang tersu masuk merengsek
tiap jengkal lahan dari perkebunan. Selain itu disebutkan juga bahwa proses-proses hukum di
antara proses verbal dan penjatuhan hukum oleh pengadilan juga berlangsung sangat lama,
sementara mereka-mereka yang menguasai lahan tersebut masih terus dibiarkan menguasai
lahan yang mereka duduki.30
AVROS mencoba menunjukkan secara konkrit fakta meluasnya pengambilan lahan di beberap
tempat di dalam dan luar Deli pasca dikeluarkannya UU Darurat No. 8 tahun 1954 seperti
yang tertera di bawah ini31:
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Nama Kebun
Bah Lias
Laras
Rambutan
Mata Pao
Bekalla
Medan Estate
Bandar Klippa
Kwala Namu
Pagar Marbau

Luas
6794 ha
8461 ha
13.330 ha
3636 ha
9164 ha
1529 ha
3642 ha
4282 ha
5032 ha

Yang Diduduki Rakyat
2316 ha
3531ha
6344 ha
1680 ha
4094 ha
727 ha
1369 ha
2502 ha
1872 ha

Hukuman-hukuman yang diberikan kepada mereka-mereka yang dipandang pengusaha
perkebunan telah mengambil dan menduduki lahan-lahan perkebunan secara tidak sah
tersebut juga dianggap sangat ringan sekali. Walaupun UU Darurat menetapkan untuk
29

Kelak materi dari pokok-pokok pikiran inilah yang kemudian dimasukkan sebagi inti pengaturan Keputusan
Bersama No. 1 tahun 1955 yang dibuat oleh Menteri Agraria, Menteri Pertanian, Menteri Perekonomian,
Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kehakiman. Lihat Keputusan Bersama No 1/1955 tertanggal 30 Juni 1955.
30
Satu contoh bisa disebutkan di sini yakni perkara pidana terhadap pengambil tanah secara tidak sah yang
bertempat tinggal di Tadjong Balai Sidomuljo, kebun Bekiun. Perkara pidana mana diperiksa di Pengadilan
Negeri Binjai. Pengambilan tanah secara tidak sah dimaksud dilaporkan kepada Asisten-Wedana di Kwala pada
tanggal 14 September 1954, akan tetapi sidang Pengadilan pertama di Binjai baru dilangsungkan pada tanggal 4
April 1955 dan seterusnya sampai sidang terakhir 5 Desember 1955 tanpa mengambil suatu keputusan. Lihat
Memorandum AVROS tentang Pelaksanaan UU Darurat 1954 No.8. tanggal 6 September 1955: Hal.1.
31
Ibid Hal.2.

pengambilan tanah secara tidak sah, hukuman maksimumnya tiga bulan, namun pada
umumnya diberikan hukuman bersyarat atau denda rendah berjumlah setinggi-tingginya
RP.10.- (Sepuluh Rupiah) ataupun hukuman penjara yang tidak lebih dari tujuh hari. Selain itu
diperkenankan pula pemotongan bagi tahanan sementara, maka orang-orang yang dihukum
dapat pula langsung pulang ke rumah dari sidang-sidang pengadilan.32
Berikut beberapa contoh putusan yang diinventarisir AVROS untuk menunjukkan betapa
ringannya hukuman yang diberikan kepada orang-orang yang dituduhkan telah melakukan
pendudukan atau pengambilan lahan secara tidak sah33:
NO.

Pengadilan
Negeri

Tanggal

1.

Medan

12-7-1955

Jumlah
Pengambil
Tanah
11 orang

2.

Medan

12-7-1955

7 orang

3.

Medan

25-10-1955

72 orang

4.
5.

Medan
Lubuk
Pakam

10-11-1955
----10-1955

110 orang
180 orang

6.

Medan

22-11-1955

155 orang

Keputusan

Kebun

1 bulan hukuman penjara
bersyarat dengan waktu
percobaan 6 bulan
1
Minggu
hukuman
penjara bersyarat dengan
waktu percobaan 6 bulan
Tahanan 5 hari (potong
waktu ditahan 5 hari) dan
pengosongan tanah yang
dikuasai
Denda Rp.10.Hukuman bersyarat 10
hari
dengan
waktu
perconbaan 3 bulan
6 hari hukuman penjara
dengan potong waktu di
tahan enam hari

Bandar
Klippa
Saentis
Bandar
Klippa
Helvetia
Batangkwis
Bandar
Klippa

Dalam satu balasan surat yang diminta oleh Inspektur Kepala Jawatan Pertanian Rakyat
Propinsi Sumatera Utara, tertanggal 7 April 1955, AVROS mengurai secara lebih rinci tentang
tanah-tanah yang diduduki di seluruh areal perkebunan yang menjadi tanggungjawab
koodinasi mereka. Untuk Kebun-kebun tanaman keras, angka totalnya saja yang disebutkan di
sini, per tanggal 27 Agustus 1953, ada sejumlah 56.673,81 ha yang diduduki tanpa izin, per
tanggal 12 Juni 1954, 63.558,81 ha dan per tanggal 28 pebruari 1955 meningkat menjadi
69.160,69 ha, Sementara lahan yang diizinkan diduduki sebesar 4.621,50 ha. Keseluruhan
luas itu ada di 145 Kebun.34
Sementara untuk kebun-kebun tembakau, berdasarkan lampiran surat tersebut tercatat
peningkatan yang signifikan di 27 kebun tembakau atas tanah-tanah yang diduduki tanpa
izin.Per tanggal 27 Agustus 1953, tercatat angka 16.946 ha tanah yang diduduki tanpa izin,
kemudian bergerak menjadi 18.607, 70 per tanggal 12 Juni 1954 dan kemudian tercatat
mejadi 21.012,50 ha di tanggal 28 Pebruari 1955. Tanah-tanah perkebunan tembakau di
32

AVROS. Memorandum 26 November 1955, Op.cit. Hal.2.
AVROS, Lampiran Beberapa Contoh dari Tuntutan Hukum Berkenan dengan Pengambilan Tanah Secara
dengan Tidak Sah. Hal. 1.
34
Surat AVROS kepada Tuan Paduka Inspektur Kepala Jawatan Pertanian Rakyat Propinis Sumatera Utara,
tertanggal 7 April 1955, No.556.
33

Kebun Bekalla per tanggal 28 Pebruari 1955, tercatat sebagai kebun yang tanahnya paling
luas diduduki, yakni sebesar 4050 ha, menyusul dibawahnya adalah Tanjung Morawa Kiri,
sebesar 1899 ha dan Pagar Marbau, 1833 ha. Sementara yang terkecil adalah Kebun
Klumpang dengan 7,7 ha., Bulu Cina 15 ha. dan Klambir Lima dengan luas 60 ha.35
Menyusul diundangkannya UU darurat No.8 tahun 1954 serta mempertimbangkan kerumitankerumitan dalam perundingan yang dilakukan wakil pengusaha, pemerintah dan wakil-wakil
dari rakyat yang menduduki tanah, dikeluarkanlah Keputusan Bersama No.1/1955 antara
Menteri Agraria, Pertanian, Perekonomian, Dalam Negeri dan Kehakiman seperti yang telah
disinggung sedikit dalam catatan kaki di halaman-halaman sebelumnya. Dan atas Surat
Keputusan Bersama itu, Menteri Agraria mengeluarkan SK. No.102/Ka/1955 tentang
pembentukan Kantor Reorganiasai pemakaian Tanah Sumatera Timur, yang bekerja langsung
di bawah Kementerian Agraria dan SK No.104/Ka/1955 tentang Tugas dan Susunan Badan
Pembantu Reorganisasi Pemakaian tanah Sumatera Timur yang secara langsung akan bertugas
untuk melaksanakan pembagian tanah perkebunan dan pemindahan rakyat di daerah Sumatera
Timur.
Tidak cukup dengan membentuk Kantor seperti yang termaktub dalam alinea di atas,
Pemerintah pada tanggal 2 Oktober 1956 mengundangkan UU Darurat No 1 Tahun 1956
tentang Perubahan dan Tambahan UU Darurat No. 8 Tahun 1954 tentang Penyelesaian Soal
Pemakaian Tanah Perkebunan Oleh Rakyat. Kekhawatiran yang berlebih atas ekspansi lahan
perkebunan oleh rakyat tercermin dalam Memori Penjelasan UU Darurat tersebut.
“Pada waktu yang akhir-akhir ini pemakaian tanah-tanah perkebunan oleh
rakyat dengan tidak seizin pengusahanya telah meningkat dengan tingkatan
yang membahayakan suatu cabang produksi yang penting bagi negara dewasa
ini dan sebagai akibatnya membahayakan pula perekonomian negara pada
umumnya dan keuangan negara pada khususnya. Sebagai misal dapatlah
dikemukakan pemakaian tanah-tanah perkebunan tembakau di Sumatera
Timur, yang hingga beberapa bulan yang lalu masih terbatas pada tanah-tanah
yang disediakan untuk ditanami tembakau. Tetapi sejak bulan Juli yang lalu
pemakaian tanah-tanah itu tambah meluas, bahkan ditujukan pula pada tanahtanah persemaian bibit untuk tanaman tahun 1957. Hingga saat itu pemakaian
oleh rakyat tersebut, meskipun berarti mengurangi luasnya tanaman tembakau,
akan tetapi tidaklah amat mempengaruhi jalannya produksi. Tetapi apa yang
terjadi dalam bulan-bulan terakhir ini, khususnya yang mengenai tanah-tanah
persemaian tersebut, benar berarti suatu tikaman maut terhadap produksi
bahan yang penting bagi keuangan negara itu, apabila meluasnya pemakaian
tanah-tanah tersebut selanjutnya tidak dapat diberantas dan dicegah segera.”36
Kriminalisasi terhadap rakyat semakin diperkuat dengan UU Darurat ini. Ancaman hukuman
yang semula ditetapkan selama-lamanya 3 bulan hukuman kurungan atau denda sebanyak35

Ibid. Hitungan yang pasti tentang jumlah tanah-tanah yang diduduki untuk seluruh wilayah kebun dituliskan
oleh P.Rozendaal, Acting Head of The Financial Economic Dept AVROS untuk menjawab permintaan Francis
J.Galbraith, American Consul di Medan. Per Kabupaten beliau menulis: Langkat, 7.732 ha, Deli/Serdang,
38.151 ha, Simelungun, 20.346 ha, Asahan, 14.791 ha, Labuhan Batu, 2.112 ha. Total 85.132 ha. Sementara
jumlah penduduk yang menduduki lahan tersebut tidak ditemukan data yang pasti. Catatan yang diberikan
Gubernur Sumatera Utara ada sekitar 120.000 jiwa, sementara estimasi AVROS adalah antara 40 – 50.000
keluarga berbasis estimasi penggunaan lahan 0.6 ha per keluarga. Lihat lebih lanjut Surat dari AVROS kepada
American Consulate No.1080, tertanggal 25 Juli 1955 dengan judul: Data about Illegal Occupation.
36
Lihat Memori Penjelasan UU Darurat No. 1 tahun 1956, Bagian Penjelasan Umum.

banyaknya Rp.500.- diperberat masing-masing menjadi 6 bulan hukuman kurungan dan denda
Rp.5000.-. Demikian juga pasal-pasal mengenai perintah pengosongan ternyata perlu pula
disempurnakan, karena dalam prakteknya perintah-perintah pengosongan itu terpaksa harus
ditangguhkan untuk waktu yang lama, akibat dimintakannya banding, kasasi oleh yang
bersangkutan. Pasal 15 UU Darurat ini memberikan kekuasaan kepada Jaksa dan Polisi untuk
mendukung pengosongan atas tanah-tanah tersebut terhitung 14 hari sejak keputusan tersebut
diambil oleh hakim.
Kantor Berita Antara menelisik adanya aksi-aksi yang diorganisir dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan terkait pengambilan tanah oleh Rakyat dalam masa ini. Mereka
mencatat sejak berlakunya UU Darurat No.8 tahun 1954 telah diduduki secara tidak sah
seluas setidaknya 8.000 ha tanah kebun. Sejak tanggal 1 Januari 1956 – selama jangka waktu
4 bulan – dari tanah-tanah kebun tembakau saja telah nyata-nyata dipakai seluas 4.000 ha oleh
pengambil-pengambil tanah. Kini orang tidak ragu-ragu lagi menebang atau membakar
tanaman-tanaman jati dan hutan-hutan bambu. Dibentuk kiranya panitia-panitia untuk
“membagi-bagi tanah konsesi”; markas-markas besarnya memasang papan-papan nama dan
surat-surat-surat edaran dikirimkan kepada calon-calon pengambil tanah. Bahkan para pekerja
di kota-kota pun dikerahkan untuk turut melakukan aksi-aksi pengambilan tanah secara besarbesaran. Para pengambil tanah yang telah habis menguras tanahnya, menjual tanah-tanah yang
bersangkutan (beserta kartu pendaftaran menurut mana mereka digolongkan sebagai
“pengambil tanah lama”) kepada tengkulak-tengkulak dan seterusnya menggabungkan diri
dalam kumpulan-kumpulan pengambil tanah. Orang-orang yang berkedudukan lebih baik
menyuruh orang lain mewakili dirinya dalam aksi-aksi pengambilan tanah.37
Hanya sekitar enam tahun saja sejak bulan Juni 1951, tanah seluas 125.000 ha yang khusus
dialokasikan untuk tanaman tembakau berkurang sampai setengahnya, atau sekurangkurangya tinggal sekitar 65.000 ha saja. Menurut Noelen, jumlah tersebut benar-benar tidak
mencukupi untuk melanjutkan produksi tembakau –Deli pada taraf dewasa ini, terlebih oleh
karena harus turut diperhatikan bahwa dari tanah ini terdapat banyak tanah-tanah cadangan
(tarra) seperti: emplasemen kebun, jalan umum dan jalan kebun, tempat-tempat kediaman
(kolonisasi) buruh (rumah-rumah, kebun-kebun, ladang), hutan bamboo dan hutan jati,
saluran pengeluaran air, tanah-tanah pelindung (di pinggir sungai), tanah-tanah yang tidak
dapat dipergunakan untuk pertanian.38
Gugatan atau setidaknya penolakan atas pemberlakuan UU Darurat No.1 Tahun 1956 datang
dari sejumlah organisasi tani. Satu kesepakatan bersama, tertanggal 6 Maret 1957 yang
ditandatangani oleh organisasi PETANI, STII, Badan Perjuangan Rakyat Penunggu, SAKTI,
PB.RTI, BP4.R, GTI dan Gaperta menyatakan bahwa: a. mereka tidak turut serta sehubungan
dengan konsepsi BTI/VDM; b. Tidak dapat menerima penyerahan tanah secara langsung atau
tidak langsung oleh Pemerintah kepada sesuatu Organisasi Tani; c. dalam penyelesaian tanah
37

Antara, 16 Juni 1956.
Surat Mr.R.Noelen, Ketua AVROS kepada Menteri Agraria tertanggal 1 Agustus 1956. Beberapa contoh
dituliskan dalam surat tersebut untuk menunjukkan luasan tanah yang masih bias dipakai untuk perkebunan
tembakau. Misalnya, kebun Rotterdam (VDM) dari 2800 ha, masih dapat dipergunakan 600 ha. Kebun Timbang
Langkat (VDM), dari tanah konsesei seluas 2246, masih apat dipergunakan 846 ha. Kebun Glugur (VDM), dari
1672 ha, yang masih dapat dipergunakan 72 ha. Kebun Kwala Namu (Senembah), dari 4870 ha, yang masih
dapat digunakan 270 ha, dan Kebun Pagar Marbau (Senembah) dari 4424 ha, yang masih dapat dipergunakan
sebesar 124 ha. Di kebun Tuntungan para pengambiltanah tidak sah telah menabur padi pada tanah hitam
(zwarte stof gronden), yang memberikan bahan tanaman bagi kebun-kebun Medan Estate, Deli Tuwa dan
Mariendal. Dengan demikian maka adalah tidak mungkin untuk memberikan ketiga kebun tersebut bahan
tanaman, terkecuali tanah-tanah tersebut di Tuntungan dibebasakan.
38

di Sumatera Timur supaya dilaksanakan tuntutan-tuntutan Organisasi Tani dengan
dibentuknya satu Badan KRPT, dimana di dalamnya duduk organisasi-organisasi tani yang
representatif dan d. tetap menolak berlakunya UU Darurat No.1 Tahun 1956.39
Akhir tahun 1957, satu panitia interdepartemental untuk urusan penyelesaian sengketa tanah
perkebunan di Sumatera Timur dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Perdana Menteri
tertanggal 17 Oktober 1957 No.390/PM/1957. Laporan dari panitia inilah kelak yang
dijadikan salah satu sandaran utama dibentukna Badan Pelaksana Penyelesaian Sengketa
Tanah Perkebunan Sumatera Timur, yang menunjuk Gubernur Sumatera Utara sebagai Ketua
merangkap anggota, dan R.Moh.Aliwasitohardjo, selaku Kepala Kantor Reorganisasi
Pemakaian Tanah sebagai wakil ketua merangkap anggota dan bendahara. Dua dari empat
tugas utama dari Badan pelaksana tersebut adalah membuat rencana penetapan areal baru bagi
perusahaan ke bun di Sumatera Utara dan membuat rencana penyelesaian masalah-masalah
dalam bidang perburuhan dan masalah-masalah pendudukan tanah perkebunan oleh Rakyat.40
Usaha-usaha melalui perundingan dan seterusnya yang terus dijalankan oleh pemerintah
ternyata tidak pernah mencapai keberhasilan yang memuaskan di lapangan. Bersamaan
dengan kegagalan Konprensi Meja Bundar dan Nasionalisasi Perkebunan Belanda, Militer
masuk dan mengambil peran untuk terlibat dalam penyelesaian pendudukan lahan-lahan
perkebunan menurut cara yang mereka fahami yakni apa yang disebut dengan “tindakan
militer”. Sejak dikeluarkannya Surat No.K-1457/1958 dari, Let.Kol.Djamin Gintings, Ketua
Penguasa Perang Daerah Swatantra I Sumatera Utara, terbukalah jalan bagi militer untuk
menjadi bagian penting dalam konflik tanah-tanah perkebunan di wilayah ini. Butir C dari
Surat tersebut menyebutkan:”Dengan tidak bermaksud untuk menutup jalan penyelesaian
secara musyawarah antara semua pihak yang bersangkutan, supaya Komandan mengambil
tindakan yang tegas sesuai dengan peraturan yang berlaku terhadap setiap penggarap liar
tanah perkebunan yang dengan perbuatannya nyata-nyata mengancam atau membahayakan
kelangsungan hidup perkebunan yang bersangkutan.41
Setidaknya persoalan pendudukan lahan perkebunan tidak pernah diselesaikan secara tuntas
sampai tahun 1960 dan sesudahnya. Perpindahan penguasaan lahan-lahan eks konsesi
perkebunan yang semulanya adalah tanah-tanah Kesultanan di Sumatera Timur dan
masyarakat adatnya ke tangan pemerintah Indonesia mendapat tambahan amunisi dengan
masuknya rakyat dari berbagai tempat di wilayah ini untuk menduduki dan menguasai lahan
konsesi eks perkebunan asing. Kesulitan beras selepas Kapitulasi Jepang menstimulir
pendudukan tersebut.
B. Kaaphout in Landbouwconcessie (Pemotongan Kayu di Lahan Konsesi)
Diskusi tentang pemotongan kayu di lahan-lahan konsesi perlu dibentangkan dalam konteks
ini setidaknya dengan dua alasan.

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

ANTARA IDEALISME DAN KENYATAAN: KEBIJAKAN PENDIDIKAN TIONGHOA PERANAKAN DI SURABAYA PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG TAHUN 1942-1945 Between Idealism and Reality: Education Policy of Chinese in Surabaya in the Japanese Era at 1942-1945)

1 29 9

Implementasi Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance pada PT. Mitra Tani Dua Tujuh (The Implementation of the Principles of Good Coporate Governance in Mitra Tani Dua Tujuh_

0 45 8

Improving the Eighth Year Students' Tense Achievement and Active Participation by Giving Positive Reinforcement at SMPN 1 Silo in the 2013/2014 Academic Year

7 202 3

Improving the VIII-B Students' listening comprehension ability through note taking and partial dictation techniques at SMPN 3 Jember in the 2006/2007 Academic Year -

0 63 87

An Analysis of illocutionary acts in Sherlock Holmes movie

27 148 96

The Effectiveness of Computer-Assisted Language Learning in Teaching Past Tense to the Tenth Grade Students of SMAN 5 Tangerang Selatan

4 116 138

The correlation between listening skill and pronunciation accuracy : a case study in the firt year of smk vocation higt school pupita bangsa ciputat school year 2005-2006

9 128 37

Existentialism of Jack in David Fincher’s Fight Club Film

5 71 55

Phase response analysis during in vivo l 001

2 30 2