BAB I PENDAHULUAN - Perubahan Fungsi dan Makna Katana Shinken Setelah Perang Dunia II

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

  Manusia adalah mahluk sosial yang dalam kesehariannya berinteraksi dengan sesamanya dengan menghasilkan apa yang disebut dengan peradaban.

  Semenjak terciptanya peradaban dan seiring dengan terus berkembangnya peradaban tersebut, melahirkan berbagai macam bentuk kebudayaan dan kebudayaan tersebut menghasilkan suatu karya (artefak) hasil kebudayaan dimana karya tersebut bertujuan membantu peradaban dalam hal kehidupan sosial, bekerja maupun dalam mempertahankan dan merebut sesuatu. Ahli antropologi Cateora mengemukakan salah satu komponen kebudayaan merupakan kebudayaan material yang mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret. Hal ini berarti kebudyaan selalu berubah dan menyesuaikan diri dengan masyarakat sesuai kebutuhan situasi pada zamannya

  Pedang sebagai hasil karya suatu kebudayaan tidak pernah lepas dari pola hidup masyarakat suatu bangsa, baik itu dalam hal nilai fungsi maupun makna.

  Dalam kebudayaan Jepang, jika dibandingkan dengan senjata lainnya, pedang terkhususnya “Katana Shinken” biasanya memiliki nilai kebanggaan, penghormatan yang paling tinggi dalam masyarakat Jepang. Hal tersebut dikarenakan nilai historis, unsur mistis, proses ribuan tahun peralihan pedang dan sejarah bangsa Jepang yang tidak bisa lepas dari pedang itu sendiri. Penyebutan

  

Katana , dari Kunyomi (cara baca Jepang ) dari kanji 刀, sesungguhnya memiliki makna dao yang berarti pisau/belati di China. Pengertian Katana menurut kamus Jepang-Indonesia “Kenji Matsura” adalah pedang (hal 449).

  Dapat dikatakan katana secara umum dan shinken Secara khusus sangat mendunia dewasa ini. Hal tersebut dapat dilihat dari berbagai macam film animasi anak yang memakai Katana Shinken di dalam animasi tersebut, maupun tersebar luasnya ilmu beladiri pedang Jepang di seluruh dunia yang menggunakan shinken sebagai alat utamanya seperti Shinkendo (眞劍道) yang memiliki arti jalan pedang sesungguhnya dan mempelajari cara penggunaan shinken dalam pertempuran

  

Samurai , Iaido ( 居 合 道 ) merupakan beladiri pedang yang mengutamakan

  kelembutan mengayun pedang, memasukkan dan mencabut pedang dari sarung, dan membersihkan darah dari pedang , maupun Kenjutsu (剣術) ilmu pedang yang mempelajari penggunaan pedang shinken zaman feudal. Katana Shinken yang dahulu merupakan bentuk peralihan dari tachi (pedang panjang) menjadi

  

katana shinken dikarenakan efisiensi dalam penggunaannya, mengalami evolusi

  yang jauh dari arti awal pembuatannya dan menjadi suatu hasil budaya yang memiliki nilai mistis, seni maupun fungsional.

  Sejarah pedang Jepang dibagi menjadi beberapa bagian zaman pedang itu sendiri, diantaranya adalah jokoto 上古刀(Pedang purba/Ancient swords, sekitar tahun 900 Masehi), koto 古刀(Era pedang awal/old swords, sekitar tahun 900– 1596), Shinto 元新刀 (Era pedang baru/ new swords, pada tahun 1596–1780),

  shinshinto 新々刀 (Evolusi dari era Shinto/new new swords, pada tahun 1781–

  1876), gendaito 現代刀(pedang modern-Gunto-modern swords, pada tahun 1876–

  1945), dan shinsakuto 新作刀 (Pedang Jepang masa kini/newly made swords 1953–sekarang)

  Secara umum bagi para praktisi pedang maupun pembuat pedang di Jepang, pedang di Sebut “Shin ken (真剣) ” apabila memiliki klasifikasi seperti berikut ini :

  1. Pedang jepang / gaya jepang dengan nagasa (panjang bilah) lebih dari 2 shaku (60,6 cm)

2. Mengalami penempaan baik itu secara tradisional maupun modern

  (massal) 3. Mengikuti pakem yang ada, seperti bentuk bilah, shinogi zukuri, dll.

  Katana merupakan kata umum yang menunjuk pada pedang Jepang

  pada masa sekarang. Pada zaman perang saudara (Sengoku Jidai) katana merupakan pedang yang paling penting bagi samurai. Bisa dikatakan pada zaman tersebut muncul kepercayaan roh seorang samurai ada pada pedang atau katananya. Sehingga walaupun seorang samurai tersebut mati di medan pertempuran ataupun dikarenakan sakit rohnya tetap ada pada katana Shinken tersebut.

  Penggunaan tachi ( 太 刀 ) yang dalam kamus besar bahasa Jepang- Indonesia adalah pedang dalam bagian Pedang Jepang (日本刀) hanya berakhir sampai periode akhir nanbokucho. Tachi merupakan pedang yang lebih panjang dari pada shinken, hal tersebut dikarenakan penggunaan tachi difokuskan pada pertempuran dalam skala jumlah manusia yang banyak, dan digunakan untuk mencapai jarak tempur yang jauh, dalam segi bentuk ukuran tachi bisa mencapai antara 85 centimeter sampai dengan 1 meter sedangkan shinken lebih kepada pertarungan duel dengan jarak dekat. Sebelum beralih kepada penggunaan shinken,

  

tachi mengalami kendala dalam pertarungan jarak dekat, oleh sebab itu dibuatlah

uchigatana (打刀) yang merupakan pedang dengan ukuran 70 centimeter dan

  dibuat sebagai pendamping tachi yang dapat digunakan dalam pertarungan jarak dekat. Pada periode akhir muromachi terjadi masa peralihan pedang, peralihan tersebut terjadi karena perubahan taktik perang yang tadinya kalveleri (naik kuda) berubah menjadi infantri (jalan) sehingga penggunaan katana shinken dianggap lebih praktis dalam pertarungan jarak dekat. Efisiensilah yang menjadi alasan utama dalam evolusi pedang

  Shin ken 真剣 sendiri artinya pedang sungguhan (live blade/pedang tajam).

  Secara terminologi, semua pedang yang memenuhi kaidah sebagai pedang Jepang walau dibuat secara modern dan fungsional (tajam) bisa disebut sebagai shinken.

  Namun orang Jepang memandang tinggi budaya mereka sendiri, bagi mereka Shinken yang dibuat oleh Tosho 刀 匠 yang merupakan pekerjaan dengan kemampuan membuat bilah pedang dari biji besi menjadi pedang asli dan merupakan orang Jepang yang benar-benar dapat dianggap sebagai Shinken, dan bagi orang Jepang segala bentuk pedang buatan pabrik maupun Tosho yang bukan asli orang Jepang adalah sampah atau biasa disebut pisau besar.

  Katana Shinken yang dapat ditemui di dunia saat ini banyak sekali mengalami perubahan fungsi dan makna dalam perjalanan sejarah Pedang Jepang.

  Dari fungsi awalnya yang merupakan sekedar alat perang, menjadi jalan hidup seorang samurai, kemudian menjadi barang antik dikarenakan roh leluhur didalamnya hingga di zaman setelah Perang Dunia ke 2 dijadikan sebagai salah satu benda yang sampai saat ini dijadikan salah satu kebanggaan masyarakat Jepang.

  Pedang sebelum perang dunia ke2 dianggap sebagai senjata paling muktahir dan membanggakan. Hal ini dikarenakan harga pembuatan pedang yang tinggi dan hanya orang terterntu saja yang dapat memilikinya. Katana Shinken yang masih bertahan sampai saat ini, penggunaannya sudah memiliki berbagai macam evolusi bentuk, fungsi dan makna Katana Shinken itu sendiri. Dengan masuknya senjata api ke Jepang maka muncullah formasi baru yaitu pasukan senapan. Maka katana shinken mengalami perubahan untuk dapat menembus baju besi yang lebih kuat yang sesungguhnya baju tersebut digunakan untuk menahan peluru. Sehingga pada abad ke 16 tachi yang pemakaiannya semakin berkurang akhirnya ditinggalkan.

  Hingga akhirnya pada zaman meiji dimana penggunaan katana shinken digantikan oleh katana gunto, politik pada masa itu melarang penggunaan dan membawa katana shinken di publik. Untuk menggantikan peran katana shinken pemerintahan Meiji menggantikan posisi Tosho (ahli pedang) dengan pabrik dan menciptakan “Gunto” (katana pabrik) yang dipakai oleh prajurit Jepang pada saat itu. Gunto yang di buat pada zaman meiji terus menerus di produksi bahkan sampai perang dunia ke-2. Seluruh prajurit bersenjata api sudah pasti menggunakan gunto disebelah kiri pinggangnya. Sejak restorasi Meiji tersebut banyak Tosho yang menutup usahanya dan beralih pekerjaan sehingga lambat laun teknik pembuatan katana pun terkikis zaman. Hingga akhirnya setelah era perang dunia ke-2 pemerintah Jepang menganggap tradisi pembuatan shinken tradisional akan menjadi punah sehingga memberi keleluasaan keturunan tosho untuk membuat pedang kembali. Akan tetapi Katana Shinken pada zaman setelah perang dunia ke-2 banyak mengalami perubahan dalam pandangan masyarakat Jepang, baik fungsi dan maknanya.

  Untuk mengetahui lebih dalam lagi tentang Katana Shinken pada masyarakat Jepang setelah perang Dunia II penulis memfokuskan tulisan ini tentang Katana Shinken pada masyarakat Jepang setelah perang Dunia II sebagai skripsi.

  Dengan demikian penulis membuat judul skripsi ini “ Fungsi Dan Makna Katana Shinken pada masyarakat Jepang setelah perang Dunia II ”.

  1.2 . Perumusan masalah

  Pada tahun 1946 sampai dengan tahun 1953 hanya 60 Shinken yang ditempa untuk keperluan upacara pembaharuan kuil Shinto yaitu Ise Jingū (伊勢

  神宮) yang didedikasikan kepada dewi Amaterasu. Upacara keagamaan tersebut sudah berlangsung lebih dari 1000 tahun lamanya menggunakan pedang buatan Tosho. Selama tahun 1946 sampai dengan tahun 1953 tersebut persekutuan penempa pedang hanya diberikan izin untuk membuat pedang untuk keperluan upacara-upacara keagamaan saja, bahkan dalam pembuatan pedang tosho diberikan syarat hanya membuat pedang dari jaman kuno yaitu “Jokoto” dimana pedang tersebut tidak melengkung seperti shinken pada umumnya. Pada tahun 1953 peraturan larangan pembuatan dan pemakaian shinken dihapuskan. Shinken kembali dibuat oleh orang-orang Jepang yang memiliki garis keturunan para tosho dan ditempa hanya untuk sebuah objek seni, satu hal yang berbeda namun lebih baik dari pada di zaman Meiji. Shinken setelah perang dunia ke 2 tetap dibuat dengan pengetahuan warisan para tosho dengan fungsi shinken yang melegenda akan kekuatan, nilai seni dan nilai spiritual didalamnya, walaupun bukan lagi sebuah senjata yang efektif dan mengalami perubahan yang dianggap sebuah alat pertempuran menjadi barang seni yang mengandung nilai spiritual. Dari hal tersebut dan latar belakang yang telah penulis kemukakan di atas, ada 2 masalah yang akan dikaji dalam skripsi ini adalah :

1. Apa fungsi Katana Shinken pada masyarakat Jepang setelah Perang Dunia II ? 2.

  Apa makna Katana Shinken pada masyarakat Jepang setelah Perang Dunia II ?

  1.3. Ruang Lingkup Pembahasan

  Untuk menghindari batasan yang terlalu luas sehingga dapat mengaburkan penelitian, maka penulis mencoba membatasi ruang lingkup penelitian pada kajian mengenai fungsi dan makna Katana Shinken pada masyarakat Jepang setelah Perang Dunia II. Penulis sebelum memaparkan uraian pembahasan pada bab III akan menjelaskan terlebih dahulu sejarah pedang Jepang tiap zamannya, pengertian katana shinken, dan konsep tosho. Hal ini diharapkan dapat memberi kejelasan gambaran mengenai fungsi dan makna katana shinken dalam masyarakat Jepang setelah perang dunia ke II.

  1.4. Tinjauan Pustaka Dan Kerangka Teori

1.4.1. Tinjauan Pustaka

  Kebudayaan adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Menurut Kroeber dan Kluckhohn(1952) mengumpulkan berpuluh-puluh defenisi yang dibuat ahli-ahli antropologi dan membaginya atas 6 golongan, yaitu : (1) depskriptif, yang menekankan unsur-unsur kebudayaan, (2) Historis, yang menekankan bahwa kebudayaan itu diwarisi secara kemasyarakatan, (3) Normatif, yang menekankan hakekat kebudayaan sebagai aturan hidup dan tingkah laku, (4) Psikologis, yang menekankan kegunaaan kebudayaan dalam penyesuaian diri kepada lingkungan, pemecahan persoalan, dan belajar hidup, (5) Struktural, yang menekan sifat kebudayaan sebagai suatu system yang berpola dan teratur, (6) Genetika, yang menekankan terjadinya kebudayaan sebagai hasil karya manusia (P.W.J.Nababan,1984 : 49).

  Herskovits dan Malinowski ml ) mengemukakan, bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah ini disebut dengan Cultural-Determinism. Herskovist memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganik.

  Menurut Eppink ml ), Kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial,religious, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistic yang menjadi cirri khas suatu masyarakat.

  Sedangkan menurut Tylor kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hokum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat”.

  Dari berbagai defenisi tersebut, dapat diperoleh pengertian bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi system idea tau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain- lain, yang kesemuannya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat

1.4.2. Kerangka Teori

  Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian akan disorot (Nawawi, 2001:39-40). Tidak mungkin melakukan penelitian tanpa teori dan tidak mungkin mengembangkan suatu teori tanpa penelitian.

  Teori merupakan suatu kumpulan konstruk atau konsep,definisi dan proposisi yang menggambarkan fenomena secara sistematis melalui penentuan antara variabel dengan tujuan untuk menjelaskan fenomena alam (Kerlinger, 1986:279). Teori diperlukan sebagai landasan dalam melihat suatu fenomena.

  Teori menyediakan konsep-konsep yang relevan, asumsi-asumsi dasar yang bisa digunakan, membantu dalam mengarahkan pertanyaan penelitian yang dapat diajukan dan membantu dalam memberikan makna terhadap data. Mengacu kepada judul yang diangkat ada 2 teori yang digunakan penulis yaitu teori Fungsionalisme Struktural dan teori Semiotik Pragmatik Arsitektur. Didalam pendekatan ini kita dapat melakukan penguraian data-data yang diperoleh secara kronologis.

  Teori Fungsionalisme Struktural mengutarakan bahwa masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri dari bagian dan struktur-struktur yang saling berkaitan dan saling membutuhkan keseimbangan, fungsionalisme struktural lebih mengacu pada keseimbangan (Robert K. Merton, 1937)

  

   html ). Teori ini menilai bahwa semua sistem yang ada di dalam masyarakat pada hakikatnya mempunyai fungsi tersendiri. Suatu struktur akan berfungsi dan berpengaruh terhadap struktur yang lain. Maka dalam hal ini, semua peristiwa pada tingkat tertentu seperti peperangan, bentrok, bahkan sampai kemiskinan pun mempunyai fungsi tersendiri yang dapat dihasilkan melalui suatu sebab dan akibat yang pada dasarnya dibutuhkan dalam masyarakat.

  Terciptanya suatu benda kebudayaan tidak terlepas dari kondisi sosial atau kehidupan masyarakat. Demikian halnya dengan Katana Shinken terbentuk karena pengaruh banyak faktor yang saling berkaitan didalam kehidupan masyarakat Jepang. Karena Katana Shinken sendiri mengalami evolusi penggunaan dikarenakan faktor politik, peperangan dan kebutuhan didalam masyarakat Jepang maka penelitian akan fungsi Katana Shinken dapat dilakukan dengan teori Fungsionalisme Struktural

  Semiotik pragmatik arsitektur menguraikan tentang asal usul tanda, kegunaan tanda oleh yang menerapkannya, dan efek tanda bagi yang menginterpretasikan, dalam batas perilaku subyek. Dalam arsitektur, semiotik prakmatik merupakan tinjauan tentang pengaruh arsitektur (sebagai sistem tanda) terhadap manusia dalam menggunakan bangunan. Semiotik Pragmatik Arsitektur berpengaruh terhadap indera manusia dan perasaan pribadi (kesinambungan, posisi tubuh, otot dan persendian). Hasil karya arsitektur akan dimaknai sebagai suatu hasil persepsi oleh pengamatnya, hasil persepsi tersebut kemudian dapat mempengaruhi pengamat sebagai pemakai dalam menggunakan hasil karya arsitektur. Dengan kata lain, hasil karya arsitektur merupakan wujud yang dapat mempengaruhi pemakainya.

  Semiotik pragmatik arsitektur oleh Peirce dalam T.Christommy (2001:119) mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni sign, object, dan interpretant. Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri dari Simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan), Ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik) dan Indeks (tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat). Sedangkan acuan tanda ini disebut objek. Objek atau acuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda. Interpretant atau pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda.

  Benda hasil kebudayaan selain dari segi fungsi tentu mempunyai makna bagi masyarakat. Katana Shinken merupakan benda kebanggaan masyarakat Jepang yang mempunyai berbagai makna yang berubah-ubah didalamnya, merupakan benda suci, memiliki nilai spiritual, maupun benda dengan nilai kebanggaan tinggi bagi Jepang. Dari berbagai macam makna yang berevolusi tersebut maka penelitian akan makna Katana Shinken dapat dilakukan menggunakan teori Semiotik Pragmatik Arsitektur.

  Untuk menganalisa masalah yang diangkat dalam skripsi ini dengan melihat fungsi dan makna pada katana shinken pada masyarakat Jepang maka penulis menggunakan pendekatan Fungsionalisme Struktural dan Semiotik Pragmatik Arsitektur. .

  1.5 .Tujuan dan Manfaat Penelitian

  1.5.1. Tujuan Penelitian

  1. Untuk mendeskripsikan fungsi Katana Shinken pada masyarakat Jepang setelah Perang Dunia II

  2. Untuk mengetahui makna Katana Shinken pada masyarakat Jepang setelah Perang Dunia II

  1.5.2. Manfaat Penelitian

  1. Penulisan ini diharapkan dapat menjadi referensi ataupun memberikan informasi bagi masyarakat secara umum maupun mahasiswa yang berminat terhadap Katana Shinken.

  2. Dengan adanya penulisan ini diharapkan Katana Shinken dapat semakin dikenal oleh masyarakat luas sehingga membuat masyarakat luas tersebut tertarik mengetahui dan mempelajari hasil budaya Jepang khususnya tentang Katana Shinken.

1.6. Metode penelitian

  Menurut Djajasudarma (1993:3), metode penelitian merupakan alat, prosedur, dan teknik yang dipilih dalam melaksanakan penelitian dalam menggunakan data. Metode memiliki peran yang sangat penting, metode merupakan syarat atau langkah-langkah yang dilakukan dalam sebuah penelitian.

  Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian fungsi dan makna Katana Shiken pada masyarakat jepang setelah perang Dunia II adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini bersifat deskriptif, bertujuan memperjelas secara tepat sifat-sifat individu, keadaan gejala atau kelompok tertentu atau untuk menentukan frekwensi adanya hubungan tertentu antara suatu gejala lain dalam masyarakat. Dalam hal ini sedikit banyaknya pengetahuan tentang masalah yang bersangkutan (Koentjraningrat,1991:29).

  Sedangkan menurut Hadari dan Mimi martini (1994:176), penelitian yang bersifat kualitatif yaitu rangkaian kegiatan atau proses menjaring data atau informasi yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam kondisi aspek/bidang kehidupan tertentu pada objeknya. Penelitian ini tidak mempersoalkan sampel dan populasi sebagaimana dalam penelitian Kuantitatif.

  Dalam metode ini, penulis memanfaatkan sumber-sumber yang didapatkan dari koleksi pribadi, perpustakaan USU, toko buku elektronik, buku milik praktisi beladiri pedang Jepang, serta jurnal-jurnal maupun artikel-artikel yang dimuat di majalah maupun internet sebagai sumber data.

Dokumen yang terkait

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Akuntansi Akrual dan Penerapannya di Sektor Publik : Suatu Agenda Pembaruan di Indonesi

0 0 9

Lampiran 1 Populasi dan Sampel NO NAMA PERUSAHAAN KRITERIA SAMPEL1 2 3 4 5 Basic Industry 1 AKKU √

0 0 19

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory) - Pengaruh Good Corporate Governance, Kualitas Auditor Dan Profitabilitas Terhadap Manajemen Laba Pada Perusahaan Manufaktur Di Bursa Efek Indonesia

0 17 30

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Good Corporate Governance, Kualitas Auditor Dan Profitabilitas Terhadap Manajemen Laba Pada Perusahaan Manufaktur Di Bursa Efek Indonesia

0 0 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Perataan laba - Pengaruh Kepemilikan Kas, Kepemilikan Manajerial, Ukuran Perusahaan, Financial Leverage, dan Profitabilitas terhadap Praktik Perataan Laba pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di Bursa

0 0 19

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Pengaruh Kepemilikan Kas, Kepemilikan Manajerial, Ukuran Perusahaan, Financial Leverage, dan Profitabilitas terhadap Praktik Perataan Laba pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (Per

0 0 10

Pengaruh Kepemilikan Kas, Kepemilikan Manajerial, Ukuran Perusahaan, Financial Leverage, dan Profitabilitas terhadap Praktik Perataan Laba pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (Periode 2011-2013)

0 0 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penduduk 2.1.1 Pengertian - Proyeksi Jumlah Penduduk dengan Menggunakan Model ARIMA di Kabupaten Nias Utara tahun 2014

0 1 33

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Proyeksi Jumlah Penduduk dengan Menggunakan Model ARIMA di Kabupaten Nias Utara tahun 2014

0 0 7

BAB II TINJAUAN UMUM KATANA SHINKEN - Perubahan Fungsi dan Makna Katana Shinken Setelah Perang Dunia II

0 0 23