BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory) - Pengaruh Good Corporate Governance, Kualitas Auditor Dan Profitabilitas Terhadap Manajemen Laba Pada Perusahaan Manufaktur Di Bursa Efek Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory)

  Perspektif agency theory merupakan dasar yang digunakan untuk memahami corporate governance. Menurut Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan

  “agency relathionship as a contract under which one or more person (the principals) engange another person (the agent) to perform some service on their behalf which involves delegating some decision making authority to the agent)”. Ungkapan lain agency theory adalah sebuah kontrak

  antara manajer (agent) dengan pemilik (principal). Sebuah kontrak yang dimaksud adalah menyatakan bahwa seorang atau lebih (prinsipal) meminta kepada orang lain (agen) untuk melakukan jasa tertentu demi kepentingan prinsipal dengan mendelegasikan otoritas kepada agen dan terjadi pemisahan antara kepemilikan dan kontrol perusahaan. Teori agensi memiliki asumsi bahwa tiap-tiap individu semata mata termotivasi oleh kepentingan dirinya sendiri sehingga menimbulkan konflik kepentingan antara principal dan agent.

  Manajer yang bertindak sebagai pengelola dalam suatu perusahaan diberi kewenangan untuk mengurus jalannya perusahaan dan mengambil keputusan atas nama pemilik. Oleh karena kewenangan itu, maksimalisasi kekayaan pemegang saham terkadang dapat disubordinasi untuk berbagai macam tujuan manajerial lainnya. Seperti misalnya, manajer mungkin memiliki tujuan yang perusahaan besar cepat berkembang maka akan meningkatkan status mereka sendiri, menciptakan lebih banyak kesempatan untuk manajer tingkat rendah sampai menengah dan meningkatkan keamanan kerja mereka karena suatu pengambilalihan cenderung tidak ramah. Seperti yang diketahui bahwa dengan kewenangan yang dimiliki tersebut, manajer tidak selalu bertindak yang terbaik untuk kepentingan pemilik, karena adanya perbandingan kepentingan (conflict

  

of interest ). Berbagai riset yang berhubungan dengan teori ini memfokuskan

  perhatian pada bagaimana agar sistem perjanjian kontrak kompensasi baik secara tertulis maupun tidak bisa mencapai keseimbangan.

  Manajer dapat didorong untuk melakukan tindakan terbaik demi kepentingan pemegang saham melalui insentif, hambatan dan hukuman.

  Bagaimanapun juga metode ini efektif hanya jika pemegang saham dapat mengamati semua tindakan yang diambil oleh manajer. Untuk mengurangi masalah moral mengambil untung semata, pemegang saham harus menanggung biaya agen. Biaya agensi (agency cost) dapat diartikan sebagai biaya yang ditanggung oleh pemegang saham untuk mendorong manajer dalam memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham daripada berperilaku mementingkan diri sendiri. Ada tiga jenis biaya utama dari biaya agen:(1) pengeluaran untuk memantau kegiatan manajerial, seperti biaya audit, (2) pengeluaran untuk struktur organisasi dengan cara yang membatasi perilaku manajerial yang tidak di inginkan, seperti menunjuk anggota luar dewan direksi atau restrukturisasi bisnis perusahaan unit dan hirarki manajemen dan pembatasan, seperti persyaratan untuk suara pemegang saham pada permasalahan tertentu, membatasi kemampuan manajer untuk mengambil tindakan yang meningkatkan kekayaan pemegang saham.

2.1.2Good Corporate Governance

  Good corporate Governance mulai terdengar di Indonesia sejak tahun 1997, dimana pada saat itu Indonesia mengalami krisis yang berkepanjangan.

  Penerapan Prinsip Good Corporate Governance dalam dunia usaha di Indonesia merupakan suatu kebutuhan dalam menjalankan aktivitas bisnis, agar perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia dapat terus bersaing dan bertahan dalam persaingan pasar globalisasi yang semakin kompetetif sehingga perusahaan dapat mencapai tujuan. Menerapkan good corporate

  

governance (gcg) salah satu cara yang dapat digunakan dalam meningkatkan

  kinerja suatu perusahaan/organisasi. Penerapan Good Corporate Governance merupakan pedoman bagi komisaris dan direksi dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakan dengan dilandasi moral yang tinggi, kepatuhan kepada peraturan perundang

  • –undangan yang berlaku serta kesadaran akan adanya tanggung jawab sosial perseroan terhadap pihak yang berkepentingan (stakeholders) secara konsisten.

  Organization for Economic Co-operation and Development (OECD, 2004)

  dan FCGI (2001) mendefinisikan corporate governance sebagai seperangkat peraturan yang menetapkan hubungan antara pemegang saham, pengurus, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya sehubungan dengan hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan.

  Semakin maraknya tuntutan publik yang berkembang sejalan dengan kasus-kasus penyimpangan korporasi yang terjadi di seluruh dunia selama beberapa decade terakhir ini, yaitu agar bisnis dijalankan secara bersih dan bertanggungjawab. Alasannya publik melihat bahwa penyimpangan- penyimpangan korporasi itu seolah telah menjadi culture dunia usaha. Publik pun akan menuntut dunia usaha sebagai pihak yang selalu berperan aktif untuk mewujudkan bisnis sesuai dengan good corporate governance yang bersifat adil (fairness), transparansi (tranparancy), akuntabilitas (accountability) dan responsibilitas (responbility).

  1. Keadilan (Fairness) Keadilan merupakan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian dan perundangan-undangan yang berlaku, perlindungan terhadap hak seluruh pemegang saham, termasuk pemegang saham minoritas (minority shareholder), untuk memperoleh informasi secara tepat waktu dan teratur, memberikan suara dalam rapat pemegang saham, memilih direksi dan komisaris dan pembagian laba perusahaan.

  2. Transparansi (Transparancy) Transparansi merupakan pengungkapan (disclouser) setiap kebijakan atau aturan yang (akan) diterapkan perusahaan, sebab kepercayaan investor dan efisiensi pasar sangat tergantung dari pengungkapan kinerja perusahaan secara

  3. Akuntabilitas (Accountability) Akuntabilitas yaitu kejelasan fungsi, struktur, sistem dan pertanggungjawaban organ perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif.

  4. Responsibilitas (Responsibility) Responsibility merupakan tanggung jawab perusahaan untuk memenuhi

  hukum dan perundang-undangan yang berlaku, termasuk ketentuan mengenai lingkungan hidup, perlindungan konsumen, perpajakan, ketenagakerjaan, larangan monopoli dan praktik persaingan yang tidak sehat, kesehatan dan keselamatan kerja dan peraturan lain yang mengatur kehidupan perusahaan dalam menjalankan aktivitas usahannya.

  5. Independensi (Independency) Independensi (kemandirian) yaitu suatu keadaan dimana perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manajemen yang tidak sesuai dengan peraturan dan perundang- undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.

2.1.2.1Komite Audit

  Belajar dari krisis yang lalu, yang muncul disebabkan gelombang skandal korporasi pengadopsian prinsip-prinsip GCG sekaligus penerapannya disuatu negara menjadi sesuatu yang urgen. Salah satu unsur kelembagaan dalam konsep GCG yang diharapkan mampu memberikan kontribusi tinggi dalam level penerapannya adalah Komite Audit. Dalam audit tidak diterangkan secara gamblang, tetapi pada intinya menyatakan bahwa komite audit adalah suatu badan yang berada dibawah dewan komisaris independen yang sekurang-kurangnya minimal satu orang anggota komisaris dan dua orang ahli yang bukan merupakan pegawai BUMN yang bersangkutan yang bersifat mandiri baik dalam pelaksnaan tugasnya maupun pelaporannya dan bertanggung jawab langsung kepada komisaris atau dewan pengawas.

  Menurut Forum for Corporate Governance (FCGI) mengemukakan bahwa tugas pokok dari komite audit pada prinsipnya adalah membantu dewan komisaris independen dalam melakukan tugas fungsi pengawasan atas kinerja perusahaan secara menyeluruh. Hal tersebut terutama berkaitan dengan review sistem pengendalian intern perusahaan, memastikan kualitas laporan keuangan dan meningkatkan efektivitas fungsi audit. Keberadaan komite audit yang cukup independen dapat membantu dalam mengurangi aktivitas manajemen laba. Pada umumnya komite audit memiliki tanggungjawab pada tiga bidang :(1) laporan keuangan (financial

  

reporting), (2) tata kelola perusahaan (corporate governance), (3)

pengawasan perusahaan (corporate control).

  Komite audit memiliki wewenang :(1) menyelidiki semua aktivitas dalam batas ruang lingkup tugasnya, (2) menyelidiki semua aktivittas dalam batas ruang lingkup tugasnya, (3) mencari informasi yang relevan dari setiap karyawannya dan (4) mengusahakan saran hukum dan profesional lainnya dibatasi oleh fungsi mereka sebagai alat bantu dewan komisaris sehingga tidak memiliki otoritas eksekusi apapun kecuali untuk hal spesifik yang telah memperoleh hak kuasa eksplisit dari dewan komisaris.

  Keanggotaan komite audit itu sendiri biasanya terdiri dari dua hingga tiga orang anggota. Dipimpin oleh seorang komisaris independen.

  Seperti komite pada umumnya, komite audit yang beranggotakan cenderung sedikit dapat bertindak lebih efisien. Akan tetapi, komite audit beranggotakan sedikit menyimpan kelemahan yakni minimnya ragam pengalaman anggota. Agar mampu bekerja efektif, komite audit dibantu staff perusahaan dan auditor eksternal. Komite juga harus memiliki akses langsung kepada stand dan penasehat hukum.

2.1.2.2 Proporsi Dewan Komisaris Independen

  Istilah dan keberadaan Komisaris Independen baru muncul setelah terbitnya Surat Edaran Bapepam Nomor : SE03/PM/2000 dan Peraturan Pencatatan Efek Nomor 339/BEJ/07-2001. Menurut ketentuan tersebut perusahaan publik yang tercatat di Bursa Wajib memiliki beberapa anggota dewan komisaris yang memenuhi kualifikasi sebagai komisaris independen. Keberadaan Komisaris independen ini rupanya berhubungan dengan ketentuan penyelenggaraan pengelolaan perusahaan yang baik (GCG), antara lain:

   Jumlah komisaris independen adalah sekurang-kurangnya 30% dari seluruh jumlah anggota komisaris

   Keharusan perusahaan memiliki Sekretaris Perusahaan (corporate

  secretary)

  Dalam peraturan Bapepam-LK Nomor. IX.I.5 disebutkan bahwa komisaris Independen adalah anggota komisaris yang :(1) berasal dari luar emiten atau perusahaan publik, (2) bukan merupakan orang yang bekerja pada emiten dan perusahaan publik dan mempunyai wewenang dan tanggungjawab untuk merencanakan, memimpin, atau mengendalikan serta mengawasi kegiatan emiten atau perusahaan publik dalam enam bulan terakhir, (3) tidak mempunyai saham baik langsung maupun tidak langsung pada emiten atau perusahaan publik, (4) tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan emiten atau perusahaan publik, (5) tidak mempunyai hubungan usaha baik langsung maupun tidak langsung yang berkaitan dengan kegiatan usaha dan (6) tidak mempunyai hubungan lain yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen.

  Dalam rangka memberdayakan fungsi pengawasan dewan komisaris, keberadaan komisaris independen sangat diperlukan. Secara langsung keberadaan komisaris independen menjadi penting, karena di dalam praktek sering ditemukan transaksi yang mengandung benturan kepentingan yang mengabaikan kepentingan pemegang saham publik serta stakeholder lainnya, terutama pada perusahaan di Indonesia yang menggunakan dana masyarakat didalam pembiayaan usahannya.

  Komisaris independen dapat berfungsi untuk mengawasi jalannya praktek-praktek transparansi, pengungkapan, kemandirian, akuntabilitas dan praktek keadilan menurut ketentuan yang berlaku disuatu sistem perekonomian (negara) sesuai dengan kaedah-kaedah yang tercantum dalam mekanisme Good Corporate Governance. Secara rincinya tugas dari dewan komisaris independen adalah :(1) mengawasi Direksi perusahaan dalam mencapai kinerja dalam bussines plan dan memberikan nasehat kepada Direksi mengenai penyimpangan pengelolaan usaha yang tidak sesuai dengan arah yang ingin dituju oleh perusahaan, (2) memantau penerapan dan efektivitas dari praktek Good Corporate Governance.

2.1.2.3 Kepemilikan Manajerial

  Kepemilikan manajerial adalah kepemilikan saham oleh manajemen (direktur dan manajer) perusahaan yang diukur dengan presentase sejumlah saham yang dimiliki oleh manajemen. Para pemegang saham yang mempunyai kedudukan di manajemen perusahaan baik sebagai kreditur maupun sebagai dewan komisaris disebut sebagai kepemilikan manajerial

  

(managerial ownership). Adanya kepemilikan saham oleh pihak manajemen

  akan menimbulkan suatu pengawasan terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil oleh manajemen perusahaan. Pemegang saham bertujuan untuk memaksimumkan kekayaannya dengan melihat nilai sekarang dari arus kas yang dihasilkan oleh investasi perusahaan, sedangkan manajer bertujuan pada peningkatan pertumbuhan dan ukuran perusahaan. Kepemilikan saham manajerial akan membantu penyatuan kepentingan antara manajer dengan manajemen dengan pemegang saham, sehingga manajer ikut merasakan langsung manfaat dari keputusan yang diambil dan ikut pula menanggung kerugian sebagai konsekuensi dari pengambilan keputusan yang salah.

  Namun tingkat kepemilikan manajerial yang terlalu tinggi juga dapat berdampak buruk terhadap perusahaan. Dengan kepemilikan yang tinggi, manajer mempunyai hak voting yang tinggi sehingga manajer mempunyai posisi kuat untuk mengendalikan perusahaan, hal ini dapat menimbulkan masalah pertahanan, dalam arti adanya kesulitan bagi pemegang saham eksternal untuk mengendalikan tindakan manajer. Akan tetapi kepemilikan manajerial berhasil menjadi mekanisme good corporate governance yang dapat mengurangi konflik kepentingan antara manajer dengan berbagai pihak yang berkepentingan.

  Meckling (1976) mengatakan bahwa peningkatan kepemilikan manajerial dalam perusahaan mendorong manajer untuk menciptakan kinerja perusahaan secara optimal dan memotivasi manajer bertindak secara hati-hati, karena mereka ikut menanggung konsekuensi atas tindakannya.

  Struktur kepemilikan manajerial dapat dijelaskan melalui dua sudut pandang, yaitu pendekatan keagenan dan pendekatan ketidakseimbangan informasi. Pedekatan keagenan menganggap struktur kepemilikan manajerial sebagai suatu instrument atau alat yang digunakan untuk mengurangi konflik keagenan diantara beberapa klaim terhadap sebuah perusahaan. Pendekatan ketidakseimbangan informasi memandang mengurangi ketidakseimbangan informasi antara insider dengan outsider melalui pengungkapan informasi didalam perusahaan.

2.1.3 Kualitas Auditor

2.1.3.1 Pengertian Audit

  Report of the commite on Basic Auditing Concepts of the American Accounting Assocation (Accounting Review , Vol 47) dalam Boynton,

  Johnson, dan Kell (2002:5) memaparkan defenisi audit sebagai suatu proses sistematis untuk memperoleh serta mengevaluasi bukti secara objekktif mengenai asersi-asersi kegiatan dan peristiwa ekonomi, dengan tujuan menetapkan derajat kesesuaian antara asersi-asersi tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya serta penyampaian hasil-hasilnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan.

  Defenisi lainnya mengenai audit dipaparkan Arens, Elder dan Beasly (2006:4) yaitu:

  “Audit is accumulation and evaluation of evidence about information to determine and report on the degree of correspondence between the information and established criteria. Audit should be done by a competent, independent person.”Jenis-jenis audit dapat dipaparkan menurut

  sifat dasar dari setiap jenis audit sebagai berikut.

1. Audit Laporan Keuangan(Financial Statements Audit) 2.

  Audit Kepatuhan(Compliance Audit) 3. Audit Operasional(Operationals Audit)

2.1.3.2 Pengertian Kualitas Auditor

  Kualitas auditor menjadi perhatian publik, setelah terjadinya kasus- kasus atau skandal-skandal keuangan baik diluar maupun di dalam negeri.

  Skandal-skandal keuangan tersebut melibatkan perusahaan-perusahaan besar dan KAP besar. Kualitas auditor menjadi harapan dari pengguna jasa audit terutama publik atau pemegang saham yang menaruh harapan tinggi bahwa laporan keuangan yang sudah di audit oleh KAP merupakan laporan keuangan yang bebas dari salah saji material, baik yang disebabkan oleh kekeliruan atau kecurangan. Kenyataannya dengan banyaknya kasus keuangan yang terjadi mengakibatkan kualitas auditor dipertanyakan.

  Menurut DeAngelo (1981) mendefinisikan kualitas auditor sebagai kemungkinan auditor dapat mendeteksi dan melaporkan kesalahan atau kecurangan dalam sistem informasi akuntansi klien dan mengungkapkan bahwa kualitas auditor tergantung pada dua faktor yaitu : (1) kemampuan auditor untuk menguji akun-akun dan mengidentifikasi kesalahan atau anomali melalui kompetensi teknisnya dan (2) objecktivitas melalui independensinya. Menurut Dahlan (2009), kualitas auditor adalah suatu kemungkinan dimana auditor akan menemukan dan melaporkan kesalahan yang ditemukannya dan kebebasan dianggap dapat dikompromikan apabila auditor tidak melaporkan kesalahan tersebut. Penemuan pelanggaran merupakan ukuran kualitas auditor yang berkaitan dengan pengetahuan, pengalaman dan kemapuan auditor tersebut. Pelaporan pelanggaran tersebut dan dorongan ini bergantung pada kebebasan yang dimiliki oleh auditor.

  Dimensi kualitas auditor yang paling sering digunakan dalam penelitian adalah ukuran Kantor Akuntan Publik (KAP) karena nama baik perusahaan (KAP) dianggap merupakan gambaran yang paling penting.

2.1.4 Profitabilitas

  Laba merupakan indikator kinerja yang dilakukan manajemen dalam mengelola kekayaan perusahaan. Menurut akuntansi yang dimaksud laba akuntansi adalah perbedaan antara revenue yang direalisasi yang timbul dari transaksi pada periode tertentu dihadapkan dengan biaya-biaya yang dikeluarkan pada periode tersebut. Defenisi tentang laba itu mengandung lima sifat berikut.

  1. Laba akuntansi didasarkan pada transaksi yang benar-benar terjadi 2.

  Laba akuntansi didasarkan pada postulat “periodik” laba itu 3. Laba akuntansi didasarkan pada prinsip revenue yang memerlukan batasan tersendiri tentang apa yang termasuk hasil

  4. Laba akuntansi memerlukan perhitungan terhadap biaya dalam bentuk biaya historis yang dikeluarkan perusahaan untuk mendapatkan hasil tertentu.

  5. Laba akuntansi didasarkan pada prinsip matching artinya hasil dikurangi biaya yang diterima/dikeluarkan dalam periode yang sama.

  Laba berfungsi untuk mengukur efektivitas bersih dari sebuah usaha bisnis.

  Profitabilitas atau kemampuan memperoleh laba adalah suatu ukuran dalam presentase yang digunakan untuk menilai sejauh mana perusahaan mampu menghasilkan laba pada tingkat yang diterima. Angka profitabilitas dinyatakan antara lain dalam angka pendapatan per saham dan penjualan.

  Profitabilitas menjadi norma ukuran bagi kesehatan perusahaan. Menurut Sartono dalam Herni dan Yulius Kurnia Susanto (2008), profitabilitas adalah kemampuan perusahaan memperoleh laba dalam hubungannya dengan penjualan total aktiva maupun modal sendiri.

  Tingkat profitabilitas yang tinggi menunjukkan bahwa kinerja perusahaan baik dan pengawasan berjalan dengan baik, sedangkan dengan tingkat profitabilitas yang rendah menunjukkan bahwa kinerja perusahaan kurang baik dan kinerja manajemen tampak buruk di mata principal.

2.1.5 Manajemen Laba

2.1.5.1 Defenisi Manajemen Laba

  Permasalahan serius yang dihadapi praktisi, akademi akuntansi dan keuangan selama beberapa dekade terakhir ini adalah manajemen laba(earnings management). Alasan pertama, manajemen laba seolah-olah telah menjadi budaya perusahaan (corporate culture) yang dipraktikan semua perusahaan di dunia. Sebab aktivitas ini tidak hanya di negara-negara dengan sistem bisnis yang belum tertera, namun juga dilakukan oleh perusahaan-perusahaan di negara yang sistem bisnisnya telah tertera, seperti halnya Amerika Serikat. Alasan kedua, sebab dan akibat yang ditimbulkan aktivitas rekayasa manajerial ini tidak hanya menghancurkan tatanan ekonomi, namun juga tatanan etika dan moral.

  Secara umum manajemen laba di defenisikan sebagai upaya manajer perusahaan untuk mengintervensi atau mempengaruhi informasi-informasi dalam laporan keuangan dengan tujuan untuk mengelabui stakeholder yang ingin mengetahui kinerja dan kondisi perusahaan. Istilah intervensi dan mengelabui inilah yang dipakai sebagai dasar sebagian pihak untuk menilai manajemen laba sebagai kecurangan. Sementara pihak lain tetap menganggap aktivitas rekayasa manajerial ini bukan sebagai kecurangan. Alasannya, intervensi itu dilakukan manajer perusahaan dalam kerangka standar akuntansi, yaitu masih menggunakan metode dan prosedur akuntansi yang diterima dan diakui secara umum.

  Menurut Schipper dalam jaryanto (2008), manajemen laba (earnings

  

management) didefinisikan sebagai intervensi manajemen dengan sengaja

dalam proses penentuan laba, biasanya untuk memenuhi tujuan pribadi.

  Terlebih lagi manajemen sebagai pengelola perusahaan memiliki informasi tentang perusahaan lebih cepat, lebih banyak dan lebih valid daripada pemegang saham (asymmetric information) sehingga memungkinkan manajemen melakukan praktek akuntansi dengan berorientasi pada angka laba yang dapat menciptakan kesan (prestasi) tertentu.

  Ada dua perspektif penting yang dapat dipergunakan untuk menjelaskan mengapa manajemen laba dilakukan oleh seseorang manajer, a.

  Perspektif informasi Perspektif Informasi merupakan pandangan yang menyatakan bahwa manajemen laba merupakan kebijakan manajerial untuk mengungkapkan harapan pribadi manajerial tentang arus kas perusahaan dimasa depan.

  b.

  Perspektif oportunis Perspektif oportunis merupakan pandangan yang menyatakan bahwa manajemen laba merupakan perilaku oportunis manajer untuk mengelabui investor dan memaksimalkan kesejahteraannya karena menguasai informasi lebih banyak dibandingkan pihak lain.

2.1.5.2 Insentif Manajemen Laba

  Banyak alasan mengapa melakukan manajemen laba, termasuk meningkatkan kompensasi manajer yang terkait dengan laba yang dilaporkan, meningkatkanharga saham dan usaha mendapatkan subsidi pemerintah. Dipaparkan sejumlah insentif utama untuk melakukan manajemen labayaitu sebagai berikut.

  a.

  Insentif perjanjian. Banyak perjanjian yang menggunakan angka akuntansi, misalnyaperjanjian kompensasi manajer biasanya mencakup bonus berdasarkan laba. Perjanjian bonus biasanya memiliki batas atas dan bawah, artinya manajer tidak mendapat bonus jika laba lebih rendah dari batas bawah dantidak mendapatkan bonus saat laba lebih tinggi dari batas atas. Hal ini berarti manajer memiliki insentif untuk meningkatkan atau mengurangi laba berdasarkan tingkat laba yang belum diubah terkait dengan batas atasdan bawah.

  b.

  Dampak harga saham Potensi dampak harga saham misalnya manajer dapat meningkatkan labauntuk menaikkan harga saham perusahaan sementara sepanjang satukejadian tertentu seperti merger yang akan dilakukan atau penawaran surat berharga, atau rencana menjual saham atau melaksanakan opsi.

  Manajerjuga melakukan perataan laba untuk menurunkan persepsi pasar akan risiko dan menurunkan biaya modal.

  c.

  Insentif lain. Terdapat beberapa alasan manajemen laba lainnya. Laba seringkali diturunkan untuk menghindari biaya politik dan penelitian yang dilakukan badan pemerintah. Selain itu, perusahaan dapat menurunkan laba untuk memperoleh keuntungan dari pemerintah, misalnya subsidi atau proteksi dari persaingan asing. Perusahaan juga menurunkan laba untuk mengelakkan permintaan serikat buruh. Salah satu insentif lain adalah perubahan manajemen yang sering menyebabkan big bath karena beberapaalasan. Pertama, melemparkan kesalahan pada manajer yang berwenang. Kedua, sebagai tanda bahwa manajer baru harus membuat keputusan tegas untuk memperbaiki perusahaan. Ketiga, dan yang terpenting, yaitu memberikan kemungkinan dilakukannya peningkatan laba di masa depan.

2.1.5.3.Strategi Pelaksanaan Manajemen Laba

  Dalam pelaksanaan aktivitas manajemen laba, manajemen memiliki beberapa strategi dalam melaksanakan praktek ini. Dijelaskan Wild dalam Indri (2011) ada tiga jenis strategi manajemen laba yaitu sebagai berikut.

  1. Meningkatkan laba (increasing income) Cara ini dilakukan dengan meningkatkan laba yang dilaporkan padaperiode kini untuk membuat perusahaan dipandang lebih baik. Peningkatan laba juga dimungkinkan selama beberapa periode. Pada skenario pertumbuhan, akrual pembalik lebih kecil dibandingkan akrual kini sehingga dapat meningkatkan laba. Kasus yang terjadi adalah perusahaan dapat melaporkan laba yang lebih tinggi berdasarkan manajemen laba yang agresif sepanjang periode waktu yang panjang. Selain itu, perusahaan dapat melakukan manajemen untuk meningkatkan laba selama beberapa tahun dan kemudian membalik akrual sekaligus pada satu saat pembebanan. Pembebanan satu saat ini sering kali dilaporkan “dibawah laba bersih” (below the line) sehingga dipandang tidak terlalurelevan.

  2. Mandi besar (big bath) Strategi big bath dilakukan melalui penghapusan sebanyak mungkin padasatu periode. Periode yang dipilih biasanya periode dengan kinerja yangburuk (seringkali pada masa resesi dimana perusahaan lain juga melaporkan laba yang buruk) atau peristiwa saat terjadi satu kejadian yang tidak biasa seperti perubahan manajemen, merger, atau restrukturisasi. periode sebelumnya. Sifat big bath yang tidak biasa dan tidak berulang, pemakai cenderung tidak memperhatikan dampak keuangannya. Hal ini memberikan kesempatan untuk menghapus semua hal buruk dimasa lalu dan memberikan kesempatan untuk meningkatkan laba di masadepan.

3. Perataan laba (Income smoothing)

  Perataan laba merupakan bentuk umum manajemen laba. Pada strategi ini, manajer meningkatkan atau menurunkan laba yang dilaporkan untukmengurangi fluktuasinya. Perataan laba juga mencakup tidak melaporkan bagian laba pada periode baik dengan menciptakan cadangan atau “bank” laba dan kemudian melaporkan laba ini saat periode buruk. Banyak perusahaan menggunakan bentuk manajemen laba ini.Praktek manajemen laba yang dilakukan oleh pihak manajemen ini dapat diminimumkan melalui suatu mekanisme monitoring untuk menyelaraskan ketidaksejajaran kepentingan pemilik dan manajemen. Mekanisme yang dianggap dapat digunakan untuk membatasi tindakan tersebut adalah mekanisme good corporate governance.

2.1.5.4 Faktor-Faktor Manajemen Laba

  Faktor-faktor manajemen laba yang diajukan Sri Sulistyanto (2011) adalah seagai berikut.

  1. Bonus Plan Hypothesis Manajemen akan memilih metode akuntansi yang memaksimalkan utilitasnya yaitu bonus yang tinggi. Manajer perusahaan yang memberikan akuntansi yang meningkatkan laba yang dilaporkan. Dalam kontrak bonus dikenal dua istilah yaitu bogey (tingkat laba terendah untuk mendapatkan bonus) dan cap (tingkat laba tertinggi). Jika laba berada di bawah bogey, maka tidak akan ada bonus yang diperoleh manajer sebaliknya jika laba berada di atas cap, maka manajer juga tidak akan mendapat bonus tambahan. Jika laba bersih berada di bawah bogey, manajer cenderung memperkecil laba dengan harapan memperoleh bonus labih besar pada periode berikutnya, begitu pula sebaliknya. Jadi manajer hanya akan menaikkan laba jika laba bersih berada diantara bogey dan cap.

  2. Debt to Equity Hypothesis Manajer perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian kredit cenderung memilih metode akuntansi yang memiliki dampak meningkatkan laba. Hal ini untuk menjaga reputasi mereka dalam pandangan pihak eksternal. Perusahaan yang mempunyai rasio debt to equity cukup tinggi akan mendorong manajer perusahaan untuk menggunakan metode akuntansi yang dapat meningkatkan pendapatan atau laba, menyebabkan perusahaan kesulitan dalam memperoleh dana tambahan dari pihak kreditor bahkan perusahaan terancam melanggar perjanjian hutang.

  3. Political Cost Hypothesis Semakin besar perusahaan, semakin besar pula kemungkinan perusahaan tersebut memilih metode akuntansi yang menurunkan laba. Hal tersebut dikarenakan laba yang tinggi membuat pemerintah akan segera mengambil tindakan seperti: mengenakan peraturan antitrust, menaikkan pajak pendapatan perusahaan dan lain-lain.

2.1.5.5 Motivasi Manajemen Laba

  Scoot (1997) dalam mengemukakan beberapa motivasi terjadinya manajemen laba:

1. Bonus Purpose

  Manajer yang memiliki informasi atas laba bersih perusahaan akan bertindak secara opportunistic untuk mengatur laba bersih tersebut sehingga dapat memaksimalkan bonus mereka berdasarkan compensation plans perusahaan.

  2. Political Motivations Manajemen laba digunakan untuk mengurangi laba yang dilaporkan pada perusahaan publik. Perusahaan cenderung mengurangi laba yang dilaporkan karena adanya tekanan publik yang mengakibatkan pemerintah menetapkan aturan yang lebih ketat.

  3. Taxation Motivation Motivasi penghematan pajak menjadi motivasi manajemen laba yang paling nyata. Berbagai metode akuntansi digunakan dengan tujuan penghematan pajak pendapatan.

  4. Chief Executif Officer (Changes of CEO Mativations) CEO yang mendekati masa pensiun cenderung akan menaikkan laba untuk meningkatkan bonus mereka. Demikian juga dengan CEO yang kurang berhasil memperbaiki kinerja perusahaan, mereka akan memaksimalkan laba agar tidak diberhentikan.

  5. Initial Public Offering (IPO) Perusahaan yang akan go public belum memiliki harga pasar sehingga perlu menetapkan nilai saham yang akan ditawarkan. Hal ini menyebabkan manajer perusahaan yang going public melakukan manajemen laba untuk memperoleh harga yang lebih tinggi atas sahamnya.

  6. Pentingnya Memberi Informasi Kepada Investor Informasi mengenai kinerja perusahaan harus disampaikan kepada investor sehingga pelaporan laba perlu disajikan agar investor dapat menilai bahwa perusahaan tersebut dalam kinerja yang baik.

2.1.5.6 Pola Manajemen Laba

  Pola manajemen laba dapat dilakukan dengan cara;

  1. Taking a Bath

  

Taking a bath terjadi pada saat reorganisasi seperti pengangkatan CEO

  baru. Teknik ini mengakui adanya biaya-biaya pada periode yang akan datang dan kerugian periode berjalan sehingga mengharuskan manajemen membebankan perkiraan-perkiraan biaya mendatang akibatnya laba periode berikutnya akan lebih tinggi.

2. Income Minimazation

  Dilakukan pada saat perusahaan mengalami tingkat profitabilitas yang tinggi sehingga jika laba periode mendatang diperkirakan turun drastis dapat

  3. Income Maximization Dilakukan pada saat laba menurun. Tindakan atas income maximization bertujuan untuk melaporkan net income yang tinggi untuk tujuan bonus yang lebih besar. Pola ini dilakukan oleh perusahaan untuk menghindari pelanggaran atas kontrak hutang jangka panjang.

  4. Income Smoothing Dilakukan perusahaan dengan cara meratakan laba yang dilaporkan sehingga dapat mengurangi fluktuasi laba yang terlalu besar karena pada umumnya investor menyukai laba yang relatif stabil.

  5. Offsetting extraordinary/unusual gains Teknik ini dilakukan dengan memindahkan efek-efek laba yang yang tidak biasa atau temporal yang berlawanan dengan trend laba.

  6. Aggresive accounting applications Teknik yang diartikan sebagai salah saji (misstatement) dan dipakai untuk membagi laba antar periode.

  7. Timing Revenue dan Expense Recognition Teknik ini dilakukan dengan membuat kebijakan tertentu yang berkaitan dengan timing suatu transaksi. Misalnya pengakuan prematur atas pendapatan.

2.1.5.7 Teknik Manajemen Laba Teknik manajemen laba dilakukan dengan tiga teknik berikut.

  1. Memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi. Cara manajemen mempengaruhi laba melalui judgement (perkiraan) terhadap estimasi akuntansi antara lain estimasi tingkat piutang tak tertagih, estimasi biaya garansi, amortisasi aktiva tak berwujud dan lain-lain.

  2. Mengubah metode akuntansi. Perubahan metode akuntansi yang digunakan untuk mencatat suatu transaksi, contoh: merubah depresiasi angka tahun ke metode depresiasi garis lurus.

  3. Menggeser periode biaya atau pendapatan. Contoh rekayasa periode biaya atau pendapatan antara lain: mempercepat/menunda pengeluaran promosi sampai periode berikutnya, menunda/mempercepat pengiriman produk ke pelanggan, mengatur saat penjualan aktiva tetap yang sudah tak dipakai.

2.2Peneliti Terdahulu

  Beberapa hasil penelitian terdahulu dapat diliat dari tabel 2.1 berikut : Tabel 2.1

  N o Peneliti Judul Variable Hasil

  1. Cornett

  et.al

  (2006) Earnings Management, Corporate Governance, and True Financial Performance

  Independent : Institutional ownership of share, commite audit, Characteristic of BOC (CEO duality, size of the board directors, CEO‟s age, CEO‟s tenure) Dependent :

  (1) kepemilikan institusional dan keberadaan komite audit independen tidak berpengaruh terhadap manajemen laba (2) karakteristik CEO berpengaruh terhadap manajemen laba.

  2. Carcello et.al.

  4. Resti Ningsapiti (2010)

  Independen : Dewan Komisaris Independen Dependen :

  Pengaruh Karakteristik Komisaris

  5. Tutut Dwi Andayani (2010)

  Ukuran perusahaan, konsentrasi kepemilikan, komposisi dewan komisaris, spesialisi industri, dan komite audit berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba

  Dependen : Manajemen Laba

  Independen : Firm Size, Corporate Governance (konsentrasi kepemilikan, komposisi dewan komisaris, spesialisasi industri KAP dan Komposisi Komite Audit).

  Analisis Pengaruh Ukuran Perusahaan dan Mekanisme Corporate Govenance terhadap Manajemen Laba

  2. Proporsi Dewan Komisaris Independen dan Leverage tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba.

  (2006) Audit Committe Financial Expertise, Competing Corporate Governance Mechanisms, and Earning Management

  1.Reputasi Auditor, Kepemilikan Manajerial, Proporsi Komite Audit Independen berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba.

  Dependen : Manajemen Laba

  Independen : Reputasi Auditor, Proporsi Dewan Komisaris Independen, Leverage, Kepemilikan Manajerial dan Proporsi Komite Audit Independen.

  Analisis Pengaruh Reputasi Auditor, Proporsi Dewan Komisaris Independen, Leverage, Kepemilikan Manajerial dan Proporsi Komite Audit Independen terhadap Manajemen Laba

  3. Edgina Antoni (2008)

  (1) Komite audit independen dengan keahlian keuangan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap manajemen laba (2) ukuran perusahaan berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba

  Independent : Committee audit financial expertise, GCG mechanisms (board size, board independen, audit commiittee size, audit committee independent, institutional ownership), firm size. Dependent : Earnings Management

  Proporsi Dewan Komisaris Independen berpengaruh negatif Manajemen Laba

  6. Wardani (2010)

  Perusahaan Dependen : Manajemen Laba

  Terlihat telah banyak kasus manipulasi laba yang dilakukan oleh pihak manajemen perusahaan membuat perusahaan melakukan mekanisme pengawasan atau monitoring untuk meminimalkan praktik manajemen laba. Hal ini mendorong

  Good Corporate Governance (Kepemilikan Institusional, Kepemilikan Manajerial, Proporsi Komisaris Independen, Proporsi Komite Audit), Leverage dan Profitabilitas tidak berpengaruh signifikan terhadap Manajemen Laba.

  Dependen : Manajemen Laba

  Independen : Good Corporate Governance (Kepemilikan Institusional, Kepemilikan Manajerial, Proporsi Komisaris Independen, Proporsi Komite Audit), Leverage dan Profitabilitas.

  Analisis Pengaruh Corporate Governance, Leverage dan Profitabilitas terhadap Manajemen Laba pada Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di BEI

  8. Rohans Rivaldo (2013)

  2. Kualitas Auditor dan Ukuran Perusahaan tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba

  1. Debt To Asset berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba.

  Asset dan Ukuran

  Pengaruh Profitabilitas, Leverage dan Ukuran Perusahaan terhadap Manajemen Laba

  Independen : Kualitas Auditor, Debt To

  Ukuran perusahaan terhadap Manajemen Laba

  To Asset dan

  Pengaruh Kualitas Auditor, Debt

  7. Naufal Aditya (2010)

  2. Profitabilitas dan Leverage tidak berpengaruh signifikan terhadap Manajemen Laba

  1.Ukuran Perusahaan berpengaruh signifikan terhadap Manajemen Laba.

  Independen : Profitabilitas, Leverage dan Ukuran Perusahaan Dependen : Manajemen Laba

2.3 Kerangka Pemikiran

  Penerapan good corporate governance khususnya struktur kepemilikan, proporsi dewan komisaris independen dan keberadaan komite audit diduga mampu mempengaruhi praktik manajemen laba. Oleh karena itu diadakan penelitian lebih lanjut untuk menguji apakah mekanisme corporate governance, kualitas auditor dan profitabilitas berpengaruh terhadap manajemen laba dan dapat meminimalisasi manajemen laba tersebut. Model dalam penelitian ini dapat digambarkan dalam kerangka pemikiran sebagai berikut :

  Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Penelitian

  H1 Komite Audit (X1)

  H2 Dewan Komisaris Independen (X2)

  H3 Manajemen Laba (Y)

  Kepemilikan Manajerial (X3) H4

  Kualitas Auditor (X4) H5

  Profitabilitas (X5)

2.3 Perumusan Hipotesis

2.3.1 Komite Audit dengan Manajemen Laba

  Komite audit yang dibentuk oleh suatu perusahaan berhubungan dengan kebijakan keuangan, akuntansi dan pengendalian intern. Selain itu, keberadaan komite audit juga berfungsi untuk membantu dewan komisaris independen dalam mengawasi pihak manajemen dalam menyusun laporan keuangan.

  Untuk menjadi seorang Komite Audit maka syarat utama yang harus dimiliki adalah sikap independensi. Independensi diperlukan untuk menilai keefektifan eksternal. Anggota komite audit independen adalah anggota dari pihak independen yang tidak memiliki hubungan langsung kepada perusahaan.

  Semakin banyaknya anggota komite audit yang independen diharapkan kualitas laporan keuangan akan semakin baik. Untuk menguji hubungan antara komite audit dan manajemen laba melalui perhitungan discretionary accrual. Penelitian ini akan menguji H1 yang dirumuskan sebagai berikut: H1: Komite audit berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba

2.3.2 Proporsi Dewan Komisaris Independen dengan Manajemen Laba

  Dewan komisaris merupakan pihak yang mempunyai peranan penting dalammengawasi laporan yang reliabel. Karakteristik dewan komisaris secara umum dan khususnya komposisidewan, dapat menjadi suatu mekanisme yang menentukan tindakan manajemen laba. Melalui peranan dewan dalam melakukan fungsi pengawasan terhadap operasionalperusahaan oleh pihak manajemen, komposisi (proporsi) dewan komisaris dapatmemberikan kontribusi yang efektif terhadap hasil dari proses penyusunan laporankeuangan yang berkualitas atau kemungkinan terhindar dari kecurangan laporankeuangan. Tutut (2010), menguji hubungan antara komisaris independen dengan manajemen laba dan hasilnya komisaris independen signifikan berpengaruh negatif terhadap manajemen laba. Untuk menguji hubungan antara komisaris independen dengan manajemenlaba. Penelitian ini akan menguji H2 yangdirumuskan sebagai berikut: H2: Proporsi Dewan Komisaris Independen berpengaruh terhadap manajemen

  2.3.3 Kepemilikan Manjerial dengan Manajemen Laba

  Kepemilikan manajerial merupakan saham yang dimiliki oleh pihak manajemen secara pribadi. Kepemilikan saham oleh pihak manajemen dapat membatasi manajer dalam melakukan manajemen laba. Artinya, semakin besar kepemilikan saham maka semakin kecil praktik manajemen laba. Ini disebabkan karena kepemilikan saham yang terkonsentrasi dapat membuat pemegang saham pada posisi yang kuat untuk mengendalikan manajemen secara efektif sehingga mampu membatasi perilaku oportunis oleh manajer. Berdasarkan penjelasan terurai, maka hipotesis yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut : H3 : Kepemilikan Manajerial berpegaruh signifikan terhadap manajemen laba.

  2.3.4 Kualitas Auditor dengan Manajemen Laba

  Auditor Big Four adalah auditor yang memiliki keahlian dan memiliki reputasi yang tinggi dibanding auditor Non Big Four. Jika auditor ini tidak dapat mempertahankan reputasinya, maka masyarakat tidak akan memberi kepercayaan kepada auditor Big Four sehingga auditor ini akan tiada dengan sendirinya . Kualitas auditor dalam penelitian ini diukur dengan proksi ukuran KAP, karena diasumsikan akan berpengaruh terhadap hasil audit yang dilakukan oleh auditornya. Auditor yang bekerja di KAP big four dianggap lebih berkualitas dibanding dengan yang bekerja di KAP non big four. Berdasarkan uraian ini, maka hipotesis yang diajukan sebagai berikut : H4 : Kualitas auditor berpengaruh signifikan terhadapmanajemen laba

2.4.5. Profitabilitas dengan Manajemen Laba

  Profitabilitas merupakan suatu indikator kinerja manajemen dalam mengelola kekayaan perusahaan yang ditujukan oleh laba yang dihasilkan perusahaan. Laba yang dihasilkan perusahaan selama tahun berjalan dapat menjadi indikator manajemen laba dalam suatu perusahaan. Biasannya manajemen laba dilakukan oleh pihak manajer untuk memanipulasi komponen laba rugi yang dilaporkan perusahaan. Berdasarkan penjelasan diatas, maka hipotesis yang bisa disimpulkan adalah sebagai berikut : H5 : Profitabilitas positif berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba.

Dokumen yang terkait

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Exchange Traded Fund (Etf) Sebagai Instrumen Alternatif Dalam Investasi Di Pasar Modal Indonesia

0 0 17

BAB II TUGAS DAN FUNGSI PENGAWAS PERIKANAN SERTA HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL PERIKANAN YANG MELAKUKAN PENANGKAPAN IKAN DI WILAYAH LAUT INDONESIA A. Pengawasan Terhadap Perikanan di Wilayah Laut Indonesia - Tinjauan Yuridis Terhadap Pembakaran Dan/Atau Penengg

0 0 31

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Yuridis Terhadap Pembakaran Dan/Atau Penenggelaman Kapal Perikanan Berbendera Asing Sebagai Upaya Mengurangi Tindak Pidana Pencurian Ikan

0 0 23

Pemetaan Kesehatan Pohon Di Sumatera Utara

0 0 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 - Analisis Indeks Glikemik (IG) pada Nasi Campuran antara Beras (Oriza sp) dan Ubi Jalar (Ipomoea batatas L)

0 2 23

BAB I PENDAHULUAN 1.1 - Analisis Indeks Glikemik (IG) pada Nasi Campuran antara Beras (Oriza sp) dan Ubi Jalar (Ipomoea batatas L)

0 0 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Remaja 2.1.1 Defenisi Remaja - Faktor- faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Seks Pranikah Remaja di SMA Negeri 5 Pematangsiantar Tahun 2015

0 0 15

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Faktor- faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Seks Pranikah Remaja di SMA Negeri 5 Pematangsiantar Tahun 2015

0 1 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Definisi dan Sejarah Organisasi Sektor Publik - Akuntansi Akrual dan Penerapannya di Sektor Publik : Suatu Agenda Pembaruan di Indonesi

0 0 30

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Akuntansi Akrual dan Penerapannya di Sektor Publik : Suatu Agenda Pembaruan di Indonesi

0 0 9