Induksi Tunas Tanaman Nilam (Pogostemon cablin Benth.) Dengan Pemberian α-Benzil Amino Purina dan α-Asam Asetat Naftalena Secara In –vitro

  Nilam termasuk salah satu warga familia Lamiaceae. Menurut Gembong (2000) secara lengkap sistematika tumbuhan ini adalah divisio: Spermatophyta, subdivisio: Angiospermae, classis: Dicotyledonae, subclassis: Sympetale, ordo:

  

Solanales / Tubiflorae / Personatae, familia:Lamiaceae / Labiatae, genus:

Pogostemon ; dan species: Pogostemon sp

  Di Indonesia terdapat tiga jenis nilam yaitu Pogostemon cablin Benth. (nilam Aceh), Pogostemon hortensis Backer. (nilam Jawa), dan Pogostemon heyneanus Benth. (nilam hutan). Nilam Aceh diduga berasal dari Philipina, mula-mula ditanam di Jawa pada tahun 1895 dan mulai ditanam di Aceh pada tahun 1909. Nilam hutan berasal dari India, tumbuh liar di Sumatera dan Jawa. Nilam ini jarang dibudidayakan, disebut ‘dilem kembang’ karena hanya jenis ini yang berbunga (Kardinan, 2005 ).

  Gambar 1. Tanaman nilam Nilam mempunyai akar serabut dengan bentuk daun bulat dan lonjong. Daun yang masih muda berwarna hijau muda, sedangkan daun yang sudah tua berwarna hijau tua dengan panjang 6,33 - 7,64cm dan lebar 5,34 - 6,25cm. Batang berkayu, berdiameter 10 - 20mm, dan berbentuk persegi. Permukaan batang kasar, berwarna hijau ketika muda, dan hijau kecoklatan ketika sudah tua (Kardinan dan Mauludi, 2004 ).

  Kultur jaringan sebagai salah satu teknik yang digunakan untuk memperbanyak tanaman dengan menggunakan potongan kecil jaringan atau organ tanaman yang dipelihara dalam suatu medium dan dikerjakan seluruhnya dalam keadaan aseptik. Potongan kecil jaringan atau organ itu disebut eksplan. Sebagai respon terhadap hormon, baik endogen maupun eksogen akan muncul kalus. Kalus dapat juga terbentuk pada bagian yang tidak mengalami luka akibat irisan dan sering muncul dari bagian ibu tulang daun atau tulang daun, bila helaian daun digunakan sebagai eksplan (Bowo,dkk., 2007).

  Teknik budidaya in vitro ini bisa mengatasi kendala yang sering dijumpai pada masalah seputar penyediaan bibit, misalnya: bisa menyediakan bibit yang seragam, dalam waktu yang relatif singkat, tidak tergantung pada musim, serta bebas penyakit. Di samping itu dalam kondisi in vitro produksi metabolit sekunder seperti yang dikandung oleh tanaman nilam akan lebih menguntungkan, karena kondisinya terkontrol, dapat diperbanyak pembentukannya yaitu dengan memanipulasi medium dan hasilnya relatif konstan. Kultur jaringan sebagai salah satu teknik yang digunakan untuk memperbanyak tanaman dengan menggunakan potongan kecil jaringan atau organ tanaman yang dipelihara dalam suatu medium dan dikerjakan seluruhnya dalam keadaan aseptik Potongan kecil jaringan atau organ itu disebut eksplan (Bowo,dkk., 2007).

  Pada tanaman herba, eksplan diambil baik dari pucuk apikal maupun lateral yang mengambil jaringan meristematik namun sering kali digunakan mata tunas yang diharapkan akan berkembang membentuk daun dan batang sempurna. Bagian panjangnya kurang lebih 20 mm. Pengaruh dominansi apikal dapat dihilangkan dengan menambahkan zat pengatur tumbuh (terutama sitokinin) kedalam medium. Sebagai hasilnya adalah tunas dengan jumlah cabang yang banyak (Wattimena, 1992).

  Eksplan

  Sebagai respon terhadap hormon, baik endogen maupun eksogen akan muncul kalus. Kalus dapat juga terbentuk pada bagian yang tidak mengalami luka akibat irisan dan sering muncul dari bagian ibu tulang daun atau tulang daun, bila helaian daun digunakan sebagai eksplan. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan kultur in vitro antara lain: factor eksplan, komponen medium dan lingkungan kultur (Bowo,dkk., 2007).

  Sumber asal eksplan dapat mempengaruhi pertumbuhan dan potensial morfogenetiknya. Eksplan yang berasal dari satu jenis organ misalnya, juga diketemukannya adanya keragaman dan regenerasinya. Perbedaan regeneratif ini sering terjadi pada jaringan tua. Sel-sel yang berasal dari permukaan daun yang berbeda kadang-kadang memiliki daya regenerasi yang berbeda. Ukuran eksplan untuk dikulturkan juga mempengaruhi keberhasilan. Ukuran yang terlampau kecil akan kurang daya tahannya bila dikulturkan, sementara bila terlampau besar akan sulit mendapatkan eksplan yang steril. Setiap jenis tanaman maupun organ memiliki ukuran eksplan yang optimim untuk dikulturkan (Wattimena, 1992).

  Media kultur

  pengetahuan yang lebih baik tentang kebutuhan hara sel dan jaringan yang dikulturkan. Komposisi formulasi dari suatu media secara umum harus mengandung nutrien esensial makro dan mikro serta sumber tenaga dimana zat-zat tersebut bisa dicampur sendiri dari bahan dasarnya, atau diperoleh sudah dalam bentuk campuran.

  Biasanya ditambah zat pengatur tumbuh, seperti hormon-hormon dan zat penyangga misalnya agar. Tiap tanaman membutuhkan 6 elemen makronutrien : nitrogen, kalium, magnesium, kalsium, belerang, dan fosfor serta tujuh elemen mikro nutrien yaitu besi, mangan, seng, tembaga, boron, molibden, dan klor dalam bentuk ikatan kimia dan perbandingan yang sesuai. Banyak formulasi media yang digunakan, diantaranya yang dikembangkan oleh Murashiege dan Skoog (MS) dan medium B5 yang dikembangkan di Prairie Regional Laboratory. Keistimewaan medium MS ini adalah kandungan nitrat, kalium dan amoniumnya yang tinggi. Baik medium MS maupun medium B5 tampaknya mengandung jumlah hara anorganik yang layak untuk memenuhi kebutuhan banyak jenis sel tanaman dalam kultur (Nurlelasari.,dkk, 2007).

  Volume medium kultur diduga ada interaksi dengan kepadatan eksplan dalam memepengaruhi pertumbuhan dan perkembangan kultur. Interkasi ini diduga berhubungan dengan menurunnya senyawa inhibitor dalam medium (Wattimena, 1992).

  Medium padat digunakan untuk menghasilkan kalus yang selanjutnya biasanya digunakan untuk kultur sel. Medium yang digunakan mengandung lima komponen utama yaitu senyawa anorganik, sumber karbon, vitamin, zat pengatur tumbuh dab suplemen organik (Yuwono, 2008).

  Lingkungan in-vitro

  Eksplan yang dikulturkan menghendaki suhu ruang tumbuh yang optimum agar tetap segar. Suhu optimum untuk proses morfogenesis juga bervariasi antar spesies. Suhu tinggi diduga dapat menghambat produksi kinetin yang mendorong pertunasan pembentukan akar dari kultur juga dipengaruhi oleh suhu ruang tumbuh.

  Kelembaban relatif ruang tumbuh kultur jaringan kurang lebih 70%, didalam botol menghendaki kelembaban yang lebih tinggi. Respon kultur terhadap cahaya tergantung pada asal eksplan. Sumber cahaya buatan untuk ruang inkubasi dalam kultur in vitro dilaporkan bahwa cahaya fluorescent yang berasal dari lampu TL memnerikan cahaya dengan panjang gelombang yang dibutuhkan untuk morfogenesis. Multiplikasi tunas dan pembentukan tunas in vitro umumnya menghendaki cahaya dengan intensitas 500-3000 lux (Wattimena, 1992).

  Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh dalam kultur in vitro adalah: cahaya, temperatur dan pH medium. Selama dalam kultur in vitro sel tumbuhan tidak melakukan fotosintesis secara efisien dan urnumnya dalam keadaan non autotrof. Meskipun seluruh kebutuhan energi untuk pertumbuhan secara in vitro sudah dipenuhi dari gula tetapi untuk menghasilkan plantlet hijau dengan daun normal diperlukan cahaya (Bowo,dkk., 2007).

  Zat pengatur tumbuh

  mempunyai peran ganda tergantung pada struktur kimia, konsentrasi, dan jaringan tanaman yang diberi perlakuan. Pada umumnya auksin digunakan untuk menginduksi pembentukan kalus, kultur suspensi, dan akar, yaitu dengan memacu pemanjangan dan pembelahan sel di dalam jaringan kambium. Untuk memacu pembentukan kalus embriogenik dan struktur embrio somatik seringkali auksin diperlukan dalam konsentrasi yang relatif tinggi (Lestari, 2011).

  Zat pengatur tumbuh tanaman berperan penting dalam mengontrol proses biologi dalam jaringan tanaman. Perannya antara lain mengatur kecepatan pertumbuhan dari masingmasing jaringan dan mengintegrasikan bagian-bagian tersebut guna menghasilkan bentuk yang kita kenal sebagai tanaman. Aktivitas zat pengatur tumbuh di dalam pertumbuhan tergantung dari jenis, struktur kimia, konsentrasi, genotipe tanaman serta fase fisiologi tanaman. Dalam proses pembentukan organ seperti tunas atau akar ada interaksi antara zat pengatur tumbuh eksogen yang ditambahkan ke dalam media dengan zat pengatur tumbuh endogen yang diproduksi oleh jaringan tanaman. Penambahan auksin atau sitokinin ke dalam media kultur dapat meningkatkan konsentrasi zat pengatur tumbuh endogen di dalam sel, sehingga menjadi “faktor pemicu” dalam proses tumbuh dan perkembangan jaringan. Untuk memacu pembentukan tunas dapat dilakukan dengan memanipulasi dosis auksin dan sitokinin eksogen(Lestari, 2011).

  Adapun hormon pertumbuhan yang digunakan ada dua jenis yaitu auksin dan sitokinin. Hormon-hormon lain, diantaranya giberelin dan zat pengatur tumbuh sintetik juga sering digunakan. Auksin, sitokinin, dan giberellin adalah hormon- merangsang pertumbuhan eksplan dan mempengaruhi pertumbuhan akar.

  Kemampuan untuk mensintesa atau merombak serta kepekaan terhadap zat-zat tersebut bila berada dalam media, untuk setiap spesies dan masing- masing bagian tanaman, sangat bervariasi sehingga bagi usaha propagasi invitro dari suatu tanaman yang belum pernah dikerjakan sebelumnya, perlu dilakukan percobaan dengan berbagai jenis dan kadar dari hormon-hormon tersebut (Nurlelasari, dkk, 2007).

  Sitokinin penting dalam pengaturan pembelahan sel, morfogenesis dan banyak berperan dalam mengatur organogenesis, pembentukan tunas, mendorong proliferasi meristem ujung, menghambat pembentukan akar, mendorong pembentukan klorofil. Jenis sitokinin yang digunakan dalam kultur jaringan, yaitu kinetin (6-furfuryl amino purine), zeatine (4-hydroxyl-3-metyltrans- 2-butenyl amino purine), BAP/BA (6-benzyl amino purine/6-benzyl adenine) (Sobardini dkk, 2006).

  Selain sitokinin, auksin merupakan zat pengatur tumbuh yang juga sering ditambahkan ke dalam medium kultur jaringan untuk menginduksi pertumbuhan kalus dan untuk mengatur morfogenesis diantaranya pembentukan akar, tunas dan embriogenesis. Salah satu auksin sintetis yang sering digunakan dalam kultur jaringan adalah NAA (Naphthalene Acetic Acid) (George and Sherrington, 1984).

  Zat pengatur tumbuh sangat diperlukan sebagaikomponen media bagi pertumbuhan dan diferensiasikalus. Tanpa penambahan zat pengatur tumbuhdalam media, pertumbuhan akan terhambat bahkanmungkin tidak tumbuh sama sekali. pengatur tumbuh tersebut. Pengaruh rangsangan auksin terhadap jaringan berbeda- beda. Rangsangan yang paling kuat terutama terhadap sel-sel meristem apikal batang dan koleoptil. Pada kadar yang tinggi, auksin lebih bersifat menghambat daripada merangsang pertumbuhan (Sriyanti dan Wijayani, 1994).

  Menurut Khrisnamoorthy (1981) dan Wattimena (1990), yang dikutip dari Sobardini, dkk., 2006, pemberian auksin pada konsentrasi yang tinggi akan menghambat pertumbuhan akar dan tunas. Pemberian auksin pada konsentrasi terlalu tinggi dapat memacu produksi hormon etilen yang merupakan hormon penghambat pertumbuhan akar, daun dan bunga tergantung pada speciesnya. Respon auksin berhubungan dengan konsentrasinya. Konsentrasi yang tinggi bersifat menghambat pertumbuhan tunas.

  Menurut pendapat Evans dkk (1986) yang dikutip oleh Sobardini dkk (2006) menyatakan bahwa tunas yang sedang berkembang dapat memproduksi auksin dalam jumlah yang cukup untuk perakaran maka penambahan auksin eksogen tidak diperlukan. Jadi tanpa pemberian NAA pun, eksplan dapat menginisiasi pertumbuhan akar.

Dokumen yang terkait

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 SISTEM PENDUKUNG KEPUTUSAN - Perbandingan Metode Simple Additive Weighting (SAW) dan Weighted Product Model (WPM) Dalam Pemberian Jaminan Kesehatan Masyarakat

0 2 14

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Perbandingan Metode Simple Additive Weighting (SAW) dan Weighted Product Model (WPM) Dalam Pemberian Jaminan Kesehatan Masyarakat

0 0 6

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Pakar - Sistem Pakar Mendeteksi Psikopat Pada Seseorang Menggunakan Metode Dempster Shafer dan Certainty Factor

0 2 12

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Sistem Pakar Mendeteksi Psikopat Pada Seseorang Menggunakan Metode Dempster Shafer dan Certainty Factor

1 3 7

Sistem Pakar Mendeteksi Psikopat Pada Seseorang Menggunakan Metode Dempster Shafer dan Certainty Factor

0 3 11

Penerapan Metode AHP dan FDM pada Pemilihan Rancangan Rumah Tekstur Minimalis Berbasis WEB

0 0 14

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Sistem, Keputusan dan Sistem Pendukung Keputusan - Penerapan Metode AHP dan FDM pada Pemilihan Rancangan Rumah Tekstur Minimalis Berbasis WEB

0 0 12

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Penerapan Metode AHP dan FDM pada Pemilihan Rancangan Rumah Tekstur Minimalis Berbasis WEB

0 0 6

Implementasi Algoritma Levenshtein Distance dan Boyer Moore untuk Fitur Autocomplete dan Autocorrect pada Aplikasi Katalog Perpustakaan Daerah Aceh Timur

0 0 21

2.2. Fitur atau Layanan Autocomplete - Implementasi Algoritma Levenshtein Distance dan Boyer Moore untuk Fitur Autocomplete dan Autocorrect pada Aplikasi Katalog Perpustakaan Daerah Aceh Timur

1 1 17