BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah - Karakteristik Psikometri Subtes Rechenaufgaben (RA) Versi Revisi pada Intelligenz Struktur Test (IST

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Penggunaan tes psikologi semakin berkembang pesat seiring dengan

  meningkatnya kesadaran masyarakat mengenai kegunaan tes. Masyarakat kian menyadari bahwa tes psikologi memberikan sumbangsih yang efektif dalam berbagai bidang kehidupan. Perkembangan tes psikologi juga didorong oleh kebutuhan-kebutuhan yang hadir di dalam masyarakat. Maka, sebuah tes psikologi dituntut harus mampu mengungkap aspek-aspek psikologis dengan tepat. Anastasi & Urbina (2007) mendefisinikan tes psikologi sebagai pengukuran yang objektif dan terstandarisasi mengenai sampel perilaku.

  Tes psikologi memiliki dua jenis yaitu tes kemampuan dan tes kepribadian (Kaplan & Saccuzzo, 2005). Tes kemampuan adalah tes yang mengukur keahlian individu dalam hal kecepatan dan ketepatan. Tes jenis ini terbagi menjadi tiga, yaitu tes prestasi, tes bakat, dan tes inteligensi.

  Sedangkan, tes kepribadian adalah tes yang mengukur trait ataupun temperamen individu. Tes kepribadian dibagi menjadi dua jenis yaitu tes objektif dan tes proyektif.

  Kedua jenis tes psikologi tersebut digunakan dalam berbagai aspek kehidupan seperti pendidikan, klinis, organisasi, perkembangan, maupun sosial. Salah satu yang paling berkembang penggunaannya di masyarakat Praktiknya, proses seleksi tersebut menggunakan kedua jenis tes psikologi. Namun, ditemukan bahwa banyak institusi yang mengutamakan salah satu jenis tes psikologi sebagai seleksi awal proses seleksi, yaitu tes inteligensi. Tes inteligensi adalah tes yang pertama kali diberikan dalam proses seleksi karyawan, sehingga menjadi seleksi awal bagi para calon karyawan (komunikasi personal dengan psikolog Biro P3M Fakultas Psikologi USU, Rika, 20 Mei 2014, pukul 11.00 WIB di ruang P3M).

  Tes inteligensi adalah tes yang bertujuan untuk mengukur kemampuan kognisi individu yang terlihat dari perilaku-perilaku yang ditunjukkan (Anastasi & Urbina, 2007). Tes inteligensi juga dapat memprediksi performa karyawan di masa depan dan menemukan bakat-bakat yang dimiliki karyawan (Gardner dkk, 1996).

  Beberapa contoh tes inteligensi yang digunakan untuk penseleksian yaitu Advance Progressive Matrices, TIU-5, Tintum, Culture Fair Intelligence

  

Test, dan Intelligenz Struktur Test (IST). Namun, umumnya lebih banyak

  perusahaan yang menggunakan tes inteligensi IST karena lebih mudah dan praktis (komunikasi personal dengan psikolog Biro Humanika Medan, Rola,

  19 Juni 2014, pukul 13.00 WIB di Fakultas Psikologi USU). Walaupun beberapa tes inteligensi lain juga digunakan, namun yang paling sering digunakan adalah IST (komunikasi personal dengan staff Biro P3M Fakultas Psikologi USU, Adlin, 14 Mei 2014, pukul 10.00 WIB di ruang P3M).

  IST merupakan tes inteligensi yang dikembangkan oleh Rudolf merupakan keseluruhan struktur dari kemampuan jiwa dan rohani yang akan tampak jelas dalam hasil tes (Polhaupessy, 2009). Hingga kini IST banyak digunakan di Indonesia, khususnya dalam melakukan seleksi karyawan. IST yang digunakan di Indonesia merupakan IST-70 hasil adaptasi oleh Fakultas Psikologi Universitas Padjajaran Bandung tahun 1973.

  Tetapi, IST ini memiliki karakteristik psikometris yang kurang baik. Elvira & Rahmawati (2011) melakukan pengujian psikometris pada subtes SE dan menemukan bahwa subtes ini memiliki reliabilitas hanya sebesar 0.73.

  Padahal, seharusnya sebuah hasil tes inteligensi yang digunakan untuk penseleksian harus lah memiliki nilai reliabilitas ≥ 0.90 (Murphy & Davidshofer, 2003).

  Sirait & Garliah (2011) juga menemukan bahwa selain memiliki reliabilitas sebesar 0.65, subtes WA juga sudah tidak valid dalam mengukur konstrak yang seharusnya karena memiliki interkorelasi tinggi dengan 8 subtes lainnya. Padahal, kesembilan subtes IST sebenarnya mengukur kemampuan inteligensi yang berbeda sehingga seharusnya memiliki interkorelasi antarsubtes yang rendah pula, yaitu di bawah 0.25.

  Siregar & Rahmawati (2011) juga menemukan hal yang sama pada subtes AN dan dengan reliabilitas sebesar 0.728. Hal yang sama juga ditemukan pada penelitian Sari & Rahmawati (2011) pada subtes RA dengan reliabilitas sebesar 0.851. Reliabilitas subtes ZR juga memiliki nilai yang tidak memuaskan, yaitu hanya sebesar 0.882 (Princen & Rahmawati, 2011).

  Berdasarkan evaluasi konten, peneliti melihat bahwa terdapat aitem yang masih menggunakan hitungan dengan nominal rupiah yang tidak lagi digunakan ataupun ditemukan di masyarakat Indonesia. Sehingga, aitem-aitem tertentu tidak lagi sesuai dengan perkembangan yang terjadi di masa sekarang.

  Namun, berdasarkan pengamatan peneliti, IST yang digunakan di P3M belum pernah direvisi. Padahal, suatu alat tes akan mampu menjalankan fungsi ukurnya apabila alat tersebut mampu memberikan hasil ukur yang cermat dan akurat (Azwar, 2010).

  Kualitas alat ukur yang baik sangat diperlukan dalam penggunaannya. Hal ini berkaitan dengan validitas dan reliabilitas yang dimiliki oleh hasil dari sebuah alat ukur. Validitas menyangkut apa dan seberapa baik tes tersebut mengukur apa yang seharusnya diukur (Anastasi & Urbina, 2007). Jika hasil tes tidak valid, maka akan memberikan informasi yang salah. Hal ini tentunya akan merugikan para pengguna khususnya perusahaan karena karyawan yang terseleksi bukanlah orang yang sesuai dengan kriteria yang diinginkan. Selain validitas, sebuah tes juga harus reliabel.

  Reliabilitas merujuk pada konsistensi skor yang dicapai oleh individu yang sama ketika mereka diuji-ulang dengan tes yang sama pada kesempatan yang berbeda, aitem-aitem berbeda yang ekuivalen, atau kondisi pengujian yang berbeda (Anastasi & Urbina, 2007). Sebuah alat ukur dinyatakan tidak reliabel jika skor yang diperoleh menunjukkan perbedaan yang signifikan antara hasil tes yang pertama dengan hasil tes yang kedua.

  Subtes RA telah memiliki data-data analisis psikometris yang cukup lengkap. Sari dan Rahmawati (2011) menemukan bahwa subtes ini memiliki interkorelasi tinggi dengan 8 subtes lainnya, berkisar dari 0.417 sampai 0.999. Hal ini menunjukkan bahwa subtes RA tidak lagi berfungsi sebagaimana tes ini disusun oleh Amthauer pada tahun 1953. Reliabilitas subtes RA juga tidak mencapai nilai 0.90 seperti yang seharusnya karena hanya sebesar 0.851.

  Analisis indeks kesukaran aitem memperlihatkan bahwa terdapat 15 aitem memiliki nilai p mendekati 0 maupun 1. Padahal, Murphy & Davidshofer (2003) mengungkapkan bahwa nilai p yang baik berada pada rentang 0.30 < p < 0.70. Analisis indeks daya beda aitem menunjukkan terdapat 4 aitem yang memiliki d < 0.40, yaitu aitem nomor 77, 93, 94, dan

  96. Hal ini mencerminkan bahwa aitem tersebut kurang mampu membedakan kemampuan berpikir praktis mengenai perhitungan, berpikir matematis, logis- induktif, penalaran, serta daya pengambilan keputusan individu.

  Rahmawati (2014) menganalisa DIF subtes ini dan menemukan terdapat 4 aitem menguntungkan kelompok perempuan yaitu aitem nomor 81, 82, 85, dan 88 dan 4 aitem menguntungkan kelompok laki-laki yaitu aitem nomor 78, 80, 87, dan 96. Adanya DIF pada 8 aitem dalam subtes RA mencerminkan bahwa tes tidak dapat menunjukkan perbedaan kemampuan antarindividu yang sesungguhnya. Sebaliknya, tes justru menunjukkan perbedaan kemampuan antarkelompok perempuan dan laki-laki.

  Rahmawati (2014) menemukan bahwa berdasarkan pendekatan Teori kategori kurang baik yaitu aitem nomor 84, 85, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, dan 95 serta terdapat 5 aitem memiliki indeks kesukaran aitem yang kurang baik yaitu aitem nomor 77, 93, 94, 95, dan 96.

  Walaupun secara teoritik subtes RA memiliki karakteristik psikometri yang kurang baik, namun sampai saat ini tidak ada keluhan dari perusahaan- perusahaan mengenai karyawan yang berhasil lolos. Hal ini mungkin dikarenakan adanya beberapa tes lain yang juga dijadikan bahan pertimbangan (komunikasi personal dengan psikolog Biro P3M Fakultas Psikologi USU, Ginting, 29 April 2015, pukul 13.00 WIB di Fakultas Psikologi USU). Akan tetapi, hal ini tidak menutup kepentingan bahwa subtes RA perlu direvisi agar kelak tidak menimbulkan kerugian bagi para pengguna IST.

  Beberapa subtes lain juga telah dievaluasi karakteristik psikometrinya, yaitu subtes SE, WA, AN, dan ZR dan menunjukkan bahwa subtes-subtes tersebut juga perlu direvisi. Namun, subtes RA memiliki data evaluasi karakteristik psikometri yang lebih lengkap dibandingkan keempat subtes lainnya meliputi indeks kesukaran aitem, daya diskriminasi aitem, dan deteksi DIF berdasarkan jenis kelamin. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti subtes RA dengan melakukan perevisian pada subtesnya dan menganalisa karakteristik psikometri subtes RA versi revisi tersebut.

  Subtes RA merupakan subtes yang berbentuk hitungan. Subtes ini dapat memberikan informasi mengenai daya pikir praktis bilangan yang dimiliki individu. Hal ini meliputi berpikir praktis mengenai perhitungan, berpikir matematis, logis-induktif, penalaran, serta daya pengambilan keputusan (Polhaupessy, 2009).

  Reich dkk (dalam Gardner, 1996) mengungkapkan bahwa kemampuan individu dalam mengambil keputusan dan berpikir secara logis merupakan kemampuan-kemampuan yang sering dituntut dalam sebuah pekerjaan. Sehingga, penseleksian karyawan berdasarkan hal tersebut adalah hal yang kerap dilakukan (Gardner, 1996). Nyimas (2007) juga mengungkapkan bahwa kemampuan berhitung merupakan kemampuan yang penting dalam berbagai aktifitas kehidupan manusia, termasuk pula dalam hal pekerjaan. Hal-hal ini menunjukkan bahwa subtes RA merupakan subtes yang penting dalam proses penseleksian karyawan dalam sebuah organisasi sehingga alangkah baiknya jika memiliki kualitas yang baik pula.

  Secara umum, hal yang akan dilakukan dalam penelitian ini mencakup revisi pada 17 aitem yang ada pada subtes RA, yaitu aitem nomor 77, 78, 80, 81, 82, 84, 85, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, dan 96. Proses revisi aitem dilakukan dengan mengganti atau menghapus kata-kata yang sudah tidak cocok lagi untuk digunakan di masa sekarang secara keseluruhan ataupun sebagian. Kemudian akan dilakukan analisis psikometri pada subtes yang telah direvisi tersebut.

  2. Rumusan Masalah

  Permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan dalam bentuk pertanyaan yaitu: apakah aitem-aitem subtes RA versi revisi pada IST memiliki karakteristik psikometri yang baik? 3.

   Tujuan Penelitian

  Penelitian ini bertujuan untuk memperbaiki kualitas subtes RA pada

  IST sehingga dapat digunakan sebagai alat untuk mengukur daya pikir praktis bilangan yang dimiliki individu dengan lebih cermat dan akurat.

  4. Manfaat Penelitian

  Penelitian ini diharapkan dapat memberikan maanfaat teoritis maupun praktis yaitu sebagai berikut :

  1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi untuk revisi subtes RA selanjutnya berdasarkan hasil uji karakteristik psikometri subtes RA versi revisi.

  2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan mampu memberikan saran untuk penelitian selanjutnya mengenai revisi subtes RA agar kelak dapat digunakan sebagai salah satu alat ukur alternatif untuk mengukur kemampuan individu dalam berpikir praktis mengenai bilangan.

5. Sistematika Penulisan

  Sistematika penulisan pada laporan penelitian ini sebagai berikut: a.

  Bab I Pendahuluan Bab ini menggambarkan tentang subtes RA pada IST yang memiliki karakteristik psikometri yang kurang baik sehingga memerlukan revisi, identifikasi masalah, rumusan masalah, dan tujuan serta manfaat yang diharapkan dari penelitian.

  b.

  Bab II Tinjauan Pustaka Bab ini berisi teori revisi tes yang digunakan sebagai landasan dalam merevisi aitem subtes RA, teori respon butir yang digunakan dalam analisa karakteristik psikometri subtes RA versi revisi, serta teori mengenai subtes RA dalam IST.

  c.

  Bab III Metode Penelitian Bab ini berisi uraian mengenai jenis penelitian, karakteristik populasi, dan teknik pengambilan sampel. Selain itu juga berisi mengenai proses revisi aitem-aitem subtes RA.

  d.

  Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab ini berisi deksripsi data sampel, hasil uji asumsi, hasil uji karakteristik psikometri, serta pembahasan indeks kesukaran aitem subtes RA versi revisi.

  e.