BAB II PELAKASANAAN PENDAFTARAN TANAH GUNA TERWUJUDNYA CATUR TERTIB PERTANAHAN DI TEBING TINGGI A. Pelaksanaan Pendaftaran Tanah 1. Pengertian Pendaftaran Tanah - Tinjauan Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Terhadap Terwujudnya Catur Tertib Pertanahan Di Kota

BAB II PELAKASANAAN PENDAFTARAN TANAH GUNA TERWUJUDNYA CATUR TERTIB PERTANAHAN DI TEBING TINGGI A. Pelaksanaan Pendaftaran Tanah

1. Pengertian Pendaftaran Tanah

  Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 dijelaskan tentang pengertian Pendaftaran Tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.

  Pengertian data fisik adalah keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang satuan rumah susun yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan diatasnya. Sedangkan pengertian data yuridis adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban - beban lain yang membebaninya.

  Pendaftaran Tanah dilaksanakan berdasarkan asas sederhana, aman, terjangkau, mutahir dan terbuka. Dalam penjelasan pasal demi pasal Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 disebutkan, bahwa yang dimaksud dengan : a.

  Asas sederhana adalah didalam pelaksanaan pendaftaran tanah ketentuan pokoknya maupun prosedurnya mudah dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan.

  b.

  Asas aman adalah untuk menunjukkan bahwa pendaftaran perlu diselenggarakan secara teliti dan cermat, sehingga hasilnya dapat memberikan jaminan adanya kepastian hukum sesuai dengan tujuan pendaftaran tanah.

  c.

  Asas terjangkau adalah keterjagkauan bagi pihak-pihak yang memerlukan, khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan masyarakat golongan ekenomi lemah.

  d.

  Asas Mutakhir adalah kelengkapan yang memadai dalam pelaksanaannya dan berkesinambungan didalam pemeliharaan data, sehingga data yang tersimpan di Kantor Pertanahan tetap sesuai dengan keadaan nyata dilapangan.

  e.

  Asas terbuka adalah masyarakat setiap saat dapat mengetahu atau memperoleh keterangan mengenai data-data yang benar yang tersimpan di Kantor Pertanahan.

2. Dasar Hukum Penyelenggaraan Pendaftaran Tanah

  Untuk menyelenggarakan pendaftaran tanah sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 yang telah dijelaskan dalam penjelasan umum UUPA menyatakan bahwa bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya pada tingkatan yang tertinggi yang dikuasai oleh Negara. Sesuai dengan pemikiran tersebut perkataan dikuasai dalam hal ini bukanlah berarti dimiliki, akan tetapi adalah pengertian yang memberi wewenang kepada Negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia pada tingkatan yang tertinggi untuk : a.

  Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah.

  b.

  Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas tanah.

  c.

  Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan huku antara orang-orang dan badan-badan hukum atas tanah.

  Atas dasar wewenang tersebut, maka Pemerintah berkewajiban untuk melaksanakan pendaftran tanah diseluruh Indonesia sebagaimana yang telah ditegaskan dalam pasal 19 UUPA itu sendiri. Pendaftaran tanah ini diselenggarakan dengan cara sederhana dan mudah dimengerti yang bersifat recht kadaster yaitu bertujuan untuk menjamin kepastian hukum. Untuk melaksanakan kewajiban tersebut Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 dan telah diperbaharui menjadi Peratauran Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah jo. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala badan Pertanahan Nasioanal No 3 Tahun 1997 tentang Peraturan Pelaksana Pendaftaran Tanah. Disamping itu peraturan perundang-undangan lainnya yang juga dipedomani dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah antara lain : a.

  Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1997 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4725). b.

  Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130).

  c.

  Peraturan Pemerintah No. 48/1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan jo. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 1994.

  d.

  Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai.

  e.

  Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pembuat Akta Tanah.

  f.

  Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010 tentang Jenis Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Badan Pertanahan Nasional .

  g.

  Peraturan Menteri Negara Agraria /Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembetalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara jo. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah dan Kegiatan Pendaftaran Tanah Tertentu.

  h.

  Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan. i.

  Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Nomor 7 Tahun 2007 tentang Panitia Pemeriksa Tanah. j.

  Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia No. 8 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997.

3. Tujuan Pendaftaran Tanah

  Pendaftaran tanah di Indonesia sebagaimana ditegaskan dalam pasal 19 ayat 1 UUPA diadakan bertujuan untuk memberikan jaminan kepastian hukum hak-hak atas tanah. Kepastian hukum yang dimaksud meliputi : a.

  Status tanahnya yaitu kepastian mengenai jenis hak atas tanah tersebut.

  Kepastian ini diperlukan karena bermacam-macam hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 16 UUPA masing-masing memberi wewenang dan kewajiban yang berbeda - beda.

  b.

  Subyeknya yaitu kepastian mengenai orang-orang atau badan hukum yang menjadi pemegang hak. Kepastian ini diperlukan karena adanya subyek- subyek hak yang dapat melakukan perbuatan hukum sehubungan dengan tanah tersebut.

  c.

  Obyeknya yaitu kepastian mengenai letak, batas-batasnya serta luas bidang tanahnya. Kepastian ini diperlukan untuk menghindari adanya persengketaan.

  d.

  Hukumnya yang berlaku yaitu untuk memudahkan pihak-pihak yang bersangkutan mengetahui hukum yang berlaku dan wewenang serta kewajiban yang ada padanya sesuai dengan tanah yang dimilikinya, juga agar pihak yang bersangkutan dapat mempermaklumkan haknya berdasarka hukum yang berlaku.

  Pelaksanaan pendaftaran tanah menganut azas sederhana, aman, terjangkau, mutakhir dan terbuka. Berdasarkan pasal 3 PP Nomor 24 tahun 1997 penyelenggaraan pendaftaran tanah bertujuan : a.

  Untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan, dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.

  b.

  Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam rangka mengadakan perbuatan hukum menganai bidang- bidan tanah dan satuan rumah susun yang sudah terdaptar.

  c.

  Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.

4. Hak - Hak Atas Tanah

  Hak atas tanah adalah wewenang mempergunakan sebagian tertentu permukaan bumi dan sebagian tubuh bumi yang ada di bawah tanah dan air serta ruang yang ada di atasnya. Tubuh bumi dan air serta ruang yang dimaksudkan itu bukan kepunyaan pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Pemegang hak atas tanah hanya diperbolehkan menggunakannya dan itupun ada batasnya yaitu sekedar diperlukan untuk

  

  kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan itu. Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam pasal 16 ayat 1 UUPA adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak guna Bangunan, hak Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka Tanah, Hak Memungut Hasil Hutan dan Hak-hak lainnya yang akan ditetapkan dengan Undang-Undang dan hak-hak yang sifatnya sementara.

  Dari hak-hak tersebut di atas, dalam setiap peralihannya, hapusnya dan pembebanannya dengan hak lain harus didaftar menurut ketentuan - ketentuan Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 adalah Hak Milik (pasal 23 UUPA), Hak Guna Usaha (pasal 32 UUPA), Hak Guna Bangunan (pasal 38 UUPA), Semua Hak Pakai termasuk yang diperoleh Departemen - Departemen, Direktorat - Direktorat dan Daerah daerah Swantantra (PMA No. 9 Tahun 1965), dan semua Hak Pengoelolaan (PMA No. 9 tahun 1965 jo. PMDN No. 5 1974).

  Selanjutnya mengenai Hak Sewa, Hak Memungut Hasil Hutan dan hak-hak lainnya belum ada peraturannya yang mengharuskan hak tersebut harus didaftar apabila dialihkan kepada orang lain. Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai adalah hak atas tanah yang langsung bersumber pada hak bangsa atau apa yang disebut hak-hak primer yaitu hak yang

   diberikan oleh Negara.

9 Boedi Harsono., Hukum Agraria Di Indonesia Sejarah Pembentukan

  Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 1997, hal. 17. 10 Boedi Harsono., Op. cit., hal. 220.

a. Hak Milik

  Hak Milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat fungsi sosial tanah (Pasal 20 UUPA). Turun - temurun artinya hak milik tidak hanya berlangsung selama pemilik hak tersebut masih hidup, tetapi dapat diwariskan berturut- turut dan atau diturunkan kepada orang lainnya, yaitu untuk menunjukan bahwa hak miliklah yang paling kuat dan penuh. Menurut Pasal 22 UUPA, bahwa Hak Milik terjadi menurut Hukum Adat, karena Penetapan Pemerintah, dan karena ketentuan Undang-Undang. Sedangkan Hak Milik hapus bila (Pasal 27 UPA) : 1)

  Tanahnya jatuh kepada Negara, karena Pencabutan hak yang digunakan untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat; Penyerahan secara sukarela oleh pemiliknya; Diterlantarkan; dan Melanggar prinsip nasionalitas, yaitu hak milik jatuh kepada orang asing.

2) Tanahnya musnah.

b. Hak Guna Bangunan

  Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang lagi dengan waktu paling lama 20 tahun (Pasal 35 UUPA). Bangunan tersebut bisa rumah sebagai tempat hunian maupun rumah tempat usaha (rumah toko atau rumah tempat usaha/kantor), bangunan tempat kegiatan olah raga, bangunan

   tempat kegiatan pariwisata serta bangunan-bangunan lainnya.

  Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas tanah, menyatakan bahwa tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Bangunan adalah Tanah Negara, Tanah Hak Pengelolaan, Tanah Hak Milik. Jangka waktu Hak Guna Bangunan maksimal selama 30 tahun dan dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun, selanjutnya setelah masa perpanjangan Hak Guna Bangunan tersebut berakhir, kepada bekas pemegang hak dapat diberikan pembaharuan Hak Guna Bangunan diatas tanah yang sama (Pasal 25 PP Nomor 40 tahun 1996).

  Hak Guna Bangunan dapat terjadi karena penetapan pemerintah, bagi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dan perjanjian yang berbentuk otentik karena penetapan pemerintah antara pemilik tanah yang bersangkutan dengan pihak yang akan memperoleh Hak Guna Bangunan, untu tanah milik (Pasal 37 UUPA). Hak Guna Bangunan dapat beralih dan dialihkan. Peralihan Hak Guna Bangunan terjadi karena jual beli, tukar menukar, penyertaan dalam modal, hibah dan pewarisan (Pasal 34 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996).

  Pasal 40 UUPA menyatakan bahwa Hak Guna Bangunan hapus karena 11 jangka waktunya berakhir, dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir Oloan Sitorus dan Zaki Sierra, Hukum Agraria Di Indonesia Konsep

  Dasar dan Implementasi , Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta, 2006, hal. 196. karena sesuatu syarat tidak dipenuhi, dilepaskan oleh pemegang haknya sbelum jangka waktunya berakhir, dicabut untuk kepentingan umum, diterlantarkan, tanahnya musnah, ketentuan dalam Pasal 36 ayat 2 yakni karena pemegang Hak Guna Bangunan tidak melepaskan atau mengalihkan kepada yang berhak dalam waktu 1 (satu) tahun disebabkan pemegang hak tidak lagi berwenang sebagai subyek Hak Guna Bangunan.

c. Hak Pakai

  Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai oleh Negara, yang memberi wewenang dan kewajiban kepada pemegangnya seperti yang ditentukan dalam keputusan pemberian haknya oleh pejabat yang berwenang (Pasal 41 ayat (1) UUPA). Pasal 41 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 menyatakan bahwa tanah yang dapat diberikan dengan Hak Pakai adalah: Tanah Negara, Tanah Hak Pengelolaan, Tanah Hak Milik. Jangka waktu Hak Pakai maksimal adalah 25 (dua puluh lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu, selanjutnya setelah masa perpanjangan Hak Pakai tersebut berakhir, kepada bekas pemegang hak dapat diberikan pembaharuan Hak Pakai diatas tanah yang sama (Pasal 45 PP Nomor 40 tahun 1996).

  Pasal 55 PP No. 40 Tahun 1996 menyatakan, bahwa Hak Pakai hapus karena jangka waktunya berakhir, dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi, dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir, dicabut untuk kepentingan umum, diterlantarkan, tanahnya musnah, ketentuan dalam Pasal 36 ayat 2 yakni karena pemegang Hak Pakai tidak melepaskan atau mengalihkan kepada yang berhak dalam waktu 1 (satu) tahun disebabkan pemegang hak tidak lagi berwenang sebagai subyek Hak Pakai.

5. Pelaksana Pendaftaran Tanah

  a. Badan Pertanahan Nasional

  Penyelenggaraan pendaftaran tanah diwilayah negara Republik Indonesia sebagaimana ditegaskan dalam pasal 19 UUPA, bahwa penyelenggaraan pendaftaran tanah di Indonesia dilaksanakan oleh Pemerintah dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional (BPN) sesuai dengan yang ditentukan dalam pasal 5 dan 6 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997. Dalam penyelenggaraan tugas kegiatan pendaftaran tanah di tingkat kabupaten/kota, tugas pelaksanaan pendaftaran tanah dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah khususnya pembuatan akta peralihan dan pembebanan hak atas tanah dalam kegiatan pemeliharan data pendaftaran tanah, serta Pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan - kegiatan tertentu menurut peraturan perundang - undangan yang bersangkutan.

  b. Pejabat Pembuat Akta Tanah

  Dalam rangka menyelenggarakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh PPAT, khususnya dalam kegiatan pemeliharan data pendaftaran tanah karena pemindahan hak atas tanah wujud dari upaya tersebut melalui akta-akta yang dibuatnya. Perbuatan hukum pemindahan hak dimaksud adalah perbuatan pengalihan dari orang pertama yang telah mendaftarkan hak itu kepada orang kedua (pihak lain)

   yang menerima hak atas tanah.

  Perbuatan hukum tersebut dituangkan dalam akta yang dijadikan sebagai dasar pendaftarn atas perubahan data pendaftarn tanah (pasal 2 ayat (1) PP No. 37 tahun 1998) jenis dan bentuk akta sebagaimana diuraikan dalam pasal 95 PMNA/KBPN No. 3 tahun 1997 dan pasal 2 ayat (2) PP No. 37 tahun 1998 adalah jual beli, tukar menukar hibah, pemasukan kedalam perusahaan (inbreng) dan pembagian hak bersama, pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik, Pemnberian hak Tanggungan dan Pemberian Kuasa membebankan Hak Tanggungan.

  Menurut pasal 1 angka 1 PP No. 37 tahun 1998, Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disingkat PPAT) adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun. Kedudukan PPAT sebagai pejabat umum, maka akta yang dibuat mengenai perbuatan hukum dimaksad merupakan akta otentik. Pengertian 12 akta otentik menurut pasal 1868 Kitab Undang Undang Hukum Perdata

  Muhammad Yamin., Problematika Mewujudkan Jaminan Kepastian

  Hukum Atas Tanah Dalam Pendaftaran Tanah , Pidato Pengukuhan, USU, Medan, 2006, hal. 20.

  (selanjutnya disebut KUHPerdata) ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh Undang - Undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai - pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat akta

   dibuatnya.

6. Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah

  Pada dasarnya semua Warga Negara Indonesia mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan sesuatu hak atas tanah sebagaimana diatur dalam UUPA, namun demikian dalam pemberiannya Negara mempunyai wewenang untuk menentukan hak apa yang bisa diberikan kepada seseorang atau Badan

14 Hukum. Kewenangan Negara untuk memberikan jenis hak apa saja kepada

  seseorang atau badan hukum tersebut dilaksanakan dalam kegiatan pendaftaran tanah sebagaimana ditegaskan dalam pasal 19 UUPA jo. pasal 5 dan pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997, bahwa penyelenggaraan pendaftaran tanah di Indonesia dilaksanakan oleh Pemerintah dalam hal ini dilaksanakan oleh Instansi Badan Pertanahan Nasional (BPN).

  Tugas dan kewenangan pemberian hak atas tanah, oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia melimpahkan sebagian kewenangannya kepada Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang pembagian kewengannya 13 R.Subekti dan R.Tjitrosudibyo., Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Cetakan Ketigapuluh dua, Pradnya Paramita, Jakarta, 2004, hal. 47. 14 Oloan Sitorus., Pemberian Hak Atas Tanah Yang Berwawasan Lingkungan , STPN, Yogyakarta, 2005, hal. 33. sebagaimana ditentukan dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara, dan diperbaharui dengan Peratuaran Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2011 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah Tertentu.

  Pemberian Hak Atas Tanah merupakan penetapan Pemerintah yang memberikan suatu hak atas tanah negara, termasuk perpanjangan jangka waktu hak dan pembaharuan hak serta pemberian hak di atas Hak Pengelolaan. Dalam pasal 1 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2011 dijelaskan, bahwa Tanah Negara atau tanah yang dikuasai langsung oleh Negara adalah tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak atas tanah. Pemberian hak atas Tanah Negara tersebut dapat berupa pemberian hak secara individual maupun pemberian hak secara kolektif. Pemberian hak secara individual dalam Pasal 1 butir (6) PMNA/Ka.BPN Nomor 3 Tahun 1999 adalah pemberian hak atas sebidang tanah kepada seseorang atau sebuah badan hukum tertentu atau kepada beberapa orang atau badan hukum secara bersama sebagai penerima hak bersama, yang dilakukan dengan satu penetapan pemberian hak. Pemberian hak secara kolektif dalam Pasal 1 butir (7) PMNA/Ka.BPN Nomor 3 Tahun 1999 adalah pemberian hak atas beberapa bidang tanah masing-masing kepada seseorang atau sebuah badan hukum atau kepada beberapa orang atau badan hukum sebagai penerima hak bersama, yang dilakukan dengan satu penetapan pemberian hak.

  Pengertian mengenai pemberian hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 butir (5) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (PMNA/Ka.BPN) Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian hak atas tanah negara adalah penetapan pemerintah yang memberikan suatu hak atas tanah negara, termasuk perpanjangan jangka waktu hak dan pembaharuan hak.

  Dalam memberikan hak atas tanah Negara dapat berupa pemberian hak secara individual maupun pemberian hak secara kolektif. Pemberian hak secara individual menurut pasal 1 butir (6) PMNA/Ka.BPN Nomor 3 Tahun 1999 adalah pemberian hak atas sebidang tanah kepada seseorang atau sebuah badan hukum tertentu atau kepada beberapa orang atau badan hukum secara bersama sebagai penerima hak bersama, yang dilakukan dengan satu penetapan pemberian hak. Sedangkan Pemberian hak secara kolektif dalam

  pasal 1 butir (7) PMNA/Ka.BPN Nomor 3 Tahun 1999 adalah pemberian hak atas beberapa bidang tanah masing - masing kepada seseorang atau sebuah badan hukum atau kepada beberapa orang atau badan hukum sebagai penerima hak bersama, yang dilakukan dengan satu penetapan pemberian hak.

  Dalam pelayanan sehari-hari pemberian hak atas tanah negara, dilaksanakan oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota se Indonesia. Hal ini dikarenakan Kantor Wilayah BPN dan Kantor Pertanahan adalah instansi vertikal Badan Pertanahan Nasional RI di provinsi dan kabupaten/kota, sehingga Kepala Kantor Wilayah dan Kepala Kantor Pertanahan adalah pejabat Pemerintah Pusat di daerah, sebagaimana diatur dalam PMNA/Ka.BPN Nomor 3 Tahun 1999. Adapun pelaksana pelimpahan pemberian hak atas tanah negara dalam pelaksanaan sehari-hari adalah Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi dan para Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Hal ini dikarenakan Kantor Wilayah BPN dan Kantor Pertanahan adalah instansi vertikal BPN di provinsi dan kabupaten/kota, sehingga Kepala Kantor Wilayah dan Kepala Kantor Pertanahan adalah pejabat Pemerintah Pusat di daerah. Sebagaimana yang diatur dalam PMNA/Ka.BPN Nomor 3 Tahun 1999 terlihat memberi tambahan kewenangan pengambilan keputusan mengenai pemberian hak atas tanah yang lebih besar kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.

  Pembagian kewenangan pemberian hak didasarkan pada luasan tanah yang dimohonkan. Menurut Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011, pembagian kewenangan pemberian hak atas Tanah Negara secara sederhana dirangkum dalam Tabel 1 sebagai berikut.

  Tabel 1 Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Menurut Per.Kaban BPN RI Nomor 1 Tahun 2011

  Kewenangan Kepala Kantor Kewenangan Kepala Kantor Wilayah Pertanahan Kabupaten/Kota Badan Pertanahan Provinsi

  Pemberian Hak Milik : Pemberian Hak Milik :

  • Tanah pertanian, luas tidak lebih Untuk orang perseorangan atas
dari 2 Ha tanah pertanian, luas lebih dari 2 ha

  • Tanah non pertanian, luas tidak Untuk Badan Hukum atas tanah lebih dari 2.000 m2 pertanian, luas lebih dari 2 ha

  Pemberian hak milik dalam rangka Pemberian Hak milik tanah non pelaksanaan program Transmigrasi, pertanian, luas lebih dari 2.000 m2 Redistrabusi Tanah, Konsolidasi dan tidak lebih dari 5.000 m2 Tanah, Pendaftaran Tanah bersifat Pemberian Hak Guna Usaha : strategis, massal dan program - Untuk luas tidak lebih dari lainnya 1.000.000 m2

  Pemberian Hak Guna Bangunan : Pemberian Hak Guna Bangunan :

  Untuk orang perseorangan, luas Untuk orang perseorangan, luas tidak lebih dari 1.000 m2 lebih dari 1.000 m2 dan tidak lebiah dari 5.000 m2

  • lebih dari 5.000 m2

  Untuk Badan Hukum , luas tidak

  • Pemberian Hak Pakai : dari 5.000 m2 dan tidak lebih dari

  Untuk Badan Hukum , luas lebih

  • tanah pertanian , luas tidak lebih Pemberian Hak Pakai : dari 2 ha

  75.000 m2 Untuk orang perseorangan atas

  • tanah pertanian, luas lebih dari 2 ha

  Untuk orang perseorangan atas

  • pertanian , luas tidak lebih dari 2

  Untuk Badan Hukum atas tanah

  Untuk Badan Hukum atas tanah ha pertanian, luas lebih dari 2 ha

  • Untuk orang perseoranagn atas Untuk orang perseorangan atas tanah non pertanian, luas tidak tanah non pertanian, luas lebih dari
lebih dari 2.000 m2 2.000 m2 dan tidak lebih dari 5.000 m2

  • non pertanian, luas tidak lebih dari

  Untuk Badan Hukum atas tanah

  Untuk Badan Hukum atas tanah 2.000 m2 non pertanian, luas lebih dari 2.000 m dan tidak lebih dari 25.000 m2

  • tanah Hak Pengelolaan Dari Tabel 1 tersebut dapat diketahui, bahwa adanya perbedaan kewenangan dalam pemberian hak atas tanah, jika pemberian hak atas tanah diwilayah kabupaten/kota melebihi luas yang telah ditetapkan, maka keputusan pemberian hak atas tanah berada pada Kantor Wilayah BPN Provinsi, kecuali dalam pemberian Hak Guna Usaha sudah menjadi kewenangan Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi.

  Semua pemberian Hak Pakai atas

  Setelah dilakukan pemberian hak atas tanah, selanjutnya diatur mengenai tata cara pembatalan hak atas tanah yang diatur dalam PMNA/Ka.BPN Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan. Pada dasarnya peraturan ini untuk melaksanakan ketentuan pemberian hak atas tanah berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah Negara serta PMNA/Ka.BPN Nomor 3 Tahun 1999. Tata cara pemberian HAT dapat dilaksanakan secara individu maupun secara kolektif.

  Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) PMNA/Ka.BPN Nomor 3 Tahun 1999 bahwa sebelum mengajukan permohonan hak, pemohon harus menguasai tanah yang dimohonnya, dibuktikan dengan data yuridis dan data fisik sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. Disamping mengatur tata cara pemberian Hak milik, Hak Pakai, Hak Guna Bangunan di dalam peraturan ini juga mengatur Hak Pengelolaandan sekaligus kewajiban- kewajiban yang harus dipenuhi oleh penerima hak atas tanah.

  Pemberian hak terjadi dengan diterbitkan surat keputusan pemberian hak oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Keputusan pemberian hak kewenangannya berada pada Kepala BPN RI, namun demikian kewenangan pemberian hak tersebut sebagian dilimpahkan kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanhaan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Dengan memberikan pelimpahan kewenangan yang lebih besar kepada Kepala Kantor Kabupaten/Kota dapat memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam mengurus pendaftaran tanahnya yang pada akhirnya akan dapat mengurangi permasalahan-permasalahan yang timbul di

   bidang pertanahan khususnya pemberian hak atas tanah.

7. Peralihan Hak Atas Tanah

  Hak-Hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 16 Undang Undang No. 5 tahun 1960 antara lain berupa hak milik, hak guna 15 Sukayadi., Pengelolaan Tanah Negara dan Tanah Aset Pemerintah, STPN, Yogyakarta, 2007, hal. 29. usaha, hak guna bangunan dan hak pakai dapat dialihkan oleh pemiliknya kepada pihak lain sebagaimana yang diatur dalam pasal 20 ayat (2), asal 28 ayat (3), pasal 35 ayat (3), dan pasal 43 UU No. 5 tahun 1960 jo. pasal 37 ayat (1) PP No. 24 tahun 1997. Adapun bunyi dari pasal-pasal tersebut sebagai berikut : a.

Pasal 20 Ayat (2) Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

  b.

Pasal 28 ayat (3) Hak guna usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

  c.

Pasal 35 ayat (3) Hak guna bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

  d.

  Pasal 43 menyatakan sepanjang mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara maka hak pakai hanya dapat dialihkan kepada pihak lain dengan izin pejabat yang berwenang. Hak Pakai atas tanah milik hanya dapat dialihkan kepada pihak lain, jika hal itu dimungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan.

  e.

  Pasal 37 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997 Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan data perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang menurut ketentuan perundang-undangan dan peraturan yang berlaku.

  Boedi Harsono menyatakan bahwa peralihan hak atas tanah, bisa terjadi karena pewarisan tanpa wasiat dan pemindahan hak. Peralihan hak karena pewarisan tanpa wasiat, menurut hukum perdata terjadinya pewarisan tanpa wasiat, jika pemegang sesuatu hak atas tanah meninggal dunia, maka

  

  hak tersebut beralih kepada ahli warisnya. Peralihan hak tersebut terjadi karena peristiwa hukum dengan meninggalnya pemegang hak. Berbeda dengan beralihnya hak - hak atas tanah karena pemindahan hak.

  Pemindahan hak terjadi karena terjadinya perbuatan hukum atas hak - hak tanah yang bersangkutan dengan sengaja dialihkan kepada pihak lain.

  Bentuk pemindahan haknya bisa : jual beli, tukar menukar, hibah, pemberian menurut adat, pemasukan dalam perusahaan atau inbreg dan hibah-wasiat atau ”legaat”.

8. Kegiatan Pendaftaran Tanah

  Untuk pencapaian tujuan dari pendataran tanah, maka berdasarkan

  pasal 11 PP Nomor 24 tahun 1997 dilaksanakan kegiatan pendaftaran tanah meliputi Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali ; dan

  • Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah.
  • Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali dapat dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara sistematik dan secara sporadik (pasal 13 PP No. 24/1997). Pendaftaran tanah secara sistematik pelaksanaannya didasarkan
  • 16 Boedi Harsono., Hukum Agraria Di Indonesia Sejarah Pembentukan

      Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 2005, hal. 329. atas program Pemerintah dengan rencana kerja melalui program kegiatan pensertipikatan tanah secara massal. Sedangkan pendaftaran tanah sporadik dilaksanakan atas inisiatip masyarakat yang berkepentingan. Kegiatan pendaftaran tanah pertama kali dilaksanakan atas tanah negara yang secara fisik telah dikuasai dan dipergunakan oleh masyarakat dengan itikad baik, dan atas tanah milik adat yang yang dibawah penguasaan pemiliknya.

      Pemeliharaan data pendaftaran tanah adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk menyesuaikan data fisik dan data yuridis dalam peta pendaftaran, daftar tanah, daftar nama, surat ukur, buku tanah, dan sertipikat dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian. Berdasarkan pasal 94 PMNA/Ka BPN No.3 tahun 1997 pemeliharaan data pendaftaran tanah dilaksanakan dengan pendaftaran perubahan data fisik dan atau data yuridis obyek pendaftaran tanah yanag telah terdaftar dengan mencatatnya didalam daftar umum sesuai dengan ketentuan didalam peraturan ini.

    a. Kegiatan Pendaftaran Tanah Pertama Kali

      Pendaftaran tanah pertama kali adalah kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar.

      Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali berdasarkan pasal 12 PP No. 24 tahun 1997 meliputi kegiatan : pengumpulan dan pengolahan data yuridis.

    • pengumpulan data fisik melaluli pengukuran bidang tanah.
    • pembuktian hak dan pembukuaannya.
    • >penerbitan sertipikat.

    • Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali dapat dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara sistematik dan secara sporadik (pasal 13 PP. No. 24/1997). Pendaftaran tanah secara sitematik pelaksanaannya didasarkan atas program pemerintah dengan rencana kerja melalui program kegiatan pensertipikatan tanah secara massal. Sedangkan pendaftaran tanah sporadik dilaksanakan atas inisiatip masyarakat yang berkepentingan. Kegiatan pendaftaran tanah pertama kali dapat dilaksanakan melalui pengakuan hak atas tanah milik adat yang dibawah penguasaan pemeliknya, dan melalui pemberian hak atas tanah negara yang secara fisik telah dikuasai dan dipergunakan oleh masyarakat dengan itikad baik.

      penyimpanan daftar umum dan dokumen.

    b. Kegiatan Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah

      Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah berdasarkan pasal 36 PP. No. 24 tahun 1997 dilakukan apabila terjadi perubahan pada data fisik dan data yuridis atas bidang-bidang tanah telah bersertipikat yang meliputi : Kegiatan pendaftaran peralihan dan pembebanan hak atas tanah.

    • Kegiatan pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah lainnya.
    • Pendaftaran peralihan hak dilaksanakan apabila terjadi jual beli, tukar menukar, hibah, pewarisan, pembagian hak bersama, lelang, dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya berupa warisan dan wasiat. Perbuatan hukum tersebut harus dibuktikan dengan akta yang diperbuat oleh Pejabat

      Pembuat Akta Tanah (PPAT). Pendaftaran pembebanan hak tanggungan dilaksanakan atas tanah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan juga pembebanan hak lainnya berupa pembebanan hak milik atas satuan rumah susun. Pelaksanaan pendaftaran pembebanan hak tersebut dapat didaftar jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT sebgaimana yang ditentukan dalam pasal 44 PP 24 tahun 1997.

      Pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah lainnya berdasarkan

      pasal 47, 48 dan 51 PP No. 24 tahun 1997, dilaksanakan apabila terjadi kegiatan perpanjangan jangka waktu hak atas tanah dan kegiatan pemecahan, pemisahan, penggabungan bidang tanah, pembagian hak bersama yang sudah bersertipikat serta kegiatan lainya berupa ganti nama, lelang, dan kegiatan yang berkaitan dengan kebutuhan informasi pertanahan.

    c. Kegiatan Pengukuran Dan Pemetaan Bidang Tanah

      Pengukuran dan pemetaan bidang tanah merupakan salah satu rangkaian kegiatan pelaksanaan pendaftaran tanah untuk pertama kali dan kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah jika terjadi perubahan data fisik. Untuk keperluan pengumpulan dan pengolahan data fisik, sebagaimana ditentukan dalam pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 jo. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 1997 dilakukan kegiatan pengukuran dan pemetaan bidang - bidang tanah yang meliputi :

      Pembuatan peta dasar pendaftaran.

      Penetapan batas bidang-bidang tanah.

    • Pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah.
    • Pembuatan peta pendaftaran.
    • Pembuatan daftar tanah.
    • Pembuatan surat ukur.
    • Sebelum pengukuran dan pemetaan bidang tanah dilakukan terlebih dahulu dilakukan kegiatan penetapan dan pemasangan batas bidang tanah. Dalam pasal 17 PP No. 24 tahun 1997 dijelaskan dalam melaksanakan kegiatan penetapan batas bidang tanah diupayakan pemetaannya berdasarkan kesepakatan para pihak yang berkepentingan dan tanda-tanda batas dipasang di setiap sudut bidang tanah. Penempatan dan pemeliharaan tanda - tanda batas wajib dilakukan oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan.

      Pengukuran bidang tanah dapat dilaksanakan dengan cara terrestrial, fotogrametrik, atau metode lainnya. Prinsip dasar pengukuran bidang tanah dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah adalah harus memenuhi kaidah - kaidah teknis pengukuran dan pemetaan sehingga bidang tanah yang diukur dapat dipetakan dan dapat diketahui letak dan batas-batasnya di atas peta serta dapat direkonstruksi kembali batas- batasnya dilapangan. Kegiatan pengukuran dilaksanakan untuk memperoleh data fisik yang diperlukan bagi pendaftaran tanah untuk pertama kali atas bidang-bidang tanah yang dilaksanakan melalui tahapan penetapan dan pemasangan tanda-tanda batas tanah, pengukuran bidang tanah, pembuatan peta pendaftaran tanah, pembuatan Peta Bidang Tanah dan Surat Ukur yang diperlukan untuk penerbitan sertipikat.

    d. Kegiatan Tata Usaha Pendaftaran Tanah

      Desa dapat dipandang sebagai awal administrasi pertanahan berpangkal, setidak-tidaknya menurut tinjauan historis. Beberapa hal yang mendasar dapat dilihat pada dasar hukum pertanahan Indonesia yaitu hukum adat dan adanya pendaftaran tanah desa demi desa sebagaimana digariskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah. Dari tingkat desalah “administrasi“ pertanahan berdasar hukum adat itu berawal, dengan antara lain kelembagaan- kelembagaan seperti kesaksian, asas terang dan tunai dalam peralihan hak

      

      atas tanah dan lain-lain. Berawal dari pengadministrasian tanah yang dilaksanakan di tingkat Desa atau Kelurahan tersebut, saat ini pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah, berdasarkan pasal 10 PP. No.24 tahun 1997 masih tetap menganut satuan wilayah tata usaha pendaftaran menggunakan satuan wilayah desa atau kelurahan, kecuali untuk pendaftaran Hak Guna Usaha, Hak Pengeloaan dan Hak Tanggungan menggunakan satuan wilayah tata usaha pendaftraannya Kabupaten atau Kotamadya.

      Dalam pasal 140 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan 17 Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 1997 ditentukan, bahwa dalam rangka Djoko Walijatun, Tanah Dan Pertanahan, STPN, Yogyakarta, STPN, Yogyakarta, 1997, hal. 10. penyelenggaraan kegiatan tata usaha pendaftaran tanah dipergunakan daftar-daftar isian yang terdiri dari daftar isian data fisik dan daftar isian data yuridis. Untuk pembukuan hak atas tanah dalam rangka penerbitan sertipikat dibukukan dalam daftar umum yang terdiri dari Daftar Tanah (DI 203), Daftar Nama (DI 204), Daftar Surat Ukur (DI 311 B) dan Daftar Hak (DI 312) yang tata cara pengadministrasiannya diatur menurut pasal- pasal sebagi berikut :

    • Menurut pasal 146 PMNA/KBPN No. 3 tahun 1997, daftar tanah (DI

      203) dibuat per desa/kelurahan yang isinya dibukukan semua bidang tanah baik yang dikuasai oleh perorangan, badan hukum maupun pemerintah dengan sesuatu hak maupun tanah negara yang terletak didesa yang bersangkutan.

    • Menurut pasal 171 PMNA/KBPN No. 3 tahun 1997, pembuatan daftar nama (DI 204) untuk mengetahui pemilikan hak atas tanah, hak pengelolaan atau hak milik atas satuan rumah susun oleh seseorang atau badan hukum. Satu daftar nama dibuat untuk satu orang atau satu badan hukum.
    • Menurut pasal 156 dan pasal 158 PMNA/KBPN No. 3 tahun 1997 ditentukan untuk keperluan pendaftaran hak dibuatkan surat ukur pada tiap - tiap bidang tanah dan untuk dalam rangka penerbitan sertipikat dibuatkan salinan surat ukur. Setiap surat ukur yang diterbitkan dicatat dalam daftar surat ukur (DI 311) dan dijilid dalam bentuk buku.
    • Menurut pasal 162 dan 169 PMNA/KBPN No. 3 tahun 1997 ditentukan untuk setiap hak atas tanah, hak pengelolaan, hak milik atas
    satuan rumah susun, hak tanggungan dan tanah wakaf dibuatkan satu buku tanah. Buku tanah hak milik, hak guna bangunan, hak pakai, hak atas satuan rumah susun dan tanah wakaf disusun menurut jenis hak dengan satuan wilayah desa/kelurahan.

      Selain daftar-daftar tersebut dalam pnyelenggaraan kegiatan pendaftaran tanah dilakukan pada daftar-daftar lainnya berupa daftar permohonan pekerjaan pendaftaran tanah (DI 301), daftar permohonan pengukuran (DI 302), daftar pelayanan informasi (DI 303), daftar penyelesaian pekerjaan pendaftaran tanah (DI 208), daftar penyerahan sertipikat (DI 301 A), daftar penerimaan biaya pendaftaran tanah (DI 305), daftar peta (DI 311 A).

    9. Sisitem Publikasi Pendaftaran Tanah

      Sistem publikasi pendaftaran tanah yang dianut di Indonesia adalah sistem negatif tetapi mengandung unsur positif, sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah yang merupakan penyempurnaan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961. Sistem publikasi ini pada hakekatnya sudah ditetapkan dalam Undang - Undang Pokok Agraria (UUPA) yaitu bahwa penyelenggaraan pendaftaran tanah di Indonesia dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum hak-hak atas tanah dengan memberikan surat tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat yang berlaku sebagai alat bukti yang kuat tetapi tidak mutlak. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam pasal 19 ayat (2) huruf c, pasal 23 ayat (2), pasal 32 ayat (2) dan pasal 38 ayat (2) UUPA.

    10. Obyek Pendaftaran Tanah

      Dalam pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 yang menjadi obyek kegiatan pendaftaran tanah meliputi : a.

      Bidang - bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai.

      b.

      Tanah hak pengelolaan.

      c.

      Tanah wakaf.

      d.

      Hak milik atas satuan rumah susun.

      e.

      Hak tanggungan.

      f.

      Tanah negara.

    B. Catur Tertib Pertanahan

    1. Dasar

      Salah satu usaha untuk mewujudkan kepastian hukum hak - hak atas tanah dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dibidang pertanahan, pemerintah telah mengambil langkah - langkah atau kebijaksanaan sebagaimana telah disinggung dalam Kepres Nomor 7 tahun 1979 tentang Rencana Pelita III telah ditetapkan kebijaksanaan pokok dibidang pertanahan yang dikenal dengan Catur Tertib Pertanahan yang meliputi Tertib Hukum, Tertib Adminisrasi Pertanahan, Tertib Pengunaan Tanah, Tertib Pemeliharaan dan Lingkungan. Kebijaksanaan tersebut sebagai pelaksanaan dari Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978 yang menetapkan agar pembangunan dibidang pertanahan diarahkan untuk menata kembali penggunaan, penguasaan, dan pemilikan tanah.

      Catur Tertib Pertanahan yang merupakan salah satu kebijaksanaan dibidang pertanahan yang dijadikan landasan untuk mengadakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemeliharaan tanah. Kebijaksanaan ini antara lain dituangkan dalam program-program khusus dibidang pelaksanan pendaftaran tanah dalam rangkan untuk memberikan jaminan kepastian hukum tentang pemilikan hak atas tanah yang dibuktikan dengan suatu surat anda bukti hak (sertipikat).

      Kebijaksanaan ini diadakan oleh Pemerintah berlatar belakang karena masih banyak ditemui bidang - bidang tanah yang belum terdaftar yang penguasaannya tanpa surat tanda bukti hak (sertipikat) serta kurang dipahami oleh masyarakat tentang peraturan-peraturan dibidang pertaanahan.

      Disamping itu masih ditemui sengketa tanah yang salah satu penyebabnya dalam melakukan peralihan hak tidak sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan dalam PP No. 24 tahun 1997 seperti jual beli dibawah tangan atau dengan mempergunakan surat kuasa mutlak.

    2. Tujuan

      Sehubungan dengan diadakannya pendaftaran tanah yang bertujuan untuk memberikan jaminan kepastian hukum hak-hak atas tanah, juga Pemerintah telah membuat kebijasanaan - kebijaksanaan dengan maksud agar dapat meningkatkan tertib penguasan pemilikan hak-hak atas tanah dan tersedianya data - data pertanahan yang ditujukan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat di bidang pertanahan.

      Tertib hukum pertanahan bertujuan akan menimbulkan kepastian hukum pertanahan sebagai pengayoman hak-hak atas tanah dan penguasaan nya. Dengan jelasnya hak-hak kepemilikan atas tanah yang dikuasai oleh pemiliknya, akan tercipta suasana tentram dalam masyarakat yang dapat mendorong gairah kerja. Pelaksanaan tertib administrasi pertanahan bertujuan untuk melancarkan setiap urusan yang akan menunjang lancarnya pembangunan khususnya dibidang pertanahan. Tertib penggunaan tanah bertujuan untuk menumbuhkan pengertian mengenai arti pentingnya penggunaan tanah secara berencana sesuai dengan kemampuan tanah. Dalam setiap pemanfaatan tanah agar sesuai dengan penggunaannya yang mengacu kepada Rencana Tata Ruang Wilayah. Tertib pemeliharaan dan lingkungan hidup bertujuan menyadarkan masyarakat bahwa pemeliharaan tanah merupakan kewajiban setiap pemegang hak atas tanah. Kewajiban memelihara tanah tidak saja dibebankan kepada pemiliknya atau pemegang haknya yang bersangkutan, melainkan menjadi beban setiap orang, badan hukum, atau

       isntansi yang mempunyai suatu hubungan dengan tanah.

      Dari uraian–uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa tujuan Catur Tertib Pertanahan adalah untuk meningkatkan pelayanan dibidang pertanahan kepada masyarakat dengan usaha memperlancar segala urusan yang berhubungan dengan pemberian surat tanda bukti hak atas tanah (sertipikat). 18 S. Sjamsuddin., Departemen Dalam Negeri, Pertanahan Dalam Era Pembangunan Indonesia , 1982, hal. 168. Dengan bersertipikatnya bidang-bidang tanah melalui kegiatan pendaftaran tanah, diharapkan terlaksananya tertib hukum, tertib administrasi, tertib penggunaan tanah, tertib pemeliharaan dan lingkungan hidup dalam masyarakat. Sehingga segala sesuatu permasalahan yang berhubungan dengan tanah dapat diatasi dan dapat memperlancar pembangunan dibidang pertanahan.

    3. Upaya - Upaya Mewujudkan Catur Tertib Pertanahan

      Sebagai upaya yang dilakukan Pemerintah agar terwujudnya Catur Tertib Pertanahan yang meliputi tertib hukum, tertib administrasi, tertib penggunaan tanah, tertib pemeliharaan dan lingkungan hidup sebagai berikut :

    a. Tertib Hukum Pertanahan

      Upaya yang dilakukan untuk terwujudnya tertib hukum pertanahan, telah diterbitkan berbagai Peraturan Pemerintah antara lain dikeluarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 tahun 1982 tentang larangan penggunaan Kuasa Mutlak sebagai alat pemindahan hak atas tanah yang pada garis besarnya :

    • dengan itu untuk membuat atau menguatkan pembuatan surat kuasa mutlak yang pada hakekatnya merupakan pemindahan hak atas tanah.

      Melarang Camat dan Kepala Desa/Lurah atau pejabat yang setingkat

    • pemindahan hak tetap dilayani oleh Pemerintah.

      Penggunaan kuasa-kuasa lainnya yang tidak bermaksud sebagai

      Pada akhir - akhir ini upaya yang dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional bersama jajarannya membuat program strategis kegiatan pensertipikatan tanah melalui kegiatan Prona dan Larasita. Pada pelaksanaan program ini Badan Pertanahan Nasional beserta jajarannya Kantor Pertanahan meningkatkan pelayanan di bidang pensertipikatan tanah masyarakat dengan menggunakan prinsip pelayanan jemput bola. Dalam arti Kantor Pertanahan dengan menggunakan mobil kendaraan Larasita mengadakan pelayanan ke desan - desa dalam rangka pelayanan pendaftaran tanah pertama kali dan pelayanan perubahan data pendaftaran tanah atas tanah masyarakat

    b. Tertib Administrasi Pertanahan

      Upaya yang dilakukan untuk terwujudnya tertib administrasi pertanahan, Pemerintah telah mencanagankan Gerakan Nasional Sadar Tertib Pertanahan dengan diterrbitkannya Keputusan Menteri Negara Agraria/KBPN Nomor 5 tahun 1995 tentang Gerakan Nasional Sadar Tertib Pertanahan dicanangkanlah suatu gerakan nasional dengan nama Gerakan Nasional Pemasangan Tanda Batas Pemilikan Tanah. Pemasangan tanda batas pemilikan tanah dilakukan oleh pemilik tanah yang berdampingan secara bersama - sama yang tergabung dalam wadah Kelompok Masyarakat Sadar Tertib Pertanahan (POKMASDARTIBNAH). Gerakan Nasional Sadar Tertib Pertanahan sebagai gerakan partisipasi masyarakat dalam rangka mempercepat Catur Tertib Pertanahan, dimana Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten / Kotamadya bertindak selaku motivator maupun sebagai fasilitator dalam kegiatan tersebut.