BAB II KONFLIK PENGATURAN HUKUM PENDAFTARAN TANAH A. Pengaturan Pendaftaran Tanah - Analisis Hukum Terhadap Kebijakan Pemerintah Dalam Mengatasi Konflik Pengaturan Pendaftaran Tanah

  

BAB II

KONFLIK PENGATURAN HUKUM PENDAFTARAN TANAH A . Pengaturan Pendaftaran Tanah Pendaftaran tanah diatur di dalam Pasal 19 Undang-undang Pokok Agraria kemudian dilaksanakan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun

  1961 terakhir telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah bersama-sama dengan peraturan perundangan lainnya pengaturan pendaftaran tanah terutama di dilaksankan berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pelaksanaan Pendaftaran Tanah.

1. Eksistensi pengaturan pendaftaran tanah

  Pendaftaran tanah yang dikenal sekarang berasal dari Negara Mesir Kuno, berawal ketika Raja Fira’un memerintahkan pegawai kerajaannya agar mengembalikan patok-patok batas tanah pertanian rakyat yang hilang akibat sering meluapnya Sungai Nil, dalam perkembangannya oleh negara-negara di dunia pendaftaran tanah digunakan untuk mengatur hubungan hukum antara orang dengan tanah. Pendaftaran tanah di dalam bahasa Latin disebut capitastrum, di Jerman dan Itali disebut dengan

  Catastro , dalam bahasa Perancis disebut dengan Cadastre, akhirnya dibawa Kolonial Belanda ke Indonesia populer dengan sebutan kadastrale atau kadaster, contohnya ada lembaga Kadastrale Dienst (Jawatan Pendaftaran Tanah) dan juga lembaga Kadaster Kantoor (Kantor Pendaftaran Tanah) yang ada pada zaman Belanda dan diatur berdasarkan peraturan Kolonial Belanda yang berkuasa pada waktu itu.

  35 Selanjutnya kadastrale atau kadaster kantoor berubah nama menjadi kantor agraria

  terakhir kantor pertanahan yang berada di setiap kabupaten dan kota di bawah kendali Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia

  a.

  Eksistensi lembaga penyelenggara pendaftaran tanah di Indonesia berawal dari plakkaat yang dikeluarkan Verenigde Oost

  Compagnie (VOC) tanggal 18 Agustus 1620 yang isinya antara lain

  menginstruksikan kepada Dewan Pemerintahan dan Peradilan

  (Baljuw dan Scheepen) zaman pemerintahan Kolonial Belanda

  untuk membuat daftar tanah dan pemiliknya di dalam buku daftar- daftar (stadsboeken) yang nanti akan menjadi cikal bakal lahirnya

  Kadastrale Dienst dan Kadaster Kantoor selanjutnya menjadi lembaga pendaftaran tanah yang dikenal seperti sekarang ini.

  36 Lembaga penyelenggara pendaftaran tanah.

  35 R. Harmanses, 1966, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Ketikan Stensil, Jakarta, Halaman 3 dan 26. 36 Ibid. , Halaman 14

  Lembaga pendaftaran tanah di Indonesia di tingkat pusat disebut dengan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia sedangkan di tingkat propinsi disebut dengan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi sementara di tingkat kabupaten dan kota disebut dengan kantor pertanahan kabupaten atau kota, sebagaimana terakhir ditetapkan berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional Tanggal 11 April 2006 kemudian dilaksanakan berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2006 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan Kantor Pertanahan yang ditetapkan pada Tanggal 16 Mei 2006 antara lain menyebutkan ;

  1).

  Kantor pertanahan instansi vertikal Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia di kabupaten/kota yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia melalui Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi.

  2).

  Kantor pertanahan dipimpin oleh seorang kepala. 3).

  Kantor pertanahan mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia di Kabupaten/Kota bersangkutan.

  4).

  Pelaksanaan pengendalian pertanahan, pengelolaan tanah negara, tanah terlantar dan tanah kritis, peningkatan partispasi dan pemberdayaan masyarakat.

  Pengkordinasi pengembangan sumber daya manusia pertanahan m).

  Pengkoordinasian penelitian dan pengembangan. l).

  Pemberian penerangan dan informasi pertanahan kepada masyarakat, pemerintah dan swasta. k).

  Pengelolaan Sistem Informasi Manajemen Pertanahan Nasional (SIMTANAS). j).

  Pengkoordinasi kepentingan pengguna tanah. i).

  h).

  Penanganan konflik, sengketa dan perkara pertanahan.

  g).

  f).

  Kantor pertanahan mempunyai fungsi ; a).

  Pengusulan dan pelaksanaan penetapan hak tanah, pendaftaran hak tanah, pemeliharaan data pertanahan dan administrasi tanah asset pemerintah.

  e).

  Pelaksanaan penatagunaan tanah, landreform, konsolidasi tanah dan penataan pertanahan wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, wilayah tertentu.

  d).

  Pelaksanaan survey, pengukuran dan pemetaan dasar, pengukuran dan pemetaan bidang, pembukuan tanah, pemetaan tematik, dan survei potensi tanah.

  c).

  Pelayanan, perizinan dan rekomendasi bidang pertanahan.

  b).

  Penyusunan rencana, program dan penganggaran dalam rangka pelaksanaan tugas pertanahan.

  Pelaksana tata usaha kepegawaian, keuangan, sarana dan prasarana peraturan dan layanan pertanahan. Kantor pertanahan kabupaten/kota mempunyai seorang Kepala Kantor yang membawahi 1 (satu) sub bagian dan 5 (lima) seksi sebagaimana lampiran bagan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2006 tanggal 16 Mei 2006 tersebut sebagai berikut ;

  BAGAN ORGANISASI KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN / KOTA Kepala Kantor Pertanahan Sub Bagian Tata Usaha

  Urusan Perencanaan dan Keuangan Urusan Umum dan Kepegawaian

  Seksi Survei, Pengukuran dan Pemetaan Seksi

  Hak Tanah dan Pendftaran Tanah Seksi Pengturan dan Pena taan Pertanahan Seksi

  Pengendalian dan Pemberdayaan Seksi Sengketa, Konflik dan

  Perkara Subseksi Pengukuran dan Pemetaan

  Subseksi Tematik dan Potensi Tanah Subseksi

  Penetapan Hak Tanah Subseksi Pengaturan

  Tanah Pemrtnh Subseksi Pendaftaran Hak

  Subseksi Peralihn, Pemb Hak dan PPAT Subseksi

  Penatagunaan Tanah dan K.T.

  Subseksi Landreform dan Konsolidasi Tanh Subseksi

  Sengketa dan Kon flik Pertanahan Subseksi Perkara Pertanahan

  Subseksi Pemberdayaan Masyarakat Subseksi

  Pengendalian Pertanahan Selanjutnya Sub Bagian Tata Usaha membawahi 2 (dua) sub urusan, masing-masing Urusan Umum dan Kepegawaian dan Urusan Perencanaan dan Keuangan sedangkan setiap masing- masing Seksi membawahi 2 (dua) Sub Seksi, kecuali Seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah membawahi 4 (empat) Sub Seksi seterusnya setiap sub urusan maupun sub seksi membawahi stafnya.

b. Pengertian-pengertian dalam pendaftaran tanah.

  Pengertian dan azas pendaftaran tanah diperlukan dalam pengaturan hukum pendaftaran tanah untuk memberi arah, pedoman atau tempat bersandarnya ketentuan pendaftaran tanah, sebagai berikut ; 1). Pengertian pendaftaran tanah

  a). Pengertian pendaftaran tanah zaman kolonial Pengertian pendaftaran tanah pada zaman

  Kolonial Belanda sebagaimana pendapat para ahlinya antara lain ; 1)). Soutendijk dan Mulder berpendapat “Kadaster adalah suatu badan, yang dengan peta-peta dan daftar-daftar yang dibuat berdasarkan pengukuran dan taksiran, memberi gambaran dan uraian tentang wilayah suatu negara dengan semua bagian-bagiannya dan bidang-bidang tanah” (Kadaster is een instelling, die door middel van

  plans of kaarten en registers, opgemaakt naar aanleiding van meting en schaatting, ons een beeld en een omschrijving van het grondgebeid van een staat in al zine onderdeelen en grens

  37 stukken geeft ).

  2)). Jaarsma berpendapat bahwa “Kadaster adalah suatu badan, dengan peta-peta dan daftar-daftar memberikan uraian tentang semua tanah-tanah yang terletak dalam wilayah suatu negara.” (Kadaster is een instelling, die door middel van

  kaarten en registers een omschrijving geeft van alle stukken grond, binnen het gebeid van den 38 staat gelegen ).

  3)). Schermerhorn dan Steenis berpendapat bahwa 37 “Kadaster itu dirumuskan sebagai suatu badan 38 Ibid., Halaman 4 Ibid., Halaman 4 pemerintah meregistrasi dan mengadministrasi keadaan hukum dari semua benda tetap dalam daerah tertentu termasuk semua perobahan- perobahan yang terjadi dalam keadaan hukum.” (Het kadaster is een overheidsinstelling ter

  registratie on administratie van de rechtstoestand van alle onroende goederen in een bepaald gebeid met insluiting van alle weizigingen, die hierin in

  39 de loop der tijden voorkomen ).

  b). Pengertian pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961

  Pengertian pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 sebagai berikut ;

  Pasal 1 “Pendaftaran tanah diselenggarakan Jawatan Pendaftaran Tanah dengan menurut ketentuan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini dan mulai pada tanggal ditetapkan oleh Menteri Agraria untuk 39 masing-masing daerah”.

  Ibid., Halaman 4

  Pasal 2 “Pendaftaran tanah diselenggarakan desa demi desa atau daerah-daerah setingkat dengan itu”. Berdasarkan bunyi pasal=pasal tersebut di atas dapat dipahami bahwa penegrtian pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 sebagai bentuk penyelenggaraan kegiatan, terutama penyelenggaraan kegiatan pengukuran desa demi desa atau dikenal juga dengan sertipikat tanah desa demi desa.

  c). Pengertian pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

  Berdasarkan ketentuan di dalam Pasal 1 Angka (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang berbunnyi ;

  “Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya”.

  Berdasarkan ketentuan tersebut di atas diketahui bahwa pendaftaran tanah merupakan rangkaian kegiatan yang lebih bermakna berkesinambungan secara terus menerus yang dilaksanakan secara teratur terhadap pengumpulan dan pemeliharaan dan penyajian datanya. 2). Pengertian subyek pendaftaran tanah

  Berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 diketahui bahwa subyek hak atas tanah merupakan orang atau badan hukum sebagaimana ketentuan Pasal 21 Ayat (1) berbunyi “hanya Warga Negara Indonesia yang dapat punya hak milik, Ayat (2) pemerintah menetapkan badan-badan hukum yang dapat punya hak milik dan syaratnya”.

  Pasal 30 Ayat (1) berbunyi “yang dapat mempunyai hak guna usaha Warga Negara Indonesia , badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia”.

  Pasal 36 Ayat (1) berbunyi “yang dapat mempunyai hak guna bangunan ialah Warga Negara Indonesia , badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia”.

  Pasal 42 berbunyi “yang dapat mempunyai hak pakai ialah Warga Negara Indonesia , warga negara asing yang berkedudukan di Indonesia, badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia berkedudukan di Indonesia dan badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia”.

  Selanjutnya dikatakan bahwa subyek hukum (subject

  

van een recht) merupakan orang perseorangan (nutuurlijke

persoon) atau badan hukum (rechts persoon) yang

  mempunyai hak, mempunyai kehendak dan dapat melakukan

  40 perbuatan hukum.

  Pendapat tersebut dikaitkan dengan isi Undang-undang Pokok Agraria mengenai yang berhak atas tanah, maka subyek hukum hak atas tanah merupakan orang atau badan hukum yang dapat mempunyai sesuatu hak atas tanah dan dapat melakukan perbuatan hukum guna untuk mengambil manfaat bagi kepentingan dirinya, keluarganya dan masyarakat bangsa serta akhirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

  Namun demikian sekalipun manusia diakui sebagai penyandang hak dan kewajiban, namun hukum dapat saja mengecualikan manusia sebagai makhluk hukum, dengan pengertian bahwa hukum boleh jadi tidak mengakui manusia sebagai orang dalam arti hukum yang dikaitkan dengan kemampuan manusia memikul beban secara hukum, jika hukum menentukan demikian, maka tertutup kemungkinan bagi manusia tersebut menjadi pembawa hak dan kewajiban

  

41

selaku subyek hukum.

  Dengan demikian dapat dipahami bahwa subyek hak atas tanah merupakan subyek hukum yang meliputi orang perseorangan atau badan hukum, namun demikian tetap saja 40 dalam pembatasan tertentu, dengan pengertian bahwa tidak 41 Soedjono Dirdjosisworo,1991, Pengantar Imu Hukum, Rajawali Press, Jakarta, Halaman 126.

  Satjipto Rahardjo, 1996, Ilmu Hukum, PT. Citra Adtya Bhakti, Bandung, Halaman 67. semua orang atau badan hukum boleh atau dapat menjadi subyek hak atas tanah, sebagai berikut ; a)). Orang perseorangan yang identitasnya terdaftar selaku

  Warga Negara Indonesia atau warga negara asing, berdomisili di dalam atau di luar Wilayah Republik Indonesia dan tidak kehilangan hak memperoleh sesuatu hak atas tanah di Indonesia.

  b)). Badan hukum merupakan lembaga pemerintahan Indonesia, lembaga perwakilan negara asing, lembaga perwakilan internasional, badan usaha yang didirikan menurut hukum Indonesia dan yang berkedudukan di Indonesia atau badan hukum asing melalui penanaman modal asing di Indonesia, badan keagamaan atau badan sosial sesuai dengan ketentuan di dalam Pasal 1653 Kitab Undang-undang Hukum Perdata berbunyi “… perhimpunan orang-orang sebagai badan hukum juga

  42

  diakui undang-undang…”

42 S. Chandra, 2005, Sertipikat Kepemilikan Hak Atas Tanah, Persyaratan Permohonan di Kantor Pertanahan, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, Halaman 7 dan 9.

  3). Pengertian obyek pendaftaran tanah Berdasarkan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 24

  Tahun 1997 berbunyi ; “Obyek pendaftaran tanah meliputi :

  a. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai.

  b. Tanah hak pengelolaan.

  c. Tanah wakaf.

  d. Hak milik atas satuan rumah susun.

  e. Hak tanggungan.

  f. Tanah Negara”. Sehingga dapat dipahami bahwa obyek pendaftaran tanah merupakan bidang tanah dengan sesuatu hak yang telah ditentukan menurut peraturan perundang-undangan. 4). Pengertian sertipikat

  Berdasarkan ketentuab Pasal 1 Angka (20) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 berbunyi ;

  “Sertipikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan”.

  Demikian diketahui bahwa sertipikat hak atas tanah juga dapat berarti sebagai surat tanda bukti hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun serta hak lainnya.

  Selanjutnya menurut Pasal 32 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 bahwa ;

  “Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.”.

  Dengan demikian diketahui pula bahwa sertipikat merupakan surat tanda bukti hak mengenai data fisik dan data yuridis hak bersangkutan sepanjang data yang ada sesuai dengan data yang ada di kantor pertanahan, sebaliknya sertipikat tidak menjadi tanda bukti hak ketika data fisik atau data yuridis tidak sesuai lagi dengan data yang ada di kantor pertanahan.

  5). Pengertian surat ukur Menurut Pasal 1 Angka (17) PP. 24 Tahun 1997 “Surat ukur adalah dokumen yang memuat data fisik suatu bidang tanah dalam bentuk peta dan uraian”. Dengan demikian dapat dipahami bahwa surat ukur merupakan dokumen yang hanya berisikan data fisik. 6). Pengertian buku tanah

  Berdasarkan bunyi Pasal 1 Angka (19) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 “Buku tanah adalah dokumen dalam bentuk daftar yang memuat data yuridis dan data fisik suatu obyek pendaftaran tanah yang sudah ada haknya”. Sehingga dapat dipahami bahwa buku tanah juga diartikan sebagai dokumen yang berisi data fisik dan yuridis.

  7). Pengertian data fisik Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 Angka (6)

  Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang berbunyi

  “Data fisik adalah keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan di atasnya”. Maka dengan demikian dapat dipahami bahwa data fisik merupakan keterangan tentang obyek hak berupa bidang tanah atau satuan rumah susun.

  8). Pengertian data yuridis Menurut Pasal 1 Angka (7) Peraturan Pemerintah

  Nomor 24 Tahun 1997 “Data yuridis adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya”.

c. Azas-azas, tujuan dan kegiatan pendaftaran tanah.

  Azas-azas diperlukan setidaknya untuk tempat bersandarnya isi dan pelaksanaan suatu peraturan perundangan sedangkan tujuan merupakan arah yang hendak dicapainya dan kegiatan merupakan batasan pekerjaan yang harus dilaksanakan dalam tugas pokok dan fungsinya pendaftaran tanah.

  1). Azas-azas pendaftaran tanah Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24

  Tahun 1997 yang berbunyi “Pendaftaran tanah diilaksanakan berdasarkan azas sederhana, aman, terjangkau, mutaakhir dan terbuka”, selanjutnya berdasarkan penjelasan Pasal 2 tersebut diketahui bahwa ; a). Azas sederhana dalam pendaftaran tanah maksudnya agar ketentuan-ketentuan pokok maupun prosedurnya dengan mudah dapat dipahami pihak berkepentingan terutama pemohon hak atas tanah.

  b). Azas aman dimaksudkan untuk menunjukan bahwa pendaftaran tanah perlu diselenggarakan secara teliti dan cermat supaya hasilnya dapat memberikan jaminan kepastian hukum sesuai tujuan pendaftaran tanah.

  c). Azas terjangkau dimaksudkan biayanya terjangkau bagi pihak yang memerlukannya, terutama memperhatikan kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi lemah sehingga biayanya terjangkau oleh masyarakat. d). Azas mutakhir dimaksudkan agar kelengkapan memadai dalam pelaksanaan dan kesinambungan pemeliharaan data sehingga informasi peranahan tersedia secara mutaakhir dengan cara mewajibkan bagi pemgang hak mencatatkan setiap perubahan data yang terjadi di lapangan ke kantor pertanahan.yang berlangsung secara terus menerus dan berkesinambungan.

  e). Azas terbuka dimaksudkan agar masyarakat setiap saat dapat memperoleh keterangan atau informasi mengenai data fisik dan yuridis hak atas tanah atau satuan rumah susun di kantor pertanahan.

  2). Tujuan pendaftaran tanah Tujuan dan kegiatan pendaftaran tanah dapat diketahui berdasarkan ketentuan peraturan perundangan berlaku, sebagai berikut ;

  Berdasarkan ketentuan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dapat diketahui tujuan pendaftaran tanah, sebagai berikut ;

  “a). Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar, agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.

  b). Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar.

  c). Untuk terselenggara tertib administrasi pertanahan” 3). Kegiatan pendaftaran tanah

  Berdasarkan ketentuan Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dapat pula diketahui kegiatan pendaftaran tanah sebagai berikut ; “(1). Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali meliputi.

  a. pengumpulan dan pengolahan data fisik.

  b. pembuktian hak dan pembukuannya.

  c. penerbitan sertipikat. d. penyajian data fisik dan data yuridis.

  e. penyimpanan daftar umum dan dokumen.

  (2). Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah meliputi.

  a. pendaftaran peralihan dan pembebanan hak.

  b. pendaftaran perobahan data pendaftaran tanah lainnya”.

2. Pranata pengaturan hukum pendaftaran Tanah

  Berdasarkan ketentuan Pasal 7 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 dinyatakan bahwa “Jenis dan hirarkhi peraturan perundangan adalah sebagai beikut ; a. Undang Undang Negara Indonesia Tahun 1945 ; b. Undang-undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ; c. Peraturan Pemerintah ; d. Peraturan Presiden ; e. Peraturan Daerah. Dengan demikian maka pranata pengaturan hukum pendaftaran tanah juga harus sesuai hirarkhi peraturan perundangan.

  Ketentuan pasal tersebut di atas menunjukkan bahwa tata urutan perundang-undangan merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum di bawahnya secara bertingkat yang dimulai dari ; Undang Undang Dasar Tahun 1945, Undang-undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah.

  Hirarkhi peraturan perundangan tersebut jika dikaitkan dengan sistem hukum di Indonesia seharusnya satu sama lain saling terkait secara bersama-sama dalam mencapai tujuannya, dengan kata lain bahwa semua peraturan perundangan tidak boleh saling bertentangan atau saling tidak selaras atau saling tumpang tindih atau dalam keadaan kosong, jika demikian terjadi dalam pengaturan bidang pendaftaran tanah maka timbul konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah.

a. Sumber hukum pengaturan pendaftaran tanah,

  Sumber hukum pengaturan hukum pendaftaran tanah sama halnya dengan sumber hukum lainnya di Indonesia yaitu Pancasila juga disebut dengan ideologi negara, falsafah bangsa, sumber dari sumber hukum atau Dasar Negara Republik Indonesia, dengan pengertian bahwa Pancasila menjadi dasar dalam mengatur penyelenggaraan pemerintahan. Pancasila mempunyai sifat mengikat, keharusan dan memaksa (imperative) untuk dilaksanakan secara utuh dan tidak boleh dilanggar atau dikesampingkan, karenanya setiap pelanggaran dikenakan sanksi, misalnya tindak

  43 pidana dihukum badan.

43 H. Subandi Al Marsudi, 2006, Pancasila dan UUD’45 Dalam Paradigma Reformasi, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 9.

  Pancasila sebagai falsalah hidup bangsa Indonesia, tumbuh dan berkembang bersamaan dengan tumbuh berkembangnya bangsa Indonesia, karena itu Pancasila mengandung nilai-nilai dasar yang dijunjung tinggi oleh bangsa Indonesia, bahkan oleh bangsa-bangsa beradab. Nilai-nilai dasar dimaksud meliputi ; nilai Ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan dan nilai keadilan sosial yang rumusan tepatnya termuat di dalam alinea ke empat Pembukaan Undang Undang Dasar Tahun 1945.

  Tidak ada ketentuan peraturan perundangan yang melarang pengupasan dan penjabaran nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila sepanjang pengupasan atau penjabarannya relevan dan mempunyai korelasi dengan semua sila dari Pancasila secara utuh tanpa bermaksud menghapus atau merobah sistimatika dan status masing-masing sila dari Pancasila tersebut.

  Pancasila sarat dengan nilai-nilai luhur tidak saja sekedar dipahami melainkan harus diamalkan dalam bentuk tingkah laku atau kepribadian oleh setiap warga Negara sehari-hari, baik selaku pribadi (individu) maupun dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara (komunal), yaitu dengan cara membuat peraturan perundangan atau kebijaksanaan sebagai alat pengatur masyarakat yang sesuai dengan Pancasila.

  Hal demikian, disebabkan prinsip yang terkandung dalam Pancasila bersumber dari budaya dan pengalaman bangsa Indonesia yang berkembang menjadi nilai-nilai Pancasila dalam satu kesatuan yang utuh, tersusun secara sistematis dan hirarkhis, dengan kata lain antara nilai dasar yang satu dengan nilai dasar lainnya saling berhubungan dan tidak boleh dipisah-pisah, dipecah-pecah atau bertukar tempat. Oleh karena itu semua peraturan perundangan yang dibuat bangsa Indonesia harus sesuai dan tidak boleh ada bertentangan dengan nilai-nilai luhur Pancasila termasuk yang diputuskan atau ditetapkan oleh lembaga-lembaga Negara, termasuk

  44 dalam kebijaksanaan menyelenggarakan roda pemerintah.

  Pengaturan bidang pendaftaran tanah harus merupakan perwujudan dari nilai-nilai ; Ketuhanan yang bermakna tanah sebagai rahmat Tuhan harus dipelihara dan dimanfaatkan serta dilestarikan, nilai kemanuasiaan bermakna bahwa tanah yang diberikan Tuhan harus dibuat aturannya secara manusiawi, nilai persatuan bermakna bahwa tanah merupakan alat pemersatu bangsa, nilai kerakyatan bermakna bahwa pengaturan bidang pertanahan harus menghormati cara-cara musyawarah antara pemerintah 44 dengan rakyat sedangkan nilai keadilan sosial memberikan arah

H. Subandi Al Marsudi, 2006, Pancasila dan UUD’45 Dalam Paradigma Reformasi, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 130.

  agar pengaturan bidang pertanahan harus berlaku sama bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa perbedaan dengan prinsip fungsi sosial tanah.

b. Dasar hukum pengaturan pendaftaran tanah.

  Hukum dasar pengaturan bidang pendaftaran tanah tidak berbeda dengan pengaturan bidang lainnya yaitu Undang Undang Dasar Republik Indonesia sekalipun diamandemen, namun tetap eksis mengiringi perjalanan hidup dan kehidupan masyarakat bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada tanggal tanggal 18 Agustus 1945 Undang Undang Dasar Republik Indonesia ditetapkan, namun bukan berarti nilai dan azasnya dipikirkan setelah Indonesia merdeka, melainkan secara fundamental sudah berakar dan berkembang dalam kehidupan budaya masyarakat nusantara sejak beratus tahun sebelum

  45 proklammasi kemerdekaan Indonesia.

  Undang Undang Dasar Republik Indonesia bukan undang- undang biasa melainkan hukum dasar tertulis yang menjadi dasar pembuatan peraturan perundangan di Indonesia dan mengikat 45 semua lembaga baik negara, pemerintah maupun masyarakat, oleh M. Solly Lubis, 2002, Sistem Nasional, Mandar Maju, Bandung, Halaman 18. karena itu maka setiap peraturan perundangan yang dibuat semua lembaga Negara termasuk kebijaksanaan yang dibuat oleh lembaga pemerintah harus dilandas, bersumber dan dipertanggungjawabkan kepada ketentuan yang dimuat di dalam Undang Undang Dasar Republik Indonesia. Namun demikian di dalam penjelasan umum Undang Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan adanya hukum dasar yang tidak tertulis berupa aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara atau disebut konvensi, dengan pengertian bahwa hukum adat juga merupakan hukum dasar sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia.

  Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia bersifat singkat, luwes atau elastis atau supel dibandingkan dengan negara- negara lain di dunia, hanya berisi 37 (tiga puluh tujuh) pasal dilengkapi dengan 4 (empat) pasal aturan peralihan dan 2 (dua) ayat aturan tambahan, namun sifat Undang Undang Dasar Republik Indonesia.tersebut bukan dimaksudkan supaya aturan-aturan pokok diserahkan kepada penyelenggaraan negara dalam bentuk aturan yang lebih rendah atau mengabaikan kepastian hukum, keadilan hukum dan kemanfaatan hukum, melainkan dengan alasan yang logis dan masuk akal sebagai berikut ;

  1). Agar dalam penyelenggaraan Negara dapat dibuat aturan- aturan tertulis dalam bentuk undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif bersama lembaga eksekutif supaya mudah membuat, mengubah dan mencabutnya.

  2). Agar peraturan perundangan dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan kebutuhan masyarakat sesuai perkembangan zaman yang bersifat dinamis sehingga Undang Undang Dasar.tidak terkesan dibuat terburu-buru dalam bentuk

  gestaltung, malahan sebaliknya Undang Undang Dasar Republik Indonesia menjadi supel.

  3). Agar dengan sifat tertulis, singkat dan supelnya Undang Undang Dasar diharapakan sistem menjadi baik, karena sulit ketinggalan zaman, sebaliknya jika Undang Undang Dasar dibuat lengkap mencakup semua aturan maka diprediksi tidak lama bertahan, karena sifat perubahan kehidupan masyarakat yang tidak dapat dibendung seperti politik, sosial, budaya,

  46 ekonomi, pendidikan, iptek, pertahanan dan keamanan.

46 H. Subandi Al Marsudi, 2006, Pancasila dan UUD’45 Dalam Paradigma Reformasi, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 131.

c. Peraturan perundangan pendaftaran tanah.

  Perundangan pengaturan hukum pendaftaran tanah sebagaimana diuraikan di dalam paparan pranata sumber hukum dan pranata hukum dasar pengaturan hukum pendaftaran tanah terdahulu di atas menghendaki agar dibuat di dalam bentuk undang-undang oleh lembaga legislatif bersama dengan eksekutif sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar Pancasila dan Undang Undang Dasar Republik Indonesia.

  Satu-satunya undang-undang terkait erat dengan bidang pendaftaran tanah yaitu Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang diundangkan tanggal 24 September Tahun 1960 dalam Lembaran Negara nomor 104 disebut juga dengan Undang-undang Pokok Agraria atau UUPA dan dikenal juga dengan nama Hukum Pertanahan Nasional.

  Keberadaan Undang-undang Pokok Agraria berlaku sebagai undang-undang pokok tidak saja secara tegas dinyatakan dalam judulnya tetapi juga terlihat di dalam bunyi pasal demi pasalnya, karena mengingat sifat dari peraturan dasar, maka muatan isinya hanya menyangkut azas-azas dan masalah pokok secara garis besarnya saja, namun untuk pelaksanaannya perlu diatur kemudian dengan undang-undang atau peraturan pemerintah atau peraturan lainnya sebagai bentuk pelimpahan wewenang hak menguasai

47 Negara.

  Hak menguasai negara yang berasal dari kekuasaan Bangsa Indonesia pada tingkatan tertinggi dalam Penjelasan Umum Undang-undang Pokok Agraria disebutkan untuk ; 1). Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan dan penggunaan serta persediaan dan pemeliharaan atas bumi, air dan ruang angkasa.

  2). Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas bagian dari bumi, air dan ruang angkasa.

  3). Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang dan perbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

  Secara eksplisit Undang-undang Pokok Agraria melalui 19 Ayat (1) memerintahkan penyelenggaraan pendaftaran tanah di seluruh Wilayah Republik Indonesia “Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh Wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang 47 diatur dengan peraturan pemerintah”.

  Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, 2008, Lewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Halaman 61.

  Selanjutnya Undang-undang Pokok Agraria di dalam Pasal 19 Ayat (2) menetapkan kegiatan pendaftaran tanah sebagai berikut

  “Pendaftaran tersebut dalam Ayat 1 Pasal ini meliputi : 1). Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah. 2). Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut. 3). Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat”.

  Memahami harapan Undang-undang Pokok Agraria agar setiap kegiatan pendaftaran tanah hendaknya sesuai Rencana Tata Ruang Kota (RTRK) yang mengikuti tata ruang wilayah sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan umum Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 sebagai berikut :

  “Akhirnya untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita bangsa dan negara tersebut di atas dalam bidang agraria, perlu adanya suatu rencana (planning) mengenai peruntukan, penggunaan dan persediaan bumi, air dan ruang angkasa untuk berbagai kepentingan hidup rakyat dan negara ; Rencana umum (national planning) yang meliputi seluruh wilayah Indonesia, yang kemudian diperinci menjadi rencana-rencana khusus (regional planning).

  Keberadaan advice planning sebagai kelanjutan penataan ruang pada penerbitan sertipikat hak atas tanah jelas berfungsi preventif, di samping untuk kepentingan pemegangnya juga dimaksudkan sebagai sarana pengawasan dalam penegakan hukum lingkungan, guna memastikan peraturan perundang-undangan bidang lingkungan telah ditaati oleh pemegang sertipikat hak atas tanah. Fungsi preventif pada dasarnya merupakan desain dari setiap tindakan yang hendak dilakukan masyarakat, yang meliputi seluruh aspek tindakan manusia, termasuk juga dengan risiko dan

  48 pengaturan prediktif terhadap bentuk penanggulangan risiko itu.

  Berdasarkan Pasal 20 Ayat (5) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 menghendaki agar dalam penerbitan sertipikat hak memperhatikan kepentingan umum seperti jalan umum atau aliran sungai, maka pengaturan hak atas tanah menurut tata ruang jelas bertujuan untuk mewujudkan lingkungan yang mantap, serasi dan seimbang, maka dalam aspek pengakuan dan pemberian hak atas tanah yang dibuat kantor pertanahan disyaratkan bahwa setiap bidang hak atas tanah harus sesuai Rencana Detail Tata Ruang Wilayah.

48 Alvi Syahrin, op. cit., Halaman 10 dan 211.

  Dengan demikian, penyelenggaraan kegiatan pendaftaran tanah seyogianya diatur menurut tata ruang wilayah yang serasi dan seimbang, supaya terpenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi pemegang sertipikat hak atas tanah, masyarakat dan lingkungannya sebagaimana ketentuan Pasal 5 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup bahwa setiap orang mempunyai hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebaliknya berkewajiban memelihara lingkungan hidup dan mencegah, menanggulangi kerusakkan dan pencemaran.

  Berdasarkan ketentuan Pasal 24 Ayat (3) Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang yang menyebutkan bahwa “Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2) dilakukan dengan tetap menghormati hak yang dimiliki orang”, selanjutnya dalam penjelasan pasal tersebut juga dinyatakan bahwa pengertian menghormati hak yang dimiliki orang adalah suatu pengertian yang mengandung arti menghargai, menjunjung tinggi, mengakui dan mentaati peraturan yang berlaku terhadap hak yang dimiliki orang.

  Sebaliknya kebijakan penataan ruang oleh pemerintah perlu dilaksanakan dengan menghormati hak-hak atas tanah yang dipunyai orang atau badan hukum, supaya kepastian hukum hak atas tanah yang diberikan negara menjadi bermanfaat dan berkeadilan, Hak yang dimiliki orang maksudnya segala kepentingan hukum yang diperoleh atau dimiliki berdasarkan peraturan perundang-undangan hukum adat atau kebiasaan yang berlaku.

  Contohnya Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 17 Tahun 2002 Tangal 13 Agustus 2002 dalam Pasal 7 Ayat (2) berbunyi “Rencana Tata Ruang Kota menjadi dasar penetapan peruntukan penggunaan tanah” ketentuan ini menunjuk keberadaan Rencana Tata Ruang Kota sebagai dasar penetapan kepemilikan, peruntukan dan penggunaan tanah.

  Dengan demiian maka setiap penerbitan sertipikat hak atas tanah harus dilaksanakan sesuai master plan kota agar tidak menimbulkan kerugian bagi masyarakat dan pemerintah, sebaliknya dengan terlaksananya master plan kota, maka akan diperoleh lingkungan yang mantap, sehat serasi dan seimbang serta asri dan lestari sehingga tidak saja menguntungkan pemegang hak atas tanah juga memberi arti yang lebih besar terhadap lingkungan.

  Pembenaran sertipikat hak atas tanah dikaitkan dengan hukum lingkungan yang ditempuh oleh pemerintah melalui penerapan rencana tata ruang ke dalam kegiatan pendaftaran tanah di kantor pertanahan merupakan persoalan masyarakat yang mengharapkan kepastian hukum terkait dalam prosedur kegiatan pendaftaran tanah yang sedini mungkin telah dilakukan pemerintah sehingga bermanfaat bagi kepetingan pemegang sertipikat hak atas tanah dan lingkungannya, juga hendaknya pemerintah dapat mensosialisakan secara transparan master plan kota/kabupaten kepada masyarakat agar semua orang mengetahui peruntukan tanah yang hendak digunakan oleh masyarakat, hal ini didasari kemungkinan hak atas tanah menjadi tidak dapat dimanfaatkan karena lokasi yang tidak sesuai perencanaan master plan kota/kabupaten.

  Berdasarkan ketentuan Pasal 20 Ayat (5) Permenag/Ka. BPN Nomor 3 Tahun 1997 diketahui arti pentingnya pendaftaran tanah yang diselenggarakan sesuai dengan master plan kota terutama dengan pemasangan patok di lapangan oleh dinas tata kota / kabupaten sehingga masyarakat mengetahui keberadaan batas daerah aliran sungai, daerah milik jalan, fasilitas umum, fasilitas lingkungan atau kawasan pemukiman, kawasan industri, kawasan hutan lindung dan lain sebagainya.

  Dengan demikian dapat diketahui dan dipahami bahwa pengaturan undang-undang terkait bidang pendaftaran tanah tidak hanya Undang-undang Pokok Agraria saja melainkan juga diatur oleh peraturan perundangan lain yang terkait dengan pengaturan hukum pendaftaran tanah, namun ketika terjadi konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah maka kebijakan pemerintah diharapkan dapat mengatasinya.

  B . Konflik Hukum Pendaftaran Tanah

  Konflik hukum pendaftaran tanah merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri antara lain karena peraturan perundangan yang dibuat tidak pernah sempurna, bahkan berpotensi konflik, hal ini disebabkan karena kurang lengkap atau kurang jelasnya suatu peraturan perundangan, juga terhadap peraturan perundangan yang relatif lengkap sekalipun dalam perjalanan waktu seiring perkembangan masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi dapat timbul

  49 konflik sinkronisasi, konsistensi atau stagnasi hukum.

  Dalam praktek dapat saja terjadi pertentangan hukum yang bentuknya antara lain seperti konflik sistem hukum dan konflik isi hukum, hal ini disebabkan adanya perbedaan pengaturan terhadap materi yang sama. Pada 49 dasarnya kaedah hukum bersifat atribut karena memberikan hak atau boleh jadi

  Maria S.W. Sumardjono, 2001 , Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Penerbit buku Kompas, Jakarta, Halaman 2. bersifat normatif karena memberikan kewajiban. Oleh karena itu ketika terjadi konflik antara udang-undang dengan kebiasaan maka penyelesaiannya dengan melihat sifat undang-undangnya jika bersifat hak maka kebiasaan dimenangkan atau jika bersifat kewajiban maka undang-undangnya dimenangkan, hal ini sejalan dengan pendapat Jellinex mengatakan bahwa “peristiwa yang berulang- ulang lama kelamaan mempunyai kekuatan normatif” (die normative kra et

  desfaktisen ), contoh tersebut mengingatkan pendapat Von Savigny yang

  menyatakan bahwa “hukum tidak pernah dibuat dengan sengaja, melainkan tumbuh berkembang secara spontan dalam kehidupan masyarakat” (des recht

  50 wird nicht gemecht idsivist und wird mit dem walke .

  Berdasarkan uraian tersebut dapat dipahami bahwa konflik merupakan bentuk pertentangan atau pertarungan yang sudah nyata yang didasarkan kepada pertentangan klain, yang intinya bermula dari tidak adanya pegangan

  51 bersama.

  hukum dalam hal ini peraturan perundangan bidang pendaftaran tanah dapat saja bermuatan konflik disebabkan adanya perkembangan sosial (social

  engineering ) yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat, dengan kata lain

  hukum membutuhkan informasi dari luar hukum supaya tidak jauh ketinggalan waktu.

  50 51 Iman Jauhari, 2008, Teori Hukum, Pustaka Bangsa Press, Medan, Halaman 40-45.

  Noor Fauzi, 2003, BersaksiUntuk Pembaruan Agraria dari Tuntutan Lokal Hingga Kecenderungan Global, Penerbit Insist Press, yogyakarta, Halaman 68.

1. Konflik sistem hukum pendaftaran tanah

  Sebagaimana paparan terdahulu konflik merupakan perbedaan nilai, dalam hal ini perbedaan pengaturan dalam pendaftaran tanah, dalam prakteknya dapat saja terjadi karena beberapa sebab ; pertama karena perbedaan pengaturan antara oleh beberapa peraturan terhadap masalah kegiatan yang sama disebut konflik sinkronisasi ; kedua karena perbedaan pengaturan antara peraturan yang lebih tinggi dengan peraturan yang lebih rendah terhadap masalah kegiatan yang sama disebut konflik konsistensi ; ketiga karena tidak adanya peraturan yang mengatur suatu kegiatan tertentu disebut konflik stagnasi.

  Konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah sebenarnya tidak perlu terjadi jika pembuat peraturan perundangan pada tahap pembuatan

  

law making memperhatikan dengan seksama sistem hukum dan

  persyaratan hukum yang baik seperti pemenuhan nilai yuridis uantuk kepastian hukum dan nilai filosofis untuk keadilan serta nilai sosiologis untuk kemanfaatan, walaupun kenyataan yang ada bahwa peraturan perundangan diadakan secara parsial, namun satu sama lain tidak boleh saling bertentangan atau saling tumpang tindih atau saling tidak selaras atau terdapat celah kekosongan peraturan perundangan yang dapat bermuara kepada ketidakteraturan masyarakat dalam hal ini terkait dengan kepentingan pelayanan pendaftaran tanah.

  Namun demikian, pada praktek penyelenggaraan pemerintahan terhadap konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah sebenarnya dapat dilakukan antisipasi melalui suatu tindakan kebijaksanaan oleh pejabat pemerintah yang melaksanakan roda pemerintahan di bidang pendaftaran tanah, karena hukum juga memiliki kekuatan dan kemampuan mengoreksi dirinya sendiri baik secara yuridis maupun administratif sehinga tidak jarang di dalam putusan pejabat pemerintah ditemukan

  52 ketentuan peninjauan kembali.

  Faktual, konflik pengaturan dalam pendaftaran tanah sering dihadapi ketika dilaksanakan kegiatan pendaftaran tanah yang oleh kantor pertanahan dilaksanakan melalui salah satu dari 3 (tiga) opsi ; kemungkinan pertama permohonan ditolak ; kemungkinan kedua permohonan dikembalikan ; dan kemungkinan ketiga permohonan diproses.

  Namun ketiga opsi tersebut tetap mempunyai 3 (tiga) konsekuensi ; pertama tidak ada permasalahan ; kedua permasalahan dari pemohon ; ketiga permasalahan dari pihak lain, demikian dijelaskan oleh Syafruddin Chandra selaku Koordinator Pemeliharaan Data Yuridis Pendaftaran

  53 52 Tanah Kantor Pertanahan Kota Medan, sebagai berikut ; 53 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, op. cit., Halaman 83

Wawancara dengan Syafruddin Chandra, Koordinator Pemeliharaan Data Yuridis

Pendaftaran Tanah Kantor Pertanahan Kota Medan, tanggal 10 Mei 2009

a. Konflik sinkronisasi hukum pendaftaran tanah.

  Konflik sinkronisasi pengaturan bidang pendaftaran tanah merupakan perbedaan pengaturan oleh beberapa peraturan perundangan terhadap obyek kegiatan yang sama dalam arti tidak sejalannya pengaturan hukum pendaftaran tanah dalam hukum, contohnya ; 1). Kewenangan pembuatan surat keterangan ahli waris

  Kewenangan pembuatan surat keterangan ahli waris menurut Pasal 111 Ayat (1) Huruf (c) Permenag/Ka.BPN Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pelaksanaan Pendaftaran Tanah ditetentukan sebagai berikut ;

  “Bagi Waga Negara Indonesia penduduk asli, surat keterangan ahli waris dibuat oleh para ahli waris dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi dan dikuatkan oleh kepala desa/lurah dan camat tempat tinggal pewaris pada waktu meninggal dunia ; Bagi Warga Negara Indonesia keturuanan Tionghoa akta keterangan hak mewaris dari notaris ; bagi Warga Negara Indonesia keturunan timur asing lainnya surat keterangan waris dari balai harta peninggalan.”

  Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa pengaturan kewenangan membuat surat keterangan ahli waris bagi Warga Negara Indonesia dalam pendaftaran tanah diatur oleh 3 (tiga) aturan hukum penggolongan penduduk yang masing- masing aturannya saling berbeda yaitu ; pertama pengaturan keterangan ahli waris bagi Warga Negara Indonesia penduduk asli atau pribumi diatur oleh hukum nasional ; kedua pengaturan keterangan ahli waris bagi Warga Negara Indonesia keturunan tionghoa diatur oleh hukum barat ; ketiga pengaturan keterangan ahli waris bagi Warga Negara Indonesia turunan timur asing lainnya diatur oleh hukum adat bangsa bersangkutan, misalnya hukum adat India, Pakistan atau Arab.

  Perbedaan mencolok terhadap 3 (tiga) aturan hukum tersebut terletak pada perbedaan porsi warisan yang harus diterima para ahli waris, misalnya terhadap pengaturan warisan bagi penduduk asli atau pribumi maka porsinya merupakan pemilikan bersama di antara para ahli waris, dan bagi penduduk turunan tionghoa porsinya ditentukan berdasarkan tali perkawinan dan tali darah menurut aturan hukum barat atau Burgelijk Wetbook (BW) sedangkan bagi penduduk turunan timur asing lainnya misal turunan India porsinya berdasarkan hukum adat Bangsa India dan turunan Arab yang porsi warisannya sesuai dengan hukum adatnya, hal ini menunjukan bahwa pelaksanaan hukum waris di Indonesia masih berdasarkan penggolongan penduduk

54 Indonesia.

  Akhirnya menurut Syafruddin dari kantor pertanahan tersebut bahwa ketentuan mengenai kewenangan membuat surat keterangan ahli waris semua dipakai dalam kegiatan pendaftaran tanah, karena alasan belum ada kodifikasi

  55 peraturan.

  Pengaturan tersebut memang terkesan masih imperealis berdasarkan ketentuan kolonial Belanda yang belum tentu sama dengan kemauan Bangsa Indonesia, karena itu setelah Indonesia merdeka seharusnya aturan yang dibuat hendaknya lebih kepada kepentingan bangsa dan negara sesuai nilai-nilai dasar Pancasila dan Undang-undang Dasar Republik Indonesia sesuai tata hukum. perundangannya yang khusus 54 bersifat umum. 55 J. Satrio, 1992, Hukum Waris, Penerbit Alumni, Bandung, Halaman 6.

  Wawancara dengan Syafruddin Chandra, Koordinator Pemeliharaan Data Yuridis Pendaftaran Tanah Kantor Pertanahan Kota Medan, tanggal 10 Mei 2009

  2). Kuasa membebankan hak tanggungan Berdasarkan ketentuan di Pasal 15 Undang-undang