TOR PENGAMBILAN KEPUTUSAN KEBIJKAN PUBLIK

  BIDANG STUDI SISMENNAS TEMA PENDIDIKAN KETAHANAN PANGAN DALAM RANGKA KEMANDIRIAN BANGSA JUDUL TASKAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN KEBIJAKAN PUBLIK YANG DILANDASI NILAI-NILAI

  SISMENNAS GUNA MENINGKATKAN KETAHANAN PANGAN DALAM RANGKA KEMANDIRIAN BANGSA 1. Latar Belakang.

  Permasalah pangan bagi suatu bangsa dan negara sangatlah penting dan strategis karena berkaitan langsung dengan kebutuhan mendasar masyarakat, keluarga maupun individu yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk melaksanakan pembangunan nasional. Berkaitan dengan hal ini masalah pangan sangatlah kompleks, setidaknya masalah yang ditimbulkan dari masalah pangan ini adalah pada aspek ketersediaan pangan (termasuk di dalamnya masalah produksi pangan), aspek distribusi, aspek konsumsi, aspek pemberdayaan masyarakat, aspek manajemen dan lain-lain baik dilihat dari faktor tehnis dan faktor sosial-ekonomisnya. Karenanya melihat masalah pangan haruslah secara komprehensif, integral dan holistik baik secara struktur kementerian dan lembaga yang menanganinya maupun secara instrumental peraturan perundang-undangan yang mengaturnya sebagai sebuah hasil dari pengambilan keputusan kebijakan publik yang benar melalui pendekatan nilai- nilai Sistem Manajemen Nasional (Sismennas).

  Sesungguhnya bangsa Indonesia telah memiliki beberapa instrument peraturan peundang-undangan tentang masalah pangan ini. Setidaknya sejak tahun 1996 yaitu dengan kehadiran Undang-undang Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan, sampai saat ini sudah ada empat Peraturan Pemerintah (PP) sebagai hasil turunan dari UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan ini, yaitu PP Nomor 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, PP Nomor 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan, PP Nomor 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan dan PP Nomor 21 tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik (Arifin Bustanul,

  Berharap Banyak Pada Revisi UU

Pangan, Metro Kolom, 7 Februari 2011). Masih ada beberapa peraturan perundang-undangan lainnya yang saat ini masih berlaku berkaitan dengan

  masalah pangan ini. Seperti misalnya UU Nomor 4 tahun 2006 tentang Perjanjian Mengenai Sumber Daya Genetik Tanaman Pangan dan Pertanian, Peraturan Presiden Nomor 83 tahun 2006 tentang Dewan Ketahanan Pangan dan UU Nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan lain-lain. Tetapi banyak pandangan yang menganalisis bahwa kehadiran UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan ini belumlah secara mendasar mewajibkan kepada negara untuk secara sistematis mengakui hak atas pangan warganya, sehingga tidak lagi dijumpai persoalan-persoalan yang mendasar tentang pangan yaitu masalah gizi buruk, kelaparan, rawan pangan dan lain-lain seperti yang terjadi pada krisis pangan secara global pada tahun 2008 yang lalu. Belum lagi banyak kalangan yang mengkritisi bahwa UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan ini belumlah memperhatikan tentang masalah kedautan pangan. Substansi memang sudah mengatur tentang ketersediaan pangan dan keterjangkauan akan pangan oleh masyarakat tetapi ketersediaan dan keterjangkauan ini dapat dipenuhi dari kebijakan import pangan tanpa memperhatikan masalah kedaulatan negara Indonesia atau pemerintah dalam menyediakan secara swadaya.

  Bertitik tolak dari sudut pandang bahwa UU Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan yang secara mendasar belum dapat mengantisipasi masalah krisis pangan maka sejak tahun 2009 yang lalu mencuatlah wacana-wacana untuk melalukan amandement atau perubahan terhadap UU No. 7 tahun 1996 ini yang diinisiasii oleh panitia ad-hoc di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia. Pemikiran ini terus bergulir dan sampai saat ini sedang dibahas Rancangan Undang-undang Pangan yang baru sebagai hak inisiasi dari DPR R.I. Walau demikian tentu saja sebagai negara yang demokratis masih banyak sudut pandang yang mengkhawatirkan kehadiran UU Pangan yang baru nanti justru akan melemahkan posisi Indonesia, walaupun diskusi tentang materi RUU Pangan yang baru sudah menyentuh pada peningkatan kemandirian pangan dan kedaulatan pangan sebagai suatu negara dan bangsa yang berdaulat. Bahkan secara tegas Wakil Ketua Komisi IV DPR R.I., Firman Subagio (dari Fraksi Golkar) meminta pemerintah jangan terburu-buru membuat kebijakan tantang program ketahanan pangan yang akan diberikan kepada pihak asing seperti Australia (Firman Subagio,

  Jangan Serahkan

Program Ketahanan Pangan Nasional Kepada Pihak Asing, Kompas, 21 April 2010)

  Disisi lain ada juga yang berpendapat bahwa persoalan-persoalan pangan yang timbul di Indonesia ini dikarenakan justru masih buruknya pelaksanaan undang-undang Pangan yang ada yaitu UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan itu sendiri. Jika UU Pangan yang ada dilaksanakan oleh aparat- aparat atau stakeholder (pemangku kepentingan) dibidang pangan dengan baik atau oleh struktur yang baik, maka kekurangan materi substansi isi UU tersebut akan dapat diatasi dengan baik untuk mewujudkan ketahanan pangan secara berkedaulatan. Dikritisi justru UU Pangan yang baru nanti akan menimbulkan kerumitan yang baru dan akan menimbulkan biaya administrasi yang tidak sedikit karena struktur penegakan aturan yang tidak sempurna.

  Melihat begitu kompleksnya permasalahan pangan, sangatlah tepat jika Lembaga Ketahanan Nasional R.I untuk kali ini menjadikan masalah Ketahanan Pangan sebagai salah satu tema pendidikan. Ini menunjukkan sebagai suatu pemahaman bahwa masalah pangan haruslah dilihat sebagai sesuatu secara komprehensif, integral dan holistik dalam kerangka mewujudkan kesejahteraan dan keamanan rakyat menuju Ketahanan Nasional Indonesia.

  Kelompok yang mengkritisi Rancangan Undang-undang (RUU) Pangan yang baru misalnya saja mengatakan bahwa RRU Pangan yang baru lebih menguntungkan para pengusaha ketimbang petani, bahkan dikatakan oleh HAM karena lebih menguntungkan pihak industri dan pengusaha dari pada masyarakat atau petani. RUU Pangan yang saat ini sedang digodok di DPR justru tidak mengatasi masalah produksi dan distribusi pangan nasional, tetapi justru lebih menekankan pada aspek industrialisasi pangan. Perubahan RUU cenderung kepada kebijakan import pangan sehingga peran petani akan semakin minim karena tidak menitik beratkan pada usaha membebaskan warga dari kelaparan. RUU pangan masih melihat pangan tidak lebih sebagai komoditas sehingga menilai import sebagai solusi ampuh dalam menjamin distribusi dan ketersediaan pangan. Bahkan lebih jauh dikritisi RUU Pangan yang baru ini justru mengabaikan pentingnya dukungan pemerintah untuk membangun infra struktur pertanian di kantong-kantong produksi pangan dalam rangka meningkatkan produksi petanian domestik. RUU Pangan ini masih menitik beratkan pada persoalan ketersediaan pangan, tetapi tidak merinci dan mengatur soal kualitas dan kuantitas bahan pangan, aksesibilitas baik secara fisik, ekonomi dan keberlangsungannya akan pemenuhan pangan tersebut. (Ifdhal Kasim, Ketua Komnas HAM,

  RUU Perubahan Tentang Pangan Lebih Untungkan Pengusaha Ketimbang Petani, Suara Pembaruan, 17 Februari 2012).

  Kelompok pengkritisi yang lain dilakukan kajian ilmiah oleh Jangkar (Jaringan Strategis Agrokompleks) di UGM Jogjakarta yang menyatakan bahwa RUU Pangan yang baru justru mengarah kepada liberalisasi dan dependensi atau ketargantungan pada pihak luar ( Liberalisasi dan Dependensi Dibalik RUU

Pangan, Republika, 21 April 2012). Dikatakan memang RUU Pangan yang baru memiliki spirit yang lebih maju dari UU Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan

  Hal ini tampak dari hal-hal seperti RUU Pangan yang baru berorientasi pada kedaulatan dan kemandirian pangan, semangat otonomi daerah, keragaman pangan dan potensi lokalita, pembenahan kelembagaan pangan berbasis multidimensi dan standarisasi keamanan pangan, tetapi sprit ini hanyalah aksesoris belaka.

  Semangat liberalisasi dalam RUU Pangan yang baru ini menurut Jankar setidaknya dapat dilihat dari pengaturan sektor pangan pada pasal 33 yang menyebutkan “Pemerintah dan/ atau Pemda dapat menugaskan badan usaha yang bergerak di bidang penyimpanan dan distribusi pangan untuk mengadakan dan mengelola cadangan pangan tertentu yang bersifat pokok”. Tanpa adanya aturan yang tegas maka peran swasta akan terbuka lebar yang akan mengakibatkan lahirnya spekulan-spekulan yang akan mematikan rakyat atau petani. Selain itu, peluang bagi terjadinya kolusi pejabat dengan pengusaha juga menjadi soal tersendiri karena dalam RUU ini tidak disebutkan harus BUMN atau BUMD. Terbukanya peran swasta dalam pengelolaan stok dan cadangan pangan bertentangan dengan kewajiban negara untuk menjaga stabilitas harga pangan yang terjangkau seluruh lapisan masyarakat. Realita mengajarkan, instabilitas harga pangan selalu terjadi setiap tahun khususnya pada hari-hari besar keagamaan. Sejatinya, peran swasta tidak berdiri bebas seperti dalam pasar persaingan sempurna. Melainkan dikendalikan oleh negara untuk tujuan ketersediaan pangan yang terjangkau dan kesejahteraan petani. Fenomena ini semakin bias ketika terjadi penyetaraan sumber penyediaan pangan antara produksi dalam negeri dan impor (yang diatur dalam pasal 15 RUU Pangan). Meskipun dalam pasal tersebut disebutkan harus mengutamakan produksi dan cadangan dalam negeri, penyetaraan ini mengakibatkan produksi dalam negeri menjadi sekunder. Terlebih dalam RUU Pangan tidak ada satu pasal pun yang mengharuskan pembelian pangan produksi dalam negeri saat panen raya untuk memeperkuat cadangan makanan. Semestinya, impor merupakan langkah terakhir laiknya fungsi bank sentral sebagai benteng pertahanan terakhir ( the lender of the last resort) sistem perbankan.

  Sedangkan depedensi atau ketergantungan kepada pihak asing dapat kita lihat lebih jauh dari Swasembada pangan yang tidak diusung sama sekali dalam RUU Pangan. RUU ini hanya menitikberatkan pada ketersediaan pangan, tidak pada siapa dan bagaimana pangan itu diproduksi. Berbicara tentang kedaulatan pangan, harus dipertegas siapakah yang akan menjadi pelaku utama dan bagaimana cara mewujudkannya. Sebagai negara agraris, sudah sepatutnya petani domestik diposisikan sebagai pelaku utama misi kedaulatan pangan ini. Jika gema paradigma importasi terus dibiarkan, akan muncul persepsi bahwa ketersediaan pangan bisa diwujudkan tanpa harus capek-capek memproduksinya di dalam negeri dan tidak butuh waktu lama dengan serangkaian penelitian panjang, juga tidak perlu repot membangun infrastruktur terkait produksi pangan. Ketika posisi tawar impor setara dengan domestik, maka tumbuhlah benih-benih ketergantungan terhadapnya.

Import dependency pada pangan pokok dan strategis berpotensi untuk menggoyahkan

  stabilitas dalam negeri. Bahkan pada pada titik nadir, ketergantungan ini bisa dijadikan alat pihak asing untuk merubah sistem suatu negara. Misalnya ketergantungan Uni Soviet akan gandum impor, oleh banyak ahli dikatakan sebagai salah satu sebab dan jalan yang digunakan oleh Barat untuk menghancurkan Uni Soviet kala itu.

  Dari beberapa uraian di atas apabila kita kaitkan dengan Sistem Manajemen Nasional (Sismennas) khususnya dalam proses Sismennnas yaitu proses dalam pengambilan keputusan kebijakan publik yang diawali dari arus masuk atau input kemudian berproses dalam Tata Pengambilan Keputusan Berkewenangan sebagai inti dari Sismennas itu sendiri dan kemudian dihasilkan kebijakan publik atau kebijakan pemerintah sebagai arus keluar untuk kemudian dijalankan menjadi bermamfaat bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka sesunguhnya berbagai bentuk peraturan perundang- undangan sebagai kebijakan publik termasuk peraturan perundang-undangan dibidang pangan akan menghasilkan substansi kebijakan publik yang sangat baik sebagai landasan operasional untuk meningkatkan kesejahteraan dan keamanan rakyat.

  2. Identifikasi Masalah.

  Dari latar belakang di atas yang mengemukakan tentang berbagai permasalahan di bidang pangan khususnya yang menyangkut masalah substansi instrumental atau peraturan perundang-undangan di bidang pangan sebagai kebijakan publik kemudian dikaitkan dengan masalah nilai-nilai yang berlaku dalam Sistem Manajemen Nasional yang salah satu intinya adalah pengambilan keputusan kebijakan publik, maka dapat dirumuskan identifikasi Pengambilan Keputusan Kebijakan Publik yang Dilandasi Nilai-nilai Sismennas Dapat Memberikan Kontribusi Pada Peningkatan Ketahanan Pangan dan Peningkatan Ketahanan Pangan Dapat memberikan Kontribusi Pada Perwujudan Kemandirian Bangsa ?.

  3. Pokok-pokok Persoalan.

  Dari rumumusan identifikasi permasalahan di atas sebagai upaya untuk menjawabnya, maka beberapa pokok persoalan yang dapat dirumuskan antara lain adalah :

  a. Bagaimana kondisi pengambilan keputusan kebijakan publik dibidang pangan dan implementasinya terhadap ketahanan pangan saat ini.

  b. Apa saja kebijakan publik dibidang pangan dan permasalahan- permasalahan pangan saat ini.

  c. Bagaimana pengaruh perkembangan lingkungan strategi terhadap ketahanan pangan dan kemandirian bangsa.

  d. Bagaimana kondisi pengambilan keputusan kebijakan publik dibidang pangan yang dilandasi oleh nilai-nilai Sismennas yang dapat mendukung ketahanan pangan dan kemandirian bangsa yang diharapkan.

  e. Bagaimana konsepsi pengambilan keputusan kebijakan publik dibidang pangan yang dilandasi oleh nilai-nilai Sismennas guna meningkatkan ketahanan pangan dan kemandirian bangsa.

  4. Kerangka Pikir Awal.

  a. Alur Pikir.

  Sebagai sebuah persyaratan untuk memudahkan penulisan Kertas Karya Perorangan (Taskap) di Lemhannas ini diusulkan Alur Pikir Taskap ini sebagaimana terlampir.

  b. Pola Pikir.

  Demikian juga untuk mewadahi cara berpikir dalam penulisan Kertas Karya Perorangan ini yang sering digambarkan siapa melakukan apa, dengan cara bagaimana yang sering disebut dalam black box sistem (Subyek – Obyek – Metode) divisualisasikan dalam pola pikir. Black box sistem ini akan menguraikan bagaimana perumusan kebijakan yang diambil secara konprehensif integral dan holistik khusus dalam pengambilan keputusan kebijakan publik dibidang pangan yang dilandasi oleh nilai-nilai Sismennas kemudian strategi dan upayanya. Performance kebijakan, strategi dan upaya ini senantiasa akan dipengaruhi oleh paradigma nasional dan perkembangan lingkungan strategis. Untuk lebih jelasnya baik Alur Pikir dan Pola Pikir Kertas Karya Perorangan yang diusulkan sebagaimana terlampir.

  5. Kerangka Awal Sitimatika.

  Setelah memperhatikan latar belakang penulisan Taskap dengan judul Pengambilan Keputusan Kebijakan Publik yang Dilandasi Nilai-nilai Sismennas Guna Meningkatkan Ketahanan Pangan Dalam Rangka Mewujudkan Kemandirian Bangsa, alur pikir dan pola pikir serta pedoman dalam membuat Taskap di lingkungan Lemhannas, maka sistimatika penulisan direncanakan sebagai berikut : Bab I Pendahuluan.

  1 Umum

  2 Maksud dan Tujuan

  3 Ruang Lingkup dan Sistimatika

  4 Metode dan Pendekatan

  5 Pengertian Bab II Landasan Pemikiran.

  6 Umum

  7 Paradigma Nasional

  8 Peraturan Perundang-undangan

  9 Landasan Teori

  10 Tinjauan Pustaka

  Bab III Kondisi Pengambilan Keputusan Kebijakan Publik Dibidang Pangan, Implikasinya Pengambilan Keputusan Kebijakan Publik yang Dilandasi Oleh Nilai-nilai Sismennas Terhadap Ketahanan Pangan dan

  11 Umum.

  12 Pengambilan Keputusan Kebijakan Publik Dibidang Pangan dan Beberapa Kebijakan Publik Dibidang Pangan Saat ini.

  13 Implikasi Pengambilan Keputusan Kebijakan Publik Dibidang Pangan yang Dilandasi Oleh Nilai-nilai Sismennas Terhadap Peningkatan Ketahanan Pangan dan Implikasi Ketahanan Pangan Terhadap Kemandirian Bangsa.

  14 Permasalahan-permasalahan Kebijakan Dibidang Pangan dan Permasalah Pangan yang Ditemukan.

  Bab IV Pengaruh Perkembangan Lingkungan Strategis 15 Umum.

  16 Pengaruh Perkembangan Global.

  17 Pengaruh Perkembangan Regional.

  18 Pengaruh Perkembangan Nasional.

  19 Peluang dan Kendala.

  Bab V Kondisi Pengambilan Keputusan Kebijakan Publik Dibidang Pangan yang Dilandasi Oleh Nilai-nilai Sismennas yang Dapat Mendukung Ketahanan Pangan dan Kemandirian Bangsa.

  20 Umum.

  21 Pengambilan Keputusan Kebijakan Publik Dibidang Pangan yang Dilandasi Oleh Nilai-nilai Sismennas yang Diharapkan.

  22 Kontribusi Pengambilan Keputusan Kebijakan Publik Dibidang Pangan yang Dilandasi Oleh Nilai-nilai Sismennas Terhadap Ketahanan Pangan dan Kontribusi Ketahanan Pangan Terhadap Kemadirian Bangsa.

  23 Indikator Keberhasilan.

  Bab VI Konsepsi Pengambilan Keputusan Kebijakan Publik Dibidang Pangan yang Dilandasi Oleh Nilai-nilai Sismennas Guna Meningkatkan Ketahanan Pangan dan Kemandirian Bangsa.

  24 Umum.

  25 Kebijakan.

  26 Strategi.

  27 Upaya.

  Bab VII Penutup.

  28 Kesimpulan.

  29 Saran.

  Jakarta, Mei 2012 Peserta PPRA XLVIII/ 2012 Zulkarnain.

  Nomor Absen : 82