Tata Cara Penyusunan PERDA doc

Tata Cara Penyusunan PERDA
Pengertian Peraturan Daerah. Sesuai dengan ketentuan Undang- Undang Nomor 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang dimaksud dengan Peraturan
Daerah (Perda) adalah “peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah”. Dasar Hukum
Penyusunan Produk Hukum Daerah




Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan;
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. (Pasa1136 s.d
Pasa1147);
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan
Produk Hukum Daerah.

Inisiatif Pembentukan Perda. Rancangan Peraturan Daerah dapat berasal dari Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)maupun dari Bupati. Apabila dalam satu kali masa sidang
Bupati dan DPRD menyampaikan rancangan Perda dengan materi yang sama, maka yang
dibahas adalah rancangan Perda yang disampaikan oleh DPRD, sedangkan rancangan Perda
yang disampaikan oleh Bupati dipergunakan sebagai bahan persandingan. Program

penyusunan Perda dilakukan dalam satu Program Legislasi Daerah, sehingga diharapkan
tidak terjadi tumpang tindih dalam penyiapan satu materi Perda.
Asas Pembentukan Perda; Pembentukan Perda yang baik harus berdasarkan pada asas
pembentukan peraturan perundangundangan ketentuan Pasal 5 UU Nomor 10 Tahun 2004
yaitu sebagai berikut:



kejelasan tujuan, yaitu bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan
harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, yaitu setiap jenis peraturan
perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan
perundang-undangan yang berwenang dan dapat dibatalkan atau batal demi hukum
bila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.



kesesuaian antara jenis dan materi muatan, yaitu dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat
dengan jenis peraturan perundang-undangan.




dapat dilaksanakan, yaitu bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan
harus memperhatikan efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam
masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.



kedayagunaan dan kehasilgunaan, yaitu setiap peraturan perundang-undangan dibuat
karena memang benarbenar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan
bermasayarakat, berbangsa dan bernegara.



kejelasan rumusan, yaitu setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi
persyaratan teknis penyusunan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta

bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai
macam interpretasi dalam pelaksanaannya.



keterbukaan, yaitu dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai
dari perencanaan, persiapan, penyusunan dan pembahasan bersifat transparan dan
terbuka.

Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk
memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan. Di samping
itu materi muatan Perda harus mengandung asas-asas sebagai berikut :



asas pengayoman, bahwa setiap materi muatan Perda harus berfungsi memberikan
perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.
asas kemanusiaan, bahwa setiap materi muatan Perda harus mencerminkan
perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi



asas kebangsaan, bahwa setiap muatan Perda harus mencerminkan sifat dan watak

bangsa Indonesia yang pluralistic (kebhinnekaan) dengan tetap menjaga prinsip
Negara kesatuan Republik Indonesia.



asas kekeluargaan, bahwa setiap materi muatan Perda harus mencerminkan
musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.



asas kenusantaraan, bahwa setiap materi muatan Perda senantiasa memperhatikan
kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan Perda merupakan bagian
dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila.



asas bhinneka tunggal ika, bahwa setiap materi muatan Perda harus memperhatikan
keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi daerah dan budaya
khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.




asas keadilan, bahwa setiap materi muatan Perda harus mencerminkan keadilan secara
proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.



asas kesamaan dalam hukum dan pemerintahan, bahwa setiap materi muatan Perda
tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang,
antara lain agama, suku, ras, golongan, gender atau status sosial.



asas ketertiban dan kepastian hukum, bahwa setiap materi muatan Perda harus dapat
menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.



asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan, bahwa setiap materi muatan Perda

harus mencerminkan keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara kepentingan
individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.



asas lain sesuai substansi Perda yang bersangkutan.

Selain asas dan materi muatan di atas, DPRD dan Pemerintah Daerah dalam menetapkan
Perda harus mempertimbangkan keunggulan lokal /daerah, sehingga mempunyai daya saing
dalam pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat daerahnya.

Proses Penyusunan Perda
Prosedur penyusunan ini adalah rangkaian kegiatan penyusunan produk hukum daerah sejak
dari perencanaan sampai dengan penetapannya. Proses pembentukan Perda terdiri dari 3
(tiga) tahap, yaitu:
Proses penyiapan rancangan Perda yang merupakan proses penyusunan dan perancangan di
lingkungan DPRD atau di lingkungan Pemda, terdiri penyusunan naskahakademik dan
naskah
rancangan
Perda.

Proses mendapatkan persetujuan, yang merupakan pembahasan di DPRD.
Proses pengesahan oleh Bupati dan pengundangan oleh Sekretaris Daerah.
Inisiatif Eksekutif,
a) Usulan dari SKPD yang bersangkutan
b) rapat persiapan;
c) inventarisasi peraturan perundang-undangan yang dibutuhkan;
d) penyusunan draft Rancangan Peraturan Daerah;
e) pembahasan draft Rancangan Peraturan Daerah oleh Tim Penyusun Produk Hukum
Daerah, dengan mengikutsertakan SKPD terkait dan tenaga ahli yang dibutuhkan;
f) melakukan sosialisasi dalam rangka uji publik terhadap draft Raperda yang telah disusun,
untuk memperoleh masukan dari masyarakat dalam rangka penyempurnaan substansi materi;
g) melakukan harmonisasi dan sinkronisasi substansi materi Raperda; dan
h) membuat surat usulan Bupati dengan dilampiri draft Raperda untuk selanjutnya
disampaikan kepada DPRD.
Perda Inisiatif DPRD
Perda yang telah diusulkan DPRD akan di bahas oleh Tim Penyusun Produk Hukum Daerah
yang dikoordinasikan oleh Sekretaris Daerah Setelah selesai akan disampaikan kembali
kepada DPRD untuk dibahas bersama-sama. Proses Mendapatkan Persetujuan DPRD.Guna
mendapatkan persetujuan DPRD dilakukan kegiatan pembahasan bersama-sama pihak
Eksekutif terhadap draft Raperda yang telah diusulkan oleh Eksekutif, dengan mengacu pada

Tata Tertib DPRD, yang mana pembahasan dilakukan oleh Badan Legislasi Daerah (Balegda)
atau Pansus DPRD bersama-sama dengan Tim Penyusun Produk Hukum Daerah. Setelah
tercapai kesepakatan bersama maka akan diusulkan dalam rapat paripurna DPRD guna
mendapatkan persetujuan dari DPRD.
Proses Pengesahan dan Pengundangan
Apabila pembicaraan suatu Raperda dalam rapat akhir di DPRD telah selesai dan disetujui
oleh DPRD, Raperda akan dikirim oleh Pimpinan DPRD kepada Bupati melalui Sekretariat
Daerah dalam hal ini Bagian Hukum untuk mendapatkan pengesahan. Selanjutnya Bupati
mengesahkan dengan menandatangani Perda tersebut dan untuk pengundangan dilakukan
oleh Sekretaris Daerah. Sedangkan Bagian Hukum bertanggung jawab dalam penomoran
Perda, penggandaan, distribusi dan dokumentasi Perda tersebut.
Khusus untuk Raperda yang terkait dengan APBD, pajak daerah, retribusi daerah dan tata
ruang sebelum ditetapkan oleh Bupati, terlebih dahulu dikirimkan kepada Gubernur untuk

dilakukan evaluasi, dan apabila sudah disetujui baru ditetapkan oleh Bupati dan dikirimkan
kembali ke Provinsi.
Oleh Heri Agus Sutrisno, SH

Proses
Penyusunan

Dalam Teori dan Praktek[1]

Peraturan

Daerah

Pengantar
Kebijakan otonomi daerah telah menjadi pemicu lahirnya ribuan Peraturan Daerah (Perda) di
berbagai propinsi dan kabupaten. Tapi sayangnya dari sekian banyak Perda yang dihasilkan
tersebut cenderung dibuat dengan cara yang kurang melibatkan publik dan tidak transparan.
Sehingga tidak jarang terjadi penolakan terhadap peraturan yang dibuat. Sebagai contoh, di
Sumatera Barat publiknya bereaksi keras terhadap Perda tentang APBD Propinsi Sumbar
karena banyaknya tunjangan untuk DPRD yang tidak masuk akal dan di-mark up. Begitu pula
di Jakarta, publik menjadi berang ketika APBD DKI Jakarta memberikan uang kopi kepada
gubernur sebesar 90 juta. Bahkan kalangan pengusaha yang terhimpun dalam KADIN
menyampaikan keluhan kepada presiden bahwa terdapat 1.006 Perda yang bermasalah dan
memberatkan
dunia
usaha.[2]2
Kenyataan ini menunjukkan bahwa banyak Perda yang bermasalah dan merugikan bagi

publiknya. Untuk sementara dapat disimpulkan bahwa hal itu timbul karena beberapa faktor,
di antaranya: instrumen hukum yang ada kurang mendukung untuk melibatkan publik,
struktur atau institusi pembuat kebijakan yang kurang siap dikarenakan sumber daya manusia
yang ada tidak memadai, dan budaya atau perilaku eksekutif dan legislatif daerah yang masih
bercorak orde baru.
Tata
Cara
Penyusunan
Perda
yang
Elitis
Hampir sama dengan proses pembuatan undang-undang, proses pembuatan Perda juga dapat
muncul melalui dua jalur, yaitu atas usulan eksekutif (pemda) dan atas usulan legislatif
(DPRD). Selama kebijakan otonomi bergulir –-yang ditandai dengan lahirnya UU No. 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah — instrumen hukum dari pemerintah pusat yang
dijadikan landasan atau acuan dalam menyusun peraturan di tingkat daerah terbatas pada PP
No. 1 Tahun 2001 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD, dan Kepmendagri No. 23
Tahun 2001 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah. Dalam prakteknya, karena
lazimnya prosedur penyusunan rancangan Perda atas usulan DPRD diatur dalam tata tertib
DPRD –- yang penyusunannya mengacu pada PP No. 21 Tahun 2001 — maka usulan

rancangan Perda atas usulan DPRD lebih mengacu pada PP No. 1 Tahun 2001. Sedangkan
Kepmendagri No. 23 Tahun 2001 lebih diperlakukan sebagai pedoman penyusunan
rancangan
Perda
atas
usulan
pemda.
Tata tertib DPRD yang menjadi pedoman penyusunan rancangan peraturan daerah (Raperda)
ternyata tidak hanya sekadar mengacu pada PP No. 1 Tahun 2001, kenyataannya tatib yang
disusun oleh DPRD – yang dituangkan dalam keputusan DPRD – malah menyerupai PP No.
1 Tahun 2001. Itu sebabnya dari segi isi tidak terdapat perbedaan yang signifikan antar tatib
di seluruh kabupaten/kota, kecuali untuk hal yang sifatnya penyesuaian. Misalnya persyaratan
jumlah minimal anggota untuk bisa mengajukan usulan. Sebagai contoh, tatib DPRD Kota
Balikpapan hanya mensyaratkan sekurang-kurangnya empat orang yang terdiri dari lebih satu
fraksi, sementara Kabupaten Sanggau dan Kabupaten Kertanegara menpersyaratkan minimal
lima orang yang berasal dari lebih satu fraksi. Padahal dilihat dari isinya, dalam PP No. 1
Tahun 2001 boleh dikatakan ruang bagi partisipasi publik untuk memberikan masukan sangat

sempit. Ironisnya, tatip DPRD justru menutup diri sama sekali dan tidak mengagendakan
konsultasi
publik
dan
cenderung
elitis.
Lain halnya dengan Raperda usulan DPRD, prosedur penyusunan Raperda usulan pemda saat
ini diatur melalui Kepmendagri No. 23 Tahun 2001. Pada bagian mengingatnya kepmendagri
ini mencantumkan Keppres No. 188 Tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undangundang, namun demikian kepmendagri ini tidak dapat dikatakan sebagai aturan pelaksanaan
dari keppres tersebut. Hal ini tidak lain dikarenakan Keppres No. 188 Tahun 1998 hanya
diperuntukkan untuk penyusunan UU, tidak untuk Perda atau peraturan yang lainnya. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa pencantuman Keppres No. 188 Tahun 1998 merupakan
suatu kekeliruan meskipun dari segi materi kepmendagri ini merupakan dari Keppres
tersebut. Dilihat dari segi isinya, kepmendagri No. 23 Tahun 2001 pun belum memberikan
peluang yang banyak kepada publik untuk berpartisipasi dalam penyusunan Raperda. Apabila
dibuat ke dalam bentuk diagram, urutan pembuatan kebijakan daerah berdasarkan kedua
peraturan tersebut dapat terlihat seperti di bawah ini:
A. Diagram Usulan DPRD Berdasarkan PP. No. 1 Tahun 2001
B. Usulan Pemda Berdasarkan KepMendagri No. 23 Tahun 2001
Mesin
Copy
Paste
Sesuai dengan dasar kewenangan penyusunan Perda, perancang Perda adalah aparat pemda
dan anggota DPRD. Dalam pembuatan peraturan setidak-tidak pihak-pihak tersebut mengerti
dasar-dasar teknik pembuatan peraturan perundang-undangan. Permasalahan yang sering
timbul di tingkat perancangan Perda adalah aparat yang berwenang kurang memiliki
kemampuan mengenai mekanisme pembuatan perundang-undangan. Sebagai contoh, aparat
bagian hukum Pemda Kabupaten Merangin mengakui bahwa kemampuandrafting DPRD
sebagai pemegang kekuasaan legislatif masih sangat terbatas sehingga tidak dapat dihindari
jika eksekutiflah yang kemudian menjadi mesin penyusun Perda-perda yang ada di Merangin.
Selain itu sejak tahun 2001, dari ± 42 Perda yang telah dihasilkan Kabupaten Merangin,
belum satu pun yang merupakan hasil inisiatif DPRD. Ini terjadi karena kesalahan persepsi
oleh anggota DPRD Merangin mengenai hak inisiatif seperti yang dimaksud dalam UUD
1945. Sebagaimana dikemukakan Ketua Komisi B DPRD, inisiatif penyusunan peraturan
perundangundangan diartikan hanya sebagai memunculkan ide saja, dan selanjutnya ide
tersebut diserahkan kepada eksekutif untuk ditindaklanjuti menjadi Perda.[3]
Kenyataan ini mengindikasikan bahwa institusi yang ada sebagai pihak yang berwenang
menyusun Perda, masih kurang memadai untuk menghasilkan produk hukum yang
berkualitas. Sayangnya kekurangmampuan menciptakan produk hukum yang berkualitas itu
tidak diimbangi dengan pelibatan publik untuk berperan aktif. Tidak heran jika produkproduk yang dihasilkan di tiap-tiap daerah agak mirip bahkan tak jauh beda dari segi isi
karena praktek copy paste yang dilakukan terhadap peraturan-peraturan yang lain. Hampir
seluruh kabupaten di Indonesia memiliki Perda mengenai pemerintah daerah yang tidak
mempunyai perbedaan signifikan satu dengan yang lain. Jumlahnya selalu sama, berkisar
antara 11 – 13 buah, demikian pula dengan judul-judul yang digunakan.
Perilaku
Lama
Oleh
Pemain
Lama
Corak pelaksanaan otonomi daerah, yang berimbas pada proses pembuatan kebijakan daerah,
dalam realitanya lebih diartikan sebagai politik bagi-bagi kewenangan antara pemerintah
pusat dan daerah serta dijadikan peluang bagi elitelit politik lokal untuk membangun
kekuatan-kekuatan politik di tingkat lokal, maka perhatian terhadap publik tidak jauh beda
ketika rezim orde baru berkuasa. Masih bertahtanya pandangan kolot bagian hukum pemda

turut menyumbang pada upaya pelanggengan proses pembuatan kebijakan daerah yang anti
terhadap partisipasi publik. Rakyat masih tetap dianggap sebatas penyampai aspirasi,
sementara tugas untuk menuangkannya dalam bentuk kebijakan daerah masih menjadi
wewenang pemda dan DPRD semata. Selain itu, birokrasi lama yang penuh liku masih tetap
bertahan karena memang kenyataannya SDM yang ada merupakan pemain lama yang
terbiasa dengan pola lama. Akibatnya, acap kali peraturan pusat yang sifatnya pedoman oleh
aparat daerah diterjemahkan sebagai instruksi sehingga tidak perlu aneh jika produk hukum
yang
dihasilkan
cenderung
seragam.
Sifat seragam produk yang dihasilkan oleh daerah-daerah tersebut mengindikasikan bahwa
proses penentuan obyek atau materi yang hendak diatur dalam Perda tidak berangkat dari
identifikasi kebutuhan nyata masyarakat. Dampak yang timbul kemudian adalah munculnya
konflik-konflik baru ketimbang menyelesaikan permasalahan lama. Oleh karena itu,
diperlukan suatu penataan ulang terhadap peraturan yang mengatur mengenai pembuatan
kebijakan daerah untuk memberikan ruang yang lebih luas bagi partisipasi publik.
Inisiatif
Datang
Dari
Pihak
Lain
Seperti diuraikan di muka, usulan Raperda dapat diinisiasi oleh pemda dan DPRD dengan
aturan main yang berbeda. Berdasarkan PP No. 1 Tahun 2001, Penyusunan Raperda hasil
usulan DPRD diawali oleh pengajuan usulan oleh sejumlah anggota yang terdiri atas lebih
dari satu fraksi. Usulan tersebut disampaikan secara tertulis kepada pimpinan DPRD dalam
bentuk Raperda, disertai penjelasannya. Usul tersebut kemudian diberi nomor pokok oleh
sekretariat DPRD. Setelah itu disampaikan oleh pimpinan DPRD pada rapat paripurna setelah
terlebih dahulu mendapat pertimbangan dari panitia musyawarah (pamus)[4].
Sedangkan penyusunan Raperda hasil usulan pemda, menurut Kepmendagri No. 23 Tahun
2001, unit kerja dan pimpinan dinas/lembaga teknis daerah dapat mengambil prakarsa untuk
menyusun Raperda. Usulan Raperda tersebut dimintakan persetujuannya kepada kepala
daerah melalui sekretaris daerah. Sebelum diajukan kepada kepala daerah, sekretaris daerah
melalui bagian hukum bisa melakukan harmonisasi dan sinkronisasi. Permohonan
persetujuan dilampiri dengan pokok-pokok pikiran atau konsepsi pengaturan, yang memuat:
(1) latar belakang, maksud dan tujuan pengaturan; (2) dasar hukum; (3) materi yang diatur,
dan
(4)
keterkaitan
dengan
peraturan
perundang-undangan
lain.
Dalam tahap ini tidak ada suatu kewajiban untuk melibatkan publik dalam tahap usulan.
Keterlibatan publik dalam tahap usulan lebih dikarenakan peran aktif masyarakat yang
kadang didampingi oleh ornop. Sebagai contoh, misalnya usulan terhadap pembuatan Perda
Kabupaten Wonosobo No. 22 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis
Masyarakat (PSDHBM) –- hasil usulan DPRD — berangkat dari pendekatan aktif Lembaga
Arupa dan ornop lainnya kepada DPRD Wonosobo untuk mengagendakan pembuatan Perda
demi menjawab permasalahan pengelolaan hutan di Wonosobo. Keterlibatan publik dalam
penyusunan Perda ini juga tidak lepas dari niat baik anggota DPRD menjawab aspirasi yang
ada. Bahkan dalam kasus Perda Wonosobo, keterlibatan publik juga sampai pada
penyusunan/drafting
Raperda.
Di Kutai Barat, inisiasi pembuatan Perda No. 18 Tahun 2002 Tentang Kehutanan Kabupaten
Kutai Barat datang dari masyarakat bersama pemda. Pemda dalam hal ini betul-betul
melibatkan publik dengan membentuk tim peyusun yang tergabung dalam Kelompok Kerja
Pembangunan Kehutanan Daerah (KK-PKD) yang terdiri atas anggota perwakilan dinasdinas pemda, ornop, akademisi, tokoh masyarakat, dan tokoh adat.
Penyusunan/Drafting
Rancangan
Peraturan
Daerah
Berdasarkan Kepmendagri No. 23 Tahun 2001, drafting Raperda dilakukan setelah Kepala

daerah memberikan persetujuan terhadap usulan Raperda dan diteruskan dengan
pemberitahuan kepada bagian hukum dan dinas/lembaga teknis daerah oleh sekretaris daerah.
Untuk membantu menyusun Raperda tersebut, pemrakarsa dapat membentuk Tim Asistensi
antar Dinas/lembaga teknis daerah atau disebut juga Tim Unit Kerja, yang diketuai langsung
oleh pejabat yang ditunjuk oleh kepala daerah untuk menyusun Raperda tersebut. Kepala
Bagian Hukum secara otomatis akan bertindak sebagai sekretaris di dalam Tim tersebut.
Pembentukan tim ini selambat-lambatnya 21 hari sejak dikeluarkannya surat sekda mengenai
pemberitahuan persetujuan prakarsa. Sebelumnya, sekda sendiri yang langsung mengajukan
pembentukan tim asistensi kepala seluruh pimpinan dinas/lembaga teknis daerah yang terkait,
selambat-lambatnya 7 hari sejak Raperda disetujui oleh kepala daerah. Pimpinan
dinas/lembaga teknis daerah menunjuk orang yang akan duduk di dalam tim asistensi. Usulan
nama dari masing-masing dinas/lembaga teknsi daerah paling lambat 7 hari terhitung sejak
sekda mengajukan permintaan. Secara berkala, ketua tim asistensi akan melaporkan
perkembangan pembahasan kepada sekda dan pimpinan dinas/lembaga terkait daerah. Setelah
selesai menuntaskan tugasnya, tim asistensi melaporkan hasil perumusan akhir Raperda
kepada sekda dan pimpinan dinas/lembaga teknis daerah, disertai penjelasan. Selanjutnya
sekretaris daerah mengajukan Raperda tersebut kepada kepala daerah, sekaligus menyipakan
Nota
Penyampaian
kepala
daerah
kepada
DPRD.
Pada proses penyusunan Raperda yang merupakan usulan dari DPRD, menurut PP No. 1
Tahun 2001, drafting Raperda baru dapat dimulai setelah rapat paripurna DPRD memutuskan
menerima dan menetapkan usulan menjadi usulan DPRD, pembahasan lebih lanjut atas
usulan tersebut dilakukan oleh komisi/rapat gabungan komisi/panitia khusus. Dalam hal
pembahasan diserahkan kepada pansus, pimpinan DPRD membentuk pansus. Komisi adalah
salah atau alat kelengapan DPRD yang bersifat tetap dan dibentuk pada permulaan masa
keanggotaan DPRD. Salah satu tugas komisi adalah melakukan pembahasan terhadap Perda
dan rancangan keputusan DPRD. Sama seperti pamus dan komisi, pansus juga merupakan
alat kelengkapan DPRD yang dibentuk pimpinan DPRD setelah mendengar pertimbangan
dari pamus. Tetapi, tidak seperti pamus dan komisi yang bersifat tetap, pansus bersifat
sementara. Pansus dibentuk untuk jangka waktu tertentu guna melaksanakan tugas tertentu
dengan
kemungkinan
diperpendek
atau
diperpanjang
jangka
waktunya.
Komisi/rapat Gabungan Komisi/Pansus yang ditugasi untuk membahas Raperda tersebut —
lewat pimpinannya — memberikan penjelasan kepada seluruh anggota DPRD dalam rapat
paripurna. Dalam rapat tersebut, kepala daerah memberikan pendapat yang kemudian dijawab
oleh pimpinan komisi/rapat gabungan komisi/pansus. Sebelumnya, Raperda tersebut —
disertai penjelasannya — disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada kepala daerah secara
tertulis,
melalui
sekretaris
daerah.
Pada tahap drafting, keterlibatan publik juga tergantung pada niat baik dan kesadaran pemda
maupun DPRD untuk membuka ruang bagi pihak yang berkepentingan terhadap Raperda
yang akan disusun untuk dapat terlibat. Namun demikian, niatan ini juga dipengaruhi oleh
minimnya kemampuan legal drafting dan substansi para anggota DPRD. Keterlibatan
masyarakat dan ornop juga tergantung pada pendekatan yang dilakukan mereka kepada
pemda dan anggota DPRD. Sebagai contoh, penyusunan Perda Kutai Barat tentang
Pemerintahan Desa difasilitasi secara aktif oleh ornop SHK Kaltim. Dalam hal ini SHK tidak
hanya memfasilitasi publik untuk terlibat tetapi dipercaya untuk menyusun draft awal
bersama masyarakat. Dalam penyusunan Raperda Wonosobo juga demikian, Arupa dan ornop
lainnya
malah
diberi
kepercayaan
untuk
menyusun
draft.
Di Sumatera Barat, hal yang sama terjadi pada tahap penyusunan Raperda provinsi tentang
Pemanfaatan Tanah Ulayat, publik yang tergabung dalam Lembaga Kerapatan Adat Alam
Minangkabau (LKAAM) ikut menjadi anggota tim penyusun Raperda. Meskipun masyarakat
(wakil LKAAM) yang terlibat dalam drafting Raperda tersebut telah memberikan masukan

dan pemikiran terkait dengan substansi Raperda yang sedang disusun, namun kenyataannya
pendapat dan pemikirannya tidak digubris oleh oleh pihak eksekutif.[5]
Pembahasan
Raperda
oleh
DPRD
dan
Eksekutif
Kepmendagri No. 23 Tahun 2001 menyebutkan bahwa Raperda yang merupakan inisiatif
pemda akan dibahas dalam suatu rapat paripurna yang mengagendakan penyampaian nota
penyampaian dari kepala daerah. Isi nota tersebut adalah sifat penyelesaian Raperda, cara
penanganan atau pembahasannya dan pejabat yang ditugasi untuk mewakili pemda dalam
pembahasan Raperda dengan komisi/pansus DPRD. Dalam hal pembahasan tersandung pada
hal-hal prinsipil, pejabat yang ditunjuk dapat melaporkan kepada kepala daerah dengan
disertai
saran
pemecahan
yang
diperlukan.
Setelah melewati putaran rapat-rapat di komisi/pansus, DPRD kemudian mengadakan rapat
paripurna untuk menyetujui Raperda tersebut. Dalam rapat paripurna ini, didengarkan juga
penjelasan resmi pemda terhadap Raperda tersebut. Reperda yang telah disetujui tersebut
kemudian ditetapkan melalui keputusan DPRD. Berikutnya, kepala daerah menetapkannya
dengan cara membubuhi tanda tangan dan Cap Jabatan. Sebelumnya, bagian hukum
memberikan nomor kepada Raperda tersebut. Rangkaian penyusunan kemudian ditutup
dengan diundangkannya Perda tersebut ke dalam lembaran daerah serta memberitahukannya
kepada
Mendagri
dan
Otda.
Sedangkan pada Raperda yang merupakan usulan/inisiasi dari DPRD, pembahasan bersama
eksekutif akan mulai dilakukan setelah Raperda tersebut — disertai penjelasannya —
disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada kepala daerah secara tertulis, melalui sekretaris
daerah. Selanjutnya sekretaris daerah melaporkannya kepada kepala daerah disertai saran
mengenai pejabat yang akan ditugasi untuk mengkoordinasikan pembahasannya dengan
pimpinan
Dinas/Lemabaga
Teknis
daerah
yang
terkait.
Selanjutnya, sekretaris daerah menyampaikan Raperda kepada Unit Kerja dan Pimpinan
Dinas/Lembaga Teknis Daerah yang ditugaskan oleh kepala daerah untuk mengkoordinasikan
pembahasannya. Unit kerja yang dibebani untuk mengkoordinasikan pembahasan tersebut
membentuk Tim Asistensi yang diberi tugas untuk membahas dan menyiapkan pemdapat,
pertimbangan, serta saran penyempurnaan yang diperlukan. Untuk mengerjakan tugas
tersebut, Tim Asistensi Teknis diberi waktu paling lama 30 hari terhitung sejak tanggal
pembentukannya dan melaporkan hasil tugasnya kepada Unit kerja yang ditugasi untuk
mengkoordinasi pembahasan. Bila diperlukan, Tim Asistensi Teknis tersebut bisa juga
membantu kepala daerah dalam rapat-rapat pembahasan dengan DPRD. Dalam menjalankan
tugasnya, Tim Aistensi Teknis bersekretariat di kantor Bagian Hukum. Pejabat atau Unit
Kerja yang ditugasi untuk mengkoordinasi pembahasan tersebut berkewajiban
mengkonsultasikan Raperda—berikut pendapat, pertimbangan serta penyempurnaan yang
diajukan oleh Tim Asistensi Teknis—dengan Pimpinan Dinas/Lembaga Teknis Daerah
terkait. Pejabat tersebut juga bertanggung jawab untuk menyelesaikan dan melaporkan
seluruh proses konsultasi selambat-lambatnya 21 hari sejak tanggal dikeluarkannya surat
sekretaris daerah mengenai penyampaian Raperda kepada Unit Kerja dan Pimpinan
Dinas/Lembaga Teknis Daerah terkait.
Kepala Daerah kembali menyampaikan Reperda kepada DPRD dengan Nota Penyampaian
yang berisikan penerimaan untuk membahas lebih lanjut Raperda atau tidak menerimanya
disertai alasan-alasannya. Dalam hal pembahasan Raperda diterima untuk dilanjutkan, kepala
daerah sekaligus menunjuk pejabat yang mewakilinya dalam pembahasan selanjutnya.
Komisi/Rapat Gabungan Komisi/Pansus selanjutnya mengadakan rapatrapat pembahasan
dengan pejabat yang ditunjuk oleh pemerintah daerah. Apabila rapat pemabahasan telah
selesai, komisi/rapat gabungan komisi/pansus kemudian menyempurnakan Raperda tersebut

untuk kemudian disampaikan dalam rapat paripurna. Dalam rapat ini, selain memberikan
kesempatan kepada pimpinan komisi/rapat gabungan komisi/pansus untuk melaporkan
Raperda yang sudah disempurnakan, juga didengarkan pendapat akhir dari fraksi-fraksi dan
sambutan dari kepala daerah. Rapat paripurna dilanjutkan dengan agenda menyetujui
Raperda. Persetujuan atas Raperda tersebut ditetapkan dengan Keputusan DPRD.
Selanjutnya Raperda tersebut ditetapkan menjadi Raperda oleh kepala daerah dengan cara
mendatanganinya dan membubuhkan Cap Jabatan, setelah terlebih dahulu diberi nomor oleh
Bagian Hukum. Perda yang telah dinomori, ditandatangani dan dicap jabatan tersebut
kemudian diserahkan kepada sekretaris daerah untuk diundangkan dalam lembaran daerah
dan dikirimkan kepada Mendagri dan Otda selambat-lambatnya 15 hari setelah tanggal
penetapan,
disertai
dengan
risalah
rapat
pembahasan.
Dalam praktek pembahasan Raperda PSDHBM Wonosobo di DPRD, untuk menambah
masukan, DPRD Wonosobo sering mengadakan hearing keada anggota masyarakat sebagai
petani hutan, akademisi, ornop, dan pihak lain yang berkepentingan. Karena dinilai berlarut,
masyarakat juga sesekali mengadakan aksi untuk mendesak anggota DPRD menuntaskan
pembahasannya degan segera. Sekali lagi, keterlibatan publik dalam proses pembahasan lebih
banyak tergantung pada sikap proaktif anggota DPRD untuk menampung aspirasi dari
masyarakat. Jika hanya mendasarkan pada peraturan, sesungguhnya peraturan yang ada tidak
mewajibkan publik untuk dimintai pendapat mengenai Raperda yang sedang dibahas.
Walaupun masyarakat sudah dilibatkan terkadang apa yang disampaikan masyarakat tidak
diperlakukan sebagai aspirasi yang dijadikan bahan pertimbangan, malah keterlibatan
masyarakat hanya diperlakukan sebagai excuse belaka. Kejadian ini dapat dibuktikan seperti
pembahasan Raperda di Sumatera Barat tentang Pemafaatan Tanah Ulayat di mana aspirasi
publik tidak diprioritaskan.
Tahapan
Penyusunan
Peraturan
Daerah
Secara sederhananya, tahapan penyusunan peraturan daerah dapat dilihat dalam diagram
berikut:
C. Usulan DPRD berdasarkan Keputusan DPRD Kab. Sanggau No 11 Tahun 2001 tentang
Peraturan
Tata
Tertib
DPRD
Kab.
Sanggau
D. Usulan Pemerintah Daerah Berdasarkan Keputusan DPRD Kab. Sanggau No. 11 Tahun
2001 tentang Peraturan Tata Tertib DPRD Kab. Sanggau
Pembicaraaan Tahap IV: Pengambilan keputusan dalam Rapat Paripurna dan pemberian
kesempatan kepada Kepala Daerah untuk menyampaikan sambutan terhadap pengambilan
keputusan
Penetapan Peraturan Daerah Hanya ditandatangani oleh Kepala Daerah. Persetujuan DPRD
ditetapkan dalam Keputusan DPRD
Penutup
Mengacu pada kenyataan penyusunan Raperda yang dilakukan selama ini, pelibatan publik
masih belum merupakan suatu keharusan. Jika pun ada pelibatan publik, hal tersebut
cenderung hasil dari pendekatan dan terkadang ‘tekanan’ dari publik – baik itu ornop maupun
masyarakat yang berkepentingan langsung terhadap peraturan tersebut. Namun demikian,
dalam pelibatan publik ini masih belum ada jaminan bahwa apa yang menjadi aspirasi
masyarakat akan tertulis dalam produk final Perda. Penyusunan peraturan daerah lebih
menekankan pada proses teknisnya saja dan bukan pada substansi yang akan disusun ataupun
kepentingan apa yang dibawa oleh Perda tersebut. Pihak-pihak yang seharusnya dilibatkan
malah tidak diikutkan. Hal ini pada akhirnya tidak jarang melahirkan konflik pada pihak

dimana
peraturan
tersebut
nantinya
akan
diterapkan.
Rendahnya peran serta dalam penyusunan peraturan pada dasarnya lebih disebabkan oleh
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai itu kurang memberi kesempatan
pada publik (bahkan nyaris tak ada). Kemampuan yang minim dan elitisme pembuat
peraturan di tingkat daerah turut menyumbang sempitnya ruang partisipasi bagi publik. Selain
itu, birokrasi model lama masih mendominasi sehingga proses penyusunan peraturan yang
seharusnya dimungkinkan untukmelibatkan publik malah menjadi tertutup.
[1] Tulisan ini sebagian besar, terutama yang berkenaan dengan PP No 1 Tahun 2001 dan
Kepmendagri No. 23 Tahun 2001 dikutip dari Manual PHR oleh Q-Bar, LBBT, RMI, PPSHK
Kalbar,Komite HAM Kaltim, LP2S, YBH Bantaya, ptPPMA, HuMa.
[2] Media Indonesia, 24 November 2001
[3] Contoh ini diambil dari Laporan Kunjungan Lapangan Jambi, 24 Oktober – 04 November
2002, Titi Anggraini dan Reny Rawasita, IHSA.
[4] Pamus adalah salah satu alat kelengkapan DPRD yang bersifat tetap dan dibentuk pada
permulaan masa keanggotaan DPRD. Salah satu pamus adalah menetapkan kegiatan dan
jadwal acara rapat DPRD
[5] Media Indonesia, Ranperda Tanah Ulayat Lebih Pentingkan Investor, 21 Februari 2003.
Update By Nancy M