Perlukah Revisi UU Perlindungan Konsumen?

Pikiran Rakyat

(ha'aman)CD~

~OCD

o Senin
1
17

2
18

3
19

4

.
20


0

Selasa
5

6
21

o Kamis

Rabu
7
22

8

9

23


~f) Jan 0 Peb 0 Mar 0 Apr . Mei OJun

0
10

24

Jumat

11
25

OJul

~

o S.btu 0 Minggu
12

13

27

0 Ags OSep

14
28

OOkt

"=-",

15
30

29
ONov

Perlukah Revisi UU
an Konsumen?


--~

~~

B

ERITA dendeng dan abon
babi, yang dalam kemasan
disebut dendeng daging sapi,
tetapi berisi babi mengentak konsumen. Hasil pengamatan menunjukkan pembeli merupakan sosok
yang dirugikan. Keadaan ini melengkapi penderitaan konsumen jika
berhadapan dengan penjual. Posisi
mereka selalu berada pad a pihak
yang lemah (Pikiran Rakyat, 23/3).
Masihkah ada jaminan hukum
perlin dung an konsumen dan jaminan kesejahteraan sosial? Pertanyaan
ini menyeruak dalam kehidupan
sosial kita. Landasan hukum saat ini
yang nyata melindungi konsumen
adalah berlakunya Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).
Mengevaluasi sepuluh tahun perjalanan UUPK pun semakin relevan.
Kenyataannya, penegakan hukum
konsumen masih banyak kelemahan.
Padahal, UUPK tersebut sudah berumur sembilan tahun, berlaku efektif
sejak tanggal 20 April 2000, terdiri
atas 65 pasal. Perlukah UUPK direvisi? Apakah ada upaya srategis untuk mengangkat posisi k6nsumen?
Posisi konsumen & advokasi
Dalam pengertian yang sederhana
konsumen berarti pemakai (asal kata
. consumer). Dalam arti sempit konsumen menyangkut manusia, tetapi
dalam arti luas menurut penelitian
pengertian konsumen termasuk binatang. Argumentasinya, makhluk
ini harns mengonsumsi makan dan
minum setiap hari, seperti penghuni
taman margasatwa atau hewan piaraan menyantap daging dan sayuran. Namun, di sisi lain pengertian

- _.--

--


--,

consumer terns berkembang dan selalu diindikasikan menjadi "korban
pemakaian produk yang cacat" serta
menempatkan kedudukan konsumen sangat lemah daripada produsen, baik dari aspek ekonomi,
pendidikan, dan daya tawar. Di lain
pihak, perilaku niaga sering membingungkan konsumen misalnya
dengan model promosi door to door.
Ada banyak bukti kasus yang menunjukkan, pihak konsumen berada
pada pihak yang lemah. Seperti
melalui infomersial atau pemasangan iklan di media massa sering terdapat keluhan para konsumen dalam
hubungannya dengan jual beli
melalui media cetak atau media elektronik, 1V, dan internet.
Parapembffiimengffiuh,mereka
menerima barang yang tidak sesuai
dengan apa yang diiklankan. Ikrar
Nusa Bhakti, peneliti senior LIPI
berkata, "Iklan politik di televisi lebih
banyak bohong daripada melakukan

pendidikan politik pada rakyat.
Seperti iklan obat, manamungkin
orang sembuh sakitnya sepuluh
menit setelah minum obat." Iklan-ikIan seperti itu dapat membingungkan dan berpotensi menyesatkan konsumen.
Pasokan barang danjasa melalui
kegiatan promosi yang gencar tidak
selamanya dapat dipahami dengan
baik oleh masyarakat, bahkan sering
mengakibatkan masyarakat menjadi
korban. Sifat berpikir objektif acap
dikalahkan oleh kegiatan promosi,
sehingga mengubur sikap rasional
konsumen.
Konsumen juga harns ikut
bertanggungjawab atau berkewajiban untuk ~--menangkal beredarnya

-------

-'-Kliping


Humos

Unpod

~009

-- -- ~------

USEP USMAN NASRULLOH/"PR.

PETUGAS Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung memeriksa label halal
dan registrasi produk dendeng dan ilbon sapi saat inspeksi mendadak di Superindo, Jln. Terusan Kopo Sayati, Kabupaten Bandung, Senin (30/3). Tim
gabungan dari Vinas Kesehatan dan Vinas Peternakan Kabupaten Bandung
mengambil tiga sampel produk dendeng dan abon yang diragukan nomor
registrasi dan label halal untuk dilakukan uji laboratorium. *
makanan yang sudah kedaluwarsa,
supaya masyarakat luas terhindar
dari dampak kecurangan dan sikap
masa bodoh para konsumen dan
penjual.

Faktor utarna kelemahan konsumen adalah terletak pada tingkat
kesadaran konsumen akan hak dan
kewajibannya yang masih rendah.
Menurut penjelasan umum UUPK,
hal ini disebabkan oleh rendahnya
pendidikan konsumen dan perIu
melakukan pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. Pentingnya pem-

berdayaan konsumen dilatarbelakangi karakter pelaku usaha yang
selalu berorientasi bisnis untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya.
Sementara itu, peranti hokum
yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha
para produsen, tetapi justru sebaliknya perlindungan konsumen dap-at mendorong iklim usaha yang sehat dengan mengembangkan pelaku
usaha kecil dan menengah melalui
pembinaan dan penegakan hokum.
Mengacu pada filosofi hokum nasional, pada UUPK tersebut
melekat
....---

hak konsumen artinya apabila konsumen dirugikan, yang dibela

adalah hak-haknya.
Dalam Pasal4 dijelaskan hak-hak
konsumen antara lain, a. Hak atas
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan barang ataujasa. b. Mendapatkan advokasi perlindungan konsumen, pembinaan dan pendidikan,
pelayanan yang tidak diskriminatif,
konpensasi, ganti rugi sesuai peIjanjian. Adapun PasalS mengatur kewajiban konsumen al, Membaca
petunjuk pemakaian demi keselamatan, beritikad baik dalam
transaksi, dan mengikuti penyelesaian hukum sengketa konsumen.
Apabila teIjadi sengketa penyelesaiannya dapat mengajukan gugatan
sesuai UUPK Pasal4S,46,47, 48 dan
Perma Nomor 1Tahun 2002 tentang
acara gugatan perwakilan kelompok
(class action). Lebih spesisifik apabila konsumen dirugikan akibat pro:duk iklan yang menyesatkan dapat
mengacu pada Pasal20 yaitu
"Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbWkan oleh iklan tersebut". Dalam
hal teIjadi wanprestasi produsen
membayar ganti rugi atas perbuatan
melawan hukum, Pasal136S KUHPerdata.
Revisi UUPK?
Eksistensi hukum perlindungan

konsumen sebenarnya berakar pada
teori ekonomi tentang (hukum)
pasar yang menyebutkan produsen
selalu berusaha untuk menyesuaikan
dengan perubahan kebutuhan konsumen. Menurut teori Adam Smith
kedudukan dan peran konsumen di

- - - --- -

pasar sangatlah dominan. Konsumenlah yang mengatur pasar dan
hubungan antara konsumen dan
produsen berimplikasi pada teori
hukumbisnis.
Dengan lemahnya posisi konsumen muncul pemikiran untuk
melakukan revisi UUPK. Pertama
merevisi substansi materi yang lebih
banyak mengatur perilaku pelaku
usaha ketimbang konsumen. Idealnya, perlidungan hukum harus seimbang antara pelaku usaha dan konsumen. Kedua, memperbaiki isi
redaksional klausula baku Pasal18
tentang peIjanjian sepihak yang
telah menimbWkan penafsiran beragam.
Membandingkan UUPK dengan
undang-undang lain, hampir sama
usinya, yaitu UU Nomor 40 Tahun
1999 tentang Pers juga banyak dikritisi untuk direvisi. Namun ada yang
berpendapat kedua UU tersebut
tidak perlu direvisi baik UUPK
maupun UUPers. Perlu dilakukan
secara optimal dan mendesak adalah
upaya penegakan hukum, advokasi
dan sosialisasi.
Pendapat ini dinilai lebih strategis
daripada melakukan revisi.
Bukankah untuk revisi suatu undang-undang perlu waktu lama dan
''birokratis''? Bahkan mengacu pada
Cicero, Summum ius, summa injuria, tidak ada hukum yang "sempuma" yang tanpa cacat dalam perspektif negara hukum, konsumen
disarankan dapat diposisikan sebagai salah satu stakeholder penegak
hukum. (D. Naungan Harahap,
kandidat doktor Ilmu Hukum Pascasarjana Unpad, Ketua DK-PWI
Jawa Barat, dan advokat)***

------