Arah Revisi UU Penyiaran.
Pikiran Rakyat
o Senin o Selasa
123
17
4
18
8Jan
19
OPeb
5
6
20
21
o Mar
OApr
.
o Kamis
Rabu
7
22
OMei
8
23
9
OJun
0
10
24
o Sabtu
Jumat
12
11
25
~
26
o Sep
0 Jul 0 Ags
0
13
Minggu
14
28
0
15
29
Okt
0
16
30
31
Nov () Des
Arab Revisi UU Penyiaran
~
Oleh DIAN WARDIANA SJUCHRO
R
EVISI Undang-Undang No. 32/2002 tentang Penyiaran telah
masuk ke program 100 hari Ka- .
binet Indonesia Bersatu 2, dan
kabarnya telah masuk prolegnas tahoo ini. Berarti pemerintah telah bertekad bulat untuk
melakukan revisi terhadap salah satu UU paling kontroversial pada era reformasi tersebut.
Dalam waktu yang tidak terlalu
lama, draf revisi UU Penyiaran
akan masuk pembahasan DPR
RI. Menjadi pertanyaan mendasar, ke mana arah revisi tersebut akan bergerak?
Undang-Undang Penyiaran
adalah produk legislatif yang pa-
ling mengundang perdebatan
sepanjang sejarah kehidupan
NKRI. Meski telah,disahkan pada 2002, sampai sekarang banyak pasalnya yang tidak pernab bisa dijalankan pemerintah.
Alasan pemerintah, UU itu tidak
aplikatif, banyak bertentangan
dengan kondisi realitas penyiaran atau juga karena bertentangan dengan berbagai kepentingan
di dunia radio dan televisi.
Untuk menebak arah revisi
UU Penyiaran, ada baiknya kita
menengok ke belakang ketika
produk legislasi tersebut dibuat.
Suasana ketika itu adalah ketika
semangat reformasi sedang
mencapai puncaknya. UU Penyiaran dibuat dengan mendasarkan pada dua kata yang kemudian menjadi legenda, yakni
diversity of ownership dan diversity of content. Maka, peran
pemerintah diserahkan kepada
lembaga independen bernama
Komisi Penyiaran Indonesia
(KPI). Stasiun televisi nasional
yang selama ini bersiaran nasional diharuskan bersiaran lokal
atau lokal berjaringan.
Meskipun sebenarnya tidak
ada keraguan dalam pasal-pasalnya, pelaksanaan UU Penyiaran berjalan seperti keong. Pemerintah berkilah, UU tersebut
tidak operasional, sementara
lembaga penyiaran mengeluh,
ketentuan-ketentuan
tersebut
mengancam kelangsungan hidup stasiun televisi mereka.
Perlu waktu yang sangat lama
hanya untuk menetapkan siapa
gerangan yang harns mengurus
izin penyelenggaraan penyiaran
dan menetapkan kapan stasiun
televisi nasional mulai Mrjaringan. Percaya atau tidak, pelaksanaan pasal mengenai stasiun
televisi berjaringan belum bisa
tuntas sampai artikel ini dibuat.
Sekarang, era reformasi barangkali telah berubah, Semangat ootuk menegakkan diversity of ownership dan diversity of
content juga telah menurun dengan tajam. Pemerintah mungkin berpikir ini saat yang baik
ootuk meneguhkan kembali supremasi mereka dalam bidang
penyiaran, yang selama ini dibagikan sebagian kepada KPI dan
pemerintan daerah. Dalam kalkulasi pemerintah, langkah ini
akan sangat strategis ootuk melakukan sweeping terhadap berbagai pelanggaran UU yang selama ini marak di berbagai daerah. Ada banyak radio dan televisi yang bersiaran dengan
mengandalkan izin yang dahulu
dikeluarkan oleh pemerintah
provinsi, kabupaten, atau kota.
Apakah.rencana pemerintah
tersebut akan berjalan mulus?
Tunggu dulu, karena berdasarkan kalkulasi sementara, revisi
UU Penyiaran berpotensi menjadi bola liar yang berjalan ke
mana-mana. Patut dipertanyakan, akankah DPR mampu melakukan revisi dengan "mendamaikan" pihak-pihak yang berkepentingan di dalamnya?
TIga piliak
Revisi UU Penyiaran paling
tidak akan melibatkan segitiga
utama dunia penyiaran, yakni
pemerintah, industri, dan masyarakat. Ketiga pihak tersebut
selama ini mempooyai visi yang
berbeda-beda dalam meman-
Kliping Humas Unpad 2010
--
dang masa depan dunia penyiaran di masa mendatang. Pemerintah diwakili oleh Kementerian Komunikasi dan Infor,matika, industri terpecah ke dalam. dua kubu yang berseberangan, sementara masyarakat
akan diwakili oleh KPI.
Posisi pemerintah, dalam hal
ini Kementerian Komunikasi
dan Informatika, menginginkan
adanya sentralisasi dunia penyiaran. Paling tidak pemerintah
menginginkan izin yang dibagi
dengan KPI, dikembalikan kepada mereka. Dengan begitu
pemerintah akan menjadi regulator tunggal untuk penataan
infrastruktur penyiaran, termasuk penetapan sistem stasiun
televisi berjaringan.
Dengan posisi seperti itu, pemerintah hanya akan menempatkan KPI dalam posisi dilematis. Dengan kewenangan
yang sangat terbatas dalam
pengawasan isi siaran, KPI tampaknya akan segera kehilangan
hak hidupnya. Selama ini teguran KPI ootuk lembaga penyiaran seperti tidak bergigi karena
tidak berkaitan dengan hak mengeluarkan izin penyiaran radio
dan televisi. Posisi pemerintah
yang sangat kuatjuga akan meruntuhkan demokratisasi penyiaran seperti dicita-citakan para
kreatorUU Penyiaran.
Revisi UU Penyiaran akan
mengusik kehidupan industri
penyiaran, pihak lain yang juga
berkaitan dengan keberadaan
regulasi tersebut. Dalam pengamatan penulis, industri penyiaran akan terbagi ke dalam dua
kelompok besar yang berhadapan secara diametral. Industri
penyiaran pertama adalah radio
dan televisi existing yang lebih
diootungkan oleh kebijakan pemerintah melalui penyesuaian
berbagai izin. Pihak lain adalah
industri penyiaran "baru" yang
diuntungkan dengan adanya
KPI, antara lain lembaga penyiaran lokal dan komunitas.
Industri penyiaran akan menatap revisi UU Penyiaran dengan kerangka poor yang berbeda. Lembaga penyiaran existing akan mati-matian mempertahankan keberadaan Kominfo sebagai regulator tunggal,
paling tidak dalam bidang perizinan. Terbukti sel~a ini, perizinan di tangan pemerintah
akan lebih "menyenangkan"
dan menguntungkan. Lembaga
penyiaran nonexisting (termasuk lembaga penyiaran komunitas) akan lebih berpihak kepada KPI, yang selama ini membuka diri terhadap mereka.
Perseteruan ke dua pihak ini
akan diikuti dengan berbagai lobi yang mereka akan lakukan
terhadap para pemegang kebijakan, sehingga akan sangat
menarik untuk dilihat.
Pihak ketiga yang juga berkepentingan dengan revisi UU Penyiaran adalah KPI sebagai
lembaga independen representasi masyarakat. KPI menatap
rencana perubahan UU Penyiaran dengan gamang, di tengah
berbagai kesulitan infrastruktur
yang mereka hadapi.
KPI
mengalami berbagai kendala
mendasar dalam mengurus dirinya sendiri. Belum semua provinsi membentuk KPI daerah,
sementara KPI daerah yang sudah terbentuk pun mengalami
nasib sangat heterogen tergantung "belas kasihan" pemerintah provinsi masing-masing.
Di antara semua pe~angku
kepentingan penyiaran, posisi
KPI dipandang paling lemah
untuk lobi. Oleh karena itu, sangat diragukan apakah KPI
akan mampu mempertahankan
hak-haknya sebagai mitra Kominfo dalam mengurus izin radio dan televisi. Salah-salah,
KPI hanya ditempatkan sebagai
lembaga yang mengawasi isi siaran, sama seperti LSM media
watch di berbagai daerah.
antara lain melalui berbagai tayangan pembodohan yang mewamai televisi kita. Hak-hak
masyarakat untuk turut serta
dalam regulasi penyiaran menjadi terabaikan melalui regulasi
yang tersentralisasi selama ini.
Sebaliknya, bila tidak, maka
kita akan teIjebak lagi ke dalam
lorong gelap yang tiada akhir.
Pertentangan yang teIjadi di antara pemangku kepentingan dunia penyiaran selama ini sudah
terlalu menguras stamina, yang
ujung-ujungnya merugikan masyarakat. Yang saya maksud
adalah kondisi sekarang di mana industri penyiaran tidak
mendapat kepastian untuk berusaha, sementara masyarakat
penonton mendapat tayangan
sampah dari lembaga penyiaran.
Menjelang revisi, ada baiknya
DPR RI melakukan berbagai
upaya optimal untuk menjaring
sebanyak-banyaknya aspirasi,
mempertimbangkannya menjadi masukan, sehingga output
yang dihasilkan tetap berpihak
pada
kepentingan
banyak
orang. ***
Peran DPR
Pergulatan tiga kepentingan
besar dalam revisi UU Penyiaran tersebut nantinya bermuara
di DPR RI sebagai lembaga yang
akan memutuskan bentuk barn
regulasi dunia penyiaran. DPR
akan meniti dengan sangat hatihati karena isu penting yang selalu dihembuskan tentang demokratisasi akan menjadi berpotensi menjadi bola panas. Belum lagi isu diversity of ownership yang menohok langsung
kepemilikan lembaga penyiaran
televisi swasta nasional yang
mempertahankan status quo.
Bila DPR mampu mendengarkan semua pemangku kepentingan, UU Penyiaran ke depan barangkali akan lebih berpihak kepada masyarakat. Sela~a in~,masyarakat yang paling,r,
f!flRulis, dosen Fikom Undirugikan dengan pemusatan
pacTdan Komisioner KPID Jakepemilikan media penyiaran,
wa Barat.
.
o Senin o Selasa
123
17
4
18
8Jan
19
OPeb
5
6
20
21
o Mar
OApr
.
o Kamis
Rabu
7
22
OMei
8
23
9
OJun
0
10
24
o Sabtu
Jumat
12
11
25
~
26
o Sep
0 Jul 0 Ags
0
13
Minggu
14
28
0
15
29
Okt
0
16
30
31
Nov () Des
Arab Revisi UU Penyiaran
~
Oleh DIAN WARDIANA SJUCHRO
R
EVISI Undang-Undang No. 32/2002 tentang Penyiaran telah
masuk ke program 100 hari Ka- .
binet Indonesia Bersatu 2, dan
kabarnya telah masuk prolegnas tahoo ini. Berarti pemerintah telah bertekad bulat untuk
melakukan revisi terhadap salah satu UU paling kontroversial pada era reformasi tersebut.
Dalam waktu yang tidak terlalu
lama, draf revisi UU Penyiaran
akan masuk pembahasan DPR
RI. Menjadi pertanyaan mendasar, ke mana arah revisi tersebut akan bergerak?
Undang-Undang Penyiaran
adalah produk legislatif yang pa-
ling mengundang perdebatan
sepanjang sejarah kehidupan
NKRI. Meski telah,disahkan pada 2002, sampai sekarang banyak pasalnya yang tidak pernab bisa dijalankan pemerintah.
Alasan pemerintah, UU itu tidak
aplikatif, banyak bertentangan
dengan kondisi realitas penyiaran atau juga karena bertentangan dengan berbagai kepentingan
di dunia radio dan televisi.
Untuk menebak arah revisi
UU Penyiaran, ada baiknya kita
menengok ke belakang ketika
produk legislasi tersebut dibuat.
Suasana ketika itu adalah ketika
semangat reformasi sedang
mencapai puncaknya. UU Penyiaran dibuat dengan mendasarkan pada dua kata yang kemudian menjadi legenda, yakni
diversity of ownership dan diversity of content. Maka, peran
pemerintah diserahkan kepada
lembaga independen bernama
Komisi Penyiaran Indonesia
(KPI). Stasiun televisi nasional
yang selama ini bersiaran nasional diharuskan bersiaran lokal
atau lokal berjaringan.
Meskipun sebenarnya tidak
ada keraguan dalam pasal-pasalnya, pelaksanaan UU Penyiaran berjalan seperti keong. Pemerintah berkilah, UU tersebut
tidak operasional, sementara
lembaga penyiaran mengeluh,
ketentuan-ketentuan
tersebut
mengancam kelangsungan hidup stasiun televisi mereka.
Perlu waktu yang sangat lama
hanya untuk menetapkan siapa
gerangan yang harns mengurus
izin penyelenggaraan penyiaran
dan menetapkan kapan stasiun
televisi nasional mulai Mrjaringan. Percaya atau tidak, pelaksanaan pasal mengenai stasiun
televisi berjaringan belum bisa
tuntas sampai artikel ini dibuat.
Sekarang, era reformasi barangkali telah berubah, Semangat ootuk menegakkan diversity of ownership dan diversity of
content juga telah menurun dengan tajam. Pemerintah mungkin berpikir ini saat yang baik
ootuk meneguhkan kembali supremasi mereka dalam bidang
penyiaran, yang selama ini dibagikan sebagian kepada KPI dan
pemerintan daerah. Dalam kalkulasi pemerintah, langkah ini
akan sangat strategis ootuk melakukan sweeping terhadap berbagai pelanggaran UU yang selama ini marak di berbagai daerah. Ada banyak radio dan televisi yang bersiaran dengan
mengandalkan izin yang dahulu
dikeluarkan oleh pemerintah
provinsi, kabupaten, atau kota.
Apakah.rencana pemerintah
tersebut akan berjalan mulus?
Tunggu dulu, karena berdasarkan kalkulasi sementara, revisi
UU Penyiaran berpotensi menjadi bola liar yang berjalan ke
mana-mana. Patut dipertanyakan, akankah DPR mampu melakukan revisi dengan "mendamaikan" pihak-pihak yang berkepentingan di dalamnya?
TIga piliak
Revisi UU Penyiaran paling
tidak akan melibatkan segitiga
utama dunia penyiaran, yakni
pemerintah, industri, dan masyarakat. Ketiga pihak tersebut
selama ini mempooyai visi yang
berbeda-beda dalam meman-
Kliping Humas Unpad 2010
--
dang masa depan dunia penyiaran di masa mendatang. Pemerintah diwakili oleh Kementerian Komunikasi dan Infor,matika, industri terpecah ke dalam. dua kubu yang berseberangan, sementara masyarakat
akan diwakili oleh KPI.
Posisi pemerintah, dalam hal
ini Kementerian Komunikasi
dan Informatika, menginginkan
adanya sentralisasi dunia penyiaran. Paling tidak pemerintah
menginginkan izin yang dibagi
dengan KPI, dikembalikan kepada mereka. Dengan begitu
pemerintah akan menjadi regulator tunggal untuk penataan
infrastruktur penyiaran, termasuk penetapan sistem stasiun
televisi berjaringan.
Dengan posisi seperti itu, pemerintah hanya akan menempatkan KPI dalam posisi dilematis. Dengan kewenangan
yang sangat terbatas dalam
pengawasan isi siaran, KPI tampaknya akan segera kehilangan
hak hidupnya. Selama ini teguran KPI ootuk lembaga penyiaran seperti tidak bergigi karena
tidak berkaitan dengan hak mengeluarkan izin penyiaran radio
dan televisi. Posisi pemerintah
yang sangat kuatjuga akan meruntuhkan demokratisasi penyiaran seperti dicita-citakan para
kreatorUU Penyiaran.
Revisi UU Penyiaran akan
mengusik kehidupan industri
penyiaran, pihak lain yang juga
berkaitan dengan keberadaan
regulasi tersebut. Dalam pengamatan penulis, industri penyiaran akan terbagi ke dalam dua
kelompok besar yang berhadapan secara diametral. Industri
penyiaran pertama adalah radio
dan televisi existing yang lebih
diootungkan oleh kebijakan pemerintah melalui penyesuaian
berbagai izin. Pihak lain adalah
industri penyiaran "baru" yang
diuntungkan dengan adanya
KPI, antara lain lembaga penyiaran lokal dan komunitas.
Industri penyiaran akan menatap revisi UU Penyiaran dengan kerangka poor yang berbeda. Lembaga penyiaran existing akan mati-matian mempertahankan keberadaan Kominfo sebagai regulator tunggal,
paling tidak dalam bidang perizinan. Terbukti sel~a ini, perizinan di tangan pemerintah
akan lebih "menyenangkan"
dan menguntungkan. Lembaga
penyiaran nonexisting (termasuk lembaga penyiaran komunitas) akan lebih berpihak kepada KPI, yang selama ini membuka diri terhadap mereka.
Perseteruan ke dua pihak ini
akan diikuti dengan berbagai lobi yang mereka akan lakukan
terhadap para pemegang kebijakan, sehingga akan sangat
menarik untuk dilihat.
Pihak ketiga yang juga berkepentingan dengan revisi UU Penyiaran adalah KPI sebagai
lembaga independen representasi masyarakat. KPI menatap
rencana perubahan UU Penyiaran dengan gamang, di tengah
berbagai kesulitan infrastruktur
yang mereka hadapi.
KPI
mengalami berbagai kendala
mendasar dalam mengurus dirinya sendiri. Belum semua provinsi membentuk KPI daerah,
sementara KPI daerah yang sudah terbentuk pun mengalami
nasib sangat heterogen tergantung "belas kasihan" pemerintah provinsi masing-masing.
Di antara semua pe~angku
kepentingan penyiaran, posisi
KPI dipandang paling lemah
untuk lobi. Oleh karena itu, sangat diragukan apakah KPI
akan mampu mempertahankan
hak-haknya sebagai mitra Kominfo dalam mengurus izin radio dan televisi. Salah-salah,
KPI hanya ditempatkan sebagai
lembaga yang mengawasi isi siaran, sama seperti LSM media
watch di berbagai daerah.
antara lain melalui berbagai tayangan pembodohan yang mewamai televisi kita. Hak-hak
masyarakat untuk turut serta
dalam regulasi penyiaran menjadi terabaikan melalui regulasi
yang tersentralisasi selama ini.
Sebaliknya, bila tidak, maka
kita akan teIjebak lagi ke dalam
lorong gelap yang tiada akhir.
Pertentangan yang teIjadi di antara pemangku kepentingan dunia penyiaran selama ini sudah
terlalu menguras stamina, yang
ujung-ujungnya merugikan masyarakat. Yang saya maksud
adalah kondisi sekarang di mana industri penyiaran tidak
mendapat kepastian untuk berusaha, sementara masyarakat
penonton mendapat tayangan
sampah dari lembaga penyiaran.
Menjelang revisi, ada baiknya
DPR RI melakukan berbagai
upaya optimal untuk menjaring
sebanyak-banyaknya aspirasi,
mempertimbangkannya menjadi masukan, sehingga output
yang dihasilkan tetap berpihak
pada
kepentingan
banyak
orang. ***
Peran DPR
Pergulatan tiga kepentingan
besar dalam revisi UU Penyiaran tersebut nantinya bermuara
di DPR RI sebagai lembaga yang
akan memutuskan bentuk barn
regulasi dunia penyiaran. DPR
akan meniti dengan sangat hatihati karena isu penting yang selalu dihembuskan tentang demokratisasi akan menjadi berpotensi menjadi bola panas. Belum lagi isu diversity of ownership yang menohok langsung
kepemilikan lembaga penyiaran
televisi swasta nasional yang
mempertahankan status quo.
Bila DPR mampu mendengarkan semua pemangku kepentingan, UU Penyiaran ke depan barangkali akan lebih berpihak kepada masyarakat. Sela~a in~,masyarakat yang paling,r,
f!flRulis, dosen Fikom Undirugikan dengan pemusatan
pacTdan Komisioner KPID Jakepemilikan media penyiaran,
wa Barat.
.