Belum Ada Kriteria Jelas tentang Mahasiswa Miskin.

Pikiran
o

Senin

0

0

Selasa

23456
17
-

18
~_..

OJan

-


19

OPeb

20
._-~

21

--

o Mar OApr

Rakyat
o Kamis

Rabu
7
22


8
~3

OMei

9
24

OJUII

0

Jumat

10

11
~5


26

OJul.

.

Ags

o Minggu

Sabtu

12

13

27

14
28


o Sep

0

Okt

15
29

30

ONov

J elas

BelUlll Ada Kriteria

tentang Mahasiswa Miskin
20 Persen Kuota PT Bagi yang tak Mampu

BANDUNG, (PR).Meskipun Undang-Undang
No. 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) mensyaratkan minimal dua puluh
persen dari kuota mahasiswa
perguruan tinggi (PT) diisi oleh
mahasiswa miskin, hingga kini
belum ada kriteria jelas tentang
mahasiswa
miskin. Acuan
program beasiswa yang dikeluarkan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) pun
tidak mencantumkan secara
rinci, terutama penghasilan minimal orang tua mahasiswa
miskin.
Karena ketiadaan aturan
yang jelas tersebut, PT cenderung menetapkan syarat minimal penghasilan berdasarkan
kebijakan PT. Ketua Lembaga
Advokasi Pendidikan Dan Santriana menuturkan, hal tersebut justru menjadi celah bagi
PT dalam menentukan kebijakan kriteria penerima beasiswa.
"Karena yang memegang keputusan menerima atau tidaknya
itu kan PT, sementara mahasiswa hanya mengajukan," katanya di Bandung, Jumat (31/7).
Ketiadaan standar tersebut,

menurut dia, tak pelak menyebabkan sejumlah
- mahasiswa
_

Misalnya,jika untuk
biaya sekolah anak
ternyata menghabiskan 50% penghasilannya dan masih hams
mengurus anak yang
lain dengan 50% sisanya, itu sudah mengganggu ekonomi keluarga. Artinya, mereka
seharusnya layak dibantu oleh PT.

yang merasa termasuk golongan tidak mampu akhirnya tidak
memperoleh beasiswa dari PT.
"Itu tidak hanya berupa laporan lagi, tetapi juga disampaikan
melalui demo di depan PT-nya.
Selama ini yang sering muncul
itu UPI (Universitas Pendidikan Indonesia Bandung)," .tuturnya.
'--1IiII_
_.


Kllplng

Oleh karena itu, pemerintah
perlu memproteksi mahasiswa
miskin melalui penetapan kriteria yang disusun secara arif
terhadap mahasiswa miskin.
"Jangan berdasarkan statist::.
dan angka kemiskinan absolut,"ujarnya.. Pasalnya, dengan
menggunakan angka kemiskinan absolut misalnya, mereka
yang disebut miskin adalah
yang berpenghasilan maksimal
Rp 20.000,00/hari
atau Rp
600.000,00/bulan.
"Mereka
dengan penghasilan segitu mana ada yang bisa mendaftar
perguruan tinggi," katanya.
Karena biaya berkuliah tinggi, menurut dia, akan lebih arif
apabila pemerintah menetapkannya berdasarkan perbandingan pendapatan orang tua
dengan pengeluaran

untuk
pendidikan. "Untuk pegawai
negeri biasa misalnya, jika untuk biaya sekolah anak ternyata
menghabiskan 50% penghasilannya dan masih harus mengurus anak yang lain dengan 50%
sisanya, itu sudah mengganggu
ekonomi keluarga. Artinya, mereka seharusnya layak dibantu
oleh PT," katanya.
Sementara itu, Wakil Rektor
Senior~~~I:i.
Bidang Akademik Insti-

Humos Unpod

2009
--

tut Teknologi Bandung (ITB)
Adang Surahman menuturkan,
akan lebih mudah bagi PT apabila ada pengaturan yang jelas
dari Depdiknas. "Pemerintah

punya ahli ilmu sosial sehingga
pasti bisa menetapkan angka
minimal pendapatan yang realistis untuk kriteria mahasiswa
miskin," katanya menjelaskan.
Selama ini, di sejumlah perguruan tinggi seperti UPI dan
ITB, menetapkan minimal pendapatan berdasarkan upah minimum regional (UMR). "Akan
tetapi, penetapan berdasarkan
UMR itu menyesatkan. Bagaimana dengan meFeka yang di
atas UMR tetapi harus menghidupi banyak anak," katanya.
Dengan pengaturan dari pemerintah,menurut
dia, implementasinya di PT pun sebaiknya tetap berpegang kepada
pengalaman empirik.
Dia menjelaskan, selama ini
jumlah mahasiswa miskin di
ITB yang diasumsikan dari
jumlah pemohon beasiswa adalah 30%-45%
dari
total
mahasiswa. "Jadi jika ada
pengaturan dari pemerintah

pun, asumsinya mereka itu
juga harus tetap dibantu," ungkap~
(A~167)**:"