Dilema Menghadapi Kenaikan Upah Minimum Regional.

DILEMA MENGHADAPI KENAIKAN UPAH MINIMUM REGIONAL
Oleh GPB Suka Arjawa
Setelah menjabat gubernur DKI Jakarta, Jokowi menyetujui standar upah minimum
regional para pekerja sebanyak 2,2 juta rupiah per bulan. Jumlah ini dipandang layak
untuk ibu kota negara dan cukup memuaskan kaum buruh. Akan tetapi pertentangan
datang dari pengusaha. Mereka keberatan karena dipandang signifikan mengurangi
keuntungan perusahan, dan memberatkan. Persoalan inilah yang menjadi bahan
pembicaraan di banyak kalangan. Disebutkan, sebagian besar perusahan yang menopang
perekonomian ibu kota adalah perusahan sekala menengah kebawah. Kanaikan sebesar
100 – 200 ribu rupiah tersebut cukup memberatkan.
Benturan antara kepentingan pengusaha, pemerintah dengan buruh, selalu menjadi
momok di negara-negara berkembang yang mengandalkan tenaga kerja sebagai ”soko
guru” penggerak ekonomi. Kalau dibandingkan dengan kondisi di Indonesia, fenomena
ini sangat dipengaruhi sistem politik yang berlaku. Ketika Jendral Soeharto masih
memegang kekuasaan, kebijakan pro-pertumbuhan ekonomi nasional Orde Baru
memaksa kontrol terhadap buruh dan karyawan diperketat. Demi pertumbuhan ekonomi
negara, stabilitas harus dijaga, termasuk juga hubungan antara buruh dan perusahan.
Dalam relasi buruh-pemerintah-pengusaha, bandul pengaruh yang paling kuat berada di
tangan pemerintah. Buruh memang dipandang sebagai aset utama untuk pertumbuhan
ekonomi nasional. Akan tetapi, paradoksnya kelompok ini kemudian dikontrol
sedemikian rupa sehingga gerakan-gerakan seperti protes dan unjuk rasa itu tidak

dimungkinkan muncul ke permukaan. Kasus Marsinah merupakan salah satu contoh
bagaimana kerasnya kebijakan ini. Marsinah adalah aktivis buruh (perempuan), yang
kemudian ”dihilangkan” karena menjadi motor pengunjuk rasa di Jawa Timur (Sidoarjo).
Hal seperti ini tentu bertentangan dengan hak asai manusia, akan tetapi begitulah karena
dengan kebijakan tersebut perekonomian nasional bisa dikontrol pertumbuhannya secara
konsisten. Disamping mampu mengontrol secara baik pertumbuhan ekonomi nasional,
keamanan sosial bisa lebih terjamin dan investasi asing semakin banyak berdatangan di
Indonesia. Disini yang diuntungkan adalah perusahan-perusahan yang mempekerjakan
banyak buruh. Jadi, kebijakan untuk menaikkan upah minimum regional pada saat itu
seolah-olah kehendak pemerintah saja, dan buruh tidak mendapatkan hak untuk
melakukan protesnya.
Demokratisasi yang terjadi pada masa reformasi mencoba membalik persoalan itu karena
apa yang terjadi pada masa Orde Baru, sangat tidak sesuai dengan hak asasi manusia.
Cara paling pantas untuk melindungi segala kepentingan buruh dan karyawan di tanah air
adalah dengan menaikkan upah minimum regional sampai pada batas yang dipandang
wajar. Bandul kekuatan diupayakan lenyap dari hubungan tiga pihak antara pemerintahburuh-pengusaha. Meski demikian, titik kelemahannya justru terletak pada ancaman
terhadap eksistensi pengusaha. Artinya, pengusaha memang berhak mengutarakan
keberatannya. Tetapi, apabila kemudian hal itu tidak mampu dibelokkan, kerugian bisa
terjadi pada dua titik, yaitu pengusaha dan buruh. Apabila pengusaha tidak kuat
menanggung beban biaya karyawan, maka perusahan itu bisa bubar. Dan bubarnya


perusahan berarti kesempatan buruh untuk mendapatkan pekerjaan akan semakin sulit.
Salah satu efek dari persoalan ini adalah pengangguran dan kemiskinan, dua hal yang
akan berpotensi menciptakan kejahatan di masyarakat. Disinilah dilemanya persoalan
hubungan tripartit itu di jaman reformasi.
Dalam sejarahnya, untuk menghindari adanya ancaman-ancaman seperti yang disebutkan
diatas, kelompok pemilik modal (usahawan, industrialis) mencoba mengkreasi hubungan
itu dengan berbagai varian yang ada. Eksploatasi terhadap kaum buruh coba dikurangi
dengan cara memperhatikan sisi manusiwi dari buruh. Ini misalnya dilakukan dengan
memberikan pelayanan sosial yang lebih besar kepada anggota inti dari para keluarga
buruh, seperti memberi jaminan asuransi, bonus, jam istirahat, atau bagi buruh
perempuan dengan memberi cuti hamil serta ruangan untuk menyusui. Gaji mereka
mungkin tidak terlalu besar dinaikkan, akan tetapi pelayanan sosial ini dipakai sebagai
alat bukti tidak adanya eksploatasi. Satu sisi dari teori ”Z” yang diterapkan oleh
perusahan-perusahan di Jepang, mungkin juga menerapkan praktik demikian. Di
Amerika Serikat, praktik itu, mampu mengurangi unjuk rasa para pekerja dan
berkurangnya perusahan yang bangkrut akibat ”kewajiban” menaikkan ongkos karyawan.
Di jaman teknologi telah berkembang maju, demi menghindari kecaman terhadap
perlakuan tidak manusisawi terhadapp buruh dan mengurangi beban biaya gaji,
perusahan-perusahan besar mencoba melakukan diversifikasi dengan memakai tenaga

mesin untuk menggerakkan usaha. Ini adalah cara rasional untuk menghindari kritik dari
kaum Marxis yang mengecam pemilik modal yang dipandang selalu mengeksploatasi
manusia. Cara seperti ini tetap melibatkan kaum pekerja, akan tetapi mewajibkan para
buruh itu terampil dan menguasai teknologi tertentu. Upah yang mereka dapatkan sangat
tergantung kepada keterampilan yang dimiliki. Cara penggajian pun dipandang adil
karena tersistematika dari keterampilan-keterampilan yang dimiliki. Seorang yang
mampu menjalankan mesin penggiling misalnya, akan mendapatkan lebih banyak gaji
dibanding dengan mereka yang hanya mampu mengangkut padi. Akan tetapi, cara kerja
seperti ini akan selalu menimbulkan kontroversial karena memberikan kesempatan untuk
mencipta banyak pengangguran. Tenaga mesin akan mampu menggantikan ratusan
tenaga manusia, bahkan lebih dari itu.
Indonesia tidak bisa melepaskan diri dari kemajuan teknologi. Banyak perusahanperusahan yang telah memakai teknologi untuk merasionalisasi perusahannya demi
keuntungan yang maksimal. Dari sisi ini bisa dilihat bahwa keberatan para pengusaha di
Jakarta akan kenaikan upah minimum regional tersebut harus disikapi secara hati-hati
oleh pemrintah. Hubungan tripartit antara pemerintah-buruh-pemilik modal tersebut, kini
telah banyak dipengaruhi oleh varian lain, yaitu mesin. Hal pertama yang mungkin
terjadi, bahwa para pengusaha itu bisa saja benar telah merasa keberatan dengan
kenaikan UMR. Akan tetapi, dalam jangka panjang, para pengusaha ini akan beralih ke
tenaga mesin. Ke depan, jika ini terjadi, pengusaha akan tetap jalan dan pengangguran
akan meningkat. Kedua, dan ini yang paling berbahaya, perusahan akan mencoba tetap

mempertahankan karyawannya, memberikan upah minimum sesuai dengan apa yang
ditetapkan pemerintah, tetapi kualitas produksi dikurangi. Jika ini terjadi, rakyatlah yang
menderita kerugian. Jumlah kerugian itu sebanding dengan kuantitas produksi barang

yang dihasilkan. Memberikan pengawet mayat (foramalin) merupakan salah satu contoh
buruk ini.
Jadi, cara tradisionil mungkin paling dipilih untuk mempertahankan hubungan baik ini.
Yaitu secara bertahap dan gradual menyesuaikan upah minimum regional seraya
memperbaiki kualitas hubungan kemanusiaan antara buruh-perusahan-pemerintah.****
Penulis, Staf Pengajar FISIP Universitas Udayana