Konflik Pengelolaan Pasar Nagari Lubuk Alung Kabupaten Padang Pariaman Sumatera Barat.
Konflik Pengelolaan Pasar Nagari
Lubuk Alung Kabupaten Padang Pariaman Sumatera Barat
Oleh:
Emeraldy Chatra, Ardi Abbas
Nomor Kontrak : 001/SP2H/PP/DP2M/III/2007
Abstrak
Artikel ini merupakan bagian hasil penelitian tentang “Konflik Pengelolaan Pasar Nagari
Lubuk Alung Kabupaten Padang Pariaman Sumatera Barat”. Pasar Nagari Lubuk Alung terletak
di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat. Pasar tipe A ini berada di lokasi yang sangat
strategis dan mempunyai arti penting. Perubahan sosial ekonomi menyebabkan pasar tersebut
tidak memadai lagi. Upaya meremajakan pasar sejak kebakaran menjadi terhambat, karena
perangkat adat sebagai pengelola pasar terdapat konflik kepentingan yang melibatkan kelompok
elit lokal dan melihat adanya keuntungan ekonomi. Pengelolaan pasar nagari Lubuk Alung bukan
permasalahan sederhana. Banyak pihak yang memiliki kepentingan berbeda bahkan saling
berkonflik terkait dengannya.
Konflik telah menjadi perhatian sosiologi seperti menurut Lewis A Coser bahwa konflik
merupakan suatu kesadaran dalam masyarakat. Fungsi positif konflik akan dapat membentuk,
mempertahankan struktur, menjaga garis batas antar dua kelompok, dan memperkuat identitas
kelompok. Ada enam kelompok (stakeholder) yang terlibat konflik yaitu kelompok: pemilik
tanah yang bersaing, kedua, pemilik aset (perangkat adat), ketiga, fasilitator (Pemkab Padang
Pariaman), keempat kontraktor, kelima pengambil manfaat fasilitas (pedagang dan koperasi
pedagang pasar/Koppas), keenam, pengguna fasilitas (pembeli).
Semua stakeholders menyetujui pasar nagari Lubuk Alung diremajakan, namun hal itu
tidak mudah dilakukan karena adanya saling kait antara masalah itu. Padahal pasar berpotensi
besar terlihat dari jumlah pengunjung dan uang beredar. Berlarut-larutnya masalah dalam
perangkat adat Lubuk Alung, konflik tanah, politik daerah dan sumber anggaran proyek
mengakibatkan peremajaan pasar nagari Lubuk Alung ini tertunda. Proyek untuk kepentingan
umum seharga Rp 11,4 milyar tanpa tender kedengarannya aneh, tapi hal itu dilakukan oleh
perangkat adat Lubuk Alung dengan alasan yang wajar dan tidak dapat diganggu gugat.
Fasilitator kurang berperan dalam pengelolaan pasar ini karena tidak mau mencampuri urusan
adat nagari Minangkabau; sementara mereka adalah pengelola wilayah. Tidak ada pemasukan
PAD bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Padang Pariaman dari pasar di daerahnya, padahal
untuk mengantisipasi pemberlakuan otonomi daerah perlu dicari sumber PAD baru. Pengurus
perangkat adat Lubuk Alung sekarang memilik kelemahan kepemimpinan dan manajemen
pengelolaan pasar yang berpengaruh terhadap pengelolaan aset nagari, termasuk pasar nagari
Lubuk Alung. Masalah K3 pasar rawan karena kurangnya perhatian pengurus KAN Lubuk
Alung.
Lubuk Alung Kabupaten Padang Pariaman Sumatera Barat
Oleh:
Emeraldy Chatra, Ardi Abbas
Nomor Kontrak : 001/SP2H/PP/DP2M/III/2007
Abstrak
Artikel ini merupakan bagian hasil penelitian tentang “Konflik Pengelolaan Pasar Nagari
Lubuk Alung Kabupaten Padang Pariaman Sumatera Barat”. Pasar Nagari Lubuk Alung terletak
di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat. Pasar tipe A ini berada di lokasi yang sangat
strategis dan mempunyai arti penting. Perubahan sosial ekonomi menyebabkan pasar tersebut
tidak memadai lagi. Upaya meremajakan pasar sejak kebakaran menjadi terhambat, karena
perangkat adat sebagai pengelola pasar terdapat konflik kepentingan yang melibatkan kelompok
elit lokal dan melihat adanya keuntungan ekonomi. Pengelolaan pasar nagari Lubuk Alung bukan
permasalahan sederhana. Banyak pihak yang memiliki kepentingan berbeda bahkan saling
berkonflik terkait dengannya.
Konflik telah menjadi perhatian sosiologi seperti menurut Lewis A Coser bahwa konflik
merupakan suatu kesadaran dalam masyarakat. Fungsi positif konflik akan dapat membentuk,
mempertahankan struktur, menjaga garis batas antar dua kelompok, dan memperkuat identitas
kelompok. Ada enam kelompok (stakeholder) yang terlibat konflik yaitu kelompok: pemilik
tanah yang bersaing, kedua, pemilik aset (perangkat adat), ketiga, fasilitator (Pemkab Padang
Pariaman), keempat kontraktor, kelima pengambil manfaat fasilitas (pedagang dan koperasi
pedagang pasar/Koppas), keenam, pengguna fasilitas (pembeli).
Semua stakeholders menyetujui pasar nagari Lubuk Alung diremajakan, namun hal itu
tidak mudah dilakukan karena adanya saling kait antara masalah itu. Padahal pasar berpotensi
besar terlihat dari jumlah pengunjung dan uang beredar. Berlarut-larutnya masalah dalam
perangkat adat Lubuk Alung, konflik tanah, politik daerah dan sumber anggaran proyek
mengakibatkan peremajaan pasar nagari Lubuk Alung ini tertunda. Proyek untuk kepentingan
umum seharga Rp 11,4 milyar tanpa tender kedengarannya aneh, tapi hal itu dilakukan oleh
perangkat adat Lubuk Alung dengan alasan yang wajar dan tidak dapat diganggu gugat.
Fasilitator kurang berperan dalam pengelolaan pasar ini karena tidak mau mencampuri urusan
adat nagari Minangkabau; sementara mereka adalah pengelola wilayah. Tidak ada pemasukan
PAD bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Padang Pariaman dari pasar di daerahnya, padahal
untuk mengantisipasi pemberlakuan otonomi daerah perlu dicari sumber PAD baru. Pengurus
perangkat adat Lubuk Alung sekarang memilik kelemahan kepemimpinan dan manajemen
pengelolaan pasar yang berpengaruh terhadap pengelolaan aset nagari, termasuk pasar nagari
Lubuk Alung. Masalah K3 pasar rawan karena kurangnya perhatian pengurus KAN Lubuk
Alung.