TANGERANG : KOTA MARITIM, KOTA SANTRI, KOTA PERJUANGAN

TANGERANG : KOTA MARITIM, KOTA SANTRI, KOTA PERJUANGAN
*) disampaikan dalam Seminar Menggali Sejarah Raden “ria Wangsakara
Lengkong sebagai Pendiri Tangerang , Rabu,
Oktober
, di Kampus
Sekolah tinggi Ilmu Agama Budha Negeri Sriwijaya (STIABN) Komplek EDU
TOWN BSD, Pagedangan, Tangerang, Banten.
Oleh Prof DR H Budi Sulistiono, MHum

Tangerang, telah mencatat sejarahnya sangat gemilang. Lebih-lebih seiring
dengan kian berperannya Banten sebagai pusat kekuatan politik - Kesultanan
Banten. Bangsa Portugis telah mendokumentasikan keberadaan Banten dan
sekitarnya pada awal abad ke 16, kurang lebih 15 tahun sebelum Kerajaan Islam
Banten terbentuk.Tangerang memiliki sejumlah ciri pokok seperti kota-kota
lainnya di Jawa, walaupun masih terdapat cukup persamaan untuk menganggap
bahwa kota ini didirikan menurut satu rencana abstrak dari suatu pemukiman
yang sebenarnya.
Oleh sebab itu, untuk generasi Tangerang sekarang taklah berhati kecil untuk
selalu bertanya-tanya hingga menukik pada pertanyaan dengan cara apa
Tangerang secara estafet berhasil ditampilkan bahkan diperankan di pentas
sejarah Nusantara ? Pertanyaan tersebut sekaligus mengisyaratkan bahwa

Tangerang mungkin tak berarti apa-apa jika tak ada yang berani mengusiknya.
Ini berarti ada individu atau sekelompok orang yang secara aktif, arif terusmenerus membinanya sehingga Tangerang berhasil menjadikan dirinya sebagai
lokasi tidak saja layak huni bahkan berhasil meraih posisi strategis sebagai kota
pantura, kota maritime, kota santri, kota perjuangan dari masa ke masa.
Kota Maritim
Nama Tangerang dengan sebutan Tangaram, pernah dicatat dalam karangan
sejarawan Barros, yang berjudul Da Asia: Pulau Sunda adalah negeri yang di
pedalaman lebih bergunung-gunung daripada Jawa dan mempunyai enam
pelabuhan terkemuka, (Cimanuk) Chiamo di ujung pulau ini, Xacatara dengan
nama lain (Karawang) Caravam, (Xacatara por outro nome Caravam),
(Tangerang) Tangaram, (Cigede) Cheguide, (Pontang) Pontang dan (Banten)
Bintam. Inilah tempat-tempat yang ramai lalu lintas akibat perniagaan di Jawa

1

seperti pula di Malaka dan Sumatra .... 1. Tangerang mencatat sejarahnya tentang
kedatangan orang Tionghoa. Kitab "Tina Layang Parahyangan" menceritakan
peristiwa mendaratnya rombongan Tjen Tjie Lung di muara Sungai Cisadane
pada tahun ±1407. Rombongan tersebut terdampar sebelum tiba di Jayakarta,
dengan membawa tujuh kepala keluarga2. Andai informasi ini benar adanya, ini

sebagai konsekuensi letak geografisnya. Bahkan Tangerang sangat mungkin
berada di jalur pelayaran internasional, diperkirakan sejak abad pertama Masehi
sudah banyak dikunjungi oleh berbagai bangsa, misalnya India, Cina, dan Eropa.
Abad ke-7 Masehi, Tangerang menjadi tempat transit - ramai dikunjungi oleh
para pedagang dari berbagai negeri seiring dengan meningkatnya volume
perdagangan antara barat dan timur. Para pedagang, penyebar Islam dari negeri
Arab, Cina, India, Peureulak, singgah di Tangerang dan mengajarkan agama
Islam.
Walau pun belum dilakukan penelitian secara menyeluruh, besar kemungkinan
penyebaran Islam di Tangerang sudah dimulai jauh sebelum abad ke-15 Masehi.
Seiring berkembangnya Tionghoa-muslim dari Demak,3 di antara mereka
kemudian banyak yang beranak-pinak dan melahirkan warga keturunan. Jumlah
mereka juga kian bertambah sekitar tahun 1740.4

Barros, Da Asia decada IV, liv. 1, Cap XII, hlm. 77)
Mereka menghadap pada Sanghyang Anggalarang, wakil Kerajaan
Parahyangan (Pajajaran(?) selaku penguasa daerah waktu itu, untuk minta pertolongan
dan berhasil mendapat sebidang tanah di pantai utara Jawa sebelah timur Sungai
Cisadane. Terjadilah pula kawin mawin antara pendatang dari negeri Cina dengan
ponggawa Sanghyang Anggalarang. Tanah itu berkembang menjadi pemukiman yang

disebut Kampung Teluk Naga, hingga kini.
1

2

Saat Cina dikuasai Dinasti Ming (1368-1644 M) sebuah rezim yang memberikan
banyak kontribusi terhadap komunitas Muslim Cina. Orang-orang Tinghoa yang datang
dari Yunnan mulai menyebarkan agama Islam bermazhaf Hanafi, terutama di Jawa.
Abad (15/16 M) arus perhubungan dan diplomasi antara Jawa-Cina cukup intensif, dan
di Jawa sendiri peran masyarakat Cina dalam bidang perniagaan dan Maritim semakin
lama semakin meningkat. Kesaksian yang diberikan para musyafir seperti Marco Polo,
Ibnu Batthuta, Tome Pires, de Borros, dan Oderic de Pordenone atau cerita dalam
babad-babad lokal menunjukkan eskalasi niaga dan dinamika politik terus mencapai
puncaknya.
4 Orang Tionghoa kala itu diisukan akan melakukan pemberontakan terhadap
VOC. Konon sekitar 10.000 orang Tionghoa kemudian ditumpas dan ribuan lainnya
direlokasi oleh VOC ke daerah sekitar Pandok Jagung, Pondok Kacang, dan sejumlah
3

2


Kerajaan Demak menempatkan pengaruhnya di pesisir utara Jawa Barat, hal ini
tidak dapat dipisahkan dari tujuannya yang bersifat politis dan ekonomis. Dari
sudut politis adalah untuk memutuskan hubungan kerajaan Pajajaran yang
masih berkuasa di daerah pedalaman dengan Portugis5. Adapun dari sudut
ekonomi pelabuhan-pelabuhan Sunda seperti Cirebon, Kalapa, Tangerang, dan
Banten mempunyai potensi besar dalam mengekspor hasil bumi, terutama lada.
Potensi hasil bumi – lada, setidaknya pernah dikembangkan oleh Kerajaan
Pajajaran yang secara geografis berada di daerah pedalaman. Menurut sumbersumber Portugis – sebagaimana dikutip oleh Abdurrachman Surjomihardjo,
wilayah Kerajaan Pajajaran terbentang antara ujung Jawa Barat di pantai Barat
sampai dengan sungai Cimanuk di sebelah Timur, di dalam daerah itu terdapat
suatu jaringan jalan darat yang merupakan urat nadi perdagangan kerajaan
tersebut. Jaringan jalan itu berpusat di Pajajaran, jika menuju kearah timur jalan
itu melalui Cileungsi dan Cibarusa membelok ke utara dan berakhir di
Karawang di tepi sungai Citarum, dari Karawang menuju ke arah selatan dan
melalui Purwakarta terus menuju ke Karang Sambung di sungai Cimanuk,
menuju ke arah barat jalan itu melalui Ciampea dan Jasinga menuju ke
Rangkasbitung, Serang sampai ke Banten Girang.
Disamping jalan darat, terdapat juga jalan sungai yang terutama
menghubungkan pelabuhan terpenting, yaitu Sunda Kalapa melalui Ciliwung,

sungai-sungai lainnya seperti Cimanuk, Citarum, sungai Bekasi dan Cisadane
merupakan jalan-jalan yang penting pula. Menurut catatan Tome Pires Sunda
Kalapa menghasilkan 1000 bahar lada, selain itu dapat juga memuat beras
sepuluh jung setiap tahunnya. Pires juga mencatat bahwa dari pelabuhan itu
dihasilkan banyak tamarinde atau asem, emas, sayuran, sapi, babi, kambing,
lembu, pelbagai buah-buahan serta semacam anggur diekspor dari Sunda
Kalapa menuju Malaka. Sedangkan mengenai jumlah penduduknya seorang
Portugis lainnya, yaitu Barros menyebutkan bahwa diseluruh kerajaan terdapat
daerah lain di Tangerang. Di kemudian hari, di antara mereka banyak yang menjadi
tuan-tuan tanah yang menguasai tanah-tanah partikelir.
5 Marwati Djoened Poesponegoro, ( editor Dr. Uka
Tjandrasasmita ), Sejarah
Nasional Indonesia, jilid III, Departemen Pendidikan dan Kebudayan, Balai Pustaka,
Jakarta 1993op.cit., h 20, adapun penolakan raja Pajajaran atas kedatangan kaum Moor
adalah terancam dengan penyebaran agama Islam.

3

kurang lebih 100.000 orang penduduk. Di Pajajaran sendiri terdapat 50.000
penduduk dan setiap pelabuhan terdapat 10.000 penduduk.6

Etnis Jawa di Tangerang juga makin bertambah sekitar tahun 1526 tatkala
pasukan Mataram menyerbu VOC. Peristiwa pengiriman ekspedisi Mataram
menyerbu VOC, Hoessein Djajadiningrat mencatat … Susuhunan Mataram
mendengar, bahwa Pangeran Jaketra telah meninggalkan kotanya. Ia
mengirimkan pasukan – pasukan ke Tanggeran di bawah pimpinan
Tumenggung Wira Utama dan Rangga Wirapatra untuk menjaga perbatasan
…. 7. Tatkala pasukan Mataram gagal menghancurkan VOC di Batavia, sebagian
dari mereka menetap di wilayah Tangeran.
Migrasi orang Lampung ke Tangerang, diduga terkait perlawanan penguasa
Lampung terhadap pemerintahan kolonial pada tahun 1826. Perlawanan ini di
pimpin Raden Imba dari Keratuan Darah Putih. Tahun 1826 sampai dengan 1856
merupakan masa perang Lampung (Perang Raden Intan). Namun sayang, pada
tanggal 5 Oktober 1856 Raden Intan II gugur dalam peperangan menghadapi
tentara jajahan di bawah pimpinan Kolonel Waleson. Perang Lampung pun
akhirnya berakhir.8 Di Tangerang, mereka menempati daerah Tangeran Utara
dan membentuk pemukiman yang kini disebut daerah Kampung Melayu.
Kondisi nyata itu, sangat mungkin di Tangerang pernah dikembangkan kawasan
perumahan, industri, jasa, dan perdagangan – tentunya menurut ukuran dan
kualitas zamannya. Semoga saja di Tangerang ditemukan situs perkampungan
orang Cina, India, Persia, Arab, Turki. Perkampungan para pedagang asal

Nusantara, semoga juga dapat dijumpai : Jawa, Melayu, Ternate, Banda, Banjar,
Bugis,
Makassar.

Kota Santri
Perkembangan kota Tangerang sebagai jalur perdagangan selanjutnya menarik
para penguasa politik di sekitarnya. Kondisi ini mengisyaratkan bahwa
Abdurrachman Surjomihardjo, Sejarah Perkembangan Kota Jakarta, Jakarta, Dinas
Museum dan Pemugaran Propinsi DKI Jakarta, 1999/2000,h. 12
7 Djajadiningrat, Hoessein, Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten. Jambatan,
Jakarta, 1983, hlm. 50, 74, 77, 97, 188, 211, 212.
8
Bandingkan Ekadjati, Edi S. Sejarah Kabupaten Tangerang, Pemda Tangerang:
2004, halaman 110)
6

4

masyarakat Tangerang (saat itu) berkat kekayaan dan kekuatan-kekuatannya,
bisa memainkan peran-peran politik dalam entitas politik.

Peran-peran aktif tersebut hingga periode-periode berikut diimbangi juga oleh
peran ulama dalam pentas, antara lain pendidikan melalui jalur pesantren.
Pesantren sebagaimana lembaga-lembaga Islam yang vital seperti "dayah" dan
"meunasah" di Aceh, "surau" di Minangkabau dan Semenanjung Malaya meskipun kebanyakan masih tetap merupakan kubu-kubu terkuat tasawuf, abad
ke-18, mulai mapan. Dan lembaga-lembaga Islam semacam ini telah tumbuh
menjadi institusi supra desa, yang mengatasi kepemimpinan, kesukuan, sistem
adat tertentu, kedaerahan dan lainnya9. Mereka tumbuh menjadi lembaga Islam
yang universal, yang menerima guru dan murid tanpa memandang latar
belakang suku, daerah, dan semacamnya, sehingga mereka mampu membentuk
jaringan kepemimpinan intelektual dan praktek keagamaan dalam berbagai
tingkatan. Seperti juga para penuntut ilmu di Timur Tengah pada masa-masa
awal, guru, terutama murid-murid lembaga-lembaga pendidikan Islam di Asia
Tenggara ini, adalah para penuntut ilmu yang mengembara dari satu surau ke
surau lain atau dari pesantren satu ke pesantren lain guna meningkatkan
pengetahuan keislaman mereka10.
Mengingat umurnya yang tua dan luasnya penyebaran pesantren, dapat
difahami bahwa pengaruh lembaga ini pada masyarakat sekitarnya, terutama di
Tangerang, sangat besar. Banyak peristiwa sejarah abad ke-19 yang
menunjukkan betapa besar pengaruh pesantren dalam mobilisasi masyarakat
pedesaan untuk aksi-aksi protes terhadap masuknya kekuasaan birokrasi

kolonial Eropa di pedesaan.
Pesantren selain memiliki "lingkungan, ia juga "milik" lingkungannya. Bahkan
hingga sekarang Pesantren tak putus-putusnya mempunyai hubungan
fungsional dengan desa-desa di sekitarnya, dalam pendidikan agama, kegiatan
sosial, dan kegiatan ekonomi. Dalam pada itu, kini bukan saatnya untuk
berandai-andai untuk lebih mencermati peran-perannya dalam aksi melawan
kolonial Eropa, misalnya. Namun yang mendesak justru upaya-upaya kita lebih
mau mengerti tentang "bagaimana strategi kyai/ulama tempo dulu melalui jalur
Pesantren yang merupakan pusat pendidikan Islam akan lebih terkenal
perananannya apabila murid-muridnya berasal dari darah-daerah yang radiusnya dari
pesantren tersebut, makin besar dan makin jauh (Uka Tjandrasasmita, Kota-Kota Muslim
Di Indonesia Dari Abad XIII sampai XVIII Masehi, Menara Kudus, Kudus, 2000)
10 Azyumardi Azra, 1999, Renaissans Islam Asia Tenggara, (Bandung: Rosydakarya
).
9

5

pesantren dengan potensi yang dimiliki berhasil menularkan kreativitasnya kepada
masyarakat pedesaan dan lingkungan lainnya "?. Pemahaman lebih jauh sudah

saatnya dilakukan lebih awal bahkan diperlukan untuk melacak akar genealogi
intelektual mereka di dalam mensistematisasi11 pengetahuan menjadi ilmu
melalui usaha klasifikasi dan penciptaan metodologi empirik, kuantitaf dan
eksperimental. Wujud kreativitas keulamaan mereka itu dapat dicermati dalam
berbagai kegiatan, misalnya dakwah, wirausaha, organisasi, dan sebagainya
sehingga kita memperoleh gambaran yang lebih utuh.
Agaknya, informasi varian aktivitas keulamaan masyarakat Tangerang tersebut
akan bisa pula dijadikan indikasi perkembangan Islam dalam varian kelompok
dari masa ke masa yang sangat berpengaruh dalam berbagai wilayah di luar
wilayah Tangerang. Dengan kata lain, pemahaman konprehensif tersebut
bermaksud menegaskan kembali peranan Islam dengan daya dukung
masyarakat Tangerang di dalam perkembangan sejarah ilmu secara nasional
maupun internasional, bahkan kini pun bukanlah sesuatu yang mubadzir.
Misalnya, "keteladanan wong Tangerang " – siapa saja mereka itu ?
pengetahuan dan keterampilan, model-model pembinaan dan pengkaderan apa
saja yang mereka tampilkan ?
Dengan mengambil tamstil tokoh ini pengingatan kita ke arah pesantren - untuk
saat ini tidaklah juga mubadzir, justru malah strategis. Alasannya, antara lain,
Pesantren sebagai lembaga sosial yang berada di akar bawah tetap mempunyai
peranan strategis dalam melaksanakan cita-cita pembangunan yang memerlukan

peranserta masyarakat dan perencanaan dari bawah.
Kota Perjuangan
Tangerang, sepanjang sejarahnya tidak pernah lepas dari peran aktif Banten.
Bangsa Portugis telah mendokumentasikan keberadaan Banten dan sekitarnya
pada awal abad ke 16, kurang lebih 15 tahun sebelum Kerajaan Islam Banten
terbentuk. Setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, bangsa Portugis12
kata "sistematisasi" berarti disusun secara teratur mengenai sesuatu bidang
tertentuyang jelas batas-batasnya mengenai sasaran, cara kerja, dan tujuannya.
12
Portugis mengembangkan kekuasaannya itu selain mencari daerah
perdagangan juga memerangi orang-orang yang masih beragama Islam di kawasan
Asia. Adapun dalam perjalanannya bangsa Portugis ini menyelusuri Lautan Atlantik
terus menjelajahi benua Afrika dan akhirnya sampai di India dan menetap di Goa India.
Setelah bangsa portugis dapat menaklukan Pelabuhan Goa, maka Goa dijadikan sebagai
pusat pemerintahan Portugis di daerah Asia, dimana dalam perdagangan bersifat
11

6

memulai perdagangan dengan bangsa Sunda. Ketertarikan utama mereka adalah
pada lada yang banyak terdapat di kedua sisi Selat Sunda.
Prabu Siliwangi V, sebagai penguasa Kerajaan Pajajaran sepakat melakukan
negosiasi , dimulai tahun 1521 M. Tahun 1522 M, Portugis di Malaka, yang sadar
akan pentingnya urusan ini, mengirim utusan ke Banten, yang dipimpin oleh
Henrique Leme. Perjanjian13 dibuat antara kedua belah pihak, sebagai ganti dari
perlindungan yang diberikan, Portugis akan diberikan akses tak terbatas untuk
persediaan lada, dan diperkenankan untuk membangun benteng di pesisir dekat
Tangerang. Kemurah hatian yang sangat tinggi ini menggaris bawahi tingginya
tingkat kesulitan yang dihadapi Banten.
Pemilihan pembuatan benteng di daerah Tangerang tidak diragukan lagi untuk
dua alasan : yang pertama, agar Portugis dapat menahan kapal yang berlayar
dari Demak, dan yang kedua. untuk menahan agar armada Portugis yang sangat
kuat pada saat itu, tidak terlalu dekat dengan kota Banten. Aplikasi dari
perjanjian ini adalah adanya kesepakatan kekuasaan yang tak terbatas bagi
Portugis. Lima tahun yang panjang telah berlalu, sebelum akhirnya armada
Portugis tiba di pesisir Banten, di bawah pimpinan Francisco de Sá, yang
bertanggungjawab akan pembangunan benteng.
Seiring dengan Malaka jatuh di bawah kekuasaan Portugis, pedagang-pedagang
yang enggan berhubungan dengan Portugis mengalihkan jalur perdagangannya
ke Selat Sunda. Sejak saat itulah semakin ramai kapal-kapal dagang
mengunjungi Banten dan sekitarnya. Peluang ini dikembangkan oleh raja-raja
Islam, baik di kota Banten maupun di kepulauan Riau. Nampaknya,
pemindahan ini dimaksudkan untuk memudahkan hubungan antara pesisir
utara Jawa dengan pesisir Sumatra melalui Selat Sunda dan Samudra Indonesia.
Apalagi, kondisi politik di Asia Tenggara mulai memanas, dimana Malaka sudah
jatuh di bawah kekuasaan Portugis. Para saudagar membeli rempah-rempah
dari wilayah Indonesia bagian timur untuk dibawa ke negara-negara di Asia
Barat dan Eropa. Dalam melakukan aktivitas perniagaannya, para saudagar ini
menggunakan jalur perairan Nusa Tenggara, pantai utara Pulau Jawa, Selat
Sunda, pantai Barat Sumatera, dan terus ke India. Jalur niaga ini semakin banyak
monopoli. Lihat Sidi Ibrahim Boechori. Sejarah Indonesia Madya. Gunung Tiga. Jakarta :
1987. h. 3.
13 Bukti Perjanjian asli, kini masih disimpan dalam Arsip Nasional Torre do Tombo
di Lisbon. Baca Adolf Heuken SJ, Sumber-sumber asli Sejarah Jakarta sampai dengan tahun
1630, Jilid I, Jakarta Yayasan Cipta Loka Caraka 1999. Sedangkan replikanya disimpan
di Museum Nasional (Museum Gajah), di Jakarta.

7

dipergunakan oleh para saudagar, terutama saudagar Islam, seiring dengan
jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511. Oleh karena Portugis
menganggap musuh terhadap para saudagar Islam, mereka tidak mau berlabuh
di Malaka. Bahkan lebih dari itu, saudagar saudagar Islam yang telah menetap di
Malaka pun banyak yang pindah ke kota-kota pelabuhan lain, di antaranya ke
Banten, Tangerang, Kalapa, dan Cirebon.
Nah, awal abad ke-16 M bekas wilayah Kerajaan Pajajaran ini, muncul
pelabuhan yang dikenal sebagai Sunda Kalapa yang merupakan salah satu
pelabuhan diantara Banten, Pontang, Tangerang dan Cimanuk.14 Hasil
konkritnya, Banten, Tangerang dan sekitarnya
pun berkembang pesat
pembangunannya. Pada saat itu, di Banten terdapat dua pasar besar, masingmasing Pelabuhan dan Pasar Karangantu dan Pasar Paseban. Dan kedua pasar
ini ramai dikunjungi para pedagang dari Arab, Parsia, Gujarat, Birma, Tiongkok,
Prancis, Inggris, dan Belanda. Ini merupakan upaya dari Maulana Hasanuddin
yang menitikberatkan pembangunan Banten pada sektor perdagangan, di
samping pertanian dan perkebunan.
Sejak kedatangan VOC (resmi berdiri 1602) dan kemudian menguasai laut
Indonesia, kerajaan-kerajaan di Indonesia pada waktu itu diharuskan
melaksanakan kulturstelsel dengan kewajiban menanam tanaman ekonomis
yang laku dijual di Eropa, seperti karet, kopi, cokelat, dan rempah-rempah.
Konflik antara Banten dengan Belanda semakin tajam ketika VOC memperoleh
tempat kedudukan di Batavia. Akibatnya, orientasi masyarakat Indonesia beralih
dari lautan ke daratan. Nah, bagaimana nasib Tangerang yang sepanjang
sejarahnya tidak pernah lepas dari peran aktif Banten ?.
Tangerang yang berlokasi sepanjang Sungai Cisadane - identik Benteng
Pertahanan. Telah ratusan tahun menjadi saksi kukuhnya rakyat
mempertahankan kemerdekaan yang bermartabat. Sejak jaman Sultan
Abdulfattah pada tahun 1652, di daerah Angke-Tangerang disiagakan pasukan
untuk menghadapi serangan kompeni. Tahun 1656, kompeni mencatat bahwa
pasukan Banten terus bergerilya di daerah ini untuk mencegat patroli,
membakar pabrik, hingga menyerang kapal Kompeni di perairan. Wilayah
Angke-Tangerang merupakan front terdepan medan perang, bahkan pada hari
Senin tahun 1658 telah diberangkatkan sebanyak 5000 prajurit Banten ke
Tangerang.
Abdurrachman Surjomiharjo, Sejarah Perkembangan Kota Jakarta, Jakarta Dinas
Museum dna Pemugaran Propinsi DKI Jakarta, 1999/2000, h.8
14

8

Pada perkembangan berikutnya, Tangerang selalu populer ketika wilayah itu
menjadi medan pertempuran rakyat melawan Kompeni Belanda dari Batavia.
Tercatat Tumenggung yang gugur dalam melawan kompeni sehingga
Kemaulanaan Tangerang berakhir, diantaranya: Aria Santika, Aria Yudanegara,
dan Aria Wangsakara.
Indonesia masa Revolusi, 1945- 9 9, hari jum’at petang tanggal
januari 9 ,
telah terjadi peristiwa berdarah di Lengkong atau Serpong, pasukan akademi
militer Tangerang yang dipimpin oleh Mayor Daan Mogot, yang tengah
merundingkan penyerahan senjata dari pasukan Jepang di Lengkong kepada
pasukan T.R.I. Keinginan merebut senjata Jepang itu dipicu peristiwa 10
November 1945 di Surabaya dan adanya indikasi bila Belanda akan menjajah
lagi. Di saat perundingan digelar, secara tiba-tiba sekali telah dihujani tembakan
dan diserbu oleh pasukan Jepang, sehingga mengakibatkan gugurnya 34 taruna
akademi militer tangerang dan 3 perwira T.R.I, yakni Mayor Daan Mogot
Sendiri, Letnan I Soebianto Djojohadikoesoemo dan Letnan Soetopo selaku Polisi
Tentara Resimen IV.15 Peristiwa ini telah menjadikan Tangerang sebagai bagian
pentas sejarah penting bangsa Indonesia.
Sekarang, Tangerang yang kini lengkap dengan Bandara Internasional
Soekarno-Hatta, kian menjadi kota Satelit Jakarta, menjadi daerah perindustrian
yang cocok untuk pembangunan pabrik-pabrik. Di kota ini pula berdiri Puspitek
(Pusat Penelitian Ilmu dan Teknologi).

Mereka kemudian dimakamkan di lokasi sama di Tangerang yang kini disebut
Taman Makam Pahlawan (TMP) Taruna. Total pahlawan yang dimakamkan di TMP ini
berjumlah 42 orang.
15

9