PENAMBAHAN UPPER LIMB TENSION TEST (ULTT) TERHADAP AKTIVITAS FUNGSIONAL PADA CERVICAL Penambahan Upper Limb Tension Test (UlTT) Terhadap Aktivitas Fungsional Pada Cervical Root Syndrome (CRS).

PENAMBAHAN UPPER LIMB TENSION TEST (ULTT)
TERHADAP AKTIVITAS FUNGSIONAL PADA CERVICAL
ROOT SYNDROME (CRS)

PUBLIKASI ILMIAH
Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I pada
Jurusan Fisioterapi
Fakultas Ilmu Kesehatan

Oleh :
HARFIKA NOVIANA
J120141053

PROGRAM STUDI S1 FISIOTERAPI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2016

PENAMBAHAN UPPER LIMB TENSION TEST (ULTT)
TERHADAP AKTIVITAS FUNGSIONAL PADA CERVICAL
ROOT SYNDROME (CRS)

Abstrak
Cervical Root Syndrome adalah kumpulan gejala karena penekanan pada
saraf spinal yang sering diakibatkan oleh proses degenerasi pada vertebra
dan diskus intervertebralis pada leher. Upper Limb Tension Test
merupakan salah satu cara untuk mengurangi perlengketan yang ada
disekitar saraf terhadap saraf itu sendiri sehingga dapat meningkatkan
kelenturan saraf. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui penambahan
upper limb tension test terhadap aktivitas fungsional pada cervical root
syndrome. Jenis penelitian ini adalah quasi eksperimental. Desain
penelitian pre and post test with control design dengan rancangan
kelompok perlakuan diberikan penambahan neurodynamic mobilization
dengan upper limb tension test pada terapi konvensional sedangkan
kelompok kontrol diberikan terapi konvensional. Teknik pengambilan
sampel dengan consecutive sampling dengan alat ukur neck disability
index, penelitan didapatkan sebelum dan sesudah program terapi selesai.
Penelitian dilakukan 2 kali dalam seminggu selama 4 minggu. Uji
pengaruh pada kelompok kontrol didapatkan nilai p=0,027 (p>0,005)
sedangkan kelompok perlakuan didapatkan nilai p=0,026 (p>0,005) dan
uji beda pengaruh setelah perlakuan antara dua kelompok didapatkan
nilai p=0,626 (p0.005) while the treatment group gets P value = 0.026

(p>0.005) and the influence of different test after the treatment between
the two group get P value =0.626 (p 0,05
bahwa tidak ada perbedaan pengaruh yang signifikan antara kelompok
kontrol dan kelompok eksperimen terhadap aktivitas fungsional pada
cervical root syndrome.
3.2 Pembahasan
1. Deskripsi Subjek
a. Usia
Selama penelitian ini rata-rata responden paling banyak yaitu dari
golongan usia 49-55 dimana menurut WHO (2016) merupakan rentang
usia pertengahan untuk mulai terjadinya proses degeneratif.
b. Jenis Kelamin
Berdasarkan karakteristik responden, pada penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa lebih banyak terjadi pada perempuan daripada laki-laki
hal ini sejalan dengan yang dikatakan Okada et al (2009) bahwa wanita
lebih cepat memiliki perubahan degeneratif pada tulang belakang lehernya.
c. Pekerjaan
Karakteristik responden berdasarkan pekerjaan dalam penelitian ini
pada kelompok eksperimen lebih banyak terjadi pada pegawai sedangkan
8


kelompok kontrol terjadi pada ibu rumah tangga dan wiraswasta. Hal ini
didukung oleh Binder (2007) faktor yang mempengaruhi bervariasi jadi
tidak dapat didapat diasumsikan bahwa yang mempengaruhi hanya satu
pekerjaan saja.
2. Analisis Data
a. Pengaruh penambahan upper limb tension test pada terapi konvensional
terhadap aktivitas fungsional pada cervical root syndrome
Hasil uji hipotesis untuk membandingkan nilai aktivitas fungsional
dengan neck disability index sebelum dan sesudah pada kelompok
eksperimen menggunakan wilcoxon test didapatkan p = 0,026 ( p < 0,05 ).
Hal ini menunjukkan bahwa ada pengaruh penambahan upper limb tension
test pada terapi konvensional terhadap aktivitas fungsional pada cervical
root syndrome.
Hal ini bisa terjadi bahwa pain-free movement dapat tercapai dengan
pemberian upper limb tension test. Hal ini terjadi karena meningkatkan
kelenturan saraf, pembebasan iritasi saraf yang tidak akut, pelepasan iritasi
saraf seperti entrapment saraf, mobilisasi sendi dan jaringan lunak serta
pemulihan fungsi (Kisner, 2012).
Efektivitas mobilisasi saraf terjadi karena adanya efek flossing yaitu

kemampuan untuk mengembalikan mobilitas dan penguluran, akibatnya
aliran darah dan transportasi aksonal pada jaringan saraf lancar serta
membantu dalam memecah adhesi dan mewujudkan mobilitas, dalam hal
ini upper limb tension test membantu dalam pengurangan gejala
(Shacklock M, 2015).
b. Pengaruh terapi konvensional terhadap aktivitas fungsional pada
cervical root syndrome (kelompok kontrol)
Hasil uji hipotesis untuk membandingkan nilai aktivitas fungsional
dengan neck disability index sebelum dan sesudah pada kelompok kontrol
menggunakan wilcoxon test didapatkan p = 0,027 ( p < 0,05 ). Hal ini
berarti terapi konvensional yang diberikan yaitu infra red, ultrasound,

9

TENS, arus faradik dan traksi manual juga berpengaruh terhadap
peningkatan aktivitas fungsional pada cervical root syndrome.
Secara teori terapi konvensional yang diberikan yaitu infra red akan
terjadi proses metabolisme yang terjadi pada lapisan superficial kulit
meningkat sehingga terjadi vasodilatasi akan mempengaruhi peningkatan
suplai oksigen dan nutrisi kedalam tubuh melalui aliran darah yang akan

membantu relaksasi otot dan dengan adanya efek thermal akan
mengaktifkan pembuangan sisa-sisa metabolisme (Prentice, 2011). Terapi
konvensional pada ultrasound akan menimbulkan efek mekanik yaitu
micro massage dimana bermanfaat untuk normalisasi dari otot sehingga
tekanan dalam jaringan akan berkurang dan juga terjadi vasodilatasi
pembuluh darah sehingga meningkatkan suplai bahan makanan pada
jaringan lunak dan terjadi zat anti body dengan demikian memudahkan
perbaikan pembuluh darah dan fibrilasi untuk perbaikan jaringan (Prentice,
2011).
TENS pada konvensional menghasilkan efek analgesik terutama
melalui mekanisme segmental yaitu dengan jalan mengaktivasi serabut Ayang selanjutnya akan menginhibisi neuron nosiseptif di kornu posterior
medulla spinalis. Ini mengacu pada teori kontrol gerbang yang
menyatakan bahwa gerbang terdiri dari sel intemunsial yang bersifat
inhibitor yang dikenal sebagai substansia gelatinosa dan sel T yang
merelei informasi dari pusat yang lebih tinggi dan keduanya terletak di
kornu posterior medulla spinalis. Tingkat aktivitas sel T ditentukan oleh
keseimbangan asupan dari serabut berdiameter besar A- dan A- serta
serabut berdiameter kecil A- dan serabut tipe C. Asupan dari serabut
berdiameter kecil akan mengaktivasi sel T yang akan dirasakan sebagai
keluhan nyeri. Jika serabut berdiameter besar teraktivasi, hal ini juga

mengaktifkan sel T namun pada saat yang bersamaan impuls tersebut juga
akan mengaktifkan SG yang berdampak pada penurunan asupan terhadap
sel T yang berasal dari serabut berdiameter kecil dengan kata lain asupan

10

impuls serabut berdiameter besar akan menutup gerbang dan menghambat
transmisi impuls nyeri sehingga nyeri dirasakan berkurang (Parjoto, 2006).
Arus faradik secara teoritis akan menimbulkan rasa sensoris seperti
tertusuk halus dan efek vasodilatasi dangkal serta efek terhadap motorik
yang menimbulkan kontraksi sehingga stimulasi diberikan untuk
menimbulkan gerakan yang normal dan aliran darah dapat diperlancar oleh
adanya pemompaan dari otot yang berkontraksi dan relaksasi. Traksi
konvensional dengan metode penarikan continous bertujuan untuk
immobilisasi dan koreksi yang memberikan efek mekanis terhadap struktur
jaringan

yang

membentuk


sendi-sendi

vertebra

sehingga

terjadi

peregangan dan penambahan gerak terhadap sendi opofiseal pada
proccecus articularis maka diharapkan nyeri berkurang akibat adanya
penguluran jaringan lunak sehingga spasme otot pun akan berkurang,
demikian pula akan terjadi pembebasan tekanan pada akar saraf spinal
sehingga aliran darah akan lancar (Prentice, 2011).
Terapi konvensional dengan infra red, ultrasound, TENS, arus faradik
dan traksi manual memberikan efek terapeutik seperti mengurangi rasa
sakit, relaksasi otot, meningkatkan suplai darah, menghilangkan sisa-sisa
hasil metabolisme, fasilitasi kontraksi otot, membidik kerja otot,
penigkatan kekuatan otot, memperbaiki aliran darah dan limfe,
immobilisasi dan menghilangkan spasme otot sehingga terjadinya

peningkatan aktivitas fungsional.
c. Beda pengaruh kelompok kontrol dan kontrol eksperimen terhadap
peningkatan aktivitas fungsional pada pasien cervical root syndrome
Hasil dari uji beda pengaruh antara kelompok kontrol dan kelompok
eksperimen didapatkan selisih antara nilai sebelum dan sesudah intervensi
kelompok kontrol yaitu 22,66 sedangkan kelompok eksperimen didapatkan
nilai 33,66. Selisih pada kelompok eksperimen menunjukan bahwa
penambahan upper limb tension test memberikan efek positif terhadap
peningkatan aktivitas fungsional pada penderita cervical root syndrome.
Uji beda pengaruh menggunakan Mann Whitney antara kelompok kontrol
11

dan kelompok eksperimen didapatkan hasil nilai p = 0,626 dimana p >
0,05 berarti tidak ada perbedaan signifikan dari peningkatan aktivitas
fungsional antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen.
Hal ini dapat terjadi karena kedua latihan tersebut sama-sama memiliki
pengaruh dalam perbaikan aktivitas fungsional, tetapi tidak ada salah satu
yang lebih unggul secara signifikan.
4.


PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil uji statistik dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Ada pengaruh penambahan terapi konvensional terhadap aktivitas
fungsional pada cervical root syndrome (p = 0,027).
2. Ada pengaruh penambahan upper limb tension test pada terapi
konvensional terhadap aktivitas fungsional pada cervical root syndrome (p
= 0,026).
3. Tidak ada perbedaan pengaruh terapi konvensional dan penambahan upper
limb tension test pada terapi konvensional terhadap aktivitas fungsional
pada cervical root syndrome (p = 0,626).
4.2 Saran
1. Bagi Pasien
Pasien hendaknya menjaga pola aktivitas di lingkungan rumah ataupun
tempat kerja serta menjalankan program edukasi yang telah diajarkan agar
tidak menimbulkan keluhan yang berulang.
2. Bagi Institusi Pendidikan dan Teman Sejawat
Dapat digunakan sebagai tambahan informasi dan referensi tentang upper
limb tension test dalam aktivitas fungsional pada cervical root syndrome.

Penambahan suatu exercise sangat diperlukan untuk menunjang keberhasilan
suatu terapi.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Mengingat keterbatasan pada penelitian ini, maka disarankan untuk
melakukan penelitian lebih lanjut dengan memperhatikan (a) mengontrol
variabel pengganggu yang dapat membiaskan hasil penelitian, (b) jangka
12

waktu penelitian yang lebih lama, (c) perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
dengan jumlah sampel yang lebih banyak dan variabel lain yang diteliti untuk
penelitian yang lebih baik sehingga dapat diraih hasil yang luas dan lebih
bervariatif.

DAFTAR PUSTAKA
Binder AI. 2007. Cervical Spondylosis And Neck Pain. Clinical Review. Volume
334. 10 March 2007 : 525 - 531
Henderson Cm, Hennessy RG, Shuey HM, Jr., and Shackelford EG. 1983.
Posterior-lateral Foraminotomy as an exclusive operative technique for
Cervical Radiculopathy : A Review of 846 Consecutively Operated Cases.
Ridge (ed). Diagnosis and Treatment of Cervical Radiculopathy from

Degenerative Disorders. America : North American Spine Society.
Okada E, Matsumoto M, Ichihara D, et al. 2009. Aging Of The Cervical Spine In
Healthy Volunteers : A 10-Years Longitudinal Magnetic Resonance
Imaging Study. Spine Phila Pa. 2009 Apr 1 ; 34 (7) : 706 – 12.
Parjoto S. 2006. Terapi Listrik Untuk Modulasi Nyeri. Semarang
Prentice W. 2011. Therapeutic Modalities in Rehabilitation. US : McGraw Hill
Ridge B. 2010. Diagnosis and Treatment of Cervical Radiculopathy from
Degenerative Disorders. America : North American Spine Society.
Shacklock M. 2005. Clinical neurodynamics. Australia : Elsevier Butte Rworth
Heinemann.
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung :
Alfabeta.
World Health Organization. 2016. Definition Of An Older Or Elderly Person.
Health Statistics and Information Systems : WHO.

13