Produk Hukum Desa - borni

Konsultan Nasional Pengembangan Program - Transisi (KNPPT)

Kemendesa

Keterpaduan Regulasi Desa dengan Peraturan Perundangan Lain
( Borni Kurniawan )

Pengantar
Sebelum Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa lahir, Desa kurang mendapat
perhatian yang serius dari Negara. Desa belum mendapat pengakuan sebagai entitas
kesatuan hukum masyarakat Negara bangsa Indonesia. Sebagai kesatuan hukum
masyarakat, Desa secara asali memiliki kemampuan dan kewenangan untuk mengatur
dirinya sendiri. Bentuk pengaturannya diwujudkan dalam bentuk hukum adat. Ada yang
tertulis, ada yang tidak tertulis. Dengan pranata hukum tersebut, masyarakat desa dapat
hidup dalam harmoni tidak hanya antarpenduduk desa itu sendiri, tapi keharmonisan
antara penduduk desa dengan lingkungan hidup di sekitarnya. Sebagai contoh masyarakat
negeri di Maluku dan Ambon mengenal sasi dan kewang. Di desa-desa di Nusa Tenggara
Barat dan Bali dikenal dengan awig-awig.
Awal mulanya sasi adalah piranti di zaman dahulu yang diciptakan masyarakat Maluku
untuk memelihara dan melestarikan hutan, laut dengan segala hasilnya di petuanan salah
satu desa maupun negeri. Sebagai piranti sosial, waktu itu sasi belum tertulis sebagai

perangkat hukum. Meski tidak tertulis, sasi yang berlaku di suatu desa/negeri sangat
dipegang teguh. Dalam perkembanganya, sasi kemudian diformalkan dalam bentuk hukum
tertulis pada zaman penjajahan Belanda. fungsiSasi dan Kewang meliputi; a) supaya semua
tanaman yang menyangkut buah-buahan dijaga dengan baik. Buah-buahan yang ditanam
di dalam dusun diambil pada waktunya yaitu ketika buah-buahan tersebut menjadi tua dan
masak. b) supaya tanah-tanah negeri dan labuhan (laut) dapat terpelihara dengan baik
guna dipakai oleh penduduk negeri tersebut. c) agar menjadi alat pelerai, mengurangi
semua bentuk perselisihan menyangkut hasil dusun diantara para anggota disebuah dusun,
yaitu antara anak-anak Dati1 dan Kepala Dati, antara anak-anak pusaka dan kepala pusaka.
d) agar pencurian terhadap tanaman dan hasilnya dan kecelakaan-kecelakaan yang sering
menimpa perempuan berkurang (Eko dan Kurniawan, 2010).
Di NTB dan Bali, awig-awig adalah aturan hukum adat yang harus dipatuhi semua warga
sebagai pedoman dalam bersikap dalam kehidupan sehari-hari maupun sikap dalam
berinteraksi dengan lingkungan alam sekitar. Awig-awig adalah aturan yang dikeluarkan
oleh Desa atau lembaga adat atas kesepakatan masyarakat untuk mengatur masalah sosial
kemasyarakatan tertentu sehingga dicapai kondisi yang baik. Di Desa Jerowaru, Telok Jor,
Lombok Timur ada awig-awig yang secara khusus ditujukan untuk melindungi kehidupan
nelayan, mengatur kehidupan masyarakat desa agar berperan serta dalam perlindungan
alam dari kerusakan dan menjaga budaya lokal dari kepunahan. Misalnya awig-awig
1


Dati yaitu orang-orang yang menjalankan tugas untuk kepentingan raja-raja selaku pemimpin pemerintahan dari
negeri bersangkutan dimana pekerjaan dilakukan tanpa menerima upah. Ada juga yang mengartikan dati sama
dengan pajak/kewajiban.

Konsultan Nasional Pengembangan Program - Transisi (KNPPT)

Kemendesa

tentang perikanan yang di dalamnya mengatur tata kelola dan perlindungan ikan dari
aktivitas masyarakat yang biasa berburu ikan dengan caranyetrum dan ngobat (memakai
potassium dll). Di Jambi, aturan sejenis awig-awig juga berlaku bagi masyarakat desa
hutan, khususnya bagi Suku Rimba yang hidup desa Taman Bukit Dua Belas. Untuk
menjaga keberlanjutan hidup mereka yang bergantung pada alam, masyarakat Suku Rimba
memberlakukan aturan yang tidak hanya mengikat masyarakat asli Suku Rimba tapi juga
pendatang yang masuk ke wilayahnya. Norma aturan yang diberlakukan contohnya
larangan menebang pohon yang dikeramatkan. Dampak positif dari larangan ini adalah
kelestarian hutan dan jaminan ketersediaan pangan bagi masyarakat.

Posisi Perdes dalam Sistem Perundang-Undangan

Dalam perkembangan terkini tidak sedikit desa di banyak daerah berinisiatif membuat
Peraturan Desa. Banyak pula desa-desa menginisiasi aturan adat distatuskan menjadi
Peraturan Desa. Terlebih ketika gerakan masyarakat sipil mendorong otonomi desa
semakin menguat. Banyak ragam urusan yang diatur. Ada yang mengatur tentang
pungutan desa, retribusi pasar desa, kebersihan dan kesehatan lingkungan, BUM Desa,
pemakaman dan perencanaan pembangunan desa. Desa Kawunganten di Kabupaten
Cilacap mengeluarkan Peraturan Desa tentang Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan. Desa
Sarimahi di Kabupaten Bandung membuat Perdes tentang retribusi pasar desa. Di Desa
Krandegan Kabupaten Kebumen menetapkan Perdes tentang perlindungan buruh migran
dan keluarga buruh migran di desa. Yang paling banyak adalah Peraturan Desa tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa), Rencana Kerja Pemerintahan
Desa (RKP Desa) dan Anggaran Pendapatan Belanja Desa (APBDesa).
Munculnya inisiatif peraturan desa tersebut memunculkan perbincangan publik yang
secara umum mepersoalkan statusnya dalam kerangka hukum Indonesia. Terlebih saat
pemerintah mengesahkan UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Sebagian ahli hukum tata negara berpendapat, Peraturan Desa
bukan tergolong peraturan perundang-undangan. Misalnya Jimli Assidiqie. Menurut Jimli,
penyebutan Peraturan Desa telah menempatkan jenis peraturan ini ke dalam sistem
hukum perundang-undangan nasional Indonesia. Nomenklatur yang digunakan merujuk
pada logika pemerintahan NKRI secara umum, sehingga menyebabkan timbulnya

penyeragaman bentuk Perdes. Bentuk produk hukum Perdes yang meniru bentuk produk
hukum peraturan perundang-undangan, menurutnya kurang mengakui eksistensi desa dan
masyarakat desa. Jimli menyarankan peraturan di desa cukup diserahkan kepada Desa dan
selanjutnya diurus oleh Desa dalam bentuk kesepakatan yang bebas dan beragam. Hierarki
atau tata urutan produk hukum dari tertinggi ke yang terrendah menurut UU No. 12 Tahun
2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pasal (7)sebagai berikut:

Konsultan Nasional Pengembangan Program - Transisi (KNPPT)

Kemendesa

UUD 1945
TAP MPR
UndangUndang/Perppu
Peraturan Pemerintah (PP)
Peraturan Presiden
Peraturan Daerah Provinsi
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Dari uraian di atas jelas didapatkan pengertian bahwa Peraturan Desa tidak dilegitimasi

atau diakui sebagai bagian dari hierarki peraturan perundang-undangan. Meski demikian,
masih dalam UU No. 12 Tahun 2011 tersebut Peraturan Desa tetap diakui sebagai
keberadaannya. Jika ditafsirkan pasal 8 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 dapat diambil
pengertian bahwa Peraturan Desa diakui keberadaannya sebagai produk hukum dan
memiliki kekuatan hukum sepanjang diperintahkan (didelegasikan) oleh Peraturan
Perundang-undangan di atasnya atau dibentuk berdasarkan kewenangan subjek pelaku
pembuatnya, dalam hal ini Desa. Jadi, sebelum UU Desa diputustetapkan sebagai UndangUndang pada 18 Desember 2013 lalu, posisi Peraturan Desa dalam struktur peraturan
perundang-undangan nasional tidak memiliki dasar legitimasi Undang-Undang.
Setelah UU Desa lahir, apalagi di dalamnya memuat sejumlah norma yang memerintahkan
ataupun mengakui desa untuk memproduksi Peraturan Desa, secara otomatis Perdes
mendapatkan pendasaran hukum. Salah satu norma tersebut misalnya pasal 1 angka 7 UU
No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa disebutkan Peraturan Desa adalah peraturan perundangundangan yang ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati bersama Badan
Permusyawaratan Desa . Pendasaran hukum lebih lanjut Peraturan Desa sebagai bagian
dari produk perundang-undangan, ditindaklanjuti dengan lahirnya produk hukum turunan
UU Desa. Contohnya pada Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2015 Tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa. PP ini memuat norma
pengaturan Peraturan Desa tentang i) RPJM Desa, ii) RKP Desa, iii) APB Desa, iv) Pendirian
BUM Desa, v) Pembentukan Lembaga Kemasyarakatan Desa, vi) Pungutan, vii) Organisasi
Pemerintah Desa, viii) Pengelolaan kekayaan milik desa ix) perencanaan, pemanfaatan dan
pendayagunaan aset desa dan tata ruang dalam pembangunan kawasan perdesaan.


Pasang Surut Hubungan Pemerintah dengan Desa
Paling tidak ada tiga sudut pandang yang akan membayang dalam pikiran ketika
membincang tentang Desa. secara sosiologis Desa adalah kesatuan hukum masyarakat
atau sekumpulan penduduk yang mendiami suatu wilayah tertentu. Pada umumnya
kesatuan penduduk tersebut saling memiliki pertalian darah. Dari sudut pandang

Konsultan Nasional Pengembangan Program - Transisi (KNPPT)

Kemendesa

ekonomi, Desa identik dengan kesatuan penduduk yang memiliki cara yang khas (sistem
ekonomi tradisional) untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan produksi ekonominya.
Pada umumnya bermatapencaharian sebagai petani dan nelayan. Dari aspek politik, maka
Desa diidentikan dengan kesatuan masyarakat berpemerintahan atau sewbagai sebuah
organisasi yang di dalamnya terdapat struktur kekuasaan dan kewenangan untuk
mengurus rumah tangganya sendiri.
Dari segi etimologi, banyak ragam untuk menyebut Desa. Desa identik dengan Jawa. Orang
Kalimantan menyebut Desa dengan Benua. Penduduk Aceh menyebutnya Gampong. Di
Sumatera Selatan, Desa disebut Marga, orang Sumatera Barat menyebutnya Nagari, di

Maluku disebut Negeri dan bagi orang Sulawesi Desa disebut Kampung. Pemimpin
lokalnya pun memiliki sebutan yang berbeda. Sebagai contoh, di Jawa kepala desa dulu
akrab dengan sebutan lurah. Di Sumatera Barat disebut wali nagari, di Maluku disebut raja.
Di Aceh kepala desa disebut geuchik.
Dalam lintas sejarah nasional Indonesia, di masa kolonialisme menyelimuti ibu pertiwi,
terlebih saat VOC menguasai geopolitik nasional Indonesia yang pada saat itu belum
berbentuk negara,Desa tidak mendapat perhatian khusus. VOC lebih memilih berhubungan
secara langsung dengan penguasa politik dan wilayah di atas raja atau bupati pribumi.
Pendekatan kekuasaan ini bertujuan untuk membangun efektifitas penguasaan VOC dalam
mengakumulasi modalnya. Jumlah raja atau bupati yang relatif sedikit daripada jumlah
kepala desa, dalam hitungan ekonomi politik pasti lebih efisien. Dengan memegang
kekuasaan para raja atau bupati pribumi, maka secara tidak langsung VOC akan dapat
menggerakan kepala desa menjalankan misi dan kepentingan VOC. Melalui raja atau bupati
pribumi, VOC memerintahkan kepala desa untuk bekerja bersama perangkatnya
mengumpulkan hasil bumi seperti kopi, beras, lada, cengkeh dan rempah-rempah lainnya.
Statusnya sebagai pajak masyarakat kepada negara. Jadi, tali kendali kekuasaan secara
nasional terhadap Desa yang sesungguhnya bukan di tangan para raja, tapi di tangan VOC,
atau dalam sebutan orang kala itu Kompeni . Dengan cara ini, Kompeni memperoleh tiga
keuntungan politik sekaligus. Pertama, berhasil memecah konsentrasi konsolidasi
antarraja-raja di Nusantara. Kedua, menggerakkan sumber daya desa tampa harus

membangun hubungan intruksional langsung dengan desa. Ketiga, secara sosial resistensi
masyarakat terhadap VOC relatif kecil, karena pendekatan ini sebenarnya menghadapkan
raja dengan Desa dalam relasi yang konfliktual.
Pola pemanfaatan desa untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi dan politik para penjajah
yang pernah masuk ke Indonesia sebenarnya tidak hanya terjadi di masa kekuasaan VOC
saja. Tapi juga di masa pendudukan Jepang atas Indonesia. Dalam politik kebijakan
berikutnya, ternyata Kompeni juga membangun sistem di mana sumber daya desa secara
langsung dikendalikannya. Penerapan sistem tanam paksa di era kepemimpinan Jenderal
Johanes Van de Bosch hingga sistem sewa tanah yang diterapkan oleh para penggantinya
kemudian,demi untuk memenuhi kebutuhan keuangan negara (VOC) benar-benar telah
menjadikan Desa sebagai alat pemaksa rakyat sekaligus sapi perahan Kompeni.
Pemerintah desa dipaksa untuk memungut pajak kepada rakyat hingga memaksa rakyat
untuk mengolah tanah dan menyerahkan hasil buminya bukan untuk dikelola pemerintah
kerajaan, tapi kepada VOC. Cara-cara ini telah menghancurkan persendian kehidupan

Konsultan Nasional Pengembangan Program - Transisi (KNPPT)

Kemendesa

politik desa yang seharusnya penuh kearifan dan degradasi sosial. Hingga akhirnya

kelaparan serta kemiskinanpun tak bisa dihindari melanda Desa. Derita yang mungkin
semakin bertambah ketika Jepang berkuasa struktur cengkeraman kekuasaan diperluas
hingga ke level struktur kelembagaan di bawahnya kepala desa (pemerintah desa) yang
dalam bahasa sekarang di sebut Rukun Warga (RW) dan Rukun Tangga (RT). Karena, cara
pandang penguasa baik yang diperankan VOC maupun Jepang kepada desa yang hanya
menempatkan Desa sebagai kaki tangan kekuasaan mereka telah merusak Desa sebagai
kesatuan sosial kemasyarakatan. Dengan kata lain wajah sosial Desa dinafikan, kecuali
wajah sebagai kaki tangan kekekuasaan.
Dalam perkembangan berikutnya ketika bangsa Indonesia berhasil merengkuh
kemerdekaan, Desa mulai mendapatkan pemuliaan.
Di awal-awalkemerdekaan,
pemerintah waktu itu melalukan penataan desa dengan cara yang demokratis. Pemeirntah
mendudukan masyarakat dan pemerintah desa pada posisi yang setara. Dengan kata lain
secara kelembagaan maupun individu masyarakat desa memiliki posisi yang sama. Contoh
regulasi yang dikeluarkan pada waktu itu untuk tujuan tersebut diantaranya UU No. 13
tahun 1946 Tentang Penghapusan Desa Perdikan dan UU No. 14 Tahun 1946 Tentang
Perubahan Tata Cara Pemilihan Kepala Desa (Maschab, 2013). Dengan UU No. 13 Tahun
1946 tersebut tidak lagi ada pengistimewaan terhadap Desa-Desa yang semula berstatus
sebagai perdikan. Dengan UU No. 14 Tahun 1946 setiap warga desa memiliki kesempatan
yang sama untuk dipilih menjadi kepala desa.

Cara pandang negara mengurus Desa di bawah rezim pembangunan mengalami pergeseran
kembali. Pemerintahan yang secara politik waktu itu membutuhkan stabilitas politik
hingga ke bawah, telah menjadikan Desa sebagai mesin politik kekuasaan. Pemerintah desa
dikondisikan sedemikian rupa menjadi pasukan penguasa yang bergerak dibawah
memobilisasi suara partai politik penguasa. Waktu itu partainya adalah Golongan Karya.
Cara seperti ini telah mengerdilkan peran dan fungsi Desa yang seharusnya menghadirkan
peran negara sebagai pelayan publik di level terdepan, berubah menjadi mesin pendulang
suara partai politik. Penggeseran posisi Desa yang hanya dilihat sebagai perpanjangan
pemerintahan supradesa terjadi ketika pemerintahan Soeharto memberlakukan UU No. 5
Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa. Tak hanya itu, UU No. 5 Tahun 1979
meminggirkan hak-hak masyarakat lokal dan mengingkari keberagaman desa di Indonesia,
termasuk mensentralisasi pengelolaan desa. Selama hampir 20 tahun sebelum akhirnya
UU No. 22 Tahun 1999 lahir, Desa tidak memiliki kewenangan sama sekali untuk
mengurus rumah tangganya karena dominasi pengaturan oleh negara. Demokrasi
kerakyatan desa hilang. Setelah UU No. 22 Tahun 1999 lahir Desa menerima ruang lebih
longgar karena UU ini mengembangkan konsep otonomi desa (local self government).
Sayangnya belum lagi berjalan optimal, UU tersebut sudah diganti dengan UU No. 32
Tahun 2004 yang menutup kembali ruang otonomi masyarakat dan desa. Akhirnya,
pengelolaan desa yang semu dijernihkan kembali melalui UU No. 6 Tahun 2014 tadi.
UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa atau sering disebut UU Desa mengembalikan cara

pandang negara kepada keragaman desa. Dengan kata lain UU Desa menekankan
pengakuan (rekognisi) atas keberagaman desa pada urutan terdepan sebagai konsekuensi
fakta sejarah adanya 250 kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai berbagai sebutan

Konsultan Nasional Pengembangan Program - Transisi (KNPPT)

Kemendesa

namaseperti disebut di atas. UU Desa yang ditetapkan akhir 2013 lalu tersebut juga
memuat azas subsidiaritas dan memposisikan kedudukan desa tidak lagi sebagai sub
kabupaten. Dengan azas ini, desa memiliki kewenangan untuk mendefinisikan diri,
memetakan apa permasalahan, mengidentifikasi potensi hingga mengambil keputusan
kebijakan untuk mengurus rumah tangganya sesuai dengan kewenangan berdasarkan hak
asal usul dan kewenangan desa berskala lokal. Lain dari pada itu untuk mendukung
realisasi kewenangan desa membangun negara RI mulai dari desa, UU Desa
mengembangkan hubungan pemerintah-desa berdasarkan hak keuangan desa.
Realisasinya adalahNegara mengalokasikan Dana Desa (DD) yang bersumberkan APBN dan
Alokasi Dana Desa (ADD) yang bersumberkan APBD. UU Desa menempatkan DD bukan
sebagai program pemerintah, tapi sebagai bentuk pengakuan Negara atas hak desa yang
harus dikeluarkan pemerintah setiap tahun anggaran. Dengan perubahan mutakhir ini,
berarti pemerintah dan desa memiliki hubungan yang lebih proporsional. Desa tidak lagi
menjadi halaman belakang NKRI tapi halaman depan.

Keterpaduan Antar Regulasi Membangun Desa
Secara mandatory, sesuai dengan UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa, pengurusan Desa
seharusnya dipegang oleh satu Kementerian yang secara khusus berkait dengan urusan
Desa. Namun fakta politik saat ini menghendaki adanya dua Kementerian yaitu
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi.
Keduanya sama-sama berwenang mengurus desa. Bedanya, Kemendagri mengurus
pemerintah dan pemerintahan desa, sementara Kemendesa mengurus pembangunan dan
pemberdayaan kemasyarakatan desa. Menindaklanjuti kewenangan tersebut, pemerintah
telah mengeluarkan dua produk hukum turunan UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Dua
produk hukum tersebut yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No. 43 Tahun 2015 Tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa yang kini sudah
diganti menjadi PP No. 47 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No.
43 Tahun 2015 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014
Tentang Desa serta PP No. 60 Tahun 2015 Tentang Dana Desa yang Bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang kini juga sudah dirubah menjadi PP No. 22
Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan No. 60 Tahun 2015 Tentang Dana Desa
yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Kedua Kementerian tersebut juga mengeluarkan produk hukum turunan dari kedua PP
tersebut. Kemendagri mengeluarkan Permendagri No. 111 Tahun 2015 Tentang Pedoman
Teknis Peraturan di Desa, Permendagri No. 112 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Kepala
Desa, Permendagri No. 113 Tahun 2015 Tentang Pengelolaan Keuangan Desa dan
Permendagri No. 114 Tahun 2015 Tentang Pembangunan Desa. Kemendesa mengeluarkan
Permendesa, PDT dan Transmigrasi No. 1 Tahun 2015 Tentang Pedoman Kewenangan
Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa, Permendesa, PDT dan
Transmigrasi No. 2 Tahun 2015 Tentang Pedoman Tata Tertib dan Mekanisme
Pengambilan Keputusan Musyawarah Desa, Permendesa, PDT dan Transmigrasi No. 3
Tahun 2015 Tentang Pendampingan Desa, Permendes, PDT dan Transmigrasi No. 4 Tahun
2015 Tentang Pendirian, Pengurusan dan Pengelolaan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik

Konsultan Nasional Pengembangan Program - Transisi (KNPPT)

Kemendesa

Desa, Permendesa, PDT dan Transmigrasi No. 5 Tahun 2015 Tentang Penetapan Prioritas
Penggunaan Dana Desa Tahun 2015 serta Permendesa, PDT dan Transmigrasi No. 6 Tahun
2015 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Desa, Pembangunan Daerah
tertinggal dan Transmigrasi.

Tabel. Produk-Produk Hukum
Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi Terkait dengan
Implementasi UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa
Kementerian Dalam Negeri
Permendagri No. 111 Tahun 2015 Tentang
Pedoman Teknis Peraturan di Desa.

Permendagri No. 112 Tahun 2015 Tentang
Pemilihan Kepala Desa.

Permendagri No. 113 Tahun 2015 Tentang
Pengelolaan Keuangan Desa.
Permendagri No. 114 Tahun 2015 Tentang
Pembangunan Desa.

Kementerian desa, PDT dan
Transmigrasi
Permendesa, PDT dan Transmigrasi No. 1
Tahun 2015 Tentang Pedoman Kewenangan
Berdasarkan Hak Asal Usul dan
Kewenangan Lokal Berskala Desa.
Permendesa, PDT dan Transmigrasi No. 2
Tahun 2015 Tentang Pedoman Tata Tertib
dan Mekanisme Pengambilan Keputusan
Musyawarah Desa.
Permendesa, PDT dan Transmigrasi No. 3
Tahun 2015 Tentang Pendampingan Desa
Permendes, PDT dan Transmigrasi No. 4
Tahun 2015 Tentang Pendirian, Pengurusan
dan Pengelolaan, dan Pembubaran Badan
Usaha Milik Desa.
Permendesa, PDT dan Transmigrasi No. 5
Tahun 2015 Tentang Penetapan Prioritas
Penggunaan Dana Desa Tahun 2015.
Permendesa, PDT dan Transmigrasi No. 6
Tahun 2015 Tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kementerian Desa, Pembangunan
Daerah tertinggal dan Transmigrasi.

Utrecht (1953) berpendapat bahwa hukum diciptakan untuk menertibkan masyarakat.
Oleh karena itu hukum diciptakan sebagai alat pendorong agar ketertiban hidup manusia
dapat diraih. Kehadiran UU Desa, dalam perspektif hukum tidak lain untuk mengatur tata
kelola desa yang selama ini tidak menciptakan order yang berpihak kepada desa. UU Desa
hadir menyediakan instrumen aturan yang berfungsi mendorong peran negara
merekognisi desa sebagai entitas NKRI. UU Desa juga berpretensi memberikan
perlindungan sekaligus kewenangan kepada desa untuk mengurus rumah tangganya sesuai
dengan dimensi asal-usul dan skala kewenangannya.

Konsultan Nasional Pengembangan Program - Transisi (KNPPT)

Kemendesa

Tantangan pembuatan regulasi terletak pada pertama suasana kebatinan kedua
kementerian yang diliputi polemik penguasaan urusan kewenangan desa. Kedua, aturan
norma yang rinci dan problem kohesifitas antar regulasi. Sejak masa pembahasan RUU
Desa, para policy maker dan pegiat advokasi RUU Desa telah memperkirakan akan adanya
tantangan baru penyiapan regulasi turunan UU Desa. Aturan yang detail berpotensi
mempersempit prakarsa dan ruang pengambilan keputusan bagi desa (detail is devil).
Sementara ketidaksinkronan regulasi satu dengan lainnya berpotensi menyebabkan
masyarakat menderita apa yang disebut informasi asimetris (asymmetric information).
Tantangan tersebut nampaknya terjadi. Contohnya, PP No. 47 Tahun 2015 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2015 Tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa tidak terpadu dengan UU Desa. PP No. 47
Tahun 2015 mengandung norma/pasal yang menegasikan nomenklatur UU Desa dan PP
yang digantikannya. Pasal tersebut misalnya bagian ketentuan umum pasal 1 ayat (14).
Pada pasal 1 ayat (14) PP No.
Tahun
berbunyi Menteri adalah menteri yang
menangani desa . Ketika PP No. 43 Tahun 2015 berganti menjadi PP No. 47 tahun 2015,
ketentuan pada pasal 1 ayat (14) ini dihapus. Penghapusan pasal 1 ayat (14) dalam PP No.
47 tahun 2015 membawa konsekuensi yang signifikan terhadap tata urusan desa.
Pembagian urusan desa ke dalam dua institusi Kementerian secara politik jelas telah
membelah desa. Desa kehilangan cantolan Kementerian yang secara khusus mengurus
desa. Padahal UU Desa tidak mendikotomikan Desa ke dalam dua entitas pemerintah desa
dan warga masyarakat.
Sebagian narasi tentang tumpang tindih antar regulasi pengaturan desa di atas tentu perlu
segera mendapat respon. Terlebih, agenda pelaksanaan UU Desa tidak hanya mensyaratkan
ketercukupan kapasitas dan kepatuhan pemerintah desa dan masyarakat desa terhadap
berbagai jenis aturan yang dikeluarkan pemerintah. Tapi juga membutuhkan kelembagaan
aturan yang mendukung tercapainya tujuan diundangkannya UU Desa. Friedrich Karl von
Savingny pernah menyatakan bahwa hukum tumbuh dan berkembang dari masyarakat,
hukum diproduksi dari pengalaman masyarakat berdasarkan karakter masyarakat itu
sendiri. Karenanya produk hukum yang baik adalah hukum yang dijiwai oleh kebutuhan
masyarakatnya, bukan sekadar memenuhi kebutuhan dan kepentingan para pembuat
kebijakan dan peraturannya.
Berdasarkan pokok-pokok masalah dan pemikiran di atas, tentu perlu dilakukan perlakuan
cara berfikir dan bertindak dalam kerangka penyempurnaan atas regulasi-ragulasi yang
sudah ada di masa mendatang. Di sisi lain juga diperlukan kearifan semua pihak yang
secara hukum terikat ke dalam regulasi tersebut untuk menjalankan norma aturan dengan
mengenyampingkan kepentingan pragmatis individu dan kelompok, sehingga tercipta
pelaksanaan UU Desa yang senafas dengan harapan Desa. Terlepas dari kekurangan kadar
keterpaduan antarregulasi turunan UU Desa di atas, pada dasarnya pembuatan regulasi
baik yang diperankan oleh Kementerian Dalam Negeri maupun Kementerian Desa, PDT dan
Transmigrasi adalah bagian dari ikhtiar memuliakan dan memperkuat desa . perlu
digarisbawahi di sini, bahwa pemerintah saat ini berkomitmen dan berjuang mewujudkan
harapan UU Desa dan Nawacita. []