Bulletin Warta NTT 7
7
TRIWULAN III/TAHUN 2014
DPD diberikan kewenangan untuk
mengurus daerah. Kewenangan
dimaksud meliputi : urusan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran
wilayah, pengelolaan sumberdaya
alam dan sumberdaya ekonomi
lainnya, perimbangan keuangan
pusat dan daerah, RAPBN, pajak,
pendidikan dan agama. Untuk urusan
legislasi, budgeting dan pengawasan,
DPD hanya diberikan kewenangan
untuk dapat mengajukan,
ikut membahas, memberikan
pertimbangan dan dapat melakukan
pengawasan. Dalam kondisi
kebathinan seperti inilah, momentum
pelaksanaan kegiatan Focus Group
Discussion oleh anggota DPD Provinsi
NTT terasa relevan.
Dalam pandangan DR.Yohanes
Tubahelan,MH penggunaan frasa
”dapat” mengajukan rancangan
undang-undang di bidang tertentu
merupakan kewenangan yang relatif.
Artinya, boleh dilakukan boleh
tidak. Penggunaan kata ”ikut” yang
juga melekat pada kewenangan
DPD untuk membahas rancangan
undang-undang, menunjukan bahwa
kewenangan DPD bukan merupakan
kewenangan penuh. DPD hanya ikut
terlibat dalam pembahasan, bukan
kewenangan yang bersifat atributif
untuk ikut memutukan.
Sebagai pakar hukum tata
negara, Tubahelan memandang
Amandemen Undang-Undang Dasar
sebagai langkah kostitusional untuk
revitalisasi kewenangan dan fungsi
DPD. Tidak ada jala lain, karena
konstitusi kita mengamanatkan
demikian. Pada bagin pengantar,
dijelaskan pula jika sistem
perwakilan suatu negara bisa
tidak sama dan sebangun dengan
sistem pemerintahannya. Banyak
negara menganut sistem perwakilan
bikameral (dua kamar) yaitu Majalis
Tinggi (upper house) dan Majelis
rendah (lower house). Semestinya,
MPR adalah wadah yang terdiri dari
DPD dan DPR sebagai lembaga,
bukan perorangan/anggota.
Kedua lembaga ini bisa membahas
dan memutuskan bersama-sama
DPR dan DPD perlu dibangun
kembali. Perlu dilakukan rederegulasi
terhadap ketentuan kedudukan
kedua lembaga negara tersebut.
Faktanya, selama ini masyarakat
melihat DPR lebih dominan. Terjadi
ketimpangan posisi dan peran,
seolah-olah DPD hanyalah lembaga
supporting. Untuk itu diperlukan
redefenisi peran dan posisi agar
tidak lagi ada monopoli atau upaya
saling memperdayai.
Ir. Abraham Paul Liyanto sebagai
satu-satunya Anggota DPD asal
Provinsi NTT yang terpilih kembali, ketika menyampaikan sapaan
pembuka, Selasa (22/7/2014), Aula
STKIP Citra Bina Nusantara Kupang.
dalam suatu sidang gabungan (join
session). Untuk Indonesia, kita bisa
memilih sistem dua kamar dengan
soft bycameralism atau hard
bycameralism.
Senada dengan pembicara
pertama, DR. Jeni Eoh,MS
memberikan penegasan untuk
memperkuat peran DPD. Dalam
makalahnya berjudul Pusat dan
Daerah : Tinjauan Kritis dari Segi
Manajemen, Jeni mengemukankan
perlunya Paradigma Baru dalam
Manajemen. Beliau melihat, DPR
cendrung berpikir rutin, dengan
pengetahuan tentang daerah yang
samar-samar. Sementara itu, DPD
memiliki kecendrungan berpikir
kreatif, dengan pemahaman yang
reltif eksplisit terhadap kondisi
daerah. Untuk bisa berinovasi
menghasilkan produk baru, jasa
baru maka diperlukan sinergi
antara kedua lembaga. Karena itu,
menurutnya, Sinergi antara Fungsi
Pada bagian lain, DR.James
Adam membawakan materinya
dengan judul Otonomi Daerah dan
Percepatan Pembangunan NTT.
Beliau memaparkan pentingnya kita
menyadari pengaruh buruk sistem
kapitalis pada negara berkembang.
Indikator sederhananya bisa dilihat
dari tingginya ketergantungan
negara berkembang karena
dimanjakan dengan program
bantuan asing. Gejala lain yang
bisa dilihat yaitu saat ini pun kita
mengalami krisis kepemimpinan.
”Untuk memilih Presiden saja, partai
politik hanya mampu menghasilkan
dua kandidat” demikian pungkas
James. Beliau melihat masih tingginya
Belanja Pemerintah yaitu sebesar
80%, jika dibandingkan dengan
Belanja Rakyat sebesar 20% dari
total APBD. Padahal, jika melihat
struktur APBD, kita cukup mandiri. Hal
ini bisa dilihat dari total APBD 2014
yang berjumlah Rp.2,720 Trilyiun,
PAD kita sebesar Rp.1,43 Milyar.
Sedangkan Dana Pendampingan
cuman berada di kisaran angka
1,290 Milyar.
DPR dan DPD adalah instrumen
demokrasi kita.
Hal ini kembali dibahas dalam
sesi diskusi. DR. Lery Rupidara
selaku Sekretaris Badan Penelitian
dan Pengembangan Provinsi NTT
menekankan pentingnya DPD
sebagai Agen. Untuk memperkuat
Peran DPD, maka perlu dilakukan
pembesara peran DPD pada dua
koridor utama yaitu Demokrasi dan
Otonomi Daerah. ”DPD mesti hadir
TRIWULAN III/TAHUN 2014
DPD diberikan kewenangan untuk
mengurus daerah. Kewenangan
dimaksud meliputi : urusan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran
wilayah, pengelolaan sumberdaya
alam dan sumberdaya ekonomi
lainnya, perimbangan keuangan
pusat dan daerah, RAPBN, pajak,
pendidikan dan agama. Untuk urusan
legislasi, budgeting dan pengawasan,
DPD hanya diberikan kewenangan
untuk dapat mengajukan,
ikut membahas, memberikan
pertimbangan dan dapat melakukan
pengawasan. Dalam kondisi
kebathinan seperti inilah, momentum
pelaksanaan kegiatan Focus Group
Discussion oleh anggota DPD Provinsi
NTT terasa relevan.
Dalam pandangan DR.Yohanes
Tubahelan,MH penggunaan frasa
”dapat” mengajukan rancangan
undang-undang di bidang tertentu
merupakan kewenangan yang relatif.
Artinya, boleh dilakukan boleh
tidak. Penggunaan kata ”ikut” yang
juga melekat pada kewenangan
DPD untuk membahas rancangan
undang-undang, menunjukan bahwa
kewenangan DPD bukan merupakan
kewenangan penuh. DPD hanya ikut
terlibat dalam pembahasan, bukan
kewenangan yang bersifat atributif
untuk ikut memutukan.
Sebagai pakar hukum tata
negara, Tubahelan memandang
Amandemen Undang-Undang Dasar
sebagai langkah kostitusional untuk
revitalisasi kewenangan dan fungsi
DPD. Tidak ada jala lain, karena
konstitusi kita mengamanatkan
demikian. Pada bagin pengantar,
dijelaskan pula jika sistem
perwakilan suatu negara bisa
tidak sama dan sebangun dengan
sistem pemerintahannya. Banyak
negara menganut sistem perwakilan
bikameral (dua kamar) yaitu Majalis
Tinggi (upper house) dan Majelis
rendah (lower house). Semestinya,
MPR adalah wadah yang terdiri dari
DPD dan DPR sebagai lembaga,
bukan perorangan/anggota.
Kedua lembaga ini bisa membahas
dan memutuskan bersama-sama
DPR dan DPD perlu dibangun
kembali. Perlu dilakukan rederegulasi
terhadap ketentuan kedudukan
kedua lembaga negara tersebut.
Faktanya, selama ini masyarakat
melihat DPR lebih dominan. Terjadi
ketimpangan posisi dan peran,
seolah-olah DPD hanyalah lembaga
supporting. Untuk itu diperlukan
redefenisi peran dan posisi agar
tidak lagi ada monopoli atau upaya
saling memperdayai.
Ir. Abraham Paul Liyanto sebagai
satu-satunya Anggota DPD asal
Provinsi NTT yang terpilih kembali, ketika menyampaikan sapaan
pembuka, Selasa (22/7/2014), Aula
STKIP Citra Bina Nusantara Kupang.
dalam suatu sidang gabungan (join
session). Untuk Indonesia, kita bisa
memilih sistem dua kamar dengan
soft bycameralism atau hard
bycameralism.
Senada dengan pembicara
pertama, DR. Jeni Eoh,MS
memberikan penegasan untuk
memperkuat peran DPD. Dalam
makalahnya berjudul Pusat dan
Daerah : Tinjauan Kritis dari Segi
Manajemen, Jeni mengemukankan
perlunya Paradigma Baru dalam
Manajemen. Beliau melihat, DPR
cendrung berpikir rutin, dengan
pengetahuan tentang daerah yang
samar-samar. Sementara itu, DPD
memiliki kecendrungan berpikir
kreatif, dengan pemahaman yang
reltif eksplisit terhadap kondisi
daerah. Untuk bisa berinovasi
menghasilkan produk baru, jasa
baru maka diperlukan sinergi
antara kedua lembaga. Karena itu,
menurutnya, Sinergi antara Fungsi
Pada bagian lain, DR.James
Adam membawakan materinya
dengan judul Otonomi Daerah dan
Percepatan Pembangunan NTT.
Beliau memaparkan pentingnya kita
menyadari pengaruh buruk sistem
kapitalis pada negara berkembang.
Indikator sederhananya bisa dilihat
dari tingginya ketergantungan
negara berkembang karena
dimanjakan dengan program
bantuan asing. Gejala lain yang
bisa dilihat yaitu saat ini pun kita
mengalami krisis kepemimpinan.
”Untuk memilih Presiden saja, partai
politik hanya mampu menghasilkan
dua kandidat” demikian pungkas
James. Beliau melihat masih tingginya
Belanja Pemerintah yaitu sebesar
80%, jika dibandingkan dengan
Belanja Rakyat sebesar 20% dari
total APBD. Padahal, jika melihat
struktur APBD, kita cukup mandiri. Hal
ini bisa dilihat dari total APBD 2014
yang berjumlah Rp.2,720 Trilyiun,
PAD kita sebesar Rp.1,43 Milyar.
Sedangkan Dana Pendampingan
cuman berada di kisaran angka
1,290 Milyar.
DPR dan DPD adalah instrumen
demokrasi kita.
Hal ini kembali dibahas dalam
sesi diskusi. DR. Lery Rupidara
selaku Sekretaris Badan Penelitian
dan Pengembangan Provinsi NTT
menekankan pentingnya DPD
sebagai Agen. Untuk memperkuat
Peran DPD, maka perlu dilakukan
pembesara peran DPD pada dua
koridor utama yaitu Demokrasi dan
Otonomi Daerah. ”DPD mesti hadir