Agung, Anggraeni Inggrid Handojo
1997 Karya Sriwidodo WS
38. Frekuensi M. Atipik, M. Tuberkulosis dan M. Bovis pada Limfadenitis TBC Positif PA Positif Biakan - Misnadiarly
64. RPPIK International Standard Serial Number: 0125 – 913X 1 1 5 T u b e r k u l o s i s M a r e t 1 9 9 7
62. Abstrak
60. Hernia Umbilikalis Inkarserata pada Neonatus - laporan kasus
56. Penatalaksanaan Gigi Goyang Akibat Kelainan Jaringan Periodontium – SW Prayitno
52. Peranan Kader dalam Menunjang Program ISPA di Jawa Barat - Enny Muchlastriningsih
45. Dampak Debu Industri pada Paru Pekerja dan Pengenda
liannya - Faisal Yunus
41. Masalah Respirologi Masa Kini dan Tantangannya di Masa Depan - Eddie Soeria Soemantri
33. Tuberkulosis Uveitis Anterior - laporan. kasus - Suhardjo, Rahajeng Lestari
C C e e r r m m i i n n D D u u
n
n
i i a a K K e e d d o o k k t t e e r r a a n n Daftar Isi :30. Tuberkulosis Milier dengan Tuberkuloma Intrakranial - laporan kasus - Djoko Muljono, Djoko Imam Santoso
27. Perbandingan Hasil Uji Coba ELISA Makro pada Penderita Tuberkulosis Paru Biakan Positif dan Negatif - Anik Widi- janti
17. Keefektifan Paduan Obat Ganda Bifasik Anti Tuberkulosis Dinilai Atas Dasar Kegiatan Anti Mikrobial dan Atas Dasar Kegiatan Pemulihan Imunitas Protektif. 2. penilaian atas dasar kegiatan anti mikrobial paduan obat - RA Handojo, Sandi Agung, Anggraeni Inggrid Handojo
13. Pengobatan Tuberkulosis Paru dengan Strategi Baru Rejimen WHO di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur - Sudijo
8. Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis.- Zul Dahlan
5. Pemberantasan Tuberkulosis pada Pelita VI - Abdul Manaf
4. English Summary Artikel
2. Editorial
- Nawazir Bustami
Masalah tuberkulosis merupakan masalah yang tak habis habisnya dibahas karena penyakit ini masih tetap merupakan problem kesehatan masyarakat yang utama di negara-negara berkembang se perti Indonesia, dan bahkan kembali menjadi masalah di negara negara maju seiring dengan makin prevalennya infeksi HIV.
Mengingat masih merupakan penyakit masyarakat, penanggu langannya tidak hanya cukup dengan pengobatan kasus, tetapi juga mencakup strategi pencegahan dan pemberantasan secara luas, ter masuk program dari Departemen Kesehatan.
Pemberantasan ini tentu tidak lepas dari aspek klinisnya, yaitu diag nosis dan pemilihan obat yang tepat dan adekuat, di samping pence gahan penularan.
Masalah-masalah di atas kembali menjadi topik bahasan Cer min Dunia Kedokteran edisi ini dilengkapi dengan beberapa laporan asus tbc ekstraparu dan yang mengenai masalah respirologi lainnnya.
Selamat membaca.
Redaksi Cermin Dunia Kedokteran mengucapkan
:
Selamat Hari Raya 'Idul Fitri 1417 H
Mohon Maaf Lahir dan Batin
Redaksi beserta Staf
C e r m i n C e r m i n 1997
D u n i a K e d o k t e r a n
D u n i a K e d o k t e r a n
International Standard Serial Number: 0125 – 913X
KETUA PENGARAH REDAKSI KEHORMATANProf. Dr Oen L.H. MSc
- – Prof. DR. Sumarmo Poorwo Soe-
- – Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro
KETUA PENYUNTING
Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa darmo
Dr Budi Riyanto W
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Staf Ahli Menteri Kesehatan, Jakarta. Departemen Kesehatan RI, PEMIMPIN USAHA Jakarta.
Rohalbani Robi
- – Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo
Guru Besar Ilmu Patologi Anatomi – Prof. DR. B. Chandra PELAKSANA
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Guru Besar Ilmu Penyakit Saraf
Sriwidodo WS
Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya.
TATA USAHA
- – Prof. Drg. Siti Wuryan A. Prayitno Sigit Hardiantoro
- – Prof. Dr. R. Budhi Darmojo SKM, MScD, PhD.
Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Bagian Periodontologi
ALAMAT REDAKSI
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Fakultas Kedokteran Gigi Majalah Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Semarang.
Universitas Indonesia, Jakarta Enseval, Jl. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510, P.O. Box 3117 Jkt.
- – DR. Arini Setiawati – Prof. DR. Hendro Kusnoto Drg.,Sp.Ort
Telp. 4208171 Bagian Farmakologi Laboratorium Ortodonti Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Fakultas Kedokteran Gigi Jakarta, Universitas Trisakti, Jakarta
151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976
DEWAN REDAKSI PENERBIT
Grup PT Kalbe Farma
- – Dr. B. Setiawan Ph.D - Prof. Dr. Sjahbanar Soebianto
PENCETAK Zahir MSc.
PT Temprint
PETUNJUK UNTUK PENULIS
Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan
aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidang- yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk meng-
bidang tersebut. hindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai denganNaskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated
diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila telah pernah dibahas atau di- Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuscripts Submitted
bacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh:nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut. Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore. London:
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan William and Wilkins, 1984; Hal 174-9.bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms.
berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mecha-
yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak nisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974; 457-72.mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus di- Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin
sertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pem- Dunia Kedokt. l990 64 : 7-10.baca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih,
dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk.berbahasa Inggris untuk karangan tersebut. Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran,
Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ Gedung Enseval, JI. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510
folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih P.O. Box 3117 Jakarta.disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto. Nama (para) penga- Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu
rang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat secara tertulis.bekerjanya. Tabel/skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas- Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai
jelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat
English Summary THE EFFEC TIVENESS O F BIPHA - SIC C O MBINA TIO N A NTITUBER- C ULO SIS TREA TMENT BA SED O N THE A NTIMIC RO BIA L A C TIVITY A ND O N THE REC O VERY O F PRO TEC TIVE IMMUNITY
2. EVA LUA TIO N BA SED O N THE A NTIMIC RO BIA L A C TIVITY RA Ha nd o yo , Sa nd i A g ung , A ng g ra e ni Ing g rid Ha nd o yo
TUBERC ULO US A NTERIO R UVEITIS Suha rd jo , Ra ha je ng Le sta ri De p t. o f O p htha lmo lo g y, Fa c ulty o f Me d ic ine , G a ja h Ma d a Unie rsity Sa rd jito G e ne ra l Ho sp ita l, Yo g ya ka rta , Ind o ne sia
A c linic a l inve stig a tio n o n the e ffic a c y o f d ua l d rug , two -p ha se , a nti-tub e rc ulo sis re g ime ns. wa s c o nd uc te d in the TB c e ntre o f Ma la ng a nd in the TB c e ntre o f De np a sa r, c o mp rising 300 c a se s o f p ulmo na ry tub e rc ulo sis with p o sitive sp uta o n sme a r a nd o n c ulture a s we ll a nd tha t ha ve ne ve r re c e ive d a ny a nti-TB d rug .
O ne hund re d c a se s we re a llo c a te d a t ra nd o m to a six- mo nth sho rt c o urse re g ime n (HR/
5H
2 R 2 ), 100 c a se s to a 9-mo nth sho rt c o urse re g ime n (HR/ 8H
2 R 2 ) a nd o ne hund re d c a se s to a 12- mo nth c o nve ntio na l re g ime n (HS/ 11H
Asse ssme nt o f the re sult o f
a nti-TB c he mo the ra p y ha s to b e
c a rrie d o ut no t la te r tha n a t the
e nd o f the sixth mo nth tre a tme nt
p e rio d , a s a fte r 6 mo nths, a nti-
tub e rc ulo sis re g ime ns ha ve no
lo ng e r a ny b a c te ric id a l p o te nc y
a nd thus no inc re a se in the ra te
o f sp utum c o nve rsio n ma y b e
e xp e c te d . The 6-mo nth sho rt
c o urse re g ime n g ive n to c a se s
with p re tre a tme nt fully se nsitive
stra ins o f b a c illi, c a n b e c o nsi-
d e re d the id e a l a nti-TB re g ime n
a s wa s e vid e nc e d b y a ma xima l
re sult. Fo r o p tima l re sult, the 6-
mo nth sho rt c o urse re g ime n
a p p e a re d to b e a c c e p ta b le
e ve n whe n no p re tre a tme nt
d rug -susc e p tib ility te st wa s
c a rrie d o ut, Pro lo ng a tio n o f the
tre a tme nt p e rio d fro m six to nine
mo nths, re sulte d in the p re ve n-
tio n o f b a c te rio lo g ic a l re la p se
fo llo wing c e ssa tio n o f a suc c e ss-
ful tre a tme nt.The a p p lic a tio n o f a nti-TB
c he mo the ra p y fo r a p e rio d
lo ng e r tha n 6 mo nths, is me a nt
me re ly to sta b ilize the b a c te rio -
lo g ic a l c ure a c hie ve d d uring the
a c tive tre a tme nt p e rio d .The Ind o ne sia n Asso c ia tio n o f Pul- mo no lo g ists, Ma la ng . Ind o ne sia The TB C e nte r o f Sura b a ya , Ind o ne sia
RESULTS O F MA C RO - ELISA TESTS O N C ULTURE- PO SITIVE PULMO NA RY TUBERC ULO SIS PA TIENTS A nik Wud ija nti De p t. o f C linic a l Pa tho lo g y, Dr. Sa iful Anwa r Ho sp ita l. Fa c ulty o f Me d ic ine , Bra wia ya Unive rsity, Ma la ng , Ind o ne sia
This stud y wa s c a rrie d o ut o n 61 se ra fro m p ulmo na ry tub e rc ulo sis p a tie nts; 35 sé ra a re fro m p a - tie nts with p o sitive sp utum c ul- ture s a nd 26 se ra a re fro m p a - fie nts with ne g a tive sp utum c ul- ture s. The c o nc e ntra tio n o f sp e - c ific lg G a g a inst M. tub e rc ulo sis o f the a b o ve me ntio ne d se ra wa s d e te rmine d b y the ma c ro Elisa te c hniq ue .
The re sult sho we d tha t the c o nc e ntra tio n o f sp e c ific ig G fro m p a tie nts with a p o sitive sp u- tum c ulture we re sig nific a ntly lo we r tha n the c o nc e ntra tio ns o f sp e c ific lg G fro m p a tie nts with a ne g a tive sp utum c ulture (p < 0,05).
C e rmin Dunia Ke d o kt. 1997; 115:27-9 A w
2 R 2 ).
In d e ve lo p ing c o untrie s tub e r- c ulo sis is stil o ne o f the ma in he a lth p ro b le m. The d iffic ulty o f tub e r- c ulo us uve itis d ia g no sis wa s c a use d b y la c k o f b a c te ria l a nd histo lo g ic a l e xa mina tio ns.
A 35 ye a r o ld ma n suffe ring (Be rsa mb ung ke ha la ma n 26)
Bo th sho rt c o urse re g ime ns a p p e a re d to b e sta tistic a lly mo re e ffe c tive tha n the c o nve ntio na l re g ime n in te rms o f "the initia l kill", the ra te o f sp utum c o nve rsio n (b a c te rio lo g ic a l c ure ) a t the e nd o f e a c h mo tnh in tre a tme nt p e rio d , the c ure ra te a t the e nd o f tre a tme nt p e rio d , a nd the true c ure ra te a t the e nd o f a n 18- mo nth fo llo w-up p e rio d . The b a c te rio lo g ic a l c ure ra te a t the
e nd o f first mo nth tre a tme nt
p e rio d a p p ro a c he d 50% whe n
the sho rt c o urse re g ime ns we re
a d ministe re d , a nd a p p ro a c he d
95% a t e nd o f the fo urth mo nth
tre a tme nt p e rio d .
C e rmin Dunia Ke d o kt. 1997; 115:17-26
Ra h, Sa , A lhArtikel ULASAN
Pe m be ra nt a sa n T ube rk ulosis
pa da Pe lit a V I
Abdul Manaf
Perkumpulan Respirologi Indonesia
PENDAHULUAN
Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1992 me- nyatakan tuberkulosis sebagai penyebab kematian nomor 2 dari semua golongan usia dan nomor 1 dari golongan penyakit infeksi. Setiap tahunnya 175.000 meninggal, sekitar 500.000 kasus baru dengan 260.000 tidak terdiagnosis serta mendapat- kan pelayanan yang tidak tuntas. Kenyataan bahwa penderita umumnya dari golongan usia produktip kerja akan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi.
Terabaikannya penyakit ini telah menimbulkan masalah resistensi kuman yang menjadi beban sektor kesehatan. Ancam- an penyebaran infeksi I-IIV turut memperberat rnasalah, oleh karena penderita HIV positip 10 kali lebih mungkin akan men- derita tuberkulosis.
Keinginan pemerintah untuk menanggulangi masalah tuberkulosis yang sejalan dengan keinginan untuk mengentas- kan kemiskinan perlu mendapatkan dukungan lintas program, lintas sektor dan mengikut sertakan LSM maupun meningkat kan peran serta masyarakat untuk secara terpadu mengguna- kan infrastruktur fasilitas pelayanan kesehatan yang telah ada sebagai wadah. Pada kenyataannya masih banyak penderita yang berobat di luar puskesmas, di samping belum adanya ke- seragaman tata laksana penanggulangan.
Keberhasilan beberapa proyek dengan menggunakan re- komendasi WHO, menunjukkan bahwa infrastruktur yang ada sudah baik dan telah siap untuk digunakan. Penggalian sumber daya dan dana yang selanjutnya digunakan secara tepat di samping penataan yang baik dalam program P2TB Paru Na- sional akan meningkatkan pemerataan keberhasilan program P2TB Paru khususnya dan Program Kesehatan pada umumnya dalam mencapai tujuan Kesehatan bagi Semua di tahun 2000.
Hal ini lebih lanjut akan memberikan dampak bagi peningkat- an sumber daya manusia (SDM) serta meningkatkan sektor ekonomi.
Kebijaksanaan operasional baru program P2TB Paru sesuai dengan rekomendasi WHO adalah sejalan dengan kondisi struktur administrasi pemerintahan dengan desentralisasi ke tingkat kabupaten; hal ini akan memudahkan pelimpahan tugas kepada petugas tingkat kabupaten sesuai dengan strategi baru.
SITUASI
Pelaksanaan program pemberantasan yang selama ini di- jalankan di puskesmas belum memperlihatkan hasil yang ber- makna, di samping itu belum terdapat keseragaman diagnosis sesuai lokasi dan klasifikasi berdasarkan kategori pengobatan yang dibutuhkan untuk analisis secara kohort melalui kese- ragaman pencatatan. Lebih dari 50% penderita belum tercakup oleh program yang selama ini dipusatkan di puskesmas dan di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah lainnya maupun sektor swasta.
Pada tahun 1994 telah dilaksanakan evaluasi program bersama dengan WHO dan hasilnya telah diajukan dalam Lokakarya Nasional ke VI. Selanjutnya Dokumen Perencanaan
5 Tahun yang dibuat dengan bantuan konsultan WHO me- rupakan dasar kebijaksanaan operasional yang dimulai pada tahun 1995. Dalam rangka menunjang keberhasilan pelaksana- an program pada tahun 1995, WHO melengkapi strategi pe- laksanaan program dengan mengembangkan strategi DOTS (Direct Observed Treatment Short-Course) karena pengendali- an pengobatan penderita sangat menentukan keberhasilan pengobatannya.
Meningkatnya penyebaran infeksi HIV dan penyakit AIDS
Pertemuan Berkala Ilmiah dan Organisasi (PBIO) Ke-II Perkumpulan Respirologi Indonesia, Palembang 2 -3 Desember 1995 merupakan salah satu faktor meningkatnya penyakit tuber- kulosis di dunia akibatnya daya tahan tubuh yang rendah. Meskipun di Indonesia jumlah penderita HIV/AIDS yang ditemukan terbatas, tetapi peningkatan kasus yang terjadi cu- kup memprihatinkan. Kedua penyakit yang saling mempenga- ruhi akan menjadikan beban ganda bagi petugas kesehatan bila tidak segera ditanggulangi dengan baik.
Telah terbentuknya infrastruktur dan dengan meningkatkan kualitas pelaksanaan program pemberantasan TB Paru pada fasilitas pelayanan kesehatan yang ada akan menurunkan angka kematian dan kesakitan penderita yang umumnya terdapat dalam golongan kurang/tidak mampu serta termasuk dalam golongan usia produktip kerja. Dengan mencegah penyebaran resistensi kuman terhadap obat antituberkulosis, keberhasilan program pemberantasan akan mengandung peningkatan sumber daya manusia (SDM) yang pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara.
Peranan pelayanan kesehatan di luar puskesmas untuk penderita tuberkulosis perlu ditingkatkan, termasuk rumah sakit pemerintah maupun swasta, dokter spesialis dan dokter swasta.
Desentralisasi ke tingkat kabupaten maupun suksesnya pelaksanaan secara terpadu, memerlukan konsolidasi dan kesatuan sudut pandang untuk secara bersama-sama mengambil bagian dalam program P2TB Paru secara nasional. Penggalian sumber daya dan dana dengan pemerataan penggunaan secara tepat dan tata laksana yang baik akan menunjang keinginan pemerintah untukmengentaskan kemiskinan serta meningkat
Kebijaksanaan operasional program pemberantasan tuber- kulosis Paru (P2TB Paru) Pelita VI merupakan antisipasi ter- hadap kondisi pelaksanaan program pemberantasan yang walaupun selama ini telah dijalankan, tetapi belum mem- perlihatkan hasil yang bermakna. Prioritas ditujukan terhadap peningkatan mutu pelaksanaan dan pelayanan, di samping penggunaan obat yang rasional untuk memutuskan rantai penularan serta mencegah meluasnya resistensi kuman tuber- kulosis di masyarakat. Untuk itu usaha yang telah ada harus dilanjutkan dengan beberapa perbaikan sesuai dengan per- kembangan dunia dan Iptek di samping keterpaduan kegiatan seluruh sektor terkait (lintas program maupun lintas sektor) dalam menunjang pelaksanaannya.
Dalam rangka memutuskan rantai penularan dan mencegah meningkatnya resistensi kuman, tujuan utama adalah pen- capaian angka kesembuhan 85% yang kemudian disusul dengan peningkatan cakupan 70% di tahun 2000, yang berdasarkan pengalaman akan menurunkan angka prevalensi separuhnya.
Untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan program dan pelayanan, berdasarkan pengalaman serta hasil evaluasi, perlu dilakukan penyempurnaan kebijaksanaan operasional dengan mengaktifkan serta meningkatkan kualitas infrastruktur yang telah ada di samping mengikut sertakan komponen pelayanan kesehatan di luar program.
Pembentukan Kelompok Puskesmas Pelaksana (KPP) yang terdiri dari Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM) dengan di sekelilinginya terdapat 3-5 Puskesmas Satelit (PS) yang secara keseluruhan mencakup wilayah kerja dengan jumlah penduduk antara 100.000-150.000 jiwa merupakan kondisi ideal bagi kelangsungan program dan menjadi dasar perencanaan mau pun pengembangan selanjutnya.
Dalam kebijaksanaan operasional program P2TB Paru Pelita VI, Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM) merupakan bagian terpenting dalam rangka peningkatan kualitas, khusus- nya dalam rangka penegakan diagnosis secara mikroskopis di laboratorium. Beban kerja pemeriksaan sediaan yang cukup dan pelatihan yang baik akan mempertahankan keterampilan dan meningkatkan kualitas petugas laboratorium. Pemakaian pe- warnaan Ziehl Neelsen dan digunakannya mikroskop binokuler merupakan unsur penunjang yang tidak dapat diabaikan serta menuntut terbentuknya tatalaksana serta jaring-jaring labo- ratorium dalam usaha menjaga dan meningkatkan kualitas (mutu). Pembentukan kelompok-kelompok puskesmas pelak- sana program dengan PRM sebagai tempat pemeriksaan laboratorium secara mikroskopis ini selanjutnya dikembang- kan secara bertahap; dengan demikian puskesmas yang saat ini belum sebagai pelaksana program dapat secara langsung menjadi PS.
Sesuai dengan struktur organisasi Departemen Kesehatan terlihat bahwa untuk mencapai keberhasilan program secara nasional, sejak awal harus dilakukan secara lintas program sesuai dengan beban dan tanggung jawabnya. sesuai dengan rekomendasi WHO berdasarkan Kategori dan Klasifikasi penyakit sangat penting dalam mencegah kegagalan pengobatan dan resistensi kuman dengan keteraturan berobat penderita sampai sembuh. Obat anti tuberkulosis (OAT) yang dipergunakan dalam program pemberantasan tuberkulosis paru terdiri dari beberapa kategori yaitu :
PROGRAM P2TB PARU PELITA VI
a) Kategori 1: 2HRZE/4 H3R3 Untuk penderita Baru BTA positip dan penderita BTA ne- gatip/Rontgen positip sakit berat.
b) Kategori 2 : 2 HRZES/HRZE/5 H3R3E3 Untuk penderita BTA positip kambuh atau gagal dengan pengobatan kategori 1.
c) Sisipan : HRZE Sebagai tambahan pengobatan selama 1 bulan secara intensip apabila setelah selesai pengobatan fase awal, pe- meriksaan sputum hasilnya BTA positip.
d) Kategori 3 : 2 HRZ/2 H3R3, belum disediakan oleh pro- gram saat ini. Paduan obat ini digunakan untuk penderita BTA negatip dengan radiologis positip.
Beberapa daerah sehubungan dengan kondisi setempat, terutama akibat faktor geografis; dalam tahap pengembangan akan didapatkan Puskesmas Pelaksana Program yang tidak dapat dikelompokkan sebagai KPP serta berdiri sendiri. Puskesmas pelaksana program demikian disebut sebagai Puskesmas Pelaksana Mandiri (PPM).
Keberadaan BP-4, Rumah Sakit Pemerintah dan Swasta yang juga menangani penderita tuberkulosis diharapkan dapat
turut terlibat secara aktip dan mempunyai kesatuan sudut pandang. Hal ini akan dapat dicapai dengan koordinasi dan kerja sama yang baik dari tingkat Pusat, Propinsi dan Kabupa ten. Demikian pula halnya dengan Perhimpunan Dokter Ahli Paru (PDPI) maupun Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Eksistensi Balai Laboratorium Kesehatan (BLK.) di seluruh daerah tingkat I perlu dikembangkan, terutama dalam rangka pelatihan tenaga laboratorium dan meningkatkan kegiatan jaga mutu.
Seluruh kegiatan penelitian dan pengembangan termasuk dalam rangkaian penilaian perlu dikembangkan dengan me- libatkan unsur terkait di bawah koordinasi Badan Litbangkes.
Meningkatkan keterlibatan semua unsur pelayanan Pe- merintah dan Swasta maupun peran serta masyarakat dengan lebih mengaktipkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang telah ada. Hal ini merupakan pengamalan strategi DOTS (Direct Observed Treatment Short-Course) sebagai suatu rang- kaian dari kesatuan mata rantai (The Hold Chain). DOTS terutama berperan dalam menjamin keberhasilan pengobatan penderita dengan keteraturan dan ketaatan penderita selama masa pengobatan. Di samping itu juga melengkapi penderita dengan informasi yang cukup jelas mengenai penyakitnya yang dapat disembuhkan serta memberikan semangat agar dapat memenuhi seluruh jadual pengobatannya.
KESIMPULAN
Keberhasilan kebijaksanaan operasional Pelita VI sangat ditentukan oleh kerja sama lintas program dan sektor di setiap tingkat administrasi pemerintahan dengan prioritas utama pada kualitas; pencapaian angka kesembuhan 85% sebagai target diharapkan sesuai dengan pengalaman, maka dalam 5 tahun angka prevalensi akan dapat diturunkan separuhnya di samping mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap obat anti tuberkulosis.
Tatalaksana pengobatan yang baik, pengendalian peng- obatan penderita, pengadaan OAT yang cukup dan tidak ter- putus, pengadaan sarana dan prasarana, penyuluhan, pelatihan dan supervisi, dan peningkatan kualitas pelayanan sangat menentukan keberhasilan program pemberantasan penyakit tuberkulosis paru (P2TB Paru) dengan kebijaksanaan baru.
Dengan ancaman menyebarnya infeksi HIV, penanggu- langan tuberkulosis saat ini perlu ditingkatkan dan merupakan saat yang tepat untuk mencegah terdapatnya dua penyakit pada seorang penderita yang akan menjadikan penanggulangannya lebih sulit lagi.
Pelaksanaan secara terpadu dengan memanfaatkan sumber daya dan dana yang ada perlu ditingkatkan clalam usaha pe- merataan pembangunan kesehatan yang pada akhirnya akan turut mendukung pembangunan di bidang ekonomi serta mengentaskan kemiskinan.
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
. Selama ini umumnya perhatian terarah kepada penatalaksanaan TBP hingga efek terapi diukur dari penyembuhan TBP saja tanpa perhatian yang cukup pada kesembuhan TBE yang menyertai- nya. Timbul kesan seolah-olah penanganan TB paru sudah di- anggap inklusif menyelesaikan pula masalah penanganan TB Ekstraparu yang mungkin menyertainya. Sikap ini tentu me- nyebabkan penatalaksanaan TB tidak sempurna karena mung- kin terapi TBE belumlah tuntas
Tuberkulosis merupakan penyakit yang terjadi akibat in- feksi Mycobacterium tuberculosis complex yaitu kuman M. tuberkulosis, M. bovis, atau M. africanum. Penyakit ini diketahui mengenai hampir semua organ tubuh dalam bentuk TB Paru dan TB Ekstraparu. Pemikiran kemungkinan adanya TBE yang menyertai TBP pada seorang penderita agaknya belum menjadi kelaziman. Dikenal istilah Koch pulmonum, yaitu penyakit paru yang disebabkan M. tuberkulos. Seringkali penyakit tuber kulosis diidentikkan dengan Koch pulmonum, seolah-olah tuber kulosis hanya menimbulkan penyakit paru-paru saja. Sikap ini dapat dihilangkan dengan meningkatkan kewaspadaan dalam mendeteksi penyakit tuberkulosis bentuk lain atau pada organ lain yang mungkin menyertai TB paru.
EPIDEMIOLOGI
Dalam makalah ini akan diuraikan diagnosis dan penata- laksanaan TB berdasarkan hal-hal tersebut di atas.
. Pedoman dan tatalaksana yang baru ini patut dipedomani dan dilaksana- kan.
(3)
dan Depkes RI menyebarluaskan petunjuk Panduan Kemasan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
(6)
Pada tahun 1993 WHO mengeluarkan petunjuk program terapi tuberkulosis
. Sasaran terapi TB dengan demikian haruslah sekaligus mencapai kesembuhan TBP dan TBE.
(4)
Dia gnosis da n Pe na t a la k sa na a n
T ube rk ulosis
Zul Dahlan
Subunit Pulmonologi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Unpad
RS Hasan Sadikin, Bandung
PENDAHULUAN. Penelitian di Jawa Barat menunjukkan kejadian TBE yang tinggi yang menyertai TBP
(4,5)
Beberapa negara maju melaporkan penurunan angka kejadian TBP disertai peningkatan prosentase kejadian TBE. Hal ini berhubungan dengan hal di atas dan adanya metoda diagnosis yang lebih maju terhadap TBE hingga lebih sering bisa ditemukan
. Kuman TB dapat hidup lama tanpa aktifitas dalam ja- ringan tubuh (dormant) hingga sampai saatnya ia aktif kembali. Lesi TB dapat sembuh tetapi dapat juga berkembang progresif atau mengalami proses kronik atau serius. Lesi ini dapat dijumpai secara bersama di organ paru dan ekstraparu ataupun secara sendiri-sendiri. Karena itu dalam penatalaksanaan TB pada umumnya, TB paru pada khususnya, haruslah tercakup usaha yang gigih untuk mencari bukti adanya kejadian TB di organ ekstraparu.
(3)
Tuberkulosis merupakan penyakit sistemik yang dapat mengenai hampir semua organ tubuh, yaitu organ pernafasan (TBparu-TBP) ataupun di organ di luar paru (TB Ekstraparu- TBE)
(2) .
. Dilaporkan bahwa insidensi penyakit ini pada masa kini meningkat di negara tertentu berhubung dengan tingkat infeksi yang tinggi dan terjadinya penurunan daya tahan tubuh akibat kemiskinan atau penyakit AIDS. Di samping itu diakibatkan pula oleh insidensi kasus TB resisten yang semakin tinggi
(1)
Sebagaimana juga halnya di negara-negara berkembang lain, tuberkulosis (TB) di Indonesia masih merupakan salah satu masalah kesehatan yang utama. WHO memperkirakan adanya 20 juta kasus di seluruh dunia, dengan angka kematian sebesar 3 juta pertahun, 80% diantaranya meninggal di negara berkembang
(3)
- limpadenopati cervicales berbentuk paket dengan/tanpa fistel (TB kelenjar, scrofluloderma).
- gejala obstruksi usus subakut yang berulang kali: keluhan nyeri perut/mulas, palpasi adonan roti, perkusi ‘papan catur” (TB rongga perut).
- infeksi saluran kemih yang berulang-ulang dan makin be- rat hingga dapat disertai antara lain kerusakan ginjal, hipertensi atau gagal ginjal (TB saluran kemih).
- abses paravertebral, hiposcoliosis, coxitis (TB tulang/ sendi).
- perikarditis dengan tamponade jantung (TB perikardial).
- tanda-tanda perangsangan meningen dengan penurunan kesadaran (TB meningen).
Di negara-negara maju dilaporkan penurunan angka ke- jadian TBP, tetapi disertai dengan peningkatan kasus TBE. Di Inggris dilaporkan pada tahun 1988 kejadian TBE sebanyak 32% dari 2163 penderita, 57% di antaranya adalah orang India. Sedangkan USA terdapat peningkatan kejadian TBE yaitu tahun 1964 sebanyak 8%, 1981 15%, dan 1986 17,5%. Pasien HIV sebanyak 70% disertai TB terutama TBE. Hal ini menun- jukkan bahwa pengenalan dan diagnosis TBE merupakan hal yang penting di masa yang akan datang
kali, serta berdasarkan pengertian pada perjalanan penyakit tuberkulosis, diagnosis TBE ataupun TBP akan lebih mudah ditegakkan. Jenis-jenis pemeriksaan yang perlu dilakukan ter- gantung kepada bentuk manifestasi TB.
PENDEKATAN DIAGNOSIS (8) .
Hal ini menekankan pentingnya pemikiran dan penegakan diagnosis TBE dan TBP pada saat bersamaan.
(2) .
Penelitian di Jawa Barat dan RS Hasan Sadikin Bandung menunjukkan insidensi TB yang tinggi. Didapatkan sebanyak 41,6% dari 5469 pasien penyakit paru/TB yang dirawat nginap di RS Hasan Sadikin antara 1983-1988 adalah pasien TB, 38,3% di antaranya pasien TB yang dirawat jalan di poli Pulmonologi RSHS menderita TBE
(9) .
(8) .
, dan manifestasi TB multi organ me- rupakan bukti bahwa TB merupakan penyakit infeksi sistemik. Reaksi imunitas tuberkulin (PPD) terhadap kuman TB dapat menjadi tanda adanya TBP atau TBE ataupun kedua-duanya; karena itu usaha penegakan diagnosis dan terapi TB haruslah dilaksanakan secara sistematis terhadap kemungkinan ter- dapatnya TBP dan TBE secara sendiri atau bersamaan
(7)
Adanya reaksi imunitas humoral (terutama IgG) dan selu- lar pada tuberkulosis
- Hb. Anemi bila ada disebabkan oleh peradangan kronik, perdarahan, atau defisiensi.
- Laju Endap Darah (LED). Mungkin meninggi, tetapi tidak dapat merupakan indikator untuk aktivitas penyakit.
- Tes Faal Hati. TB di hati dapat menimbulkan gangguan faal yang ringan berupa retensi BSP (pada 50% kasus), peninggian alkali fosfatase (pada 33% kasus), peninggian SGOT ringan (pada 90%)
(4) .
- Hipokalemi/hiponatremi. Kadang-kadang keadaan ini bisa dijumpai pada TBP milier.
- Serologik/kimiawi. Cairan radang tuberkulosis bersifat eksudat, dan hal ini terbukti bila memenuhi satu atau lebih kriteria di bawah ini: 1) Kadar LDH (Lactic Dehydrogenase) > 200 SI 2) Ratio (LDH CairanfLDH serum) > 0,6 3) Ratio (protein cairan/protein serum) > 0,5.
Didapatkannya Rivalta test (+) dan hitungan sel pada cairan yang menunjukkan mayoritas limposit menyokong adanya eksudat dengan peradangan yang kronik.
1.3. Laboratorium klinik umum
1. Keadaan Klinik
, dengan berbagai bentuk gej ala dan manifestasi TB. Riwayat terapi TB sebelumnya perlu diketahui untuk evaluasi hasil pengobatan, yaitu mengenai jenis paduan obat yang dipakai, lama pemberian, keteraturan berobat.
- Pemeriksaan lain : PPD 5 TU. Hasil (+) tidak menunjukkan tingkat aktifitas. Bisa (-) pada TB yang berat.
1.1. Gambaran Klinik TB Paru Evaluasi keadaan klinik didasarkan keluhan dan gejala utama TB Paru dapat berupa: batuk +1- sputum, pnemonia yang lambat sembuh, demam dan berkeringat, hemoptisis, penurunan berat badan, nyeri dada, ronkhi di puncak paru, sesak nafas, wheezing lokal, lemah badan, anoreksia.
Pada TB Paru milier akut gejala tersebut sangat menonjol dan pada 10-30% disertai manifestasi TB Ekstraparu berupa TB choroid, TB meningen, hepatosplenomegalia, dan kadang kadang Adult Respiratory Distress Syndrome. TB Paru milier kriptik yang terdapat pada orang tua jarang disertai dengan gejala TB Ekstraparu
(11,12) .
1.2. Gambaran Klinik TB Ekstraparu
(11,12) .
Gambaran klinik Ekstraparu harus dicari pada pen- derita TB Paru, terutama penderita TBP yang diduga disertai penyebaran diseminata (TB diseminata). Gambaran klinik yang mencurigakan ke arah TB Ekstraparu antara lain: nyeri pleuri dengan sesak nafas (efusi pleura)
Perlu dipahami perkembangan penyakit yang menahun dan tuberkulosis terjadi secara melompat-lompat
2. Radiologik
Jenis pemeriksaan radiologik yang bisa kita lakukan adalah:
- Foto toraks PA, lateral, lateral decubitus, top lordotic, atau tomogram.
- Foto sendi dan tulang, foto ginjal dengan kontras (IVP), foto abdomen.
a) Foto toraks Perlu diingat bahwa umumnya sulit menentukan tingkat aktifitas TB Paru dan foto toraks karena biasanya terlihat ber- bagai stadium dan paduan gambaran berbagai jenis lesi. Bila terdapat secara bersamaan ambaran infiltrat seperti awan dengan batas tak tegas pada TBP dini, kita mungkin bisa tnenyangka adanya proses TBP yang secara radiologis aktif.
Yang penting adalah pemeriksaan lanjutan dengan foto seri untuk mengevaluasi adanya kemajuan terapi atau perburukan gambaran radiologik yang dianggap sebagai gambaran TB Paru.
Di samping itu perlu diperhatikan penyebab lain dari gam-
(10)
Pemeriksaan bakteriologik dapat juga digunakan untuk evaluasi hasil terapi.
(12) .
baran radiologi yang terlihat, misalnya adanya infeksi sekunder kuman lain berupa pneumonia, adanya tumor paru, aspergillosis, efusi perikardial dan sebagainya. Gambaran radiologik tidak ada yang benar spesifik untuk tuberkulosis paru.
Sifat gambaran non toraks yang dianggap menyokong untuk TB Paru adalah: 1) Bayangan yang terutama menempati bagian atas/puncak paru.
2) Bayangan bercak atau noduler. 3) Bayangan rongga; ini dapat juga misalnya oleh Ca atau abses paru.
4) Kalsifikasi. 5) Bayangan bilateral, terutama bagian paru atas. 6) Bayangan abnormal yang menetap tanpa perubahan pada foto ulangan setelah beberapa minggu. ini membantu menying kirkan kemungkinan pneumonia atau infeksi lain.
Corakan sistem pernafasan yang bisa terlihat pada foto toraks dapat berupa
(13)
: infiltratleksudatif, penyebaran bron- kogen, kalsifikasi, fibroeksudatif/fibrainduratif, gambaran milier, konsolidasi.
Dapat dilakukan berbagai pemeriksaan khusus bila diperlu- kan., yaitu :
4. Pemeriksaan penunjang lain
Mencari gambaran patoligik yang spesifik untuk tuber- kulosis dan jaringan hasil biopsi/aspirasi biopsi dan organ yang sakit seperti kulit, kelenjar, pleura, peritoneum, perikardium, hati, sumsum tulang.
b) Histopatologik
Bahan pemeriksaan dapat berupa: sputum, lesi kulit, sum sum tulang, urine, cairan serebrospinal, cairan pleuralrongga perutlperikardial, cairan sendi. cairan dan pus/fistel.
Pemeriksaan mikroskopik dapat dengan pewarnaan Ziehl Neelsen atau Tan Thiam Hok (gabungan Kinyoun Gabbett), dan biakan dengan cara sederhana
- Funduskopi, pada TB choroid
- Laryngoskopi, pada TB larynx
- Ultrasonografi atau ekhokardiorafi, pada TB mesenterium atau TB perikardium
- Sidik tulang pada TB tulang/sendi
- Bronkoskopi pada TB bronkus • Laparoskopi, pada TB perut.
a) Bakteriologik Dapat dilakukan berbagai cara pemeriksaan bakteriolo- gik kuman TB yaitu secara mikroskopik biasa, mikroskopik fluoresen atau biakan. Biakan adalah cara yang terbaik karena 20-30% lebih mampu menemukan kuman TB, di samping itu dapat untuk memastikan kuman tersebut kuman hidup, dan dapat dilakukan uji kepekaan dan identifikasi kuman bila perlu.
:
Penegakan diagnosis didasarkan kepada gambaran klinik,
Untuk menghindari kesalahan diagnosis dan kesalahan terapi tersebut, diagnosis TB harus ditegakkan secara seragam berdasarkan pedoman yang sistematis dan terarah.
maka keharusan adanya BTA positif untuk membuat diagnosis akan menyebabkan banyak penyakit TBP yang tidak ter- diagnosis. Sebaliknya bila diagnosis boleh ditegakkan tanpa keharusan penemuan BTA, maka akan banyak kasus TBP yang tidak aktif yang mendapat terapi.
(14)
Diagnosis pasti tuberkulosis ditegakkan dengan penemuan M. tuberkulosisterutama dan biakan bahan sputum/jaringan, sedangkan gambaran klinik dan radiologi tidak dapat dijadikan pegangan; tetapi mengingat kesulitan sarana laboratorium di Indonesia untuk pemeriksaan sediaan apus/mikroskopik dan biakan BTA, serta kenyataan bahwa hanya 30-70% saja dari seluruh kasus TBP yang dapat didiagnosis secara bakteriologik
(6)
Berbagai pemeriksaan ini umumnya belum lazim dikerjakan di Indonesia, yaitu
5. Cara identifikasi lain
(4)
Di samping itu juga : efusi pleura,atelektasis, fibrosis pleura, bronkiektasis. National Tuberculosis Association USA (1961) menetap- kan klasifikasi luas lesi gambaran radiologi dan TB Paru yang berguna dalam klinik, yaitu
(11)
: 1) Lesi minimal: lesi dengan densitas ringan sampai sedang tanpa kavitas, pada satu atau dua paru dengan luas total tidak 2) Lesi moderat: lesi terdapat pada 1 atau 2 paru dengan luas total tidak melebihi batas sebagai berikut :
- Pengukuran tingkat pertumbuhan kuman
- Morfologi dan pigmentasi kuman Produksi niacin dan nitrat
- Khromatografi gas dan cairan
- Deteksi antibodi/antigen kuman TB: PAP, immunodifusi, Elisa, floresen antibodi, dan lain-lain.
- Mendeteksi DNA dan kuman TB: Polymerase Chain Re- action (PCR).
- lesi dengan densitas ringan sampai dengan yang terbesar, luasnya sampai volume 1 paru atau yang setara pada kedua paru.
- lesi pada dan berkumpul yang berkumpul yang luas terba- tas sampai sepertiga volume 1 paru. Bila ada kavitas luas diameter total kurang dari 4 cm. 3) Lesi lanjut: lesi yang lebih luas dan moderat.
- Intravenous Pyelography (IVP) dan TB ginjal dapat me- nunjukkan adanya struktur karakteristik berupa distorsi struktur calyx pada kutub I dan ginjal, yang sering disertai dengan pemeri ksaan cystoscopy dan retrograde pyelography.
- Foto tulang dan sendi dapat menunjukkan adanya lesi osteolitik dengan pembengkakan tulang baru, mungkin terjadi fraktur tulang yang patologik.
- Foto abdomen bisa bermanfaat padaTB rongga perut dengan gejala obstruktif.
b) Foto lain
PENEGAKAN DIAGNOSIS
3. Bakteriologiklidentifikasi kuman
1) Diagnosis TB Paru
Pemberian OAT berdasarkan kepada 5 prinsip : terapi sedini mungkin, paduan beberapa obat, diberikan secara teratur, dosis yang cukup, lengkap diberikan sesuai jangka waktunya. Namun hal ini tidak sepenuhnya bisa dilaksanakan karena hambatan faktor sosial, ekonomi dan keah1ian
- Rencana Terapi + + + –
b) hasil pemeriksaan penunjang yang menyokong c) hasil BTA dan histopatologi negatif.
Penulisan/penegakan diagnosis TB yang lengkap akan me- mudahkan evaluasi berat dan luasnya TBP dan TBE pada saat sebelum terapi dan sesudahnya; karena itu penulisan diagnosis sebaiknya ditulis:
1. TB Paru (luas lesi), (corakan paru), aktifitas), dengan gambaran lesi paru lain. 2. (TB Ekstraparu) Pasti/Tersangka.
3. Penyakit penyerta yang ada kaitannya dengan penata- laksanaan TB. Contoh : TB Paru lesi lanjut, fibrokavernosa, aktif, dengan pneumotorak kiri, TB kelenjar cervicalis kanan. Diabetes Mellitus onset dewasa, tak terkontrol.
TERAPI
Yang diuraikan di sini adalah terapi utama TB yaitu kemo- terapi anti TB, sedangkan tindakan lain tidak diuraikan di sini. Tujuan obat kemoterapi anti TB (OAT) adalah:
1) Menyembuhkan pasien dalam jangka pendek dengan gangguan yang minimal. 2) Mencegah kematian karena penyakit yang aktif atau efek lanjutannya. 3) Mencegah relaps. 4) Mencegah timbulnya kuman yang resisten. 5) Melindungi masyarakat dan penularan
(15) .
(16)
. Di negara berkembang penyembuhan yang dicapai di bawah 85% karena hal di atas rang hingga timbul resistensi obat yang ganda dari penyebaran penyakit. Namun bila program terapi terkontrol dan fasilitas pemeriksaan BTA tersedia, pengobatan TB dapat berjalan dengan sukses
(6) .
1) Jenis obat anti TB
OAT utama berupa rifampicin (R), isiniazid (H), pyrazina- mide (Z), ethambutol (E) dan streptomycin (S). Di samping itu terdapat OAT tambahan dengan kemampuan yang lemah yaitu antara lain kanamycin, PAS, tjiiacetazone, ethionamide, golongan quinolone seperti ciprofloxacin.
- – Rencana Terapi + +/–
2) Paduan obat anti TB
OAT digunakan dalam bentuk kombinasi atau paduan obat yang dipilih berdasarkan pengertian akan sifat obat dan ke- ampuhannya terhadap tipe aktifitas dari kuman TB. WHO membuat 3 kategori paduan OAT berdasarkan kepada prioritas terapi (yang tertinggi dan yang terendah). Secara umum yang termasuk prioritas tertinggi adalah kasus baru, TB dengan BTA (+) dan bentuk klikik TB lain yang berat termasuk TBE
(6) .
Kategori I : termasuk TB yang berat:
a) gejala klinik yang sesuai
b) hasil pemeriksaan penunjang yang menyokong c) hasil BTA positif/histopatologi yang spesifik untuk TB.
b) TB Ekstra Tersangka Berdasarkan:
a) gejala klinik yang sesuai
hasil radiologik/pemeriksaan lain, dan bakteriologik. Nilai diagnostik dan yang disebut lebih belakang adalah lebih pen- ting dan yang mendahuluinya.
Selain untuk diagnostik penemuan kasus, ketiga hal tersebut juga bermanfaat untuk evaluasi hasil terapi; terkadang diperlu- kan pemeriksaan penunjang lain.
Ditegakkan berdasarkan klasifikasi TB Paru dengan krite- na sebagai tercantum pada Tabel 1, yaitu terdiri dari TB Paru Bekas, TB Paru Tersangka Aktif atau Tersangka Tak Aktif, dan TB Paru Aktif.
Yang perlu mendapat pengobatan adalah TB Paru Tersang- ka Aktif dan TB Paru Aktif.
Tabel 1. Klasifikasi Diagnosis tuberkulosis Paru Klasifikasi Aktititas
2. TBP Tersangka Kriteria
1. TBP Aktif Aktif Tak Aktif
3. TBP Tidak Aktif
1. Gambaran klinik + + ± –
2. Radiologik + + ± –
3. Bakteriologik + – – –
2) Diagnosis TB Ekstraparu Diagnosis RB Ekstraparu didasarkan kepada gambaran klinik hasil pemeriksaan penunjang dan hasil hakteriologik. Di- agnosis TBE terbagi 2 yaitu TBE Pasti dan TBE Tersangka, tetapi TB Tersangka tergantung kepada keyakinan akan ada tidaknya TBE aktif berdasarkan gambaran klinik.
Tabel 2. Klasifikasi Diagnosis Thberkulosis Ekstraparu Kriteria TBE Pasti TBE Tersangka
1. Gambaran Klinik
2. Pemeriksaan Penunjang