PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN TEMATIK INTEGRATIF EKSTERNAL DAN INTERNAL DI MADRASAH IBTIDAIYAH

  PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN TEMATIK INTEGRATIF EKSTERNAL DAN INTERNAL DI MADRASAH IBTIDAIYAH Oleh : Fatchurrohman, M.Pd

  Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk: 1) menemukan jaringan tema pembelajaran

tematik integratif eksternal di Madrasah Ibtidaiyah; 2) menemukan jaringan tema

pembelajaran tematik integratif internal di Madrasah Ibtidaiyah; 3) merumuskan

model RPP tematik integratif internal dan eksternal di Madrasah Ibtidaiyah; 4)

mengetahui efektivitas pembelajaran tematik integratif internal dan eksternal di

Madrasah Ibtidaiyah.

  Riset ini menggunakan pendekatan kualitatif jenis Research and

Development (R&D), yaitu jenis riset yang dilakukan dengan mengembangkan

model yang sudah ada untuk menghasil model baru yang dianggap lebih efektif

Tahapan kerja dalam R&D ini mengikuti model yang dikembangkan oleh Dick &

Lau Cerey.

  Hasil penelitian menyimpulkan bahwa : 1 ) penyebaran KD pada sub-sub

mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) di Madrasah Ibtidaiyah tidak

dapat masuk pada setiap tema pembelajaran yang disusun oleh Kementerian

Pendidikan Nasional karena squance bahasan pada mata pelajaran PAI di

Madrasah Ibtidaiyah berbeda dengan squance yang ada pada mata pelajaran

yang tercakup dalam tema-tema pembelajaran mata pelajaran lainnya; 2)

penyusunan jaringan tema integratif internal masih sulit dilakukan karena

masing-masing sub mapel PAI memiliki hirarchis pembahasan keilmuan yang

berbeda dengan sub mapel PAI lainnya, sehingga kalau dipaksakan justru tidak

nyambung; 3) dalam penyusunan RPP temaik integratif eksternal ini yang perlu

diperhatikan adalah pada bagian metode dan penilaian, di mana metode

pembelajaran PAI menuntut metode pembelajaran yang menekankan pada

pembentukan akhlaq al karimah, sedangkan evaluai pembelajarannya lebih

ditekankan pada penilaian aspek afektif bukan sekedar kognitif; 4) uji coba

terbatas, di kelas IV MI Mangunsari Kota Salatiga menunjukkan bahwa guru

kelas merasa nyaman dan cocok mengajar dengan model tersebut karena tidak

harus melakukan pergantian jam pelajaran dari tema biasa ke pembelajaran PAI.

Peserta didik juga senang mengikuti pembelajaran tersebut, sedangkan dilihat

dari hasil evaluasinya menunjukkan hasil yang baik.

  Kata kunci : tematik integratif internal, integratif eksternal, scientific approach, madrasah

  PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN

TEMATIK INTEGRATIF EKSTERNAL DAN INTERNAL

DI MADRASAH IBTIDAIYAH Disusun Oleh : Fatchurrohman, M.Pd

  NIP. 197103092000031001 PUSAT PENELITIAN DAN PENGABDIAN PADA MASYARAKAT (P3M) SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA 2 0 1 4 PENELITIAN UNGGULAN

KATA PENGANTAR

  

ميحرلا نمحرلا للها مسب

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

  Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah mencurahkan rahmat-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik tanpa ada halangan yang berarti.

  Kami menyadari sepenuhnya bahwa laporan ini dapat terselesaikan dengan baik karena dukungan berbagai pihak, baik langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu perkenankanlah kami menyampaikan rasa terima kasih kepada : 1.

  Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd selaku Ketua STAIN Salatiga 2. Bapak Mufiq, M.Phil selaku Kepala P3M STAIN Salatiga 3. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd selaku konsultan penelitian 4. Bapak Agus Rahmat Yuwanta, S.Pd selaku Kepala MI Mangunsari, Salatiga 5. Ibu Khoriyatun Nikmah, S.Pd.I dan Ibu Dra. Nurul Aini, guru kelas IV

  Madrasah Ibtidaiyah Mangunsari Salatiga 6. Seluruh informan yang telah memberikan informasi dan data apa adanya yang kami perlukan dalam rangka kegiatan penelitian ini.

  Akhirnya, kami berharap semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi semua pihak yang mempunyai kepedulian terhadap peningkatan kualitas pendidikan, terutama di Madrasah.

  Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

  Salatiga, November 2014 Peneliti,

  

DAFTAR ISI

Hlm.

  

Halaman Judul ………………………………………………………................. i

ii Kata Pengantar ………………………………………………………………… iii Daftar Isi …………………………………………………………….................

  BAB I : PENDAHULUAN …………………………………...........

  1 A. Latar Belakang 1 ………………………………………...........

  B. Objectives ………. …………………………………...........

  3 C. Signifikansi …………………………………………............

  4 BAB II : KAJIAN TEORI 5 ………………………………………….

  A. Kajian Teori ……………….……………………………….

  7 1.

  7 Integrasi Interkoneksi …………………………………..

  2.

  9 Pembelajaran Tematik Integratif ……………………….

  3.

  46 Pendekatan Saintifik …………………………………… 4.

  57 Penilaian Otentik ……………………………………….

  B. Kajian Pustaka .......................................................................

  77 BAB III : METODE PENELITIAN ..................................................

  80 A.

  80 Jenis Penelitian …………………….....................................

  B.

  83 Tempat dan Waktu ………...……………………………….

  C. Subjek Uji Coba Peneli tian …………………………………

  84 D. Teknik Pengumpulan Data ………………………………….

  84 E.

  85 Teknik Analisis Data ……………………………………….

  BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN …………..

  86 A.

  86 Deskripsi Lokasi ...........................………………….............

  B. Paparan Data dan Pembahasan .............................................

  94 1.

  94 Tematik Integratif Eksternal ............................................

  2.

  181 Tematik Integratif Internal di Madrasah .........................

  3.

  187 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Tematik Integratif Eksternal ..........................................................

  4. Ujicoba di lapangan ......................................................... 204

  

BAB V : KESIMPULAN .................................................................... 206

A. Kesimpulan ........................................................................... 206 B. Penutup ................................................................................. 207

Daftar Pustaka …………………………………………….................................. 208

Biodata Peneliti

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejalan dengan perubahan Kurikulum Pendidikan Nasional tahun

  2013, membawa konskwensi berbagai perubahan dalam dunia pendidikan di Indonesia, khususnya dalam pembelajaran di kelas. Kalau Kurikulum sebelumnya (2006) dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) lebih menekankan pada perluasan otoritas sekolah (guru) untuk mengembangkan Kurikulum sesuai dengan keadaan sekolahnya dengan tambahan penekanan pada pendidikan karakter (character education), pendidikan nilai (values education); sedangkan Kurikulum 2013 ini adalah

  based competence yang menekankan scientific approach dalam pembelajaran

  dan dikembangkannya model pembelajaran tematik integratif untuk pendidikan tingkat dasar.

  Dalam lampiran IV Permendikbud Nomor 81A tahun 2013 ditegaskan bahwa pembelajaran di sekolah tingkat dasar dikembangkan secara tematik, keterpaduan lintas mata pelajaran untuk mengembangkan sikap, keterampilan, dan pengetahuan serta mengapresiasi keragaman budaya lokal.

  Pengembangan model pembelajaran tematik integratif pada pendidikan pendidikan tingkat dasar dimaksudkan untuk membentuk peserta didik agar memiliki cara pandang yang integral dalam memecahkan persoalan. Peserta didik dilatih untuk melihat problem secara multiperspektif, bukan one

  

perspectif karena penyelesaian masalah melalui satu sudut pandang ternyata

menghasilkan keputusan yagn kurang arif dan bijak.

  Kalau dikontekskan di Madrasah Ibtidaiyah, maka sebenarnya model pembelajaran tematik integratif tesebut belum memadai, mengingat struktur kurikulum di Madrasah Ibtidaiyah terdiri dari mata pelajaran umum dan agama yang jumlahnya sama banyak. Pembelajaran tematik integratif yang ada sekarang baru mengintegrasikan mata pelajaran-mata pelajaran umum saja, sementara mata pelajaran agama berlum termasuk. Di sisi lain, panduan pembelajaran agama yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan belum dikembangkan secara tematik namun masih pokok bahasan-pokok bahasan. Jika demikian, maka kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tentang pembelajaran tematik integratif di tingkat pendidikan dasar kurang memadai karena hanya mengintegrasikan mata pelajaran umum dengan mata pelajaran umum; padahal di Madrasah Ibtidaiyah ada mata pelajaran umum dan agama.

  Oleh karenanya untuk mewujudkan pembelajaran tematik integratif di Madrasah Ibtidaiyah perlu dikembangkan pembelajaran tematik internal dan eksternal. Pembelajaran tematik integratif internal yaitu pengintegrasian beberapa sub mata pelajaran agama melalui satu tema pembelajaran; sedangkan pembelajaran tematik integratif eksternal adalah pengintegrasian mata pelajaran umum dan agama dalam satu tema pembelajaran. Pengembangan pembelajaran tematik integrative internal perlu dikembangkan dan agama di Madrasah Ibtidaiyah, namun jika keduanya „dilebur‟ maka yang diperlukan adalah pengembangan pembelajaran integratif eksternal. Menurut Husni Rahim (2001:141), pengintegrasian bidang mapel agama dan umum tersebut di Madrasah mampu memberikan nuansa IPTEK yang agamis dan performa agama yang akademis yang mewujud dalam perilaku peserta didik sebagai wujud penghayatan terhadap Keagungan Allah SWT. Dengan bahasa lain, John F. Haught (2004:10) menyatakan bahwa peleburan antara sains dan agama merupakan upaya manusia untuk menemukan kesatua pemahaman terhadap dunia.

  Pengembangan pembelajaran integrtif internal dan eksternal ini sangat diperlukan di Madrasah Ibtidaiyah dalam rangka mewujudkan kesatuan keilmuan yang selama ini dianggap terpecah, yaitu ilmu agama dan ilmu umum, sehingga dapat meluruskan cara pandang sebagian masyarakat muslim yang masih dikhotomik terhadap ilmu; sedangkan secara ekstern, penyatuan kajian keilmuan integratif ini diperlukan dalam rangka memperkuat „daya saing‟ generasi muslim dengan yang lainnya dalam percaturan global. Selain itu, dalam pertemuan Asosiasi PGMI Nasional pada tanggal 20-22 September 2013 di Hotel Royal Orchid Garden Kota Batu Malang, dimunculkan gagasan kemungkinan perlunya dikembangkan pembelajaran tematik integratif internal dan eksternal di Madrasah Ibtidaiyah.

  B.

   Objective

  Kajian ini difokuskan pada pengembangan panduan dan uji coba melalui scientific approach agar selanjutnya dapat dijadikan acuan bagi para pengelola dalam mengembangkan pembelajaran di Madrasah Ibtidaiyah.

  Dalam hal ini ada beberapa persoalan yang dijawab melalui kajian ini: 1. Bagaimana jaringan tema pembelajarantematik integratif eksternal (mapel agama dan umum) di Madrasah Ibtidaiyah?

2. Bagaimana jaringan tema pembelajaran tematik integratif internal (Fiqh,

  Tarih, Aqidah, Akhlaq dan al Qur‟an Hadits) di Madrasah Ibtidaiyah? 3. Bagaimana model RPP tematik integratif internal dan eksternal di

  Madrasah Ibtidaiyah? 4. Bagaimana efektivitas pembelajaran tematik integratif internal dan eksternal di Madrasah Ibtidaiyah dengan menggunakan pendekatan saintifik? C. Signifikansi 1.

  Bagi Madrasah Selama ini, Madrasah diidentikkan dengan sekolah agama yang hanya menekankan pembelajaran agama di sekolah, padahal tidak demikian. Dalam SKB tiga menteri nomor 6 tahun 1975 disebutkan bahwa Madrasah adalah lembaga pendidikan yang menjadikan pelajaran agama sebagai dasar di samping mata pelajaran umum. Kajian seperti ini sangat diperlukan bagi upaya peningkatan mutu lembaga pendidikan Islam khususnya Madrasah Ibtidaiyah melalui penguatan mata pelajaran umum dan agama secara berimbang.

  2. Bagi STAIN Kajian pengembangan pembelajaran tematik integratif internal dan eksternal di Madrasah Ibtidaiyah sangat relevan dengan dinamika STAIN

  Salatiga saat ini yang sedang melakukan „pemekaran‟ kajian keilmuan, dari satu faculty menjadi beberapa faculty, dari satu rumpun keilmuan ke beberapa rumpun keilmuan. Kajian pengembangan eksperimentatif yang melibatkan berbagai rumpun keilmuan ini merupakan bentuk nyata dari pemekaran kajian keilmuan tersebut.

  3. Bagi Kementerian Agama Bagi Kementerian Agama, bidang Mapenda khususnya, hasil kajian ini sangat relevan bagi upaya peningkatan mutu Madrasah

  Ibtidaiyah melalui pencarian format pembelajaran yang tepat. Selama ini, Madrasah Ibtidaiyah (MI) selalu disamakan dengan Sekolah Dasar (SD) dalam berbagai hal termasuk pembelajaran, padahal semestinya tidak demikian. Keilmuan yang dikembangkan di MI jauh lebih luas dibandingkan dengan SD, di mana muatan materi keagamaan yang luas sebagai ciri khusus MI menuntut adanya model pembelajaran yang berbeda pula tentunya. Apalagi mencuatnya semangat pengintegrasian dari berbagai kalangan tentang keilmuan agama dan umum yang selama ini dianggap terpisah, tentunya memerlukan model pembelajaran yang berbeda pula.

  Dengan demikian, hasil kajian pengembangan ini mungkin dapat dijadikan sebagai tawaran model bagi Kemenag dalam rangka menciptakan pembelajaran tematik integratif yang tepat bagi MI.

BAB II KAJIAN TEORI A. Kajian Teori 1. Integrasi Interkoneksi Integrsi interkoneksi merupakan upaya mempertemukan antara

  ilmu-ilmu agama (Islam) dan ilmu-ilmu umum (sain-teknologi-sosial humaniora). Interaksi antara ketiga disiplin ilmu tersebut akan saling memperkuat satu dan lainnya, sehingga bangunan keilmuan masing- masing akan semakin kokoh (Fandy Saputra, 2013:1). Fenomena alam yang terangkum dalam ilmu umum dapat ditemukan rujukannya di dalam ilmu agama yang bersumber dari al Qur‟an, dan berita-berita yang termaktub dalam al Qur‟an dapat dijumpai di alam yang dijelaskan dengan science dan humaniora.

  Integrasi dan interkoneksi ilmu agama dan science digambarkan sebagai berikut.

  (Sumber : diadopsi da

   diakses tanggal 21 Maret 2014 pukul 20.00

  WIB) Menurut Amin Abdullah (2013:11), dalam integrasi intekoneksi ini masing-masing disiplin keilmuan masih tetap dapat menjaga identitas dan eksistensinya sendiri-sendiri, namun terbuka untuk berdialog dan berkomunikasi dengan disiplin keilmuan lain. Tidak hanya berdialog secara internal (dalam satu rumpun keilmuan), namun juga secara eksternal (antar rumpun keilmuan). Ilmu agama dan ilmu umum tidak bisa saling menutup diri dari kontak antar satu dan lainnya, karena kontak dan berkomunikasi dengan disiplin keilmuan lain justru akan menjadi kekuatan yang sinergis antar keduanya.

  Dalam perspektif teologis, menurut Hasan Hanfi (dalam Abdurrahman Mas‟ud, 2002:45), Islam agama religion of nature yang memandang integral antara ilmu agama dan ilmu alam, tidak ada pemisahan. Semakin jauh para ilmuwan mendalami sain maka akan memperoleh wisdom berupa philosophic perennis yang dalam filsafat sering disebut dengan transcendence. Ilmu agama tidak bertentangan dengan science karena ilmu agama terlahir dengan rasio dan rasio bekeja dengan tata logika ilmiah.

  Dengan bahasa lain, Ahmad Watik Pratiknya (1991:105) menjelaskan cara pandang integratif keilmuan dengan bagan berikut.

  

Kebenaran Hakiki

(Allah SWT)

Fenomena Kauniyah Fenomena Naqliyah Alam Semesta

  (Wahyu) Manusia Al Qur’an Hewan-Tumbuhan

  Interpretasi Interpretasi SAIN ILMU AGAMA

  

MANUSIA

2.

  Pembelajaran Tematik Integratif a.

  Pengertian Istilah pembelajaran tematik sering disamakan dengan istilah pembelajaran terpadu, sehinga dalam beberapa literatur para ahli pendidikan sering menggunakan istilah keduanya secara interchangeable.

  Pembelajaran tematik integratif adalah pembelajaran yang menggunakan tema untuk mengaitkan beberapa mata pelajaran untuk mengembangkan aspek afektif, kongnitif, dan psikomotorik peserta didik agar dapat memberikan pembelajaran yang bermakna. Istilah tematik digunakan karena pembelajaran tersebut menggunakan tema untuk mengaitkan beberapa mata pelajaran, sedangkan istilah integratif merujuk pada pengembangan seluruh totalitas diri anak yang mencakup aspek afektif, kognitif, dan psikomotorik.

  Menurut Humpreys (dalam Trianto, 2010:79), pembelajaran terpadu mengeksplorasi pengetahuan mereka dalam berbagai mata pelajaran yang berkaitan dan menjadi lingkungan mereka sebagai sumber belajar.

  Keterkaitan tersebut dapat dilihat dari aspek studi Matematika, Bahasa, Ilmu Alam, Ilmu Sosial, Musik, Keterampilan, Olah raga, dan lainnya.

  Istilah pembelajaran tematik terkadang juga dimaknai sebagai pendekatan dalam pembelajaran (thematic approach), yaitu “...a way of

  

teaching and learning in such a way that many areas of the curriculum are

integrated and connected within a theme. It allows learning to be less

fragmented and more natural

  …”. Pendekatan tematik adalah suatu cara belajar mengajar yang dilakukan dengan cara beberapa tema dalam kurikulum diintegrasikan dan dihubungkan dengan suatu tema. Hal ini untuk mengurangi pemisahan antara materi pelajaran dan pembelajaran lebih alami karena memanfaatkan alam sekitar sebagai sumber belajar.

  b.

  Rasional Ada dua alasan yang mendasari dikembangkannya model pembelajaran tematik integratif, yaitu karakteristik peserta didik dan alasan teoritik. 1)

  Karakteristik anak usia SD/MI Pada masa sekolah dasar ini, karakteristik anak dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pada masa usia 6

  • – 7 tahun dan 8 – 10 tahun. Adapun karakteristik masing-masing fase tersebut adalah sebagai berikut.

  a) Karakter anak usia 6 – 7 tahun

  Kedua hal tersebut perlu dipahami setiap pendidik yang berhadapan dengannya agar dapat memperlakukannya secara tepat.

  (1) Ciri-ciri jasmani

  Ciri-ciri jasmani peserta didik kelas usia 6

  • – 7 tahun adalah: (a) kordinator otot-otot kecilnya bertambah, meskipun kadang- kadang terasa janggal; (b) masa pertumbuhannya lebih lambat, anak perempuan cenderung lebih cepat dibandingkan dengan anak laki-laki; (c) tidak bisa diam, selalu bergerak; (d) senang membuat sesuatu

  (2) Ciri-ciri mental

  Ciri-ciri mental anak usia 6

  • – 7 tahun atau kelas rendah SD/MI adalah: (a) selalu ingin belajar; (b) menanyakan berbagai hal; (c) konsep yang dimiliki masih dalam jangka waktu terbatas; (d) memiliki berbagai variasi dalam membaca; (e) cenderung fokus hanya pada satu atau dua hal dari isi cerita atau pengalaman yang dialaminya; (f) jangka perhatian terbatas, antara tujuh sampai sepuluh menit; (g) proses berpikirnya dalam

b) Karakter anak usia 8 – 10 tahun.

  (1) Ciri-ciri fisik

  Ciri-ciri fisik anak usia 8

  • – 10 tahun adalah: (a) aktif mengembangkan kordinasi otot besar dan kecil; (b) kekuatannya bertambah; (c) ingin menguasai keterampilan besar; (d) senang
olah raga dalam tim dan kegiatan-kegiatan atletik lainnya; (e) mengikuti kata hati (2)

  Ciri-ciri mental kognitif Ciri-ciri mental kognitif meliputi: (a) selalu ingin belajar hal-hal yang baru; (b) kemampuan untuk memahami pandangan orang lain mulai berkembang; (c) mulai mengenal perasaan malu dalam situasi-situasi tertentu;(d) pemahaman konsep berkembang berdasarkan lingkungan sekitarnya; (e) keterampilan menulis dan berbahasa terus berkembang; (f) dapat memahami lebih dari seluruh gambar yang ada; (g) sangat kreatif dan senang menemukan hal-hal yang baru; (h) sangat ingin tahu berbagai hal; (i) mudah mengingat; (j) mengetahui tentang konsep benar dan salah

  (3) Ciri-ciri sosial emosional

  Ciri-ciri sosial emosional yaitu: (a) lebih mengutamakan teman-teman sebaya dalam kelompoknya; (b) pengaruh dari kelompoknya sangat kuat; (c) lebih peka dalam memilih teman; (d) umumnya mudah bergaul dan percaya diri; (e) perilaku bersaing mulai berkembang; (f) peka untuk bermain jujur; (g) memperhatikan perilaku dan perbuatan orang dewasa; (h) kesadaran untuk berperilaku seperti orang yang berjenis kelamin sama mulai berkembang; (i) mulai memisahkan diri dari keluarga,

  (j) selera humor berkembang; (k) mengalami rangkaian emosi : takut

  • – merasa bersalah – marah dan seterusnya; (l) mengetahui peristiwa yang terjadi di sekitarnya, meskipun secara emosional belum cukup dewasa untuk mengatasi akibat-akibatnya (Antony dalam Trianto, 2010:19)

  Anak pada usia 6

  • – 10 tahun pada umumnya berada pada rentangan usia dini yang masih melihat segala sesuatu sebagai satu keutuhan (holistic) sehingga pembelajarannya masih mengandalkan pada benda-benda dan pengalaman empirik yang dialaminya.

  Berkait dengan perkembangan kognitif anak, Jean Piaget (Jeanne, 2011:29) mengemukakan empat tahap perkembangan kognitif individu, yaitu tahap sensori motorik, praoperasional, operasional konkrit, dan operasional formal. Masing-masing tahapan perkembangan kognitif anak tersebut tersebut dapat dirangkum dalam tabel berikut.

  

Tahapan Usia Gambaran Kemampuan

  Sensorimotor Sejak lahir Skematanya sebagian besar

  • – 2 tahun didasarkan pada persepsi dan perilakunya. Khususnya pada tahap awal, anak-anak tidak dapat memahami sesuatu yang baru yang tiba-tiba ada di depannya, dan mereka fokus dengan apa yang sedang ia kerjakan dan lihat pada saat
adalah sebagian dari perwujudan simbol kemampuan berpikir mereka, kini mereka dapat memahami dan mengucapkan akan sesuatu yang ada di depannya secara mendadak. Namun mereka belum mampu mengajukan alasan yang logis sebagaimana cara yang dilakukan orang dewasa. Mampu menambah kosa kata dengan cepat dan mulai mengenal kalimat berstruktur. Mampu berpikir logis setelah usia 4 tahun dan mulai mengenal prinsip-prinsip logika

  Operasi konkrit Usia 6 atau 7 Mulai muncul berpikir logis

  • – 11 atau 12 tahun seperti orang dewasa namun masih terbatas dalam memberikan alasan yang konkrit, situasi kehidupan nyata. Mengakui bahwa pemikirannya dan perasaannya berbeda dengan orang lain, namun dalam kenyataannya belum mampu menunjukkan perilaku pengakuan.
  • – Operasi formal Usia 11 atau 12 tahun Sudah mampu menggunakan dewasa proses berpikir logis untuk mengemukakan ide-ide yang abstrak baik dalam situasi nyata maupun objek yang konkrit. Beberapa kemampuan mulai muncul yang merupakan dasar untuk dikembangkan dalam
Perkembangan setiap individu melalui tahapan-tahapan tersebut, dan tidak ada individu yang melewatinya. Tiap tahap ditandai dengan munculnya kemampuan-kemampuan intelektual baru yang memungkinkan individu memahami realitas dengan cara yang semakin kompleks. Kecepatan perkembangan masing-masing individu tergantung pada tingkat keaktifan anak dalam memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Hal ini berarti bahwa lingkungan anak sangat menentukan proses perkembangan kognitif anak.

  Dalam terminologi Piaget, segala sesuatu yang diketahui dan dilakukan anak diorganisir dalam schemes, yaitu semacam kelompok kegiatan atau pemikiran yang digunakan secara terpisah dalam merespons situasi lingkungan yang berbeda (Jeanne, 2011:28). Dalam aktivitas berikutnya, individu mempelajari sesuatu melalui proses yang disebut asimilasi dan akomodasi, asimilasi terkait dengan objek atau peristiwa yang ada dikaitkan dengan scheme yang telah ada pada individu. Namun terkadang individu tidak dengan mudah menghubungkan antara situasi yang ada dengan scheme yang telah dimilikinya, maka individu kemudian memodifikasi scheme yang ada dengan objek atau peristiwa yang lain yang sudah ada yang ada hubungannya. Proses pemulihan keseimbangan antara pemahaman yang ada dengan pengalaman-pengalaman baru disebut proses equilibrasi. Menurut Piaget, pembelajaran tergantung pada proses ini, di mana saat berkembang. Guru dapat menciptakan situasi yang tidak seimbang dan nantinya dapat menimbulkan anak untuk bertanya karena keingintahuannya (Trianto, 2010:16).

  Pada tahap operasional konkrit (6 atau 7

  • – 11 atau 12 tahun), Piaget mengatakan bahwa proses kemampuan berpikir mereka mulai terorganisir menjadi suatu sistem yang lebih luas, mereka mulai mampu berpikir realistik, logik, mampu share dengan yang lain dan lebih mencerminkan pendapat pribadi dari pada kenyataan yang sesungguhnya. Mereka juga suka memamerkan kemampuan mereka seperti membuat kelompok-kelompok inklusif (Jeanne, 2011:31). Operasi adalah hubungan-hubungan logis antara konsep-konsep atau skema-skema, sedangkan operasi konkrit adalah aktivitas mental yang difokuskan pada objek-objek dan peristiwa nyata dalam kehidupan sehari-hari yang terukur (Desmita, 2010:156).

  Perkembangan kemampuan memori individu pada usia ini tidak jauh berbeda dengan fase sebelumnya, yaitu memori jangka pendek sekitar 15 hingga 30 detik individu mampu menyimpan informasi dengan asumsi tanpa pengulangan. Mereka juga memiliki kemampuan rekognisi yaitu suatu kesadaran bahwa suatu objek atau peristiwa itu sudah dikenalnya atau pernah dipelajari pada masa lalu namun kurang mampu merecall, yaitu proses memanggil atau mengingat kembali dalam ingatan sesuatu yang pernah dipelajari. Namun demikian, mereka disengaja untuk mengingat kembali memori yang dimiliki (Desmita, 2010:158).

  Menurut Matlin (Desmita, 2010:159-160), ada empat memory

  

strategy yang penting, yaitu rehearsal, organization, imagery dan

retrieval . Rehearsal (pengulangan) adalah strategi meningkatkan

  memori dengan cara mengulangi berkali-kali informasi setelah informasi tersebut diterima. Organization (organisasi) merupakan cara membangkitkan memori dengan melakukan pengkategorian dan pengelompokan sesuai dengan kemiripan karakteristik. Imagery (perbandingan) merupakan tipe dari karakteristik pembayangan individu melalui pembandingan. Yuille dan Catchpole menyatakan bahwa memori anak-anak kelas satu sekolah dasar meningkat setelah mereka dilatih membentuk perbandingan interaktif. Retrieval (pemunculan kembali) adalah proses mengeluarkan atau mengangkat informasi dari memori anak dengan isyarat. Keberhasilan penerapan

  

memory strategy tersebut akan dipengaruhi oleh faktor usia, sikap,

motivasi kesehatan, dan pengetahuan anak sebelumnya.

  Pada masa ini, individu mulai bergeser dari sekedar menamai, mengelompokkan benda-benda menuju pada kemampuan dalam mengorganisasi dan menghubungkan sifat-sifat benda. Dengan memberi kesempatan melalui persentuhan dengan benda-benda konkrit dalam pembelajaran, individu pada tahap operasional konkrit mulai dan variabel, mengukur variabel secara bermakna, dapat memahami dan mencatat data pada tabel, membentuk dan memahami hubungan sederhana, menggunakan apa yang mereka ketahui untuk membuat inferensi langsung dan prediksi serta menggeneralisasi suatu gejala dari pengalaman yang mereka jumpai (Depdiknas, 2002:11). Namun demikian, walaupun individu pada fase operasional konkrit ini mampu menujukkan beberapa kemampuan berpikir logisnya, perkemangan kognitif mereka belum sempurna. Dia masih mengalami kesulitan dalam memahami ide-ide abstrak (Jeanne, 2011:32).

  Piaget yakin bahwa pengalan-pengalaman inderawi dan manipulasi lingkungan penting bagi terjadinya perubahan perkembangan. Selain itu, ia juga berkeyakinan bahwa interaksi sosial dengan teman sebaya, khususnya berargumentasi, berdiskusi, membantu memperjelas pemikiran yang pada akhirnya dapat membuat pemikiran itu menjadi semakin logis. (Trianto, 2010:17) c.

  Landasan Teoritik Pengembangan pembelajaran tematik integratif di sekolah didasarkan pada beberapa teori psikologi belajar, yaitu teori perkembangan

  Jean Piaget, teori belajar Konstruktivisme, teori belajar Vygotski, teori belajar Bandura, dan teori belajar Bruner (Trianto, 2010:101). Masing- masing teori tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.

  1) Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget

  Dalam pandangan Piaget, anak memiliki cara tersendiri dalam menginterpretasikan dan beradaptasi dengan lingkungannya. Setiap anak memiliki struktur kognitif yang berbeda-beda dalam memahami lingkungan sekitarnya. Pemahaman individu terhadap objek di lingkungan sekitar melalui proses asimilasi (menghubungkan pengetahuan tentang objek dengan konsep yang sudah ada dalam pikiran) dan akomodasi (proses pemanfaatan konsep dalam pikiran untuk memahami objek). Jika keduanya dapat berlangsung terus menerus maka akan terjadi keseimbangan (equilibration) antara konsep lama dan pemahaman yang baru (Gredler, 1991:311)

  Piaget mengemukakan tahapan-tahapan perkembangan kognitif pada individu. Pada anak usia sekolah dasar, tahap perkembangan kognitif berada pada operasi konkrit. Perilaku belajar yang muncul pada fase tersebut adalah: 1) mulai memandang realitas secara objektif; 2) mulai berpikir oprasional untuk mengklasifikasikan objek-objek yang ada di sekitarnya; 3) mulai menggunakan prinsip-prinsip logika ilmiah yang sederhana; 4) memahami konsep volume, substansi, zat cair, padat, panjang, lebar, luas, berat.

  Melihat perilaku belajar anak usia sekolah dasar sebagaimana tersebut di atas, maka kecenderungan belajar anak-anak usia sekolah dasar adalah konkrit, integratif, dan hirarkhis. Konkrit mengandung benda konkrit yang ada di sekitarnya yang dapat dilihat, diraba, dicium, didengar. Integratif berarti pembelajaran disajikan dalam satu keutuhan, tidak dipisah-pisah dalam berbagai disiplin ilmu. Hirarkhis berarti anak belajar mengikuti alur-alur yang bertahap, dari yang mudah menuju yang sulit, dari yang sederhana menuju yang kompleks. Oleh karenanya dalam menyusun materi untuk anak usia sekolah dasar harus memperhatikan urutan logis, keterkaitan antar materi, keluasan dan kedalamannya.

  2) Teori Belajar Konstruktivisme

  Dalam pandangan konstruktivisme, pengetahuan merupakan hasil dari konstruk kognitif dalam diri individu. Pengetahuan tidak dapat terlepas dari subjek yang bersangkutan. Pengetahuan merupakan konstruk manusia melalui pengalaman yang dimilikinya. Pengetahuan akan selalu berkaitan dengan pengalaman yang dimilikinya akan kehidupan di dunia, namun bukan dunia itu sendiri. Oleh karenanya, tanpa pengalaman seseorang tidak akan memiliki pengetahuan (Sriyanti, dkk.,, 2009:71).

  Menurut Slavin (dalam Trianto, 2010:110), satu prinsip pembelajaran yang terpenting dalam teori konstruktivisme ini adalah bahwa guru dalam mengajar tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada peserta didik (transfer of knowledge). Peserta didik harus diajak bersama-sama membangun pengetahuannya melalui pesrta didik dalam proses menemukan (inquiry) pengetahuan, mempraktikkan ide-ide mereka sendiri dan memberi kesempatan peserta didik untuk mengembangkan strategi pembelajarannya sendiri. Guru hanya menunjukkan jalan berpikir yang benar dan mempersilakan para peserta didik untuk menapakinya agar mencapai tangga berpikir yang tinggi.

  Kaum konstrtuktivis berpandangan bahwa satu-satunya media yang tersedia bagi individu untuk mengetahui dan mengembangkan pengetahuan pada diri individu adalah inderanya. Individu dapat berinteraksi denga lingkungannya melalui inderanya, melihat, mencium, mendengar, menjamah dan merasakannya. Interaksi individu melalui inderanya dengan dunianya akan membentuk pengetahuan pada masing-masing individu.

  Menurut Suparno (dalam Triyanto, 2010:111), dalam konteks pembelajaran, ada beberapa prinsip pembelajaran yang disarikan dari pandangan para konstruktivis yaitu:

  a) pengetahuan dibangun sendiri oleh peserta didik melalui keaktivannya

  b) dalam proses kegiatan pembelajaran, kegiatan ditekankan pada peserta didik

  c) guru mengajar hakekatnya adalah membantu peserta didik dalam menemukan pengetahuan e) kurikulum didesain yang sedemikian rupa yang memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada peserta didik untuk berpartisipasi aktif f) peran guru sebagai fasilitator dalam pembelajaran

  3) Teori Belajar Vigotsky

  Menurut Vigotsky (Trianto, 2010:112), pembelajaran akan terjadi apabila peserta didik bekerja atau mengerjakan tugas-tugas yang belum pernah dipelajari namun masih dalam radius kemampuannya yang disebut zone of proximal development, yaitu perkembangan individu di atas sedikit dari saat ini. Ketika seorang guru memberi tugas kepada peserta didik, pastikan peserta didik telah memiliki bekal pengetahuan sebagai prasarat untuk dapat menyelesaikan tugas tersebut. Vigotsky meyakini bahwa kemampuan mental individu yang lebih tinggi akan muncul melalui interaksi atau percakapan antar individu.

  Satu hal yang terpenting dari Vigotsky adalah scaffolding, yaitu memberikan sejumlah bantuan kepada anak pada tahap-tahap awal perkembangan kemudian lama-kelamaan anak tersebut dapat mengambil alih tanggung jawab tersebut dan mampu mengerjakan sendiri dengan sempurna. Bantuan dari orang dewasa tersebut berupa dorongan, langkah-langkah problem solving, memberikan contoh yang nyata sehingga memungkin anak tersebut dapat memecahkan masalah yang diberikan kepadanya (Trianto, 2010:112).

  4) Teori Belajar Bandura

  Teori belajar yang dikemukakan oleh Bandura sering dikenal dengan teori imitasi, yaitu perilaku individu terbentuk melalui proses peniruan terhada perilaku orang lain yang kemudian dimantapkan dengan cara menghubungkan peniruan tersebut dengan pengalaman dirinya. Proses belajar dalam pandangan teori Bandura terjadi melalui beberapa cara, yaitu imitasi, identifikasi dan belajar model, yaitu orang yang ditiru dan diikuti perilakunya (Sriyanti, dkk.,, 2009:104)

  Menurut Bandur ada empat fase pemodelan, yaitu fase atensi, fase retensi, fase reproduksi, dan fase motivasi (Gredler, 1991:391). Fase atensi adalah fase di mana individu memparhatikan model yang menarik, populer, dan dikagumi. Dalam konteks pembelajaran guru harus mampu menampilkan diri sebagai model bagi pesera didiknya. Fase retensi adalah fase pengkodean dan penyimpanan tingkah laku model dalam memori individu. Pengkodean adalah proses pengubahan pengalaman yang diamati menjadi kode yang disimpan dalam memori. Fase reproduksi adalah fase di mana kode yang disimpan dalam memori dikeluarkan untuk membimbing pembentukan perilaku yang baru pada individu. Perilaku baru yang muncul merupakan perpaduan antara kode dalam memori dan pengalaman individu. Fase motivasi adalah fase di mana individu yang bersangkutan berusaha kuat untuk mewujudkan perilaku sebagaimana model yang disaksikan, individu sangat termotivasi untuk menirunya. Dalam konteks pembelajaran di kelas, guru harus mampu memberi motivasi melalui pujian, hadian atau nilai.

  5) Teori Belajar Bruner

  Teori belajar Bruner dikenal dengan teori belajar inquiry, yaitu model pembelajaran yang menekankan pemahaman tentang ide kunci materi pembelajaran dari suatu materi ajar yang sedang dipelajari, pentingnya belajar aktif sebagai dasar untuk memahami materi yang sebenarnya. Menurut Bruner, belajar akan lebih bermakna bagi peserta didik jika mereka mampu memusatkan perhatiannya pada struktur materi yang dipelajari. Untuk memperoleh struktur informasi, peserta didik harus aktif dalam mengidentifikasi sendiri prinsip-prinsip kunci dari pada hanya sekedar menerima pejelasan dari guru (Trianto, 2010:115).

  Aplikasi konsep Bruner ini dalam pembelajaran menurut Woolfolk adalah: 1) memberikan contoh yang berbeda dengan contoh dari materi yang baru saja diajarkan; 2) membantu peserta didik mencari hubungan antar konsep; 3) mengajukan pertanyaan kreatif dan memberikan kesempatan yang luas kepada peserta didik untuk menemukan jawabannya; 4) mendorong peserta didik untuk membuat dugaan yang bersifat intuitif..

  d.

  Karakteristik Ada berberapa karakteristik dalam pembelajaran tematik integratif itu sendiri. Karakteristik tersebut adalah: 1) berpusat pada peserta didik; 2) memberikan pengalaman langsung; 3) tidak terjadi pemisahan mata pelajaran; 4) menyajikan konsep yang terpadu dari berbagai mata pelajaran; 5) bersifat fleksibel; 6) proses pembelajaran mudah disesuaikan dengan minat dan kebutuhan peserta didik; 7) menggunakan prinsip pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.

  Pembelajaran tematik integratif menjadikan peserta didik sebagai pusat segalanya, artinya berbagai keputusan yang diambil guru terkait dengan pembelajaran, misalnya pemilihan media, metode, organisasi materi, organisasi kegiatan pembelajaran, bahasa pengantar yang digunakan harus didasarkan pada keadaan dan untuk peserta didik. Dalam hal demikian, guru adalah sebagai pelayan (servant) bagi pemenuhan kebutuhan petumbuhan dan perkembangan peserta didik.

  Dalam memberikan leyanan kepada peserta didik guru mengajak mereka untuk melakukan kegiatan praktik langsung di lapangan, sehingga peserta didik memiliki pengalaman empirik. Kegiatan pembelajaran diupayakan semaksimal tidak lagi dikembangkan hanya simulasi dan contoh yang verbalis, peserta didik hanya diajak meyakini kebenaran yang tertuang di dalam buku teks ajar, namun peserta didik diajak melihat, mendengar, meraba bukti-bukti empirik kebenaran yang tertuang di dalam buku teks. Pengalaman langsung ini diberikan kepada peserta didik agar mereka mengkonstruk sendiri pengetahuan mereka melalui sentuhan pengalaman di dunia nyata.

  Pengalaman langsung peserta didik di lapangan tersebut dapat berupa pengalaman untuk mengenali dan memecahkan masalah sosial atu lingkungan yang terjadi di sekitarnya. Dalam hal ini, guru menuntun peserta didik untuk belajar menyelesaikan masalah melalui sudut pandang yang beragam, misalnya sudut pandang ilmu alam, ilmu sosial, ilmu agama dan lainnya. Dengan cara demikian, peserta didik akan terbiasa memandang dan menyelesaikan berbagai persoalannya dengan multi perspective. Cara demikian secara otomatis tidak memecah- mecah atau mengkotak-kotakkan keilmuan (materi ajar) secara ketat, karena pada kenyataan hidup, individu selalu menggunakan berbagai ilmu pengetahuan yang dimilikinya untuk menyelesaikan masalah secara bersamaan.

  Pembelajaran tematik integratif memiliki karakter fleksibel, artinya pemilihan materi dan kegiatan pembelajaran tidak terpadu pada ketentuan yang termaktub dalam buku teks ajar peserta didik. Guru bersama peserta didik dapat merubah tema dan kegiatan pembelajaran pada hari itu manakala dipandang tidak bermakna, tidak menarik dan ada tema dan kegitan yang lebih menarik bagi mereka. Perubahan tema dan kegitan ini dapat dilakukan dengan memperhatikan: a) minat dan kebutuhan peserta didik; b) keadaan lingkungan sekitar; c) ketersediaan daya dukung pembelajaran di sekolah; d) kebermaknaan atau kemanfaatan materi pembelajaran bagi peserta didik.

  Dalam mengembangkan kegiatan pembelajaran bersama peserta didik, guru senantiasa menekankan pembelajaran aktif yang menyenangkan. Pembelajaran aktif dilakukan oleh guru dengan cara melibatkan seluruh indera didik dalam kegiatan pembelajaran, baik pendengaran, penglihatan, kinestetik dan aktivitas pikiran. Kegiatan pembelajaran aktif juga dicapai melalui keaktivan individual dan kerja kolektif.

  Sementara itu, kegiatan pembelajaran yang menyenangkan (funny

  

learning) dilakukan guru melalui variasi metode dan media

  pembelajaran serta penciptaan hubungan yang hangat dalam kegiatan pembelajaran. Pembelajaran yang menyenangkan memungkin peserta didik mampu menangkap konten pembelajaran dengan baik, karena dalam suasana yang menyenangkan individu akan mampu mengoptimalkan kerja memorinya dengan baik. Selain itu, kegiatan pembelajaran menyenangkan merupakan upaya mengaktifkan kerja otak kanan yang akan mampu mendukung daya tahan konsentrasi otak kiri. Beberapa ahli psikologi menuturkan bahwa jika peserta didik diaktifkan kedua belahan otaknya, yaitu otak kanan dan otak kiri maka akan mampu mempertahankan waktu dan daya konsentrasi mereka. e.

  Prinsip-prinsip dasar Dalam mengembangkan pembelajaran tematik integratif di kelas, ada beberapa prinsip dasar yang mesti diperhatikan yaitu: 1) bersifat kontekstual atau terintegrasi dengan lingkungan; 2) bentuk belajar dirancang agar siswa menemukan tema; dan 3) efisiensi (Yuswadiwijaya, 2013:2). Masing-masing prinsip dapat diuraikan sebagai berikut.

  1) Bersifat kontekstual atau terintegrasi dengan lingkungan.

  Pembelajaran yang dilakukan perlu dikemas dalam suatu format keterkaitan, maksudnya pembahasan suatu topik dikaitkan dengan kondisi yang dihadapi siswa atau ketika siswa menemukan masalah dan memecahkan masalah yang nyata dihadapi siswa dalam kehidupan sehari-hari dikaitkan dengan topik yang dibahas. 2) Bentuk belajar harus dirancang agar siswa menemukan tema.