BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Inflasi - PENGARUH INFLASI, PERTUMBUHAN EKONOMI DAN TARIF PAJAK TERHADAP PENERIMAAN PAJAK YANG DIMODERASI OLEH KEBIJAKAN AKUNTANSI (Studi Kasus Pada Perusahaan Food and Baverage Yang Terdaftar Di BEI Periode 2015-2017) - UMBY re
BAB II LANDASAN TEORI
2.1. Inflasi
2.1.1. Pengertian Inflasi Menurut BPS (Badan Pusat Statistik), inflasi sebagai salah satu indikator untuk melihat stabilitas ekonomi suatu wilayah atau daerah yang menunjukan perkembangan harga barang dan jasa secara umum yang dihitung dari indeks harga konsumen. Dengan demikian angka inflasi sangat mempengaruhi daya beli masyarakat yang berpenghasilan tetap, dan disisi lain juga mempengaruhi besarnya produksi barang.
Kenaikan harga ini diukur dengan menggunakan indeks harga. Beberapa indeks harga yang sering digunakan untuk mengukur inflasi antara lain: a. Indeks biaya hidup (customer price index).
b. Indeks harga perdagangan besar (wholesale price index).
c. GNP deflator.
Indeks biaya hidup mengukur biaya/pengeluaran untuk membeli sejumlah barang dan jasa yang dibeli oleh rumah tangga untuk keperluan hidup. Indeks perdagangan besar menitikberatkan pada sejumlah barang pada tingkat perdagangan besar. Sedangkan GNP deflator merupakan jenis indeks yang lain, berbeda dengan dua indeks diatas dalam cangkupan barangnya. GNP deflator mencakup jumlah barang dan jasa yang masuk dalam perhitungan GNP, jadi lebih banyak jumlahnya bila dibandingdengan indeks kedua diatas.
2.1.2. Dampak Inflasi Sutedi, 2012, dampak Inflasi secara umum yaitu Dampak inflasi dari sudut ekonomi, inflasi mengakibatkan terjadinya redistribusi pendapatan dan distorsi harga, distorsi penggunaan uang, serta distorsi pajak.Dampak Inflasi dari sudut Sosial, akibat lanjut dari redistribusi pendapatan adalah kecemburuan sosial yang semajkin tinggi dan bahkan dapat memicu kerusuhan atau krisis sosial (penjarahan dan perampasan). Dampak Inflasi Secara khusus yaitu inflasi dapat menghambat atau mengganggu proses pertumbuhan di sektor riil. Hal ini dikarenakan dengan terjadinya inflasi maka tingkat pembelian masyarakat (permintaan agregat) akan mengalami penurunan dan selanjutnya penurunan ini akan menyebabkan pihak produsen harus mengurangi tingkat produksi yang berujung kepada pemutusan hubungan kerja dan bertambahnya pengangguran. Selain itu, di saat terjadi inflasi maka suku bunga yang ditetapkan otoritas moneter juga meningkat. Oleh karena itu, sektor riil pada saat suku bunga tinggi mengalami kesulitan dana baik untuk meningkatkan produksi atau mengembangkan usahanya karena semakin tingginya dalam biaya modal. Sekian dari informasi ahli mengenai teori-teori inflasi dan dampak inflasi, semoga tulisan informasi ahli mengenai teori teori inflasi dan dampak inflasi dapat bermanfaat.
2.1.3. Penyebab Terjadinya Inflasi
Inflasi terjadi karena naiknya permintaan (Demand Pull Inflation)
Inflasi ini terjadi karena meningkatnya permintaan total yang berlebihan sehingga memberi pengaruh pada harga barang atau jasa.
Meningkatnya permintaan terjadi karena masyarakat memiliki dana yang cukup, kasus ini membuktikan bahwa uang yang beredar di masyarakat lebih banyak daripada yang dibutuhkan. Karena banyaknya uang yang beredar maka daya beli masyarakat akan meningkat sehingga mengakibatkan harga yang meningkat.
Inflasi karena biaya produksi (Cost Pust Inflation)Inflasi
ini terjadi karena adanya peningkatan biaya produksi yang digunakan untuk menghasilkan barang yang dipasarkan. Kenaikan harga yang yang terjadi pada tingkat produsen mengakibatkan barang yang dijual akan mengalami kenaikan untuk menutupi dana produksi.
Imported Inflation adalah inflasi yang terjadi karena adanya
kenaikan harga barang di luar negeri dan berpengaruh kepada negara lain yang memiliki hubungan ekonomi dengan negara tersebut.
Karena itulah inflasi sangat berpengaruh terhadap kegiatan ekspor dan impor.
2.1.4. Pengaruh Kebijakan Fiskal Terhadap Inflasi Kebijakan fiskal menyangkut pengaturan tentang pengeluaran pemerintah serta perpajakan yang secara langsung dapat mempengaruhi total dan dengan demikian akan mempengaruhi harga. Inflasi dapat dicegah dengan melalui penurunan permintaan total. Kebijakan fisikal yang berupa pengurangan pengeluaran pemerintah serta kenaikan pajak akan dapat mengurangi permintaan total, sehingga inflasi dapat ditekan (Nopirin, 2013).
Studi dampak kebijakan fisikal terhadap inflasi biasanya dilakukan dengan mempelajari keterkaitan antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter serta dampaknya terhadap inflasi. Sebagaimana dipahami bahwa dalam kerangka makro ekonomi, kebijakan moneter dan kebijakan fiskal akan memengaruhi inflasi melalui dampak dari kebijakan tersebut terhadap perubahan di sisi permintaan dan penawaran agregat. Yang menjadi pertanyaan adalah kondisi yang bagaimana yang dapat menyebabkan kebijakan fiskal dapat memengaruhi kebijakan moneter dan selanjutnya inflasi.
Salah satu penjelasan yang logis adalah melalui bank sentral yang tidak independen. Jika Pemerintah dapat mengintervensi kebijakan moneter maka terdapat kemungkinan Pemerintah akan menggunakan kekuatan tersebut untuk mendukung kebijakan yang diambil.
Kenaikan output dapat memperkecil laju inflasi. Kenaikan output ini dapat diacapai misalnya dengan kebijaksanaan penurunan bea masuk sehingga impor barang cenderung meningkat. Bertambanya jumlah barang di dalam negeri cenderung menurunkan harga.
2.2. Pertumbuhan Ekonomi
2.2.1. Definisi Pertumbuhan Ekonomi Prof. Simon Kuznet, mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu negara untuk menyediakan semakin banyak jenis barang-barang ekonomi kepada penduduknya, kemampuan ini tumbuh sesuai dengan kemajuan teknologinya dan penyesuaian kelembagaan dan ideologis yang diperlukan.
2.2.2. Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Indonesia Terkait infrastruktur, lemahnya faktor infrastruktur juga dikonfirmasi oleh hasil survei International Institute for
Management Development (IMD). Hasil surveinya pada tahun 2011
menempatkan Indonesia pada peringkat 37 dari 59 negara dengan titik lemah tingkat daya saing Indonesia terletak pada aspek infrastruktur yang meliputi infrastruktur dasar, infrastruktur teknis, infrastruktur sains, kesehatan dan lingkungan hidup, serta pendidikan. Selain lemahnya faktor produksi komplementer tersebut, kualitas pembangunan manusia Indonesia juga dinilai masih rendah. Berdasarkan data dari UNDP pada tahun 2011, kesenjangan indeks pembangunan manusia Indonesia, baik dengan
peer-groupnya maupun dengan negara di kawasan Asia Timur dan
Pasifik, pasca krisis 1998 semakin melebar. Hal ini berarti bahwa kualitas manusia Indonesia yang diukur dari pendidikan, kesehatan dan pendapatan, masih rendah secara relatif dibandingkan dengan negara lain, sehingga akan berdampak terhadap rendahnya tingkat daya saing perekonomian Indonesia secara keseluruhan.
2.2.3. Manfaat Pajak Bagi Pembangunan Hartanti, 2015 hampir setiap proyek pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah dibiayai dari dana pajang yang telah dikumpulkan oleh masyarakat. Sebagaimana di ketahui bahwa dalam APBN terdapat tiga sumber penerimaan yang menjadi pokok andalan: a. Penerimaan dari sektor pajak.
b. Penerimaan dari sektor migas.
c. Penerimaan dari sektor bukan pajak. pajak merupakan sumber terbesar penerimaan Negara. Dari tahun ke tahun, penerimaan pajak selalu meningkat dan memberi adil yang besar dalam penerimaan Negara. Neneng Hartanti dalam bukunya pengantar perpajakan 2015 menjelaskan, System perpajakan dikatakan efektif apabila mampu memberiakan manfaat maksimal bagi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini akan terjadi dengan syarat:
a. Jumlahnya memadai sehingga mampu menopang berbagai kegiatan pemerintah untuk melakukan fungsi pemerintahan dan pelayanan publik.
b. Strukturnya mencerminkan keadilan dalam perpajakan, artinya orang-orang yang lebih kaya dikenakan beban pajak yang lebih tinggi daripada orang-orang yang lebih miskin.
c. Penggunaannya tepat sasaran, tugas pemerintah meyakinkan masyarakat bahwa pajak yang dipungut dari masyarakat memenuhi azas keadilan dalam perpajakan.
2.2.4. Manfaat Pajak Bagi Perekonomian Dan Masyarakat Pajak merupakan sumber utama penerimaan Negara.
Dengan membayar pajak masyarakat akan mendapatkan manfaat:
a. Fasilitas umum dan infrastuktur, seperti jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit, dan puskesmas.
perumahan.
c. Subsidi atas bahan bakar minyak dan pangan.
d. Dan pemilu e. Pengembangan alat trasportasi massa, dan lain-lain.
Uang pajak juga dipakai oleh Negara untuk memberi subsidi barang-barang yang dibutuhkan oleh masyarakat dan membayar utang-utang Negara, menunjang usaha mikro, kecil, dan menegah sehingga perekonomian dapat terus berkembang Hartanti,( 2015).
2.3. Tarif Pajak
2.3.1. Pengertian Tarif Pajak Pemungutan pajak tidak terlepas dari unsur keadilan.
Keadilan dapat diartikan dalam prinsip (undang-undang), ataupun adil dalam pelaksanaannya sehingga dapat menciptakan keseimbangan sosial untuk kesejahteraan masyarakat. Salah satu unsur dalam mencapai keadilan melalui penetapan tarif pajak, yaitu dengan memberikan tekanan yang sama kepada wajib pajak. Tarif pajak adalah besarnya nilai yang digunakan untuk menentukan pajak terutang yang harus dibayar wajib pajak kepada pemerintah sesuai dengan undang-undang yang berlaku Hartanti, (2015).
Tarif pajak adalah ketentuan persentase (%) atau jumlah (rupiah) pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak sesuai dengan dasar pajak atau objek pajak, Rismawati Sudirman dan Antong Amirudin, (2012:9). Sedangkan menurut Suparmono dan Thersia Woro Damayanti, (2010:7) Tarif pajak merupakan tarif yang digunakan untuk menentukan besarnya pajak yang harus dibayar.
Secara umum, tarif pajak dinyatakan dalam bentuk persentase.
2.3.2. Dasar Hukum Dan Pengukuran Tarif Pajak Sedangkan untuk memaksimalkan pendapatan pajak daerah maka pemerintah telah mengatur dalam tarif PPh pasal 17. Menurut
Direktorat Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) yang bertanggung jawab atas kebijakan perpajakan, pajak penghasilan (PPh) didefinisikan sebagai pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan (subjek pajak/Wajib Pajak) atas penghasilan yang diterima atau diperoleh (objek pajak) dalam Tahun Pajak. Ketentuan PPh telah diatur dalam sejumlah pasal dalam UU PPh. Salah satunya adalah
Pasal 17. Dalam UU No. 36 Tahun 2008 (revisi) tentang PPh, Pasal 17 berfungsi dalam mengatur tarif yang diberlakukan Pemerintah terhadap Subjek Pajak. Sebagaimana yang termaksud dalam UU No.
36 Tahun 2008, PPh Pasal 17 menjelaskan secara terperinci tentang tarif yang digunakan untuk menghitung penghasilan kena pajak.
Subjek pajak/Wajib Pajak yang dimasukkan dalam UU ini meliputi Wajib Pajak (WP) orang pribadi dalam negeri dan WP badan dalam negeri/bentuk usaha tetap. Berikut adalah tarif pajak yang diatur dalam PPh pasal 17. Tarif tersebut adalah yang ditentukan oleh pemerintah dan mewajibkan wajib pajak bagi individual untuk tertib membayar pajak.
Pemerintah lewat PPh pasal 31 E menjelaskan, Wajib Pajak tidak perlu menyampaikan permohonan untuk dapat memperoleh fasilitas tersebut. Batasan peredaran bruto sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) adalah sebagai batasan maksimal peredaran bruto yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak badan dalam negeri untuk dapat memperoleh fasilitas pengurangan tarif sesuai dengan Pasal 31 E ayat (1) Undang- Undang Pajak Penghasilan. Peredaran bruto adalah penjualan atau penerimaan hasil usaha. Dalam Laporan Laba Rugi (income
statement) sering dibedakan antara penghasilan yang berasal dari
usaha dan non usaha. Nah istilah peredaran bruto adalah penghasilan bruto (sebelum dikurangi harga pokok dan biaya) yang berasal dari usaha. Sehingga maksud peredaran bruto sebesar Rp50.000.000.000,00 jelas tidak termasuk penghasilan lain-lain yang berasal dari penghasilan non usaha. Alasan diberikannya insentif ini adalah Untuk mendukung program pemerintah dalam rangka pemberdayaan UMKM. Mengurangi beban pajak bagi WP badan UMKM akibat penerapan tarif tunggal PPh Badan.
Lapisan Penghasilan Kena Pajak (PKP) Tarif Pajak
Sampai dengan Rp50.000.000 5% Di atas Rp50.000.000-Rp250.000.000 15% Di atas Rp250.000.000-Rp 500.000.000 25% Di atas Rp 500.000.000 30%
Sedangkan yang diatur dalam PP no 46 adalah Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan yang menerima penghasilan dari usaha dengan peredaran bruto (omzet) tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak, akan dikenai pajak dengan tarif Pajak Penghasilan (PPh) yang bersifat final sebesar 1% (satu persen). Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013 tentang PPh atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Dalam PP tersebut diatur juga tentang kriteria Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan yang tidak dapat memanfaatkan aturan ini.
Wajib Pajak badan yang belum beroprasi secara komersial.
a.
Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 tahun setelah b. beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp.4.800.000.000,00 ( empat mliar delapan ratus juta rupiah ) Dan mewajibkan Wajib Pajak dalam ketentuan PP no 46 adalah sebagai berikut: Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak a. termasuk bentuk usaha tetap. Menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk b. penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
Pendapatan pajak juga dipengaruhi oleh kepatuhan pajak, baik wajib pajak individual maupun wajib pajak badan. Terdapat banyak sekali sumber pendapatan pajak bagi pemerintah, yang telah diatur dalam undang-undang negara. Pendapatan pajak juga di pengaruhi oleh besaran tarif pajak yang berlaku dan diukur dangan presentase tingkat golongan pendapatan. Semakin besar pendapatan ataupun penghasilan maka tingkat tarif pajak juga akan tinggi.
2.3.3. Wajib Pajak Badan Dalam Negeri Dan Bentuk Usaha Tetap Tarif pajak penghasilan (PPh) pasal 21 dengan wajib pajak badan dan badan usaha tetap(BUT) adalah 25%. Tarif ini hanya berlaku bagai perusahaan atau badan atau badan usaha tetap yang berbentuk perseorangan, CV, dan Firma serta bagi perseroan terbatas (PT) berlaku dua tarif, yaitu 25% dan 20%. Tarif 25% berlaku bagi badan yang berbentuk perseroan terbatas (PT), yaitu memiliki jumlah saham yang distor atau di jual kurang dari 40%.
Khusus bagi badan yang berbentuk perseroan terbatas (PT) yang memiliki jumlah saham yang disetor yang diperdagangkan di Bursa Efek, apabila jumlah sahamnya lebih besar atau paling sedikit dari 40% maka tarifnya 5% lebih rendah dari tarif yang berlaku, yaitu 20% (Pengantar Perpajakan, 2015)
2.4. Penerimaan Pajak
2.4.1. Pajak Penghasilan Pajak penghasilan (PPh) merupakan pajak yang dikenakan terhadap penghasilan yang diperoleh oleh subjek atau wajib pajak selama satu tahun pajak berjalan. Pajak penghasilan secara umum banyak jenisnya bergantung pada penghasilan tersebut diperoleh.
Contohnya, penghasilan yang berasal dari suatu pemberi kerja dan pekerjaan bebas umumnya diatur dalam Pajak Penghasilan (PPh)
Pasal 21 (Hartanti, 2015). Penghasilan kena pajak badan, untuk dapat menghitung PPh terlebih dahulu harus diketahui dasar pengenaan pajaknya, terutama besarnya penghasilan kena pajak. Untuk Wajib Pajak
(BUT) yang menjadi dasar pengenaan pajak, yaitu penghasilan kena pajak. Penghasilan kena pajak (WP badan) = laba usaha(EBT).
2.4.2. Sumber Penerimaan Pajak Samman, (2015), Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara yang digunakan untuk membiayai pengeluaran negara. Untuk melaksanakan pembangunan dibutuhkan dana yang tidak sedikit, dan ditopang melalui peneriman pajak. Oleh karena itu, pajak sangat dominan dalam menopang pembangunan nasional. Pemungutan pajak tercantum dalam UUD 1945 yang dalam tataran pelaksanaannya melalui pembentukan undang-undang. Hal ini dimaksudkan dalam aspek hukum melahirkan suatu norma yang disepakati dan dipatuhi bersama. Namun demikian dalam pemungutan pajak banyak aspek yang mempengaruhi target-target yang akan dicapai, seperti laju pertumbuhan ekonomi, inflasi, nilai tukar, serta asumsi harga. Oleh karena itu, perlu strategi melalui perluasan basis pengenaan pajak, intensifikasi, dan penyuluhan kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan kesadaran membayar pajak.
Dengan semakin tingginya pertumbuhan ekonomi, maka semakin tinggi pula penghasilan dari transaksi bisnis yang dilakukan oleh masyarakat, sehingga pajak dalam negeri yang bisa dihimpun semakin tinggi. Demikian sebaliknya terjadi apabila tingkat pertumbuhan ekonomi menurun. Asumsi inflasi mempengaruhi sisi pendapatan negara pada penerimaan pajak dalam negeri. Dengan semakin tingginya tingkat inflasi maka penerimaan pajak dalam negeri akan semakin tinggi, dan sebaliknya. Dari tingginya pertumbuhan ekonomi tersebut maka akan mendongkrak perekonomian negara dan memperluas peluang bisnis bagi masyarakat dan mewajibkan masyarakat slaku pelaku bisnis untuk membayar pajak atau dengan kata lain sebagai wajib pajak. Dengan kata lain sumber terbesar pendapatan negara adalah pelaku bisnis ataupun wajib pajak. Maka sumber penerimaan pajak terbesar adalah pelaku bisnis dan juga wajib pajak.
2.5. Kebijakan Akuntansi
2.5.1. Pengertian Kebijakan Akuntansi Kebijakan akuntansi adalah prinsip, dasar, konvensi, peraturan, dan praktik tertentu yang diterapkan entitas dalam penyusunan dan penyajian laporan keuangan (sumber: PSAK25). Kebijakan akuntansi adalah batang tubuh standar akuntansi, pendapat, penafsiran, aturan, dan regulasi yang digunakan oleh perusahaan-perusahaan dalam melaporkan keuangan mereka. Kebijakan akuntansi suatu perusahaan mencakup “metode-metode dianggap sebagai prinsip-prinsip yang paling tepat untuk keadaan saat itu, untuk menyatakan secara wajar posisi keuangan, perubahan dalam posisi keuangan, dan hasil operasi sesuai prinsip-prinsip yang berlaku secara umum yang karenanya telah dipakai untuk menyusun laporan keuangan tersebut.
Jika SAK EMKM (Standar Akuntansi Keuangan Entitas Mikro Kecil Menengah) tidak secara sepesifik mengatur perlakuan akuntansi atas suatu transaksi, peristiwa, atau keadaa lainnya, maka entitas hanya mengacu pada dan mempertimbangkan definisi, kriteria pengakuan, dan konsep pengukuruan untuk aset, liabilitas, penghasilan, dan beban, serta prinsip pervasif (sumber: SAK, 2016)
Utomo, (2013) teori akuntansi positif berupaya menjelaskan sebuah proses, yang menggunakan kemampuan, pemahaman, dan pengetahuan akuntansi serta penggunaan kebijakan akuntansi yang paling sesuai untuk menghadapi kondisi tertentu di masa mendatang. Teori akuntansi positif pada prinsipnya menjelaskan dan memprediksi praktik akuntansi. Teori akuntansi positif merupakan studi lanjut dari teori akuntansi normatif karena teori akuntansi normatif gagal dalam menjelaskan fenomena praktik yang terjadi secara nyata. Teori akuntansi positif mempunyai peranan yang sangat penting dalam perkembangan teori akuntansi. Teori akuntansi positif dapat memberikan pedoman bagi para pembuat kebijakan akuntansi dalam menentukan konsekuensi dari kebijakan tersebut.
Semakin besar biaya politik yg dihadapi perusahaan, lebih memungkinkan manajer untuk memilih prosedur akuntansi yg menangguhkan pelaporan laba dari periode sekarang ke periode mendatang (Scott, 2009). Pengaruh atas proses politik dapat menciptakan insentif bagi perusahaan yang sensitif secara politis untuk memilih akuntansi yang menunda pelaporan laba. Watts dan Zimmerman (1986) dalam teori akuntansi positif menyatakan bahwa ukuran perusahaan digunakan sebagai pedoman biaya politik dan biaya politik akan meningkat seiring dengan meningkatnya ukuran dan risiko perusahaan. Perusahaan-perusahaan besar lebih sensitif secara politis dan memiliki transfer kekayaan relatif lebih besar dikenakan pada mereka daripada perusahaan-perusahaan kecil.
Maka dari itu terkait dengan biaya politik, ukuran perusahaan yang besar relatif untuk mengurangi laba mereka agar biaya politik perusahaan berkurang. Revaluasi aset tetap diharapkan dapat mengurangi laba kini perusahaan karena revaluasi aset dapat meningkatkan nilai aset perusahaan sehingga dapat meningkatkan biaya depresiasi dari perusahaan. Selain biaya depresiasi yang bertambah dibutuhkan biaya penilaian aset jika perusahaan melakukan revaluasi aset. Mengurangnya laba kini perusahaan diharapkan dapat mengurangi biaya politik perusahaan, hal ini semakin menarik perhatian publik dan pemerintah. Jika perusahaan besar memiliki laba yang kecil diharapkan akan mengurangi pengawasan serta perhatian publik dan pemerintah.
Laporan keuangan perusahaan dihasilkan dari satu paket kebijakan akuntansi yang meliputi beberapa kebijakan akuntansi, sehingga laporan keuangan mencerminkan lebih dari satu metode akuntansi. Kebijakan akuntansi yang diteliti meliputi gabungan dari kebijakan penilaian persediaan, depresiasi aktiva tetap dan penyajian piutang usaha. Kebijakan penilaian persediaan, depresiasi aktiva tetap dan penyajian piutang usaha dipilih karena ketiga kebijakan akuntansi ini ada pada setiap perusahaan manufaktur.
Sehubungan dengan itu pemahaman atas laporan keuangan tidak dapat dilihat hanya dengan mengkaji satu metode akuntansi saja.
2.5.2. Perubahan Kebijakan Akuntansi Entitas mengubah kebijakan akuntansinya hanya jika perubahan tersebut:
a. Disyaratkan berubah sesuai dengan SAK EMKM
b. Akan menghasilkan laporan keuangan yang menyediakan informasi yang andal dan lebih relevan mengenai pengaruh transaksi, peristiwa, dan kondisi lain terhadap posisi keuangan atau kinerja keuangan.
Hal- hal berikut ini bukan merupakan perubahan kebijakan akuntansi: a. Penerapan kebijakan akuntansi untuk transaksi, peristiwa, dan kondisi lain yang berbeda secara substansi dengan transaksi, peristiwa, dan kondisi lain yang terjadi sebelumnya.
b. Penerapan kebijakan akuntansi baru untuk transaksi, peristiwa, dan kondisi lainnya yang belum terjadi sebelumnya atau tidak material.
2.5.3. Kebijakan Akuntansi Metode Persediaan Sartono, (2010) Persediaan pada umumnya merupakan salah satu jenis aktiva lancar yang jumlahnya cukup besar dalam suatu perusahaan.hal ini mudah dipahami karena persediaan merupakan faktor penting dalam menentukan kelancaran operasi perusahaan, ditinjau dari segi neraca persediaan adalah barang-barang atau bahan yang masih tersisa pada tanggal neraca, atau barang-barang yang akan segera dijual, digunakan atau diproses dalam periode normal perusahaan.
Dalam persediaan terdapat terdapat 2 metode yaitu:
a. FIFO
James, (2012) Kebanyakan perusahaan menjual barang berdasarkan urutan yang sama dengan saat barang dibeli. Hal ini terutama dilakukan untuk barang yang tidak tahan lama dan barang yang mode dan modelnya sering berubah. Sebagai contoh, toko bahan makanan mengatur rak produk susu berdasarkan tanggal kadaluwarsa. Oleh karena itu, metode FIFO sering konsisten dengan arus fisik atau pergerakan barang. Dalam kasus ini, metode FIFO memberikan hasil yang kurang lebih sama dengan hasil yang diperoleh dari metode identifikasi biaya spesifik untuk setiap unit yang terjual dan yang masi ada dalam persediaan.
b. Rata-Rata
James, (2012) saat metode biaya rata-rata digunakan dalam sistem persediaan perpetual, biaya unit rata-rata untuk setiap jenis barang dihitung setiap kali terjadi pembelian. Kemudian, biaya unit ini digunakan untuk menghitungn biaya setiap penjualan sampai pembelian lain dilakukan dan biaya rata-rata yang baru dihitung. Teknik rata-rata seperti ini disebut rata-rata bergerak. Karena metode rata-rata jarang digunakan dalam sistem persediaan perpetual.
2.5.4. Depresiasi Depresiasi adalah alokasi jumlah suatu aktiva yang dapat disusutkan sepanjang masa manfaat yang diestimasi. Penyusutan untuk periode akuntansi dibebankan ke pendapatan baik secara langsung maupun tidak langsung (PSAK. NO.17)
Dalam perusahaan terdapat beberapa metode depresiasi yang umum digunakan. Sesuai dengan pengertian depresiasi diatas, dimana mengharuskan seorang akuntan untuk menggunakan metode depresiasi yang rasional dan sistematis.
1. Metode Garis Lurus (Straight-Line Method) Metode ini disebut juga Straight-Line Method dan merupakan metode yang paling sering digunakan untuk menghitung beban penyusutan. Metode ini fokus pada penyusutan sebagai fungsi dari waktu dan bukan dari fungsi penggunaan.
Rumus perhitungannya sebagai berikut:
- (+,( !"+./"ℎ(# 1&"' 2"'(3 − 56/(6 7"&68% !"#$%&%'(# =
9:%+ ;<.#.:6& 1&"' 2"'(3 Namun penggunaan metode ini dinilai kurang realistis karena kegunaan aktiva sama setiap tahunnya.
2. Metode Beban Menurun (Decreasing Charge Method) Metode ini merupakan metode penyusutan dipercepat dimana menyediakan biaya penyusutan lebih tinggi pada tahun awal dan beban rendah pada periode selanjutnya. Fokus utama pada metode ini adalah beban penyusutan lebih banyak pada tahun awal karena aktiva mengalami penurunan pada tahun tersebut.
2.5.5. Piutang
Piutang merupakan suatu pos yang terdapat dalam kegiatan aktiva lancar yang dapat dengan cepat diuangkan menjadi kas.
Dalam hal ini pemberian piutang ini akan banyak hal yang perlu diperhatikan yang sangat mempengaruhi utang dagang.
Dari definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa piutang merupakan tuntutan yang diharapkan dapat diterima dalam bentuk tunai berupa uang atau dapat disamakan dengan uang.
Piutang adalah tagihan yang diharapkan untuk diterima dalam bentuk kas. Piutang diklasifikasikan menjadi piutang dagang (account receivable), piutang wesel (notes receivable) dan piutang lainnya (other receivables).
Piutang dagang adalah jumlah terhutang oleh pelanggan karena transaksi penjualan secara kredit. Perusahaan berharap untuk menerima pembayaran kas dalam jangka waktu 30 hari sampai dengan 60 hari. Piutang wesel adalah jenis tagihan dengan instrumen formal yang diterbitkan sebagai bukti hutang. Piutang wesel biasanya menuntut pembayaran dalam jangka waktu 60 hari sampai dengan 90 hari dan menuntut debitur untuk membayar bunga. Piutang lainnya seperti piutang bunga, peminjaman kepada karyawan perusahaan, dan pengembalian pajak penghasilan.
Biasanya piutang lainnya tidak disebabkan oleh operasional bisnis.
Setelah perusahaan mencatat piutang dagang, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana perusahaan melaporkan piutang dalam laporan keuangan? Perusahaan melaporkan piutang dagang dalam laporan posisi keuangan dalam kelompok aktiva. Namun menentukan jumlah piutang yang harus dilaporkan seringkali menjadi sulit karena beberapa piutang mungkin saja tidak dapat ditagih.
Untuk memotivasi debitur melunaskan hutangnya, tidak jarang perusahaan memberikan diskon apabila debitur melunaskan hutang tersebut dalam jangka waktu yang ditentukan perusahaan. Namun perusahaan tetap mencatat piutang yang tidak tertagih sebagai Bad Debt Expense. Ada dua jenis metode yang digunakan dalam mencatat piutang tidak tertagih.
Direct write-off method. Dengan metode ini, ketika perusahaan
memastikan jumlah tertentu atas piutang tak tertagih, perusahaan langsung membebankan kerugian pada Bad Debt Expense. Bad Debt
Expense memperlihatkan kerugian yang aktual atas piutang yang
tidak tertagih. Namun metode ini tidak dapat diterima untuk tujuan pelaporan keuangan apabila kerugian bad debt tidak signifikan.
Allowance method. Metode ini melibatkan estimasi piutang tak
tertagih setiap akhir periode. IFRS menghendaki allowance method untuk tujuan pelaporan keuangan. Metode ini memiliki tiga fitur penting, yaitu: 1. perusahaan mengestimasi piutang tak tertagih sehingga dapat mencocokan beban terhadap pendapatan dalam periode akuntansi di mana mereka mencatat pendapatan.
2. Perusahaan mendebit piutang tak tertagih pada Bad Debt
Expense dan mengkreditkannya ke Allowance for Doubtful Accounts sebagai jurnal penyesuaian pada tiap akhir periode.
3. Ketika perusahaan menghapus jumlah tertentu, mereka mendebitkan jumlah piutang tak tertagih yang sebenarnya pada
Allowance for Doubtful Accounts dan mengkreditkan jumlah tersebut pada Accounts Receivable.
2.6. Penelitian Terdahulu
Tabel 2.1 Penelitian TerdahuluNo Penulis Judul variabel Hasil penelitian penelitian
1. Ndari Dampak Independen Pengaruh pengeluaran surjaningsih, kebijakan (X): pemerintah terhadap PDB Diah utari, fiskal kebijakan dibandingkan dengan pajak Budi trisnanto terhadap fiskal. menunjukan masih cukup (2012) output dan Dependen efektifnya kebijakan ini untuk inflasi. (Y): Output menstimulasi pertumbuhan dan inflasi ekonomi khusunya dalam masa resesi dibandingkan dengan pajak.
2. Rulyusa pratikto, Mohammad ikhsan (2016)
Inflasi Makanan dan Implikasinya terhadap Kebijakan Moneter di Indonesia Fo
od Inflation and Monetary Policy Implication in Indonesia
Independen (X): Inflasi makanan.
Dependen (Y): Kebijakan moneter.
Adanya keterkaitan antara komponen pada inflasi itu sendiri, dalam hal ini kelompok komoditas makanan dan non- makanan. Inflasi makanan memiliki pengaruh positif terha dap inflasi non-makanan dan inflasi agregat, namun tidak sebaliknya. Inflasi non-makanan sendiri berperan positif terhadap pergerakan inflasi agregat, yang memberikan implikasi bahwa pengendalian inflasi di Indonesia relatif kompleks jika terjadi peningkatan inflasi makanan.
3. Novi Maryaningsih, Oki Hermansyah, Myrnawati Savitri, (2014)
Pengaruh Infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi IndonesIa
Independen (X): Infrastuktur negara.
Dependen (Y): Pertumbuhan ekonomi
Kondisi infrastruktur jalan dan listrik berdampak signifikan terhadap pertumbuhan pendapatan per kapita, namun tidak demikian dengan pelabuhan. Terakhir, investasi terbukti secara empiris sebagai faktor pendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia.
4. Bayu Rochmad, (2013)
Pengaruh leverage, bonus plan, dan Kekuatan buruh Terhadap kebijakan akuntansi
Independen (X): leverage, Bonus plan dan kekuatan buruh. Dependen (Y): Kebijakan akuntansi.
Leverage merupakan variabel independen yang berpengaruh negatif terhadap pemilihan kebijakan akuntansi. Hal ini berarti semakin tinggi leverage , maka akan memilih kebijakan akuntansi yang menurunkan laba. Bonus plan merupakan variabel independen yang berpengaruh positif terhadap pemilihan kebijakan akuntansi. Hal ini berarti semakin tinggi bonus plan, maka akan memilih kebijakan akuntansi yang menaikan laba. Kekuatan buruh merupakan variabel independen yang berpengaruh negatif terhadap pemilihan kebijakan akuntansi. Hal ini berarti semakin tinggi kekuatan buruh , maka akan memilih kebijakan akuntansi yang menaikan laba.
5. Eddi Wahyudi Bunasor Sanim Hermanto Siregar Nunung Nuryartono, (2009)
Pengaruh economic shock terhadap penerimaan pajak pada kantor wilayah pajak di indonesia
Independen (X):
Economic
shock.
Dependen (Y): Penerimaan pajak.
Dari hasil analisis data panel terhadap 31 Kanwil DJP seluruh Indonesia diketahui bahwa fluktuasi variabel TEWS berpengaruh positif terhadap kinerja penerimaan pajak di Kanwil Khusus, Kanwil WP Besar 1 dan 2, Kanwil Jakarta Selatan dan Kanwil Jakarta Pusat.
6. Oktiya Damayanti Suhadak Maria Goretti Wi Endang Nirowati Pamungkas
Pengaruh tingkat inflasi, economic growth, dan tarif pajak terhadap penerimaan pajak di negara- negara asia (studi pada world bank periode 2005-2014)
Independen (X): Inflasi, pertumbuhan ekonomi, tarif pajak.
Dependen (Y): Penerimaan pajak.
1. Uji variabel independen secara bersama- sama membuktikan bahwa H1 dapat diterima. Hal itu berarti tingkat inflasi, economic growth, dan tarif pajak berpengaruh terhadap penerimaan pajak di negara- negara Asia secara bersama- sama.
2. Uji masing-masing variabel secara parsial memberikan hasil sebagai berikut :
1. Tingkat inflasi secara parsial berpengaruh terhadap penerimaan pajak di negara-negara Asia (H2 diterima).
2. Economic growth secara parsial berpengaruh pajak di negara-negara Asia (H2 diterima).
3. Tarif pajak secara parsial berpengaruh terhadap penerimaan pajak di negara- negara Asia (H2 diterima).
7. Luqman Potensi fiskal Independen Pertumbuhan ekonomi Khakim, Iwan terhadap (X): Potensi berpengaruh negatif terhadap Hermawan, pertumbuhan fiskal. kesejahteraan masyarakat Achmad ekonomi dan Dependen artinya kondisi yang terjadi di Solechan,Tripr kesejahteraan (Y): Kabupaten/ Kota seJawa tahun iyo, masyarakat Pertumbuhan 2007–2009 menunjukkan ekonomi dan bahwa pertumbuhan ekonomi di
(2011) kesejahteraan Kabupaten/ Kota masih belum rakyat. sesuai dengan tingkat kesejahteraan masyarakat di masing-masing daerah.
Sumber: Jurnal nasional
Dari beberapa penelitian yang terdahulu dapat disimpulkan bahwa tingkat inflasi pertumbuhan ekonomi dan tarif pajak sangat berpengaruh terhadap penerimaan pajak dan pendapatan pajak negara. Pendapatan negara dari pajak adalah sumber utama dari pendapatan negara, dana dari beberapa penelitian diatas dapat dikatakan bahwa kemajuan infrastruktur atau pun pembangunan infrastruktur dapat mempengaruhi faktor pendorong pertumbuhan ekonomi disuatu negara. Begitu juga penelitian yang dilakukan, Novi, Hermansyah, Savitri, (2014) menyimpulkan bahwa Kondisi infrastruktur jalan dan listrik berdampak signifikan terhadap pertumbuhan pendapatan per kapita, namun tidak demikian dengan pelabuhan. Terakhir, investasi terbukti secara empiris sebagai faktor pendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia.
2.7. Hipotesis
2.7.1. Pengaruh Inflasi Terhadap Penerimaan Pajak Nicola, Dwiatmanto, Rosalita, (2016) menjelaskan bahwa penelitian yang dilakukannya menunjukan ada inflasi berpengaruh terhadap penerimaan pajak meskipun hanya sedikit. Meneruskan dari penelitian yang terdahulu maka memastikan lagi seberapa besar inflasi berpengaruh terhadap tingkat penerimaan pajak.
H1: Inflasi berpengaruh terhadap penerimaan pajak.
2.7.2. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Penerimaan Pajak Fadli, (2014), Infrastuktur Negara berperan penting dalam menunjang pertumbuhan ekonomi di suatu Negara. Infrastruktur juga berperan penting dalam memaksimalkan pendapatan lewat penerimaan pajak Negara. Jika suatu Negara mempunyai infrastuktur yang memadai maka bisa dikatakan Negara tersebut mempunyai pertumbuhan ekonomi yang baik. Sehingga bagaimana memaksimalkan pendapatan pajak Negara.
H2: Pertumbuhan ekonomi berpengaruh terhadap penerimaan pajak.
2.7.3. Pengaruh Tarif Pajak Terhadap Penerimaan Pajak Damayanti, Suhadak, Maria, (2016) Memaksimalkan pendapatan pajak Negara adalah suatu langkah yang penting dalam suatu Negara dengan berpedoman dengan undang-undang Negara yang menagtur tentang perpajakan Negara lewat tarif pajak, sehingga pendapatan pajak Negara dapat maksimal. Maka dimaksutkan dari pendapatan pajak Negara tersebut pertumbuhan ekonomi di suatu Negara dapat berkembang, dengan pemanfaatan dana dari pajak tersebut maka dapat dibangun infrastuktur- infrastuktur yang dapat memperlaju pertumbuhan ekonomi disuatu Negara.
H3: Tarif pajak berpengaruh terhadap penerimaan pajak.
2.7.4. Pengaruh Inflasi Terhadap Tingkat Penerimaan Pajak Yang Dimoderasi Oleh Kebijakan Akuntansi inflasi dalam perhitungan target penerimaan pajak dalam APBN menunjukan bahwa adanya pengaruh yang ditimbulkan oleh inflasi terhadap penerimaan pajak. Tingginya inflasi akan menurunkan daya beli masyarakat. Turunnya daya beli akan menurunkan produksi suatu perusahaan sehingga penghasilan kena pajak perusahaan juga akan menurun. Hal ini tentu berakibat pada penerimaan pajak. Syahputra (2006:10) mengungkapkan bahwa “Terlalu tingginya tingkat inflasi bisa berdampak negatif terhadap penerimaan pajak melalui perubahan kondisi ekonomi.” Kesimpulannya, penerimaan pajak akan menurun jika tingkat inflasi suatu negara tinggi, demikian sebaliknya.
Inflasi dapat terjadi jika semua kebutuhan masyarakat naik. Dan menjadikan tingkat harga naik. Inflasi dapat dilihat dengan memperhatikan tingkat harga dan harga suatu barang tinggi. Untuk menjaga kesetabilan harga maka Negara harus mengontrol semua produksi barang baik makanan ataupun non-makanan. Peran pajak juga perlu diperhatikan sehingga perusahaan produksi suatu barang dapat dimanfaatkan Negara guna membangun infrastruktur Negara sehingga inflasi dapat dicegah.
Ketika laju inflasi tinggi apakah perusahan akan menggunakan kebijakan akuntansinya untuk dapat memperendah pendapatan pajaknya, sehingga apakah kebijakan akuntansi berpengaruh dalam memoderasi inflasi terhadap penerimaan pajak.
H4: Kebijakan akuntansi memperkuat hubungan inflasi terhadap penerimaan pajak.
2.7.5. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Tingkat Penerimaan Pajak Yang Dimoderasi Oleh Kebijakan Akuntansi
Rezka, Joko, Rida, (2012) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa tingkat penerimaan pajak yang tinggi maka pertumbuhan ekonomi semakin bagus. Pertumbuhan ekonomi merupakan kemajuan yang dapat dilakukan oleh suatu Negara. Untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi dari suatu Negara dapat dilihat dengan memperhatikan seluruh infrastuktur yang dimiliki dan kesejahteraan rakyatnya. Negara harus membangun infrastukturnya agar pertumbuhan ekonominya baik. Dengan memaksimalkan penerimaan pajak Negara maka infrastuktur dapat dibangun.
Dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi ataupun pertumbuhan ekonomi yang melemah bagaimanakah peran kebijakan akuntansi dapat mempengaruhi tingkat penerimaan pajak. Apakah kebijakan akuntansi dapat memoderasi pertumbuhan ekonomi terhadap penerimaan pajak.
H5: Kebijakan akuntansi memperkuat hubungan pertumbuhan ekonomi terhadap penerimaan pajak.
2.7.6. Pengaruh Tarif Pajak Terhadap Tingkat Penerimaan Pajak Yang Dimoderasi Oleh Kebijakan Akuntansi
Damayanti, Suhadak, Maria, (2016) tarif pajak yang tinggi membuat masyarakat cenderung melaporkan lebih kecil penghasilan kena pajaknya yang akhirnya akan berakibat pada penurunan penerimaan pajak suatu negara. Jadi tarif pajak yang terlalu tinggi masyarakat akan cenderung menghindari membayar pajak. Kenny dalam Richard dan Toly (2013:5) mengatakan,“Rendahnya tax rate akan membuat masyarakat melaporkan penghasilan kena pajak lebih besar.” Kesimpulannya, apabila tarif pajak tinggi maka penerimaan pajak akan menurun, begitu sebaliknya.
Tarif pajak merupakan tingkat presentase pengukuran bagi wajib pajak yang telah diatur dalam undang-undang. Wajib pajak bagi perorangan maupun badan sudah di atur tarif pajaknya oleh pemerintah. Tarif pajak juga harus diperhatikan penggunaannya sehingga penerimaan pajak Negara dapat maksimal.
Dasar pengenaan pajak dan besarnya nilai pajak yang dibayarkan adalah dengan cara melihat tarif pajak yang mengatur presentase tingkat pendapatan laba perusahaan, sehingga apakah peran kebijakan akuntansi dapat mengatur atau pun dapat mempengaruhi tingkat penerimaan pajak.
H6: Kebijakan akuntansi memperkuat hubungan tarif pajak
terhadap penerimaan pajak.2.8. Kerangka Pemikiran
Gambar 2.1 Kerangka PemikiranKEBIJAKAN AKT H4 PENDAPA
INFLASI TAN PAJAK H1 KEBIJAKAN AKT PENDAPA H5 TAN PERTUM PAJAK BUHAN EKONOM H2
I KEBIJAKAN AKT H6 PENDAPA TAN TARIF PAJAK PAJAK H3