BAB II KAJIAN TEORITIK A. Deskipsi Konseptual 1. Berpikir - BAB II YOLANDA PRATIWI MATEMATIKA'18

BAB II KAJIAN TEORITIK A. Deskipsi Konseptual 1. Berpikir Kegiatan berpikir biasanya muncul ketika ada keraguan dan

  pertanyaan untuk dijawab atau berhadapan dengan persoalan atau masalah yang memerlukan pemecahan. Solso (dalam Khodijah : 2016) menyatakan bahwa thinking is any course or train of ideas; in the

  narrowers and stricter sense, a course of ideas initiated by a problem (

  berpikir adalah melatih ide-ide, dengan cara tepat dan seksama, yang dimulai dengan adanya masalah).

  Menurut Limbach dan Waugh (2010 ) “Thinking is the cognitive

  process used to make sense ofthe world; questioning everyday assumptions will direct students to new solutions that can positively impact the quality of their lives”. Artinya bahwa berpikir adalah proses

  kognitif yang digunakan untuk memahami lingkungan di sekitarnya, mempertanyakan asumsi sehari-hari akan mengarahkan siswa untuk solusi baru yang positif dapat mempengaruhi kualitas hidup mereka. Pendapat selanjutnya diutarakan oleh

  Sa’diyah (2016) yaitu berpikir adalah suatu kegiatan mental yang dialami seseorang bila mereka dihadapkan pada suatu masalah atau situasi yang harus dikerjakan. Dari pendapat di atas disimpulkan bahwa berpikir adalah berarti suatu aktivitas kognitif yang terjadi akibat adanya asumsi atau masalah yang mana

  7 bertujuan untuk mengembangkan ide atau solusi dalam memecahkan masalah.

  Tujuan berpikir adalah mengumpulkan informasi serta menggunakannya sebaik mungkin (De Bono, 1991). Terdapat bermacam- macam cara berpikir, antara lain : berpikir vertikal, lateral, kritis, analitis, kreatif dan lainnya. Salah satu bentuk kemampuan berpikir yang harus dimiliki setiap siswa yaitu kemampuan befikir lateral.

2. Berpikir Lateral (Lateral Thinking)

  Berpikir lateral pertama kali dikemukakan oleh Dr. Edward de Bono, seorang psikolog asal Malta. Hal menarik dari pemikiran Edward de Bono yaitu dalam mengubah kesadaran dan keyakinan orang mengenai berpikir. Menurutnya, berpikir itu bukan bersifat given, namun perlu untuk dilatih agar maksimal.

  De Bono (1990) membagi pemikiran menjadi dua yakni secara lateral dan secara vertikal. Ia mengungkapkan berpikir lateral sangat berbeda dengan berpikir vertikal yang menjadi tipe berpikir tradisional. Berpikir vertikal melihat suatu solusi berdasarkan sudut pandang kewajaran atau melalui pemikiran biasa dan umum, sedangkan berpikir lateral memiliki peran dalam melepaskan diri dari belenggu konsepsi gagasan lama.

  Menurutnya, berpikir vertikal mempunyai sifat yang selektif sedangkan berpikir lateral bersifat generatif. Berpikir lateral meningkatkan keefektifan berpikir vertikal, dan berpikir vertikal mengembangkan gagasan yang dibangkitkan oleh berpikir lateral. Dia juga menyatakan bahwa dalam berpikir lateral sedapat mungkin dikembangkan sebanyak- banyaknya pendekatan alternatif.

  Sejalan dengan hal itu, Puspaningtyas (2014) menyatakan dalam penelitiannya bahwa vertical thinking one is trying to select the best

  approaches but with lateral thinking one is generating different approaches for the sake of generating them. Yaitu, berpikir vertikal adalah

  seseorang mencoba untuk memilih pendekatan terbaik, sedangkan berpikir lateral seseorang menggunakan pendekatan berbeda untuk memperoleh hasil.

Gambar 1.1 Ilustrasi perbedaan berpikir vertikal dan berpikir lateral

  Pada Gambar 1.1 dapat diartikan bahwa berpikir vertikal bergerak satu arah, dengan solusi yang paling mungkin dan paling benar yang sudah ditetapkan arah pemecahan masalahnya, sedangkan berpikir lateral alternatif penyelesaian dalam pemecahan masalah ialah beragam dan menghasilkan sebanyak mungkin rancangan solusi. Buljac (2015) dalam analisisnya berjudul “Lateral Thinking : Creativity Step By Step” yakni

  lateral thinking is one of the processes that encourage to creativity, while

  ideas arising as a product of lateral thinking are creative by its nature .

  Artinya bahwa berpikir lateral lebih menekankan proses yang mendorong kepada proses berfikir kreatif dibandingkan hasil. Walaupun berbeda, berpikir lateral dan vertical tidaklah dapat dipisahkan melainkan memiliki fungsi saling melengkapi.

  Berpikir lateral adalah kemampuan untuk berpikir kreatif, atau out of

  box dengan menggunakan inspirasi dan imajinasi untuk memecahkan

  masalah dengan melihat mereka dari perspektif yang tak terduga (De Bono, 1990). Sejalan dengan itu Rosnawati (2011) berpendapat bahwa berpikir lateral adalah memecahkan masalah melalui langsung dan pendekatan kreatif, dengan menggunakan fakta-fakta yang ada dan melibatkan ide-ide yang mungkin, tidak diperoleh dengan hanya menggunakan langkah-langkah berpikir vertikal. Siswa tidak lagi kaku dan canggung dalam mengungkapkan apa yang dipikirkan. Lateral thinking is

  concerned with the generation of new ideas (S. Arul, 2013). Pendapat

  berikutnya Semerci (2016) menyatakan bahwa Lateral thinking is an

  alternative thinking which is developed against natural, logical and mathematical thinking.

  Berpikir lateral berhubungan erat dengan kreativitas. Namun, apabila kreativitas seringkali hanya deskripsi suatu hasil, sedangkan berpikir lateral merupakan deskripsi suatu proses

  (Sa’dyah : 2016). Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa berpikir lateral adalah cara berpikir yang mencari alternatif pemecahan masalah dari berbagai sudut pandang yang baru dan tidak kaku serta paling mungkin untuk mendukung hasil akhir suatu masalah. Dengan sudut pandang yang baru dan tidak kaku ini siswa akan lebih mampu berpikir logis, kreatif dan bebas dalam mengkonstruksikan ide/pemikiran untuk menyelesaikan permasalahan matematika.

  Menurut De Bono (1990), mengemukakan ciri-ciri berpikir lateral dan perbedaan nya dengan berpikir vertikal, antara lain:

Tabel 2.1 Perbedaan Berpikir lateral dan berpikir Vertikal

  No. Berpikir Vertikal Berpikir Lateral 1.

  Bersifat selektif (didasarkan pada kebenaran) Bersifat generatif (lebih menekankan kepada kekayaan ragam ) 2.

  Bergerak sesuai arah untuk menuju kearah pemecahan masalah

  Bergerak untuk menggembangkan arah

  3. Bersifat analitis Bersifat provocative (bersifat provokatif)

  4. Bergerak secara berurutan (selangkah demi selangkah)

  Dapat membuat lompatan dalam berpikir

  5. Harus tepat pada setiap langkah Tidak harus benar dalam setiap langkah, artinya mengedepankan kreatifitas dan kebebasan berpikir

  6. Menggunakan kaidah negatif, agar dapat menutup jalur jalan tertentu

  Membenarkan seseorang untuk mencoba suatu jalan yang paling tidak mungkin 7. Memusatkan perhatian dan mengesampingkan sesuatu yang tidak relevan

  Menyambut baik semua kemungkinan dan pengaruh luar 8. Katergori, klasifikasi dan label-label bersifat tetap

  Kategori, Klasifikasi dan label tidak bersifat tetap

  9. Mengikuti jalur yang paling Menjelajahi jalur yang paling tepat tidak tepat proses berpikir yang serba

  10. Proses yang terbatas mungkin

a) Indikator Kemampuan Berpikir Lateral

  Paul Sloane (2010) dalam bukunya

  “How to be Brilliant Thinker”

  menyatakan bahwa De Bono mendefinisikan empat aspek utama dari cara berpikir lateral yakni : 1) Identifikasi gagasan-gagasan pembeda yang dominan; 2) Pencarian cara yang berbeda dalam melihat sesuatu; 3) Relaksasi kontrol yang kaku dari cara berpikir vertikal; 4) Penggunaan kesempatan.

  Menurut Nexusnexia (Syutaridho, 2012) , De Bono mengidentifikasi empat aspek langkah utama berpikir lateral, yaitu : 1) Mengenali ide dominan dari masalah yang sedang dihadapi; 2) Mencari cara-cara lain dalam memandang permasalahan; 3) Melonggarkan kendali cara berpikir yang kaku; 4) Memakai ide-ide acak untuk membangkitkan ide-ide baru.

  Syutharidho (2012) juga mengemukakan indikator orang yang memiliki kemampuan berpikir lateral jika: 1) Dapat membuat lompatan dalam berpikir; 2) Mencari cara-cara lain dalam memandang permasalahan; 3) Menjajagi jalan yang paling tidak mungkin (solusi penyelesaian berbeda dari orang lain);

  4) Memakai ide-ide acak untuk membangkitkan ide-ide baru (menggunakan langkah-langkah baru atau menghasilkan jawaban yang benar).

  Sejalan dengan hal tersebut Sa’diyah (2016) dalam penelitiannya menyebutkan empat indikator orang yang berpikir lateral dalam memecahkan masalah matematika, yakni : 1) Menyebutkan apa yang diketahui dan ditanyakan pada soal; 2) Menghasilkan cara lebih dari satu dalam menyelesaikan sebuah masalah; 3) Menyelesaikan masalah dengan cara tidak lazim; 4) Menghasilkan langkah-langkah penyelesaian yang berbeda namun logis dan jawaban yang dihasilkan benar.

  Jadi, dapat disimpulkan indikator kemampuan berpikir lateral dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Tabel 2.2 Aspek dan Indikator Kemampuan Berpikir Lateral Aspek-aspek Berpikir No Indikator Berpikir Lateral Lateral

  Siswa mampu Menyebutkan inti Mengenali ide dominan dari permasalahan, yakni yang 1. masalah yang sedang dialami diketahui dan ditanyakan dalam soal

  Siswa mampu membuat cara Mencari cara-cara lain dalam lebih dari satu yang tidak biasa 2. memandang permasalahan dalam menyelesaikan sebuah permasalahan

  Siswa mampu menyelesaikan Melonggarkan kendali cara masalah dengan cara yang bebas

  3.

  yang berpikir kaku dan inovatif namun logis

  Siswa mampu membuat langkah- langkah penyelesaian yang serba Memakai ide-ide acak untuk

  

4. mungkin, baru dan kreatif namun

  membangkitkan ide-ide baru menghasilkan jawaban yang logis dan benar.

  Tujuan berpikir lateral adalah untuk melepaskan diri dari ide-ide tradisional untuk mencari dan mencipta ide-ide baru. Peranan ini menghasilkan perubahan sikap dan pendekatan untuk mengamati masalah dengan cara yang berbeda, yang semula senantiasa diamati dengan cara yang sama. Seseorang dengan berpikir lateral akan bergerak untuk mengembangkan arah , bukan supaya dapat mengikuti arah.

  Dibawah ini adalah contoh berpikir lateral dalam matematika (Syutharidho, 2012).

  Contoh : Bagilah segitiga dibawah ini menjadi empat bagian.

  Berdasarkan permasalahan tersebut, orang yang berpikir vertikal akan memikirkan penyelesaian yang paling masuk akal, yaitu dengan membagi segitiga tersebut menjadi empat bagian sama besar. Seperti gambar dibawah ini, atau membaginya dengan pola yang sama, kearah vertikal maupun horizontal. Seperti gambar dibawah ini, sedangkan orang yang berpikir lateral akan membagi segitiga tersebut menjadi empat bagian dengan sembarang tanpa mempertimbangkan kesamaan bentuk maupun pola, namun penyelesaian tersebut tidak menyalahi aturan dan logis, serta dapat dipertanggungjawabkan. Seperti gambar dibawah ini.

  Jadi, dengan kemampuan berpikir lateral siswa akan lebih mudah dan bebas dalam mengkonstruksikan ide dan gagasan untuk menentukan solusi dalam pemecahan matematis. Berpikir lateral dalam penelitian ini adalah berpikir dari berbagai sudut pandang yang berbeda dengan mencari berbagai macam alternatif penyelesaian yang berbeda- beda.

3. Masalah Matematika

  Masalah menurut Resnick dan Glaser dapat diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang melakukan tugasnya yang tidak ditemuinya di waktu sebelumnya

  (Sa’diyah : 2016). Masalah pada umumnya timbul karena adanya hasrat ingin memenuhi atau mendapatkan suatu hal, namun adanya kesenjangan antara kondisi nyata dengan kondisi yang diinginkan. Hudojo (2001) menyatakan bahwa suatu merupakan masalah matematika jika memenuhi tiga syarat, yaitu: (1) menantang untuk diselesaikan dan dapat dipahami siswa; (2) tidak dapat diselesaikan dengan prosedur rutin; (3) melibatkan ide-ide matematika.

  Suherman, dkk (Muhsinin, 2013) mengemukakan bahwa problem yang diformulasikan memiliki multi jawaban yang benar disebut problem tak lengkap atau disebut juga open ended problem atau soal terbuka. Keunggulan dari pemberian soal open-ended dalam pembelajaran matematika adalah kemampuan berpikir matematika siswa dapat berkembang secara maksimal, melalui berbagai strategi dan cara yang diyakininya dalam menyelesaikan masalah, sehingga membantu perkembangan aktivitas dan kreatifitas berpikir siswa (Mustikasari,dkk : 2010)

  Menurut Takahashi (2008), terdapat beberapa manfaat dari penggunaan soal terbuka dalam pembelajaran matematika, yaitu sebagai berikut : 1) Siswa menjadi lebih aktif dalam mengekspresikan ide-ide mereka.

  2) Siswa mempunyai kesempatan lebih untuk secara komprehensif menggunakan pengetahuan dan keterampilan mereka.

  3) Siswa mempunyai pengalaman yang kaya dalam proses menemukan dan menerima persetujuan dari siswa lain terhadap ide-ide mereka.

  Aspek keterbukaan dalam soal terbuka menurut Mahmudi (2008) dapat diklasifikasikan ke dalam tiga tipe, yaitu: 1) terbuka proses penyelesaiannya, yakni soal itu memiliki beragam cara penyelesaian, 2) terbuka hasil akhirnya, yakni soal itu memiliki banyak jawab yang benar, dan

  3) terbuka pengembangan lanjutannya, yakni ketika siswa telah menyelesaikan suatu permasalahan, selanjutnya mereka dapat mengembangkan soal baru dengan mengubah syarat atau kondisi pada soal yang telah diselesaikan.

  Mahmudi (2008) memberikan ilustrasi dua soal untuk membedakan antara soal tertutup dan soal terbuka. (1) Gedung bioskop Plaza 27

  mencatat penjualan tiket film Laskar Pelangi selama tiga hari berturut-

turut adalah 457 lembar, 446 lembar, dan 475 lembar. Hitung banyak

tiket yang terjual selama tiga hari tersebut. (2) Susunlah sebuah data yang

rata-ratanya lebih dari mediannya dan jangkauannya adalah 7 . Soal (1)

  merupakan soal rutin dan bukan masalah terbuka karena prosedur yang digunakan untuk menentukan penyelesaiannya sudah tertentu yakni hanya menjumlahkan ketiga bilangan yang terdapat pada soal. Soal ini juga hanya memiliki satu jawaban yang benar. Sedangkan soal (2) merupakan soal terbuka (open-ended problem). Soal ini juga dikategorikan sebagai soal non-rutin. Keterbukaan soal ini meliputi keterbukaan proses, keterbukaan hasil akhir, dan keterbukaan pengembangan lanjutan. Soal ini dikategorikan sebagai soal non-rutin karena tidak memiliki prosedur tertentu untuk menjawabnya.

  Berdasarkan uraian diatas, maka dalam penelitian ini masalah matematika adalah masalah terbuka yang mana soal-soal matematika yang dirumuskan sedemikian rupa, sehingga memiliki beberapa atau bahkan banyak solusi yang benar, dan terdapat banyak cara untuk mencapai solusi itu.

4. Pemecahan Masalah Matematis

  Setiap manusia pada dasarnya selalu dihadapkan kepada masalah yang memerlukan suatu pemecahan. Pemecahan masalah (Solso, 2007) merupakan suatu pemikiran yang terarah secara langsung untuk menemukan suatu solusi/jalan keluar untuk suatu masalah yang spesifik.

  Melalui pemecahan masalah seseorang melakukan sebuah proses berpikir untuk menyelesaikan atau mencari jalan keluar dari masalah atau persoalan yang sedang dihadapi dengan menggunakan pengetahuan atau keterampilan yang telah dimiliki sebelumnya. Dalam pembelajaran matematika aspek pemecahan masalah menjadi sangat penting. Hal ini dikarenakan matematika merupakan, pengetahuan yang bersifat logis, sistematis, berpola, abstrak, dan membutuhkan pembuktian. Mawarni (2015) menyatakan bahwa pemecahan masalah merupakan cara belajar yang dianggap efisien dalam usaha untuk mencapai tujuan pengajaran, salah satunya dengan heuristik pemecahan masalah menurut polya.

  Polya (1973) dalam bukunya How To Solve It, mendefinisikan bahwa pemecahan masalah merupakan suatu usaha untuk mencari jalan keluar dari suatu kesulitan guna mencapai satu tujuan yang tidak begitu mudah segera untuk dicapai. Selain itu Polya juga memperkenalkan 4 langkah dalam menyelesaikan masalah yang Heuristik. Dimana, Heuristik adalah langkah-langkah umum yang membantu pemecahan masalah dalam menemukan solusi masalah. Empat langkah pemecahan masalah tersebut adalah :

  1. Memahami masalah Fase memahami masalah adalah fase dimana siswa sudah mampu menuliskan apa yang diketahui dan apa yang ditanya dalam suatu soal pemecahan masalah. Siswa diarahkan untuk dapat menjawab pertanyaan berikut : a. Apakah yang diketahui dari soal,

  b. Apakah yang ditanyakan dari soal,

  c. Apakah informasi/hal-hal penting yang diperoleh dari soal,

  d. Bagaimana akan menyelesaikan soal,

  e. Adakah syarat/tanda-tanda khusus dalam soal tersebut, seperti simbol, gambar, grafik atau lainnya.

  Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan tersebut diharapkan siswa lebih mudah mengidentifikasi apa yang menjadi informasi penting dalam memecahkan masalah. Tanpa adanya pemahaman terhadap masalah yang diberikan, siswa tidak akan mungkin menyelesaikan masalah tersebut dengan benar.

  2. Membuat rencana untuk menyelesaikan masalah Perencanaan pemecahan masalah merupakan unsur penting atas baiknya suatu pemecahan masalah. Dalam hal ini peserta didik dituju untuk mampu mengidentifikasi strategi- strategi/konsep/ teori/rumus yang mungkin diperlukan untuk menyelesaikan masalah yang sesuai dengan permasalahan yang akan dipecahkan.

  3. Melaksanakan penyelesaian masalah Dalam tahap ini siswa telah memahami permasalahan dan telah siap melakukan perhitungan dengan segala macam data yang diperlukan termasuk konsep dan rumus atau persamaan yang sesuai. Kemudian siswa dapat membentuk sistematika soal yang lebih baku, dalam arti rumus-rumus yang akan digunakan sudah merupakan rumus yang siap untuk digunakan sesuai dengan apa yang digunakan dalam soal. Lalu siswa mulai memasukkan data-data hingga menjurus ke rencana pemecahannya, setelah itu baru siswa melaksanakan langkah-langkah rencana, yang mana diharapkan soal dapat dibuktikan atau diselesaikan.

  4. Memeriksa kembali masalah Dalam tahap ini siswa melakukan pengecekan kembali atas apa yang dilakukan, guna melihat apakah hasil yang diperoleh merupakan solusi atas permasalahan.

  Adapun langkah-langkah yang dilakukan untuk memeriksa ulang jawaban yang diperoleh : a. Mencocokkan hasil yang diperoleh dengan hal yang ditanyakan

  b. Meinginterpretasikan jawaban yang diperoleh

  c. Mengidentifikasi adakah cara lain yang dapat dilakukan untuk mendapatkan solusi.

5. Berpikir Lateral (Lateral Thinking) dalam Memecahkan Masalah Matematis

  Proses berfikir mempunyai peranan dalam upaya memecahkan masalah, khususnya masalah matematika. Sebagaimana pendapat yang dikemukakan Carson (2007)

  “Problem solving theory and practice

suggest that thinking is more important to solving problems than

knowledge and that it is possible to teach thinking in situations where little

or no knowledge of the problem is needed”. Dalam teori dan praktek

  pemecahan masalah menunjukkan bahwa berpikir sangat penting untuk pemecahan masalah daripada sekedar pengetahuan dan dimungkinkan untuk mengajarkan berpikir pada situasi dimana ada atau tidaknya pengetahuan tentang masalah yang diperlukan. Carson (2007) berpendapat bahwa

  “Thinking is actually the integration of theory and practice, the

abstract and the concrete, the conceptual and the particular”. Berpikir

  sebenarnya merupakan penggabungan antara teori dan praktek, abstrak dan konkret, konsep dan fakta. Berdasarkan uraian sebelumnya bahwa memecahkan masalah merupakan cara yang dilakukan siswa dalam mencari solusi, yang melibatkan proses berpikir. Konsep berpikir lateral dalam belajar matematika sangat diperlukan terutama dalam menyelesaikan masalah yang membutuhkan berpikir mencari banyak alternatif penyelesaian.

  Ridwan dan Eka (2014) menyatakan bahwa memberikan masalah matematis open-ended kepada siswa dapat mengembangkan kemampuan

  problem solving yang memiliki berbagai cara untuk mencari solusi dengan

  berbagai variasi solusi. Syutaridho (2012) menyimpulkan pendapat De Bono, bahwa Indikator soal/masalah untuk melihat kemampuan berpikir lateral sebagai berikut : 1) Keragaman jawaban/strategi terhadap permasalahan/soal yang diberikan; 2) Dapat merangsang siswa untuk membuat lompatan dalam berpikir; 3) Mengutamakan ide berpikir;

  Berdasarkan pernyataan tersebut, masalah yang diberikan kepada siswa agar mampu melihat kemampuan berpikir siswa adalah masalah yang dapat mengembangkan kreatifitas berpikir dalam pemecahannya. Hal ini dapat pula dihubungkan dengan ciri-ciri masalah Open ended.

  Masalah matematika Open ended memenuhi indikator soal untuk melihat kemampuan berpikir lateral. Melalui pemecahan masalah matematis open ended maka memberi keleluasaan kepada siswa untuk melakukan elaborasi lebih besar sehingga memungkinkan tumbuh dan berkembangnya kemampuan berpikir matematis dan kreativitas setiap siswa. Soal-soal open-ended memberikan peluang kepada siswa untuk memberikan banyak pemecahan masalah dengan banyak strategi pemecahan masalah, sehingga dengan beragamnya jawaban yang diberikan siswa tersebut guru dapat mendeteksi kemampuan berpikir siswa (Mustikasari, dkk : 2010). Maka, dapat disimpulkan bahwa melalui soal- soal pemecahan masalah matematis open ended , kita dapat mendeskripsikan kemampuan berpikir lateral siswa.

  Selain itu langkah pemecahan masalah langkah polya memiliki keterhubungan dengan indikator proses berpikir lateral. Hal tersebut dapat dilihat kembali berdasakan Tabel berikut :

Tabel 2.3 Hubungan proses berpikir lateral dan tahap pemecahan polya Tahapan Aspek-aspek Indikator Berpikir No Polya Berpikir Lateral Lateral

  Siswa mampu Mengenali ide menyebutkan inti

  Memahami dominan dari 1. permasalahan, yakni yang

  Masalah masalah yang diketahui dan ditanyakan sedang dialami dalam soal.

  Siswa mampu membuat Mencari cara-cara

  Merencanakan strategi/ cara penyelesaian lain dalam

  

2. Penyelesaian yang tidak biasa dalam

  memandang Masalah menyelesaikan sebuah permasalahan permasalahan.

  Siswa mampu Melonggarkan

  Menyelesaikan menyelesaikan masalah kendali cara yang

  3. Masalah dengan cara yang bebas

  berpikir kaku dan inovatif namun logis. Kembali Masalah

  Memakai ide-ide acak untuk membangkitkan ide-ide baru

  Siswa mampu membuat langkah-langkah penyelesaian yang serba mungkin, baru dan kreatif namun menghasilkan jawaban yang logis dan benar. Maka, dapat dikatakan bahwa proses berpikir lateral siswa SMA dapat dilihat pada bagaimana siswa memecahkan masalah matematika

4. Memeriksa

  Open-ended dengan setiap langkah-langkah penyelesaian masalah polya.

  Dalam penelitian ini peneliti akan mendeskripsikan kemampuan berpikir lateral siswa dalam menyelesaian masalah matematis.

6. Tinjauan Materi Trigonometri

  Adapun materi yang akan digunakan pada penelitian ini adalah materi Trigonometri Kelas XI semester I.

  Standar Kompetisi :

  7. Menerapkan perbandingan, fungsi, persamaan, dan identitas trigonometri dalam pemecahan masalah.

  Kompetisi Dasar :

  7.1 Menentukan dan menggunakan nilai perbandingan trigonometri suatu sudut

  7.3 Menerapkan aturan sinus dan kosinus

  7.4 Menentukan luas suatu segitiga

  Indikator :

  7.1.1 Perbandingan trigonometri dipergunakan untuk menentukan panjang sisi dan besar sudut segitiga siku-siku.

  7.1.3 Menerapkan aturan sinus dan kosinus

  7.1.4 Luas segitiga dihitung dengan menggunakan rumus luas segitiga.

B. Penelitian Relevan

  Sa’diyah (2015) mendeskripsikan berpikir lateral siswa dalam menyelesaikan masalah matematika materi bangun datar pada siswa SMP Negeri 1 Sidoarjo. Hasil penelitian tersebut memuat, kesimpulan bahwa dalam memecahkan masalah matematika siswa dikatakan melakukan proses berpikir lateral apabila siswa mampu menggunakan simbol-simbol, membuat lompatan berpikir dan melakukan penalaran logis, serta menemukan berbagai macam alternatif penyelesaian yang tidak lazim dan unik.

  Pramita,dkk (2015) dalam hasil penelitiannya yang berjudul Analisis kemampuan berpikir lateral siswa dalam menyelesaikan soal open ended di SMPN 10 Pontianak, menyimpulkan bahwa memberikan soal open ended dapat mengidentifikasi kemampuan berpikir lateral siswa secara menyeluruh.

  Dilihat berdasarkan tingkat kemampuan dasar (atas, menengah dan bawah) ternyata terdapat perbedaan kategori tingkat berpikir lateral yaitu siswa pada tingkat kemampuan dasar atas dikategorikan memiliki kemampuan berpikir lateral yang baik sedangkan siswa pada tingkat kemampuan dasar menengah dan bawah dikategorikan memiliki kemampuan berpikir lateral yang cukup baik. Pada siswa dengan kemampuan dasar tingkat atas dan bawah terdapat perbedaan kategori kemampuan lateral.

  Muliawati (2015) dalam penelitiannya berjudul proses berpikir lateral siswa SMA N 1 Kalidawir kelas XI IPA dalam memecahkan masalah matematika berdasarkan langkah Polya ditinjau dari gaya kognitif dan gender. Dalam penelitian tersebut Mulyawati menyatakan bahwa soal non-rutin dapat mengoptimalkan berpikir lateral siswa. Indikator yang digunakan adalah memahami masalah dengan menentukan informasi penting, membedakan yang diketahui, yang ditanyakan, serta petunjuk soal, dan mengenali keterkaitan informasi melalui hubungan sebab akibat. Hasil penelitian diperoleh bahwa proses berpikir lateral siswa field independent laki-laki dan siswa field independent perempuan memiliki karakteristik berpikir lateral yang sama. Hanya saja siswa field independent perempuan lebih praktis dan efisien dalam menjelaskan informasi secara non lisan.

  Persamaan ketiga penelitian diatas dengan apa yang peneliti akan teliti adalah sama-sama meneliti tentang berpikir lateral sebagai subjek penelitian utamanya. Sedangkan, perbedaan nya adalah dari tinjauan, objek penelitian, meteri serta indikator berpikir lateral yang akan diteliti juga berbeda.

C. Kerangka Berpikir

  Berpikir lateral menjadikan siswa mampu merangsang pola pikir untuk mengkonstruksikan ide ke bentuk yang lebih kreatif dan bebas dalam menyelesaikan permasalahan matematis. Mengingat pentingnya kemampuan berpikir lateral matematis, maka amat sangat perlu diadakan suatu penelitian terhadap siswa terkait kemampuan berpikir lateralnya. Untuk melihat kemampuan berpikir tersebut maka diperlukan sebuah masalah non- rutin/terbuka (Open ended problems). Pemberian masalah kepada siswa akan mendorong siswa untuk berpikir menyelesaikan masalah. Peneliti menggunakan pemecahan masalah Polya untuk memperhatikan/menganalisis bagaimana pemenuhan aspek dan indikator berpikir lateral siswa.

  Dari uraian diatas, penelitian diadakan pada siswa kelas XI IPA 1 dan XI

  IPA 2 SMA Muhammadiyah 1 Purwokerto dengan menggunakan materi Trigonometri adalah terkait deskriptif berpikir lateral siswa dalam memecahkan masalah matematis, yangmana dalam melakukan penelitian ini peneliti menggunakan instrumen penelitian berupa soal yang open ended serta melalui wawancara.