BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Mioma Uteri 1. Pengertian - ASTRIA EMA KHARISMA BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Mioma Uteri 1. Pengertian Mioma uteri merupakan neoplasma jinak yang berasal dari otot

  uterus dan jaringan ikat yang menumpangnya, sehingga dalam kepustakaan dikenal juga istilah fibromyoma, leiomyma, ataupun

  fibroid. Nama lain mioma uteri antara lain leimyoma yaitu tumor jinak

  yang berasal dari otot polos, paling sering pada uterus. Fibromyoma merupakan tumor yang terutama terdiri dari jaringan penunjang yang berkembang lengkap atau fibrosa (Saifuddin, 2009).

  Mioma uteri merupakan tumor jinak otot rahim dengan berbagai komposisi jaringan ikat (Manuaba, 2001).

  Mioma uteri adalah neoplasma jinak yang berasal dari (Judi Januadi, 2007).

  myometrium

  Mioma uteri adalah neoplasma jinak yang berasal dari otot uterus dan jaringan ikat (Arief Mansjoer, 2002).

  Jadi mioma uteri adalah tumor jinak yang berasal dari otot polos myometrium pada uterus.

  9

2. Anatomi fisiologi a. Anatomi

Gambar 2.1 lokasi mioma dalam uterus

  Sumber : (Yatim, 2008) Keterangan : 1) Miom bertangkai dangkal dibawah selaput lender rahim

  (submucosa miom) 2) Miom bertangkai di lapisan luar dinding rahim (pedunculated

  subserous miom)

  3) Miom diantara lapisan otot rahim (intramural miom) 4) Miom di bawah lapisan dinding rahim (subserous miom)

  Mioma uteri berdasarkan lokasinya yaitu : 1) Mioma submukosa

  Mioma submukosa menempati lapisan dibawah endometrium dan menonjol kedalam rongga uterus (kavum uteri) (Wiknjosastro, 2007), dapat bertangkai maupun tidak. Tumor ini memperluas permukaan ruangan rahim, area permukaan endometrium yang meluas menyebabkan peningkatan perdarahan menstruasi dan dapat menyebabkan infertilitas dan abortus spontan (Sinclair, 2009). Pengaruhnya pada vaskularisasi dan luas permukaan endometrium menyebabkan terjadinya perdarahan ireguler. 2) Mioma intramural

  Mioma yang berkembang diantara miometrium, disebut juga mioma intraepithelial biasanya multiple apabila masih kecil tidak menambah bentuk uterus tetapi bila besar akan menyebabkan uterus berbenjol-benjol (Llewellyn, 2004)

  3) Mioma subserosa Terjadi apabila mioma tumbuh keluar dinding uterus sehingga menonjol pada permukaan uterus yang diliputi oleh serosa.

  Mioma subserosum dapat tumbuh bertangkai menjadi polip yang kemudian dilahirkan melalui saluran serviks (myomgeburi). Mioma subserosum dapat tumbuh diantara kedua lapisan ligamentum latum menjadi mioma ligamenter (Wiknjosastro, 2007). Mioma yang tumbuh dibawah lapisan serosa uterus dan dapat tumbuh ke arah luar dan juga bertungkai (Prawirohardjo, 2011).

b. Fisiologi

  Uterus merupakan organ yang tebal ,berotot, terletak didalam pelvis. Ototnya disebut miometrium dan selaput lender yang melapisi sebelah dalam disebut endometrium. Uterus terbagi atas tiga bagian yaitu fundus, badan uterus, dan servik (Evelyn, 2008).

3. Etiologi

  Etiologi yang pasti terjadi mioma uteri sampai saat ini belum diketahui. Stimulasi estrogen diduga sangat berperan untuk terjadinya mioma uteri. Hipotesis ini di dukung oleh adanaya mioma uteri yang banyak ditemukan pada usia reproduksi dan kejadiannya rendah pada usia menopause. Ichimura dalam Prawirohardjo (2011) mengatakan bahwa hormon ovarium dipercaya menstimuasi pertumbuhan mioma karena adanya peningkatan insidennya setelah menarche. Pada kehamilan pertumbuhan tumor ini semakin besar, tetapi menurun setelah menopause. Perempuan nulipara mempunyai resiko yang tinggi untuk terjadinya mioma uteri, sedangkan perempuan multipara mempunyai resiko relatif rendah untuk terjadinay mioma uteri.

  Dalam jaringan mioma uteri lebih banyak mengandung reseptor estrogen jika dibandingkan dengan mometrium normal.

  Pertumbuhan mioma uteri bervariasi pada setiap individu,bahkan diantara nodul mioma pada uterus yang sama. Perbedaan ini berkaitan dengan jumlah reseptor estrogen dan reseptor progesterone ( Prawirohardjo, 2011).

  Pengaruh-pengaruh hormon dalam pertumbuhan dalam pertumbuhan dan perkembangan mioma :

  a.

   Estrogen

  Mioma uteri dijumpai setelah menarche, setelah terdapat pertumbuhan tumor yang cepat selam kehamilan. Mioma uteri akan mengecil pada saat menopause dan setelah pengangkatan ovarium.

  Mioma uteri banyak ditemukan bersamaan dengan anovulasi ovarium dan wanita dengan sterilitas. Pada mioma reseptor

  estrogen dapat ditemukan sepanjang siklus menstruasi.

  b.

   Progesteron

  Reseptor progesteron terdapat di miometrium dan mioma sepanjang siklus menstruasi dan kehamilan. Progesteron menghambat pertumbuhan mioma dengan cara menurunkan jumlah reseptor estrogen pada mioma.

  Dari manapun asalnya, mioma mulai berasal dari benih-benih

multiple yang sangat kecil yang tersebar pada miometrium.

  Benih ini tumbuh sangat lambat tetapi progesif (bertahun- tahun, bukan dalam hitungan bulan) di bawah pengaruh estrogen dan jika terditeksi dan segera diobati dapat membentuk tumor dengan berat 10 kg atau lebih. Mula-mula mioma berada di bagian intramural,tetapi ketika tumbuh dapat berkembang ke berbagai arah (Llewellyn, 2001).

4. Patofisiologi

  Fibroid biasanya asimptomatik, namun tiga gejala klasiknya adalah perdarahan, tekanan, dan nyeri. Sepertiga mengalami perburukan menoragi, dismenore, konstipasi, peningkatan lingkar abdomen tanpa perubahan berat badan adalah tanda mioma lainnya.

  Adanya stimulasi estrogen, menyebabkan terjadinya proliferasi di uterus sehingga menyebabkan perkembangan yang berlebihan dari garis endometrium dan terjadilah pertumbuhan mioma ( Thomason, 2008).

  Komplikasi pada kasus mioma uteri meliputi infark (tandanya antara lain demam dan peningkatan sel darah putih), inverse (pembiakan mikroorganisme) uterus yang disebabkan oleh anemia, infeksi, dan infertilitas (Sinclair, 2009). Resiko mioma di uterus yang berasal dari serviks uterus hanya 1-3 % sisanya adalah dari korpus uterus (Wiknjosastro, 2007).

5. Tanda dan gejala 1. Pendarahan abnormal : hipermenore, menoragia, metroragia.

  Sebabnya :

  a. Pengaruhnya ovarium sehingga terjadi hiperplasi endometrium

  b. Permukaan endometrium yang lebih luar dari biasanya

  c. Atrofi endometrium di atas mioma submukosum

  d. Miometrium tidak dapat berkontraksi optimal karena adanya sarang mioma di antara serabut miometrum sehingga tidak dapat menjepit pembuluh darah yang melaluinya dengan baik.

  2. Nyeri : dapat timbul karena gangguan sirkulasi yang disertai nekrotis setempat dan peradangan. Pada mioma submukosum yang dilahirkan dapat menyempit canalis servikalis sehingga menimbulkan dismenore.

  3. Gejala penekanan : penekanan pada vesika urianaria menyebabkan poliuri, pada uretra menyebabkan retensio urine, pada ureter menyebabkan hidroureter dan hidronefrosis, pada rectum menyebabkan obstipasi dan tenesmia, pada pembuluh darah dan limfe menyebabkan edema tungkai dan nyeri panggul.

  4. Disfungsi reproduksi Hubungan antara mioma uteri sebagai penyebab infertilitas masih belum jelas. Dilaporkan sebesar 27-40% wanita dengan mioma uteri mengalami infertilitas. Mioma yang terletak didaerah kornu dapat menyebabkan sumbatan dan gangguan transportasi gamet dan embrio akibat terjadinya oklusi tuba bilateral. Mioma uteri dapat menyebabkan gangguan kontraksi ritmik uterus yang sebenarnya diperlukan untuk motilitas sperma didalam uterus. Perubahan bentuk reproduksi. Gangguan implantasi embrio dapat terjadi pada keberadaan mioma akibat perubahan histology endrometrium dimana terjadi atrofi karena kompresi massa tumor. Mekanisme Gangguan Fungsi reproduksi dengan Mioma uteri 1) Gangguan transportasi gamet dan embrio

  2) Pengurangan kemampuan bagi pertumbuhan uterus 3) Perubahan aliran darah 4) Perubahan histologi endometrim

6. Penatalaksanaan Umum

  Penanganan yang dapat dilakukan ada dua macam yaitu penanganan secara konservatif dan penanganan secara operatif (Manuaba, 2011).

  a. Penanganan Konservatif sebagai berikut 1) Obervasi dengan pemeriksaan pelvis secara periodic setiap 3-6 bulan 2) Bila anemia, Hb <8g/dl di transfuse PRC 3) Pemberian suplemen yang mengandung zat besi

  b. Penanganan operatif apabila : 1) Apabila tumor lebih besar dari ukuran uterus 2) Pertumbuhan tumor cepat 3) Mioma subserosa bertangkai dan torsi 4) Bila dapat menjadi penyulit pada kehamilan berikutnya 5) Hipermenorea pada mioma submukosa 6) Penekanan pada organ sekitarnya Jenis penanganan operatif yang dapat dilakukan diantaranya yaitu : a.

   Histerektomi

  Dilakukan bila pasien tidak menginginkan anak lagi, dan pada penderita yang memiliki mioma yang simptomatik atau yang sudah bergejala. Kriteria untuk histerektomi adalah sebagai berikut : 1) Terdapat 1 sampai 3 leimioma asimptomatik atau yang dapat teraba dari luar dan dikeluhkan oleh pasien.

  2) Pendarahan uterus berlebihan Yaitu pendarahan yang banyak menggumpal-gumpal atau berulang-ulang selama lebih dari 8 hari yang dapat mengakibatkan anemia. 3) Rasa tidak nyaman di pelvis

  Rasa idak nyaman di pelvis akibat mioma meliputi : nyeri hebat dan akut, rasa tertekan dibagian punggung bawah atau perut bagian bawah yang kronis, penekanan buli-buli dan frekuensi saluran kemih.

  b.

   Miomektomi

Miomektomi adalah pengambilan mioma saja tanpa pengangkatan

  uterus. Apabila wanita sudah dilakukan miomektomi kemungkinan dapat hamil sekitar 30

  • – 50 % dan perlu disadari oleh penderita bahwa setelah dilakukan miomektomi harus dilanjutkan histerektomi .

  c. Penanganan secara kuret 1) Pengertian Kuretase

  Prosedur kuretase adalah serangkaian proses pelepasan jaringan yang melekat pada dinding kavum uteri dengan melakukan invasi dan memanipulasi instrumen (sendok kuret) ke dalam kavum uteri. Sendok kuret akan melepaskan jaringan tersebut dengan teknik pengerokan secara sistematik (Saifuddin, 2009).

  2) Persiapan dan hal yang perlu diperhatikan

  a) Pre Kuret

  a. Konseling pra tindakan :

  • Memberi informed consent
  • Menjelaskan pada klien tentang penyakit yang diderita
  • Menerangkan kepada pasien tentang tindakan kuretase yang akan dilakukan: prosedur tindakan, tujuan dan manfaat tindakan
  • Memeriksa keadaan umum pasien, bila memungkinkan pasien dipuasakan

  b. Pemeriksaan sebelum curretage

  • USG (ultrasonografi)
  • Mengukur tensi dan Hb darah
  • Memeriksa sistem pernafasan
  • Mengatasi perdarahan
  • Memastikan pasien dalam kondisi sehat dan fit

  c. Persiapan tindakan

  • Menyiapkan pasien
  • Mengosongkan kandung kemih
  • Membersihkan genetalia eksterna
  • Membantu pasien naik ke meja ginek
  • Lakukanlah pemeriksaan umum : Tekanan Darah, Nadi, Keadaan Jantung, dan Paru – paru dan sebagainya.
  • Pasanglah infuse cairan sebagai profilaksis

  • Pada umumnya diperlukan anestesi infiltrasi local atau umum secara IV dengan ketalar.
  • Sebelum masuk ke ruang operasi, terlebih dahulu pasien harus dipersiapkan dari ruangan
  • Puasa: Saat akan menjalani kuretase, dilakukan puasa 4-6 jam sebelumnya agar perut dalam keadaan kosong sehingga kuret bisa dilakukan dengan maksimal.
  • Cek adanya perdarahan untuk mengetahui apakah pasien mengalami gangguan perdarahan atau tidak. Jika ada indikasi gangguan perdarahan, kuret akan ditunda sampai masalah perdarahan teratasi. Namun tak menutup kemungkinan kuret segera dilakukan untuk kebaikan pasien.
  • Persiapan psikologis

  Memberi penjelasan kepada ibu dan keluarga secara jelas dan seperlunya tentang tindakan kuretase, jangan menjelaskan yang terlalu berlebihan. Berikan ibu motivasi untuk menjalani tindakan kuretase.

  • Mengganti baju pasien dengan baju operasi dan memakaikan gelang sebagai identitas
  • Pasien dibawa ke ruang operasi yang telah ditentukan
  • Mengatur posisi pasien sesuai dengan jenis tindakan yang akan dilakukan, kemudian pasien dibius dengan anestesi narkose
  • Setelah pasien tertidur, segera pasang alat bantu napas dan monitor EKG
  • Bebaskan area yang akan dikuret

  b) Post Kuret

  a. Perawatan Pascakuretase Menurut Saifuddin (2009) perawatan pasca tindakan kuretase meliputi: a. Periksa kembali tanda vital pasien, segera lakukan tindakan dan beri instruksi apabila terjadi kelainan/ komplikasi.

  b. Catat kondisi pasien dan buat laporan tindakan.

  c. Kolaborasi pengobatan lanjutan dan pemantauan pasien.

  d. Beritahukan kepada pasien dan keluarganya bahwa tindakan telah selesai dilakukan, tetapi pasien masih memerlukan perawatan.

  e. Jelaskan pada petugas jenis perawatan yang masih diperlukan, lama perawatan dan kondisi yang harus dilaporkan. Menurut Prasetyadi (2008) dalam yuni (2015) perawatan usai kuretase umumnya sama dengan operasi- operasi lain. Ibu harus menjaga bekas kuretase dengan baik, tidak melakukan aktivitas yang terlalu berat, tidak melakukan hubungan intim untuk jangka waktu tertentu sampai keluhannya benar- benar hilang, dan meminum obat secara teratur. Setelah melakukan kuretase, bagi pasangan yang ingin mengupayakan kehamilan bisa mencoba kembali mendapatkan keturunan setelah lewat 2- 3 kali fase haid. Melewati fase haid ini ditujukan untuk menormalkan kembali dinding rahim yang menipis akibat kuretase. Sehingga, risiko terjadinya perlekatan plasenta pada dinding rahim saat melahirkan dapat diminimalisasi.

  3) Prosedur Kuret

  a)

  Pasien ditidurkan dalam posisi litotomi (posisi seperti sedang mau melahirkan)

  b)

  Infus cairan dengan drips oksitosin (mengurangi kemungkinan perforasi)

  c)

  Anestesi Blok paraservikal atau Total Intavenous Anestesi

  d)

  Kateterisasi urin

  e)

  Pemeriksaan bimanual ulang untuk menentukan besar & arah uterus

  f)

  Bersihkan vulva & vagina dengan larutan antiseptik

  g)

  Pasang spekulum vagina

  h)

  Jepit dinding depan porsio uteri dengan tenakulum atau klem ovum

  i)

  Masukkan sonde uterus letak & panjang kavum uteri

  j)

  Dilatasi kanalis servikalis dengan busi Hegar (bila perlu)

  k)

  Pengeluaran isi rahim dilakukan dengan kuret tajam

  4) Komplikasi Kuret Menurut Fajar (2007) dalam yuni (2015) ada beberapa dampak atau komplikasi yang mungkin terjadi pada post kuretase diantaranya:

  a. Perdarahan Bila saat kuret jaringan tidak diambil dengan bersih, dikhawatirkan terjadi perdarahan. Untuk itu jaringan harus diambil dengan bersih dan tidak boleh tersisa sedikit pun. Bila ada sisa kemudian terjadi perdarahan, maka kuret kedua harus segera dilakukan. Biasanya hal ini terjadi pada kasus jaringan yang sudah membatu. Banyak dokter kesulitan melakukan pembersihan dalam sekali tindakan sehingga ada jaringan yang tersisa. Namun biasanya bila dokter tidak yakin sudah bersih, dia akan memberi tahu untuk datang lagi ke dokter bila terjadi perdarahan.

  b. Gangguan Dinding Rahim Pengerokan jaringan pun harus tepat sasaran, jangan sampai meninggalkan cerukan di dinding rahim. Jika menyisakan cerukan, dikhawatirkan akan mengganggu kesehatan rahim.

  c. Gangguan Haid

  Jika pengerokan yang dilakukan sampai menyentuh selaput otot rahim, dikhawatirkan akan mengganggu kelancaran siklus haid.

  d. Infeksi

  Jika jaringan tersisa di dalam rahim, muncul luka, cerukan, dikhawatirkan bisa memicu terjadinya infeksi. Sebab, kuman senang sekali dengan daerah-daerah yang basah oleh cairan seperti darah.

  e. Kanker Sebenarnya kecil kemungkinan terjadi kanker, hanya sekitar 1%. Namun bila kuret tidak dilakukan dengan baik, ada sisa yang tertinggal kemudian tidak mendapatkan penanganan yang tepat, bisa saja memicu munculnya kanker. Disebut kanker trofoblast atau kanker yang disebabkan oleh sisa plasenta yang ada di dinding rahim.

7. Pathways

  Mioma uteri Mioma Intramural Mioma Submukosum Mioma Subserosum Tanda dan gejala Massa suhu Informasi Gangguan Tindakan

  Perdarahan tubuh mengenai penyakit dalam darah operasi pervaginan Proses Oksigen dalam darah

  Ansietas Gangguan infeksi / nekrosis keseimbangan cairan

  Nyeri HB Defisiensi Anemia Penekanan organ sekitar pengetahuan

  Syok Vesika Urinaria Rectum Hipovolemik Pola eliminasi urin Pola eliminasi Alvi

  Retensi Urine Konstipasi

Gambar 2.2 pathways mioma uteri. Sumber : (Prawirohardjo, 2005) dan (Nanda,

  2014)

8. Diagnosa keperawatan yang muncul

  1) Nyeri akut berhubungan dengan agen injury biologi 2) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif 3) Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi anatomi 9.

   Fokus intervensi

  Diagnosa keperawatan yang muncul pada klien mioma uteri antara lain : a. Nyeri akut berhubungan dengan agen injury biologi

  Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2 x 24 jam diharapkan nyeri dapat terkontrol.

  Kriteria hasil : NOC 1) Skala nyeri berkurang 2) Wajah tampak rileks 3) Tidak menunjukan nyeri baik verbal dan non verbal 4) TTV dalam batas normal

  NIC 1) Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, dan factor presipitasi 2) Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan 3) Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien 4) Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan , pencahayaan, dan kebisingan.

  5) Ajarkan tentang teknik non farmakologi 6) Tingkatkan istirahat 7) Kolaborasi pemberian analgetik untuk mengurangi nyeri

  b. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24jam diharapkan keseimbangan cairan klien terpenuhi

  Kriteria hasil : NOC 1) Tekanan darah dalam batas normal 2) Nadi perifer teraba jelas 3) Tidak ada hipotensi ortostatik 4) Intake dan output 24 jam seimbang

  NIC 1) Pertahankan catatan intake dan output yang akurat 2) Monitor status hidrasi (kelembaban membran, nadi adekuat) 3) Monitor vital sign 4) Monitor status nutrisi 5) Dorong masukan oral 6) Atur kemungkinan tranfusi

  c. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi anatomi Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam diharapkan gangguan eliminasi urin dapat teratasi.

  Kriteria hasil : NOC 1) Memelihara control pengeluaran urin 2) Pola pengeluaran urin dapat diprediksi 3) Respon pada saat mendesak pengeluaran urine pada tempatnya 4) Bebas dari kebocoran urin

  NIC 1) Monitor eliminasi urine, meliputi frekuensi, konsistensi, bau, volume, dan warna 2) Monitor untuk tanda dan gejala retensi urin 3) Catat waktu, kebiasaan eliminasi urin bila diperlukan 4) Instruksi klien untuk berespon segera terhadap kebutuhan eliminasi

B. Konsep Kecemasan 1. Pengertian Kecemasan

  Ansietas (kecemasan) adalah perasaan takut yang tidak jelas dan tidak didukung oleh situasi. Tidak ada objek yang dapat diidentifikasi sebagai stimulus ansietas (Videbeck, 2008).

  Kecemasan merupakan suatu keadaan yang ditandai oleh rasa khawatir disertai dengan gejala somatik yang menandakan suatu kegiatan yang berlebihan (Videbeck, 2008). Kecemasan merupakan gejala yang umum tetapi non spesifik yang sering merupakan suatu fungsi emosi (Videbeck, 2008).

  Kecemasan sangat berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan emosi ini tidak memiliki objek yang spesifik. Kondisi dialami secara subjektif dan dikomunikasikan dalam hubungan interpersonal.

2. Etiologi

  Rentang respon kecemasan dapat dikonseptualisasikan dalam rentang respon. Respon ini dapat digambarkan dalam rentang respon adaptif sampai maladaptif. Reaksi terhadap kecemasan dapat bersifat konstruktif dan destruktif. Konstruktif adalah motivasi seseorang untuk belajar memahami terhadap perubahan-perubahan terutama perubahan terhadap perasaan tidak nyaman dan berfokus pada kelangsungan hidup. Sedangkan reaksi destruktif adalah reaksi yang dapat menimbulkan tingkah laku maladaptif serta disfungsi yang menyangkut kecemasan berat atau panik (Suliswati, 2005). Rentang respon kecemasan dapat terlihat pada gambar.

Gambar 2.3 Rentang respon kecemasan

  1. Faktor predisposisi Beberapa teori telah dikembangkan untuk menjelaskan asal kecemasan. Diantaranya dalam pandangan psikoanalitik, pandangan interpersonal, pandangan perilaku, kajian keluarga, dan dari kajian biologis (Stuart & Sundeen, 2005).

  Dalam pandangan psikoanalitik, kecemasan merupakan konflik emosional yang terjadi antara dua elemen kepribadian yaitu id dan superego. Id adalah bagian dari jiwa seseorang yang berupa dorongan atau motivasi yang sudah ada sejak manusia itu dilahirkan yang memerlukan pemenuhan segera. Sedangkan superego mencerminkan hati nurani seseorang dan dikendalikan oleh norma-norma budaya seseorang. Ego atau aku, berfungsi sebagai badan pelaksana sebagaimana yang diperlukan oleh id setelah melewati superego. Dalam pandangan interpersonal, kecemasan biasanya timbul dari perasaan takut terhadap tidak adanya penerimaan dan penolakan interpersonal. Kecemasan juga berhubungan dengan perkembangan trauma, seperti perpisahan dan kehilangan, yang menimbulkan kelemahan spesifik. Orang dengan harga diri rendah terutama mudah mengalami perkembangan kecemasan yang berat (Stuart & Sundeen, 2005).

  Pada pandangan perilaku, kecemasan merupakan segala sesuatu yang mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Selain itu menurut Suliswati (2005), bahwa kecemasan merupakan kekuatan yang besar dalam menggerakkan tingkah laku, baik normal maupun yang tidak normal. Keduanya merupakan pernyataan, penjelmaan dari pertahanan terhadap kecemasan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Pakar perilaku, menganggap bahwa kecemasan adalah suatu dorongan untuk belajar berdasarkan keinginan dari dalam untuk menghindari kepedihan. Selain itu, para ahli juga meyakini bahwa individu yang terbiasa dalam kehidupan dirinya dihadapkan pada ketakutan yang berlebihan, lebih sering menunjukkan kecemasan pada kehidupan selanjutnya (Stuart & Sundeen, 2005).

  Dalam kajian keluarga, kecemasan dianggap sebagai hal yang biasa ditemui dalam suatu keluarga dan bersifat heterogen akibat adanya sesuatu yang dianggap telah memberikan perubahan kepada keluarga kearah yang tidak normal (Suliswati, 2005). Sedangkan dalam kajian biologis, kecemasan dapat dipengaruhi faktor biokimia dan faktor genetik. Pada faktor biokimia biasanya berpengaruh pada etiologi dari kelainan- kelainan kecemasan yang membuat seseorang dalam perilaku mencari pertolongan. Sedangkan pada faktor genetik, kelainan kecemasan ditemukan lebih umum pada orang yang mempunyai hubungan kerabat dengan kelainan kecemasan. Selain itu, telah dibuktikan bahwa kesehatan umum seseorang mempunyai akibat nyata sebagai predisposisi terhadap kecemasan. Kecemasan yang disertai dengan gangguan fisik dapat mengakibatkan penurunan kapasitas seseorang untuk mengatasi stressor (Stuart & Sundeen, 2005).

  2. Faktor Presipitasi Menurut Stuart & Sundeen (2005), faktor presipitasi dibagi menjadi 2 meliputi:

  a. Ancaman terhadap integritas biologi seperti penyakit, trauma fisik, dan menurunnya kemampuan fisiologis untuk melakukan aktifitas sehari-hari.

  b. Ancaman terhadap konsep diri dan harga diri seperti proses kehilangan, dan perubahan peran, perubahan lingkungan dan status ekonomi.

3. Klasifikasi Kecemasan

  Ada empat tingkat kecemasan, yaitu ringan, sedang, berat dan panik (Stuart & Sundeen, 2005) : a. Kecemasan Ringan

  Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan persepsi atas keadaan yang dialaminya. Manifestasi yang muncul pada tingkat ini adalah kelelahan, iritabel, lapang persepsi meningkat, kesadaran tinggi, mampu untuk belajar, motivasi meningkat dan tingkah laku sesuai situasi.

  b. Kecemasan Sedang Memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada masalah yang penting dan mengesampingkan yang lain sehingga seseorang mengalami perhatian yang selektif, namun dapat melakukan sesuatu yang terarah. Manifestasi yang terjadi pada tingkat ini yaitu kelelahan meningkat, kecepatan denyut jantung dan pernapasan meningkat, ketegangan otot meningkat, bicara cepat dengan volume tinggi, lahan persepsi menyempit, mampu untuk belajar namun tidak optimal, kemampuan konsentrasi menurun, perhatian selektif dan terfokus pada rangsangan yang tidak menambah ansietas, mudah tersinggung, tidak sabar, mudah lupa, marah dan menangis.

  c. Kecemasan Berat Sangat mengurangi lahan persepsi seseorang. Seseorang dengan kecemasan berat cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik, serta tidak dapat berpikir tentang hal lain.

  Orang tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada suatu area yang lain. Manifestasi yang muncul pada tingkat ini adalah mengeluh pusing, sakit kepala, nausea, tidak dapat tidur (insomnia), sering kencing, diare, palpitasi, lahan persepsi menyempit, tidak mau belajar secara efektif, berfokus pada dirinya sendiri dan keinginan untuk menghilangkan kecemasan tinggi, perasaan tidak berdaya, bingung, disorientasi.

  d. Panik Panik berhubungan dengan terperangah, ketakutan dan teror karena mengalami kehilangan kendali. Orang yang sedang panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan. Tanda dan gejala yang terjadi pada keadaan ini adalah susah bernapas, dilatasi pupil, palpitasi, pucat, diaphoresis, pembicaraan inkoheren, tidak dapat berespon terhadap perintah yang sederhana, berteriak, menjerit, mengalami halusinasi dan delusi.