BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Polimer - YETI RUSMIATI HASANAH = BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Polimer

  Pengertian polimer secara arti kata adalah poly artinya banyak, sedangkan meros adalah bagian. Polimer dapat didefinisikan sebagai suatu molekul besar yang terdiri dari rangkaian unit struktur berulang yang memiliki ikatan kovalen. Panjang pendeknya rangkaian yang dimiliki akan menentukan banyaknya berat molekulnya. Pada umumnya berat mol material minimal 1000 atau juka dilihat dari jumlah unit struktur didalam rangkaiannya selalu lebih besar dari 100 buah. Unit struktur merupakan sususnan atom-atom dalam ruang paling sederhana (monomer). Contoh monomer yang paling sederhana adalah etylene. Untuk menjadi material polimer, monomer harus mengalami polimerisasi yang dapat dilakukan dengan cara Bulk (pemanasan), pelarutan, suspensi atau emulsi (Dorel: 1995).

  Polimer merupakan bahan yang sangat bermanfaat dalam dunia teknik. Polimer sangat mudah dibuat dan penerapannya mencakup berbagai bidang industri, seperti industri serat, plastik, cat perekat dan penambal. Polimer terdiri dari beberapa bentuk yaitu cair-kental, karet lunak sampai padatan keras. Sifat-sifat fisik dari setiap jenis polimer tersebut sangat dipengaruhi oleh berat molekulnya, kekuatan ikatan antar molekul, kelenturan struktur polimer serta fleksibilitas dari molekul (Dorel: 1995). Berat molekul rata-rata jumlah dari polimer dinyatakan dalam Mn seperti ditunjukkan dalam tabel 1.

Tabel 2.1. Berat Molekul Rata-Rata Jumlah Polimer

  Polimer Berat Molekul (Mn) LDPE 20000 HDPE 15000

  Nilon 20000 PVC 40000 PP 40000 PET 20000

  Sumber : Dorel (1995)

  Bahan polimer terdiri dari dua jenis polimer yaitu polimer biologis dan polimer bukan biologis. Polimer biologis merupakan dasar dari berbagai macam bentuk kehidupan dan makanan, sedangkan polimer bukan biologis adalah sebagai dasar dalam bahan industri. Polimer lain adalah polimer organik dari unsur C, H, N, dan O. Contohnya adalah polimer alami seperti selulosa, karet alam dan lain-lain. Dalam polimer juga sering terdapat unsur ikatan seperti Si, S, B, P, F dan Cl.

  Berdasarkan jenis struktur polimer dapat dibagi dua, yaitu : Termoset, yaitu material yang rantai molekulnya panjang dengan cross link

  (hubungan silang). Produknya antara lain alkyl, epoxy, phenol formaldehyde, urea formaldehyde Thermoplastik, yaitu material yang molekulnya panjang dan tidak punya hubungan silang. Jenis ini antara lain polyetylene (PE), polyvinyl cloride (PVC), polystirene (PP), polycarbonat (PC) (Dorel; 1995).

  Sebelum melakukan pemrosesan polimer dengan pabrikasi, harus diketahui terlebih dahulu apakah termasuk jenis Termosetting atau Thermoplastik. Hal ini menentukan jenis proses pengerjaan yang dapat dilakukan pada material tersebut. Jenis Termosetting hanya dapat diubah bentuknya dengan melakukan permesinan (pemotongan). Jenis Thermoplastik dapat diubah bentuknya dengan pemanasan, penekanan dan pendinginan.

2.2 Plastik

  Plastik merupakan salah satu produk kimia yang sangat dikenal dan memiliki penggunaan yang luas. Platik merupakan salah satu jenis dari material polimer. Umumnya bahan dasar plastik adalah minyak bumi, gas LPG, LNG atau pemanasan batubara yang menghasilkan gas pembentuk dan penyusun plastik berupa monomer- monomer yang berikatan dengan ikatan makro molekuler (polimer). Beberapa jenis plastik yang umumnya digunakan dalam industri antara lain polietilen, polipropilen, polistiren, polivinilklorida, nilon, epoxy, resin, fenol, aminoresin, politetrafluoroetilen, poliuretan, silikon, selulosa, pati, karet alam, protein, polihidroskibutirat (Dorel: 1995).

  Plastik tidak hanya dipakai untuk food grade (kemasan pangan), tetapi banyak juga diaplikasikan sebagai bahan pelindung dan pewadahan produk elektronika, komponen atau suku cadang dan zat kimia untuk industri (Latief, 2001). Selama ini pemanfaatan plastik sangat luas, hampir semua peralatan rumah tangga, perkantoran menggunakan plastik konvensional yang biasanya berbasis minyak bumi. Reaksi proses pembuatan plastik dibagi tiga bagian yaitu :

  1. Reaksi Polimerisasi Reaksi polimerisasi merupakan reaksi berantai dari monomer-monomer, yang memiliki minimal satu ikatan rangkap dua. Reaksi ini dapat berlangsung secara radikalis, kationis atau kationik.

  2. Reaksi Polikondensasi Reaksi ini bertahap yang diikuti dengan pelepasan molekul kecil, misalnya H2O, NH3, CH3OH, dan monomernya paling sedikit mengandung dua buah gugus fungsi sama atau berbeda seperti

  • –OH, -COOH, NH3. Contoh dari cara ini adalah serat nylon, silikon untuk operasi plastik dan sebagainya.

  3. Reaksi Poliadisi Yaitu reaksi tahap demi tahap yang dicirikan dengan terjadinya perpindahan atom hydrogen [H+] dari gugus fungsi yang dimiliki oleh suatu monomer ke monomer lain. Reaksi adisi banyak diterapkan di industri. Beberapa contoh polimer dari reaksi adisi adalah polietena, polipropilen, poliisobutilen, polistiren, polivinilklorida, polivinilester, poliakrilat, poliakrilnitril, polimetakrilat, dan polivinilhalida (teflon).

  Berbagai keunggulan plastik sintesis yang tidak dimiliki bahan lainnya adalah fleksibel, transparan, dan harga yang relatif murah. Bahan ini juga memiliki kelemahan-kelemahan misalnya tidak tahan panas dan dapat mencemari produk (migrasi komponen monomer) (Latief, 2001). Dari hal itu akan berakibat negatif terhadap tubuh manusia karena bahan pembuat plastik (polyethilene dll) merupakan zat karsinogen, dampak tidak akan terlihat secara langsung namun dalam jangka panjang. Dampak serius dari penggunaan plastik sintesis adalah bahan yang bersifat non biodegradable (tidak dapat dihancurkan dengan cepat dan alami). Polimer plastik yang tidak mudah terurai secara alami mengakibatkan terjadinya penumpukan limbah dan menjadi penyebab pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. Dampak negatif lain yakni tumpukan sampah plastik dapat dihancurkan dengan cara dibakar yang menghasilkan abu yang tidak dapat diuraikan oleh tanah dan asap dapat membangkitkan gas beracun berbahaya bagi makhluk hidup. Selain itu, plastik dalam pembuatannya menggunakan minyak bumi, yang ketersediannya semakin berkurang dan sulit untuk diperbaharui (Latief, 2001).

2.3 Plastik Biodegradable

  Plastik biodegradabel adalah suatu bahan dalam kondisi dan waktu tertentu mengalami perubahan dalam struktur kimianya oleh pengaruh mikroorganisme seperti jamur, bakteri dan alga. Plastik biodegradabel dapat pula diartikan sebagai suatu material polimer yang berubah dalam keadaan senyawa berat molekul rendah dimana paling sedikit satu atau beberapa tahap degradasinya melalui metabolisme organisme secara alami (Latief, 2001). Plastik biodegradabel adalah plastik yang dapat digunakan layaknya seperti plastik konvensional, namun akan hancur terurai oleh aktivitas mikroorganisme menjadi hasil akhir air dan gas karbondioksida setelah habis terpakai dan dibuang kelingkungan (Pranamuda, 2001).

  Plastik merupakan bagian dari aktivitas masyarakat. Saat ini telah tercipta suatu komitmen masyarakat internasional untuk menciptakan dunia yang bebas dari sampah plastik, karena bahan ini sulit untuk diuraikan. Strategi fragmatis untuk mengatasi hal tersebut adalah mengembangkan decomposible plastic (plastik yang mudah dihancurkan oleh alam) untuk plastik yang bersifat serbaguna dan digunakan secara luas oleh masyarakat, sedang bahan-bahan plastik khusus (tidak dapat terurai) untuk bahan konstruksi.

  Ada tiga kelompok biopolimer yang menjadi bahan dasar dalam pembuatan plastik biodegradabel yaitu : a. Campuran biopolimer dengan polimer sintesis : plastik jenis ini dibuat dengan campuran granula pati (5-20%) dan poli sintesis serta bahan tambahan

  (prooksidan dan autooksidan). Bahan ini memiliki nilai biodegrababilitas yang rendah. b. Polyester (polimer mikrobiologi) : biopolimer ini dihasilkan secara bioteknologi atau fermentasi dengan mikroba genus Alcaligenes. Bahan ini dapat terdegradasi secara penuh oleh bakteri, jamur dan alga.

  c. Polimer pertanian : biopolimer jenis ini tidak dicampur dengan bahan sintesis dan diperoleh secara murni dari hasil pertanian. Polimer pertanian ini diantaranya selulosa (bagian dari sel dinding tanaman), cellophan, seluloasetat, kitin (pada kulit custaceae, pullulan (hasil fermentasi pati oleh pullularia, pullulans) (Latief, 2001).

2.3.1 Bahan Dasar Plastik Biodegradabel a. Limbah Industri Tapioka

  Produksi tepung tapioka menghasilkan jumlah limbah organik yang tinggi. Secara umum, ada dua sumber limbah yang muncul dari proses produksi tepung 8 tapioka, yaitu limbah padat dan cair. Dari proses ini dihasilkan limbah sekitar 2/3 bagian atau sekitar 75% dari bahan mentahnya.

  Secara umum, pengelolaan limbah dapat dilakukan dengan cara pengurangan sumber (source reduction), penggunaan kembali, pemanfaatan (recycling), pengolahan (treatment) dan pembuangan. Banyak jenis limbah dapat dimanfaatkan kembali melalui daur ulang atau dikonversikan ke produk lain yang berguna. Limbah yang dapat dikonversikan ke produk lain, misalnya limbah dari industri pangan. Limbah tersebut biasanya masih mengandung serat, karbohidrat, protein, lemak, asam organik dan mineral. Pada dasarnya limbah dapat mengalami perubahan secara biologis sehingga dapat dikonversikan ke produk lain.

1) Limbah Cair Industri Tapioka

  Industri pengolahan tepung tapioka menghasilkan limbah cair dari proses pencucian, ekstraksi dan pengendapan. Untuk 1 ton tepung tapioka yang diproduksi, akan dihasilkan limbah cair sebanyak 12 m3. Limbah ini masih mengandung mineral-mineral (nitrogen, karbon, fosfor, kalium, kalsium, magnesium, sulfur, besi, mangan, tembaga dan natrium). Jadi, bila limbah cair industri tapioka ini dibuang ke lingkungan tentu saja akan merusak lingkungan.

  Limbah cair industri tapioka dari proses ekstraksi dengan kadar COD 33.600-38.223 mg/L tercatat mengandung 425-1.850 mg/L glukosa dan 223.614-29.725 mg/L gula yang dapat dihidrolisis menjadi glukosa. Asam asetat juga teridentifikasi menjadi satu-satunya komponen asam lemak volatil dalam limbah cair tapioka hasil ekstraksi pati dengan kadar 9,5% total COD.

Tabel 2.2. Kandungan Nutrisi Limbah Cair Tapioka

  Nutrisi Kadar Tiap 100 gr Limbah Cair Tapioka Karbohidrat 25-37 g

  Serat 0,19 g Lemak 1,2 g

  Protein 0,91 g Tingginya kadar karbohidrat dalam limbah cair tapioka menunjukkan bahwa limbah ini bersifat mudah dibiodegradasi sehingga dapat dijadikan gas bio.

2) Limbah Padat Industri Tapioka

  Limbah padat industri tapioka (onggok) dapat dijadikan sebagai sumber karbon karena masih mengandung pati sebanyak 75% dari bobot kering yang tidak terekstrak. Limbah ini memiliki kandungan protein yang rendah dan serat yang tinggi. Onggok juga termasuk limbah organik yang banyak mengandung karbohidrat, protein dan gula seperti glukosa, arabinosa, xilosa, dekstran dan manosa. Adapun komposisi onggok (limbah padat industri tapioka) dapat dilihat pada Tabel 2.4.

Tabel 2.3. Komposisi Ampas Ubi Kayu/ Singkong (Onggok) Pati merupakan polisakarida kompleks yang tersusun atas satuan glukosa yang saling berikatan dengan ikatan1,4 glukosa secara alami. Pada umumnya pati terdiri dari 2 tipe komponen, yang terpisah satu dengan yang lainnya, yaitu amilosa dan amilopektin. (1) Amilosa

  Di dalam amilosa, molekul-molekul glukosa saling bergandengan melalui gugus glukopiranosa α-1,4 ; berbeda dengan pada selulosa yang saling bergandengan melalui gugus glukopiranosa β-1,4. Pada hidrolisis, amilosa menghasilkan maltose disamping glukosa dan oligosakarida lainnya. Ciri lain yang dimiliki amilosa adalah : (a) Berupa komponen panjang yang tidak mempunyai rantai yang bercabang dengan ikatan 1,4 glikosa.

  (b) Secara preparative mempunyai BM 10000 – 50000 g/mol. (c) Larut dalam air. (d) Reaksi dengan iodium, memberi warna biru.

  Amilosa memiliki struktur linier, dengan berat molekul sekitar 30.000-1 juta, namun yang umum memiliki berat molekul 200.000- 300.000. Perbedaannya dengan selulosa ada pada ikatan glikosidanya, amilosa merupakan polimer linier dari á-D-glukopiranosa, sedangkan selulosa dari â-D-glukopiranosa (Fessenden dan Fessenden, 1986).

  Struktur amilosa dapat dilihat pada gambar 2.1.

  [Amilosa]

Gambar 2.1 Struktur amilosa

  Sumber: Suriadi,

  (2) Amilopektin Pada amilopektin, sebgaian dari melekul-molekul glukosa di dalam ra ntai percabangannya saling berikatan melalui gugus α-1,6. Ikatan α-1,6 sangat sukar diputuskan, lebih-lebih jika dihidrolisis memakai katalisator asam. Untuk kepentingan tumbuh-tumbuhan itu sendiri, cadangan pati di dalam sel-sel penyimpanannya dapat diuraikan kembali menjadiglukosa untuk kemudian dikonversikan menjadi energi. Pada saat yang tepat, tubuh tanaman akan mensintesa α-amilase, β-amilase, dan R-enzim semuanya secara bersama-sama bertugas memutus ikatan-ikatan rantai pati menjadi molekul-molekul glukosa bebas (Kirk and Othmer, 1954).

  Ciri lain dari amilopektin : (a) Berupa komponen panjang dan mempunyai rantai bercabang dengan ikatan 1,6 glukosid.

  (b) Tidak larut dalam air. (c) Secara preparatif mempunyai BM diatas 50000 – jutaan g/mol. (d) Reaksi dengan iodium memberi warna violet seperti merah violet.

  Amilopektin memiliki struktur bercabang melalui karbon 6 dan memiliki berat molekul di atas 1 juta. Amilopektin terdiri dari 20-25 unit glukosa yang terikat pada karbon 1 dan 4, sebagaimana dalam amilosa, tetapi dengan rantai-rantai yang tersambungkan satu sama lain melalui ikatan 1,6. Jumlah amilopektin sekitar tiga kali lebih banyak dibandingkan amilosa di alam, meskipun terdapat juga proposi salah satunya yang jauh lebih tinggi pada beberapa tumbuhan (Stevens, 2007).

  Amilopektin memiliki molekul yang berukuran lebih besar dari dan berbentuk cabang pada amilosa, memiliki ikatan α-1,4-glukosida

  1990) serta pati ikatan α-1,6-glukosida (British Nutrition Foundation,

  

alami biasanya mengandung amilopektin lebih banyak daripada amilosa.

Butiran pati mengandung amilosa berkisar 15% - 30%, sedangkan

amilopektin berkisar antara 70% - 85% (Jane dan Chen, 1992).

  

Perbandingan antara amilosa dan amilopektin akan berpengaruh terhadap sifat kelarutan dan derajat gelatinisasi pati (Jane dan Chen, 1992). Struktur amilopektin dapat dilihat pada Gambar 2.2.

  [Amilopektin]

Gambar 2.2 Struktur amilopektin

  Sumber: Suriadi, 1985 b.

   Gliserol

  Gliserol dalam pembuatan plastik berfungsi sebagai plasticizer (bahan pemlastis). Bahan pemlastis adalah substansi dengan massa relatif besar yang ditambahkan dalam polimer. Bahan pemlastis biasanya berbentuk cair dan ketika ditambahkan dalam polimer memberikan efek material lebih homogen, lembut, fleksibel dan lebih mudah diproses lebih lanjut daripada polimer murni (Nicholson, 1997). Bahan pemlastis juga diartikan sebagai senyawa aditif yang ditambahkan kedalam polimer untuk menambah fleksibillitas dan daya kerjanya (anonymous, 2003). Tujuan penambahan bahan pemlastis dalam plastik adalah untuk memperbaiki sifat alaminya sehingga sifat maupun prosesnya lebih baik serta mengurangi kemungkinan terjadinya retakan pada produk. Dengan kata lain untuk mengubah sifat plastik yang sebelumnya keras, getas, padat seperti gelas menjadi lunak, fleksibel serta ulet. Syarat utama yang harus dimiliki bahan pemlastis adalah kecocokannya dengan material plastik dan harus permanen (Dorel, 1995). Selain itu, bahan pemlastis harus bisa bercampur dengan sistem pelarut polimer dan tidak memiliki sifat volatil (Guilbert dan Biquet: 1990).

  Penambahan senyawa yang besifat plastis sangat dibutuhkan agar plastik yang dihasilkan tidak mudah retak dan pecah. Beberapa senyawa bersifat plastis yang umum digunakan adalah poliol, mono, di, atau oligosakarida, lipida dan turunannya. Gliserol adalah senyawa yang sangat umum digunakan sebagai bahan pemlastis, karena dapat meningkatkan plastisitas plastik dan berfungsi sebagai hemektan.

  Gliserol banyak terdapat dialam dalam bentuk ester, asam lemak, di dalam lemak serta didalam minyak nabati dan hewani. Gliserol berupa cairan yang menyerupai minyak dengan beberapa sifat diantaranya tidak berwarna, tidak berbau, mempunyai rasa manis, higroskopis, mudah larut dalam air dan alkohol. Dalam bentuk murni (anhidrida), gliserol mempunyai berat spesifik sebesar 1,265 pada suhu 20 0C + 4 0C, titik leleh 18,2 0C dan titik didih 290

  0C. Pada saat mendidih senyawa ini mengalami dekomposisi.

  Konsentrasi gliserol yang dibutuhkan dalam pembuatan plastik sangat bergantung pada jenis bahan yang digunakan, campuran bahan dan komposisinya. Pemakaian jenis polimer pertanian (pati, selulosa dll) ataupun kombinasi polimer pertanian dengan polimer sintesis akan membutuhkan konsentrasi gliserol yang berbeda. Konsentrasi yang tidak tepat akan berpengaruh pada tingkat adhesivitas molekul bahan.

2.3.2 Bahan Pengisi Plastik Biodegradabel a. Kalsium Karbonat (CaCO3)

  Kalsium karbonat adalah senyawa kimia dengan rumus CaCO3. Ini adalah zat yang umum ditemukan di batuan sebagai mineral kalsit dan aragonit (terutama sebagai batu kapur ), dan merupakan komponen utama dari cangkang organisme laut , siput , mutiara , dan kulit telur . Kalsium karbonat adalah bahan aktif dalam kapur pertanian , dan dibuat ketika ion kalsium dalam air keras bereaksi dengan ion karbonat menciptakan limescale

  . Hal ini biasanya digunakan medicinally sebagai kalsium suplemen atau sebagai antasida , namun konsumsi berlebihan dapat berbahaya.

  Kalsium karbonat secara tradisional menjadi komponen utama dari kapur tulis. Namun, kapur diproduksi modern sebagian besar gypsum , terhidrasi kalsium sulfat CaSO 4 · 2H 2 O. Kalsium karbonat merupakan sumber utama untuk tumbuh Seacrete , atau Biorock . Diendapkan kalsium karbonat (PCC), pra-tersebar dalam bentuk bubur, adalah bahan pengisi umum untuk sarung tangan lateks dengan tujuan mencapai penghematan maksimum biaya bahan dan produksi. [20]

  Kalsium karbonat banyak digunakan sebagai extender dalam cat, [22] di cat matte emulsi tertentu di mana biasanya 30% berat dari cat baik kapur atau marmer. Ini juga merupakan filler populer dalam plastik. [22] Beberapa contoh khas termasuk sekitar 15 sampai 20% pemuatan kapur di unplasticized polyvinyl chloride (uPVC) pipa pembuangan, 5 sampai 15% pemuatan stearat dilapisi kapur atau marmer di uPVC jendela profil.

b. Clay

   Material clay merupakan material yang paling banyak menarik

  perhatian karena sifatnya yang kuat, kaku, melimpah di alam, murah serta kemampuannya yang tinggi dalam menginterkalasikan partikel kedalam strukturnya. Kemampuan interkalasi ini karena muatan layer yang kecil (x=0,2-0,6) sehingga kation dalam ruang antar lapis dapat ditukar. Berbeda dengan material komposit polimer biasa, polimer-clay nanokomposit terbentuk jika polimer dapat terinterklsi ke dalam galeri mineral clay sehingga sifat polimer yang terbentuk berbeda dengan sifat mikropartikelnya.

  Salah satu kekurangan calay adalah sifatnya yang hidrofilik sehingga dapat menyebabkan aglomerasi mineral clay dalam matriks polimer yang bersifat hidrofobik. Kekurangan ini dapat diatasi dengan menginterkalasikan kation organik seprti asam amino atau alkil amonium membentuk organoclay yang bersifat hidrofobik. Peningkatan basal spacing setelah proses interkalasi juga dapat meningkatkan kemampuan difusi polimer atau prekursor polimer kedalam interlayer clay.

  Polimer-clay nanokompsit terbentuk dengan mendispersikan material nanoclay berlapis pada matriks polimer. Nanoclay mempunyai luas permukaan yang sangat besar sehingga dapat berinteraksi secara efektif dengan matriks polimer pada konsentrasi rendah (5-8%). Akibatnya, polimer nanoclay menujukkan peningkatan pada modulus, stabilitas termal, dan sifat barrier tanpa peningkatan berat jenis dan kehilangan sifat optik.

  Terdapat berbagai proses untuk membentuk nanokomposit clay- polimer, yaitu polimerisasi insitu, eksfoliasi larutan, dan interkalasi lelehan. Pada polimerisasi in situ, monomer diinterkalasikan kedalam galeri calay kemudiaan di polimerisasi mengginkan panas, radiasi, inisiator atau katalis. Pada ekfoliasi karutan, calay dieksfoliasi menjadi platelet tunggal menggunakan pelarut yang juga dapat melarutkan polimer. Polimer kemudian dicampur kedalam suspensi clay dan teradsopsi pada platelet. Pelarut tersebut kemudian dievaporasi. Pada interkalasi lelehan, clay dicampur secara langsung ke dalam matriks polimer dalam keadaan meleleh (Adityo,2012).

2.3.3 Proses Pembuatan Plastik Biodegradabel

  Kemampuan suatu bahan dasar dalam pembentukan plastik dapat dijelaskan melalui fenomena fase transisi gelas (Tg). Pada fase tertentu diantara fase cair dan padat, massa dapat dicetak atau dibentuk menjadi suatu bentuk tertentu pada suhu dan lingkungan tertentu. Fase Tg biasanya terjadi pada bahan berupa polimer. Suhu transisi gelas adalah suhu dimana suatu polimer mengalami perubahan dari cair menjadi bentuk padat (Adawiyah, 2002).

  Polimer yang mampu diuraikan atau dihancurkan oleh mikroorganisme disebut polimer biodegradabel. Biodegradabel ini juga berarti proses pengomposan. Polimer-polimer yang mampu dikomposkan harus memenuhi beberapa kriteria yaitu : mengandung salah satu dari jenis ikatan asetal, amida atau ester, memiliki berat molekul, kristalinitas rendah serta memiliki hidrofilitas yang tinggi. Polimer jenis ini terdapat pada polimer alam atau biopolimer seperti kanji, tapioka, singkong, jagung, sagu, kitin dan sebagainya (Budiman, 2003).

  Beberapa faktor yang mempengaruhi proses pembuatan dan karakteristik plastik biodegradabel dengan bahan baku polimer pertanian, pada umumnya adalah : a. Jenis dan konsentrasi polimer pertanian

  Jenis polimer pertanian yang digunakan sebagai bahan dasar akan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap karakteristik plastik yang dihasilkan. Hal ini disebabkan masing-masing polimer pertanian memiliki sifat-sifat yang berbeda, baik dari segi fisik, kimia maupun biologinya. Konsentrasi polimer pertanian juga akan menentukan dalam proses pembuatan, kualitas dari plastik biodegradabel dan tingkat biodegradabilitasnya. Dalam plastik biodegradabel yang berbasiskan pati, sifat biodegradabilitas dari plastik akan bergantung pada rasio kandungan patinya.

  b. Suhu Plastik biodegradabel yang berbasiskan pati, perlakuan panas yang dibutuhkan untuk membentuk pati tergelatinisasi sehingga terbentuk pasta pati yang merupakan bentuk awal dari plastik. Suhu pemasan pati yang tidak sesuai, akan mengakibatkan proses gelatinisasi pati tidak berjalan sempurna sehingga proses pembuatan plastik akan menjadi sulit. Selain itu faktor suhu juga akan berpengaruh pada sifat mekanik dari plastik yang dihasilkan.

  c. Bahan pemlastis dan bahan aditif lainnya Plastik biodegradabel yang fleksibel dapat dibuat dengan menambahkan bahan pemlastis. Konsentrasi bahan pemlastis dan bahan aditif lain yang ditambahkan kedalam formula plastik akan berpengaruh terhadap sifat mekanis plastik yeng terbentuk karena bahan pemlastis berfungsi memberikan sifat plastis dan akan berinteraksi dengan pati.

  d. Homogenisasi Proses penghomogenisasian antara bahan-bahan dalam formulasi plastik akan menentukan sifat mekanis dari plastik biodegradabel. Dalam plastik biodegradabel yang berbasiskan pati yang didapat akan mempunyai sifat mekanik yang baik (Pranamuda, 2001).

Gambar 2.3 Perkiraan Reaksi Polimerisasi

2.3.4 Karakteristik Plastik Biodegradabel a. Biodegradabilitas

  Alasan utama membuat plastik berbahan dasar biopolimer adalah sifat alaminya yang dapat hancur atau dapat terdegradasi dengan mudah. Umumnya setelah sampah plastik dibuang ke tanah (landfill), akan mengalami proses penghancuran alami baik melalui fotodegradasi (cahaya matahari, katalisa), degradasi kimiawi air, oksigen, biodegradasi (bakteri, jamur, alga, enzim) atau degradasi mekanik (angin, abrasi). Proses-proses tersebut dapat berlangsung secara tunggal maupun kombinasai (Latief, 2001).

  Biodegradasi merupakan strategi yang penting dalam mengatasi pencemaran lingkungan oleh senyawa kimia berbahaya. Melalui biodegradasi, polutan berbahaya diubah menjadi produk yang tidak berbahaya melalui reaksi enzimatik yang diperantarai oleh mikroorganisme, terutama bakteri (Djasmasari, 2004). Biodegradabilitas diartikan sebagai laju kehilangan berat. Sifat biodegradabilitas dari plastik biodegradabel berbasiskan pati sangat tergantung dari rasio kandungan patinya. Semakin besar kandungan patinya maka semakin tinggi tingkat biodegradabilitasnya (Pranamuda, 2001).

  Beberapa faktor lain yang mempengaruhi tingkat biodegradabilitas plastik setelah kontak dengan mikroorganisme, yakni sifat hidrofobik, bahan aditif, proses produksi, struktur polimer, morfologi dan berat molekul bahan plastik. Semakin besar bobot molekul suatu bahan semakin rendah biodegradabilitasnya (baik biodegradabilitas oleh enzim maupun mikroorganisme). Selain bobot molekul, bnetuk polimer (powder, fiber, atau film) juga berpengaruh terhadap biodegradabilitas. Bentuk film memiliki tingkat biodegradabilitas yang rendah (Pranamuda, 2001).

  Proses terjadinya biodegradasi plastik pada lingkungan alam dimulai dengan tahap degradasi kimia yaitu dengan proses oksidasi molekul, menghasilkan polimer dengan berat molekul yang rendah. Proses berikutnya (second process) adalah serangan mikroorganisme (bakteri, jamur dan alga) dan tingkat aktivitas enzim (intracelullar, extracelullar). Umumnya kecepatan degradasi pada lingkungan cair anaerob lebih besar dari pada limbah cair aerob, kemudian dalam tanah dan air laut (Latief, 2001).

1) EM4

  EM4 (Effective Microorganism) adalah kultur campuran mikro yang terdiri dari bakteri Lactobacillus, Actinomyces, Streptomyces, ragi jamur dan bakteri fotosentik yang bekerja saling menunjang dalam dekomposisi bahan organik (Heddy,2000). Proses dekomposisi bahan organik dengan dengan molekul EM4 berlangsung secara fementasi baik dalam keadaan aerob maupun anaerob . Bakteri-bakteri ini akan mendegradasi bioplastik yang mengandung pati dengan cara memutus rantai polimer menjadi monomer- monomernya melaui enzim yang dihasilkan dari bakteri tersebut. Proses ini akan menghasilkan senyawa-senyawa organik berupa asam amino, asam laktat, gula, alkohol, vitamin, protein dan senyawa organik lainnya yang aman terhadap lingkungan (Higga dan Wididana, 1994 dalam Jefri Sitio, 2007).

b. Karakteristik Mekanik

  Karakteristik mekanik didefinisikan sebagai respon sampel terhadap pembebanan dan deformasi. Sifat ini merupakan salah satu sifat yang penting untuk mengetahui kegunaan suatu plastik. Sifat mekanik polimer ditentukan oleh proses polimerisasi, ikatan molekul, kristalinitas, orientasi molekul, kerapatan, keadaan polimer dan adanya ikatan silang antar molekul.

  Karakteristik mekanik suatu film bermacam-macam, diantaranya tensile strength (kuat tarik), elongation of break, (persen perpanjangan) elastic atau young modulus (elastisitas). Parameter-parameter tersebut dapat menjelaskan bagaimana karakteristik mekanik dari bahan yang berkaitan dengan struktur kimianya. Selain itu, juga menunjukn indikasi integrasi film pada kondisi stress (tekanan) yang terjadi selama proses pembentukan film (Latief, 2001).

  Elastisitas merupakan ukuran dari kekuatan film plastik yang dihasilkan. Elastisitas menunjukan ketahanan spesimen terhadap deformasi yang diakibatkan oleh suatu gaya tertentu. Elastisitas merupakan perbandingan antara tegangan dan regangan yang terjadi. Gaya intermolekuler pada polimer penyusun plastik yang semakin kecil akan menurunkan mobilitas rantai polimer yang berakibat pada naiknya perpanjangan film. Nilai elastisitas yang tinggi menunjukkan bahwa bahan tersebut memiliki kemampuan untuk bersifat elastis yang rendah. Sebaliknya, nilai elastisitas yang rendah menunjukkan bahwa bahan tersebut elastis, fleksibel memiliki kemampuan untuk bertahan terhadap deformasi yang diakibatkan oleh gaya tertentu. Semakin elastis, bahan akan semakin baik dan tidak mudah rusak.