MORALITAS DAN INTEGRITAS MASYARAKAT ISLAM

MORALITAS DAN INTEGRITAS MASYARAKAT ISLAM*
Oleh Prof. Dr. Hassan Hanafi
Bahasan ini hanya ingin mencoba menganjurkan beberapa ide guna
mengajak para pembaca modern kepada pemikiran dan aksi, dan
menunjukkan kepada sebuah interpretasi baru dalam pengetahuan
umum, yaitu tentang moralitas Islam dan masyarakat. Kadang-kadang,
analisis yang detail dan bersifat mikroskopik mengenai data-data
sejarah, justru menghilangkan visi keseluruhan sejarah itu sendiri, dan
menjadikan suatu abstraksi yang dangkal mengenai kesejarahan dan
motivasi-motivasi budaya. Komputer, misalnya, dapat mengumpulkan
semua pengetahuan, tetapi tidak dapat membacanya. Dan jika pun
dapat membacanya, ia tidak dapat menguraikan.
Barangkali

sulit

memahami

sejarah

tanpa


merekonstruksi

pengalaman-pengalaman masa lalu untuk disesuaikan dengan keadaan
masa kini yang mirip. Analisa tentang masa kini adalah satu-satunya
jalan untuk memahami masa lalu. Sebab, keadaan masa kini itu sendiri
merupakan fase terakhir dari pengembangan masa lalu.
Mendengarkan suara nurani kebanyakan orang lebih signifikan
daripada keseluruhan teori-teori. Sebuah kesaksian yang hidup juga
lebih bernilai daripada keterangan-keterangan mengenai subyek pelaku.
Dengan

demikian

analisa

tentang

pengalaman


hidup

merupakan

metodologi baku dalam humanitas (kemanusiaan), yang disebut dengan
fenomenologi.
Moralitas sebagai Sebuah Ontologi
Moralitas dalam Islam tidak saja sebagai sebuah pengetahuan tentang
kebaikan dan keburukan yang berkaitan dengan epistemologi, melainkan
merupakan Wujud itu sendiri dalam perkembangannya. Yang demikian
dinamakan

dengan

Ontologi.

Pengetahuan

didapat


dari

wahyu,

sedangkan wujud atau keadaan adalah yang diimplementasikan oleh
manusia. Akal dapat mendatangkan pengetahuan wahyu yang sama,
tetapi itu melalui alam.
Dalam alam terbuka, pengetahuan dan wujud atau keadaan itu sama
saja. Monoteisme (Tawhîd) berarti kesatuan kemanusiaan, jauh dari
segala bentuk perbedaan tingkah laku seperti kemunafikan ( hypocrisy),
bermuka dua, dan oportunis. Pemikiran, perkataan, perasaan dan

1

perbuatan, semuanya harus sama persis. Dan itu artinya adalah
kesatuan masyarakat, yaitu masyarakat tanpa kelas; tanpa pembedaan
antara

miskin


dan

kaya,

masyarakat

maju

dengan

masyarakat

terbelakang, dan orang Barat dengan orang non-Barat. Pembedaan kelas
bertentangan dengan kesatuan dan persamaan setiap orang di hadapan
prinsip universal yang sama.
Nama-nama suci Tuhan dengan sendirinya adalah norma bagi tingkah
laku manusia, misalnya seperti, Adil, Pengasih, Pemaaf dan lain-lain.
Para sufi telah menyatakan bahwa tujuan mereka dalam hidup ini adalah
untuk


mengasimilasikan

atribut-atribut

ketuhanan

dan

mentransformasikannya ke dalam atribut kemanusiaan. Tuhan adalah
sesuatu yang rasional, dan prinsip-prinsip universal itu menunjukkan
rasionalitas

sekaligus

kaidah-kaidah

etik

universal.


Transendensi,

misalnya, sangat dipuja oleh Mu’tazilah, yang menjadikan manusia
senantiasa melihat kepada akhirat, dan mencoba untuk menjangkau
sebanyak mungkin universalisme.
Jika Tawhid memberikan kepada manusia janji-janji moralitas dan
menyiapkannya menuju kenyataan nilai, maka semua tuntutan-tuntutan
Islam (tidak termasuk dogma, kepercayaan, unit kepercayaan) datang
dari luar Tawhid. Kebebasan berkehendak (free will) sebagaimana
diekspos oleh Mu’tazilah, nalar sebagai kemampuan untuk membedakan
antara yang baik dan buruh, baik an sich dan buruk an sich, disebut
pengetahuan moral obyektif. Semua janji-janji ini memberikan jalan
untuk sebuah kebebasan, rasionalitas dan aksi moral obyketif. Pada
akhirnya, di dunia ini, hukum tentang kebaikan dan keutamaan ( al-

shalah wa al-ashlah) memberikan kepada manusia rasa, tujuan dan
prakarsa kepada kemajuan moral. Bahkan eskatologi membuka dimensi
lain bagi transendensi di dunia ini, yaitu keadilan abadi (eternal justice).
Dengan demikian, ketidakadilan pada akhir masa di dunia ini hanya
berlangsung sebentar dan tidak otentik. Prinsip pengharapan kepada

keutamaan atau sesuatu yang lebih baik di masa mendatang akan
melindungi seseorang dari segala bentuk depresi moral. Perbuatan
sebagai kesatuan antara yang ideal dengan realitas, tingkatan-tingkatan
dalam keimanan antara yang kuat dan yang lemah iman, semuanya
mengajak manusia kepada kompetisi moral, untuk menunjukkan
kekuatan dan keberaniannya, dan untuk mencapai kemenangan moral.
Tanggungjawab seseorang kepada negara, perannya dalam pemilihan

2

kepala negara, serta fungsi kontrol sosialnya, menjadikan aksi moral
sebagai basis bagi sistem sosial dan politik.
Pengakuan keimanan (syahadah) adalah kesaksian. Secara etimologis
berarti melihat, membuktikan dan melaporkan. Bagian pertama dalam
keimanan Islam adalah untuk menjadi sadar mengenai apa yang sedang
terjadi dalam masyarakat, dan mengambil sikap terhadap isu-isu utama
waktu itu.

Hal itu membutuhkan sebuah pengaduan tentang jarak


antara yang ideal dengan realitas, yaitu antara hukum-hukum Islam dan
penerapannya dalam masyarakat.
Perbuatan pertama seorang muslim dalam masyarakat adalah untuk
menegasikan, menentang dan menolak. Ungkapan kebahasaannya itu
sendiri bersifat negative, yaitu “tiada Tuhan”. Karena jarak antara yang
ideal dengan realitas selamanya tidak dapat secara total terhapuskan,
maka Islam selalu datang sebagai gerakan oposisi. Oleh karenanya,
Islam berarti aktivisme, baik politik maupun sosial. Ini adalah tugas
setiap muslim yang mengetahui hukum Islam mengenai amar ma’ruf
nahi munkar. Setiap muslim bertanggungjawab tidak hanya pada dirinya
sendiri, tetapi juga pada yang lain; keluarga, masyarakat dan dunianya.
Di dunia, ia memiliki bidang garapannya, yaitu untuk memenuhi
perintah Tuhan dan mentransformasikan misi kekhalifaannya di muka
bumi ini.
Peran pemerintahan Islam, sebagaimana dikatakan Ibnu Taimiyah,
adalah hisbah, yang berarti pengawasan terhadap aplikasi hukumhukum Islam. Para yuris memiliki kekuatan untuk menurunkan kepala
negara jika yang bersangkutan terbukti gagal dalam mengaplikasikan
hukum-hukum

Islam.


Ontologi

dalam

Islam,

dengan

demikian,

menemukan penyelesaian akhirnya dalam bentuk oposisi politis.
Moralitas sebagai Bentuk Penegasan Dunia
Moralitas Islam mengakui keadaan alamiah manusia dan menerima
realitas dunia. Ia tidak mengingkari apapun dari bagian-bagian keadaan
alamiah itu. Penyiksaan terhadap diri sendiri, asketisme, penghinaan
terhadap orang lain, semuanya itu tidak dikenal dalam Islam. Moralitas
Islam pada prinsipnya didasarkan atas penegasan terhadap realitas
kemanusiaan dan pemenuhan diri menghadapi semua bentuk frustasi
dan kemelaratan. Dengan demikian, moralitas Islam dan keadaan

alamiah manusia itu adalah hal yang sama.

3

Islam bukanlah sebuah agama dunia pengingkaran seperti agamaagama India, tetapi dunia penegasan. Tasawuf dalam pengertian itu
didasarkan atas perbedaan antara yang suci dan yang tidak suci, dan
mengajak kepada kesucian dalam melawan ketidasucian. Materialisme
adalah sebuah reaksi terhadap kerahiban. Perkawinan, anak, kesehatan,
dan kebahagiaan hidup merupakan bagian integral dari moralitas Islam.
Perlindungan hidup dan pemeliharaan kesehatan adalah maksud utama
dalam wahyu. Oleh karenanya, larangan berbuat dosa bertujuan
melindungi potensi-potensi intelektual. Penerapan hukum-hukum Islam
bukan berarti pembatasan terhadap pengembangan alam, melainkan
lebih sebagai sebuah faktor pendorong untuk membantu mempercantik
alam.

Kapasitas

dan


kemampuan

fisik

adalah

kondisi

untuk

menyelenggarakan ibadah.
Islam memiliki kekuatan untuk mengeidentifikasi dirinya sendiri
melalui watak budayanya yang asli. Islam tidak menimpakan kepada
alam sesuatu yang berasal dari luar dirinya yang dengan mudah dapat
tertolak sebagai anggota asing dalam suatu bentuk alam. Tidak seorang
pun dapat memeras bagian apapun dari alam, karena ia akan kembali
kepada setting alamiahnya. Barangkali, untuk beberapa tahun, Islam
akan bersikap lembut dan tidak tampak dalam hati massa, tetapi itu
tidak berarti akan mati selamanya. Untuk sementara ia akan mengambil
bentuk laten dan tersembunyi sampai tiba momentummya yang tepat
untuk muncul kembali.
Moralitas sebagai Struktur Sosio-Politik
Moralitas Islam memperluas dirinya dari level individu kepada level
sosial. Masyarakat adalah tujuan akhir dari wahyu, dari teori kepada
praktek, dari teks kepada struktur sosio-politik. Setiap bagian dari
keimanan dan peribadatan memiliki konotasi sosial. Rukun Islam yang
lima itu juga mempunyai aspek sosial.
Tawhid itu sendiri berarti pembentukan sebuah masyarakat tanpa
kelas; shalat dalam Islam dilakukan dalam masyarakat paling sedikit
sekali dalam seminggu untuk saling melihat satu sama lain, dan lebih
disukai lagi jika hal itu dapat dilakukan lima kali dalam sehari. Khutbah
Jum’at adalah sebuah pidato politik dalam konteks rapat umum agama.
Zakat ditujukan kepada orang miskin. Dan puasa dipastikan untuk dapat
mengidentifikasi

diri

terhadap

eksistensi

4

orang-orang

kelaparan.

Sedangkan haji merupakan konferensi tahunan bagi seluruh muslim
untuk saling mengetahui dan mengenal satu dengan yang lain.
Dengan demikian, Islam adalah sebuah agama sosial. Relasi sosial
(mu’âmalat) dalam Islam lebih ditekankan daripada sekedar ibadah
individual. Dalam kasus dimana diharuskan untuk memilih antara etika
individu atau etika sosial, maka yang kedua harus didahulukan. Dalam
Islam,

orang

lain

harus

dihormati

sebagai

bagian

dari

anggota

masyarakat yang satu. Bantuan dan perlindungan terhadap orang lain
merupakan sebuah manifesto dari ketaqwaan seseorang. Tingkatan
tertinggi dalam ketaqwaan seseorang adalah upaya perlindungannya
terhadap kehidupan orang lain. Dosa seseorang akan diampuni hanya
dengan sebuah pemberian, walaupun hanya dengan memberi minum
seekor anjing yang sedang kelaparan.
Konservatisme Islam, saat ini, terutama di Mesir, dikenal dengan
kebangkitan Islam, penegakan moral secara kaku sebagai formalisme
dan etika individu, seperti kerudung, etika sexual yang keras, jenggot,
jubah putih, dan kelompok-kelompok haji. Struktur sosio-politik menjadi
terkesampingkan, sadar atau tidak sadar, untuk saat ini atau bahkan
selamanya.
Makanya, untuk menghindari dualisme antara ritual formal dengan
aktivitas sosial, Islam mengajukan moralitas sebagai basis bagi struktur
sosialnya. Teori yang masyhur tentang istikhlâf, adalah bahwa Tuhan
merupakan pemilik seluruh yang ada di dunia ini, dan manusia hanyalah

of God on the Earth);
membebaskan kesadaran kemanusiaan dari kecenderungan berlebihan
kepada materi dan hasrat untuk memiliki segala sesuatu daripada
dengan bekerja. Tuhan adalah pemilik sekaligus pewaris sejati segala
yang ada.
sebagai

pelayan-Nya

di

dunia

(steward

(Alih Bahasa: Anang Rikza Masyhadi)

5

*

Terjemahan intisari dari artikel, “Morality and The Integrity of Society”, dalam buku “Islam in The Modern World”,
(Dâr al-Kebaa, Cairo), vol 1, hal.561-572. Prof. Dr. Hassan Hanafi adalah Guru Besar Filsafat pada Fak. Adab, Cairo
University dan telah menulis lebih dari 30 judul buku.
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 04 2004