MEMPRIHATINKAN NASIB PENGUNGSI

MEMPRIHATINKAN NASIB PENGUNGSI
Akibat banjir besar di Jakarta saja sekitar 365.000 jiwa terpaksa mengungsi. Mereka
terpaksa meninggalkan rumahnya yang diserbu air. Meninggalkan perabotan, barang berharga,
pakaian dan makanan. Mereka semua mengungsi di tempat-tempat yang memungkinkan. Ada
yang mendirikan tenda di sela-sela rel kereta api, ada yang terpaksa berlindung di bawah
jembatan layang, ada yang mengungsi ke masjid-masjid, atau gedung-gedung. Bahkan ada yang
tidur dan membuat tenda di makam-makam yang tidak tergenang air. Ketika banyak orang kaya
memborong bahan makanan di supermarket, sampai ada yang memborong bahan makanan dan
minuman sebanyak sepuluh kereta dorong, maka para pengungsi itu kedinginan dan kelaparan.
Anak-anak menggigil, berwajah pucat dan banyak yang menangis. Ibu mereka pun bersedih,
juga nenek atau kakek mereka. Sementara ayah mereka bekerja mendorong mobil, atau berusaha
kembali ke rumah untuk mengais-ngais barang yang masih mungkin diselamatkan.
Lebih dari sehari mereka mengungsi, muncul masalah yang lebih gawat lagi. Gangguan
kesehatan. Karena jumlah makanan dan air bersih terbatas, dan menumpuknya kotoran yang
sulit ditanggulangi maka para pengungsi mudah terkena diare atau gangguan pencernaan lainnya.
Udara yang dingin dan membusuk, menyebabkan munculnya penyakit infeksi saluran pernafasan
atas (ISPA). Juga muncul penyakit flu, demam, batuk dan penyakit kulit. Dalam kondisi tubuh
kekurangan gizi dan kondisi jiwa dilanda kepanikan dan ketegangan maka penyakit-penyakit
tersebut mudah muncul dan menular di kalangan pengungsi.
Kehadiran pengungsi akibat banjir di Jakarta ini kemudian ditambah dengan munculnya
pengungsi di jalur pantura Jawa Tengah dan Jawa Timur. Beberapa bulan lalu, di belahan pantai

selatan Jawa yang mendapat giliran serangan banjir dan tanah longsor sampai menimbulkan
korban jiwa dan pengungsian juga. Mereka semua sama-sama merasa tidak enaknya menjadi
pengungsi. Sebagaimana di berbagai daerah pernah mengalami panen konflik horizontal dan
konflik vertikal, yang kemudian juga menyebabkan berbagai daerah itu juga kebanjiran
pengungsi yang jumlahnya mendekati jutaan orang.
Tentu saja hadirnya para pengungsi ini menimbulkan keprihatinan besar bagi yang masih
memiliki rasa kemanusiaan dan hati nurani. Dalam waktu yang pendek bantuan terus
berdatangan. Meski respon dari pejabat pemerintah banyak dinilai lamban sehingga ketika
mereka datang berkunjung justru didemo, respon dari masyarakat sendiri cukup cepat. Dapurdapur umum dibangun di mana-mana.
Kita semua memang layak dan harus terharu, kemudian tergerak, ketika menyaksikan
bagaimana kondisi para pengungsi itu begitu mengenaskan. Mereka ibarat kehilangan segalanya.
Termasuk kehilangan modal usaha, karena harta benda mereka hanyut Mereka ibarat hanya
memiliki nyawa dan pakaian sepasang, yaitu yang mereka kenakan saat mengungsi. Padahal
belum lama mereka sudah membelanjakan uang mereka untuk mudik ke kampung halaman.
Mereka baru mulai usaha dan baru mulai megumpulkan modal sedikit demi sedikit ketika banjir
itu datang.
Yang patut mendapat perhatian lebih serius lagi adalah terganggunya proses belajarmengajar akibat adanya banjir. Sekolah atau pesantren yang tergenang, atau malahan roboh
dihantam banjir menyebabkan anak-anak sekolah, khususnya anak-anak yang ikut mengungsi
bersama orangtuanya, kehilangan kesempat belajar selama mereka mengungsi. Bahkan sangat
mungkin mereka lebih menderita lagi, karena alat belajar mereka, yaitu alat tulis dan baca, juga

buku-buku mereka terendam air dan hanyut.Betapa ruginya anak-anak ini secara intelektual

kalau mereka tidak mendapat bantuan untuk memulihkan kondisi belajar mereka. Mereka
terhambat dalam menerima dan mengembangkan ilmu, padahal ilmu merupakan bekal hidup
yang sangat penting untuk menyongsong masa depan mereka. Sebab setelah air surut dan
sekolah atau pesantren mereka dibersihkan dan diperbaiki, mereka masih tetap membutuhkan
bantuan berupa buku-buku dan alat tulis-menulis sebagai pengganti milik mereka yang rusak
atau hilang itu.
Selain itu, anak-anak yang sedang belajar ini juga membutuhkan tambahan makanan dan
minuman yang bergizi tinggi. Dengan demikian mereka menjadi lebih siap belajar, dapat
memacu diri mengejar ketertinggalan pelajaran selama mereka harus berada di tempat
pengungsian. Gizi yang tinggi akan membuat mereka tidak mudah jatuh sakit. Kalau toh mereka
ada yang sakit, lebih mudah disembuhkan.
Dengan demikian memperhatikan, memprihatinkan dan membantu pengungsi tidak
terbatas pada masalah yang mendesak selama mereka berada di pengungsian. Setelah banjir surut
pun mereka tetap membutuhkan bantuan. Untuk memulihkan kondisi mereka. Kondisi
kesehatan, kondisi kehidupan sehari-hari, kondisi belajar mereka, dan pemulihan kondisi usaha
mereka. Ditambah dengan pemulihan atau perbaikan kondisi lingkungan fisik, baik dalam skala
kampung maupun dalam skala kota dan dalam skala yang lebih besar lagi. Termasuk perbaikan
atau malahan perombakan dalam skala politik dan kebijakan pemerintah daerah.

Dalam banyak fakta, seperti dilaporkan oleh media massa, mereka semua terpaksa hadir
sebagai pengungsi adalah karena mereka menjadi korban dari bermacam-macam penyimpangan
yang dilakukan oleh para pejabat publik di daerah mereka. Agar korban ini tidak muncul secara
rutin setiap tahun maka para pejabat publik yang melakukan penyimpangan, yang menyebabkan
orang lain menjadi korban ini, harus dituntut pertanggungjawabannya. Kalau perlu sampai pada
titik yang optimal, mundur. (tof, dari berbagai sumber)
Sumber: SM-02-2005