PANDANGAN JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL) TERHADAP PERKAWINAN BEDA AGAMA.

(1)

PANDANGAN JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL) TERHADAP

PERKAWINAN BEDA AGAMA

SKRIPSI

Oleh:

Saiful Ma'arif

NIM. C01212090

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Fakultas Syariah Dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Keluarga

Surabaya


(2)

PANDANGAN JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL) TERHADAP

PERKAWINAN BEDA AGAMA

SKRIPSI

Diajukan kepada

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu

Syariah dan Hukum

Oleh:

Saiful Ma’

arif

NIM. C01212090

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Fakultas Syariah dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Keluarga

Surabaya


(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

ABSTRAK

Skripsi ini adalah hasil penelitian kepustakaan, dengan judul “Pandangan Jaringan Islam Liberal (JIL) terhadap Perkawinan Beda Agama”. Bertujuan untuk menjawab pertanyaan bagaimana pandangan JIL terhadap perkawinan beda agama, dan bagaimana metode yang digunakan JIL dalam ijtihad hukum Islam terhadap perkawinan beda agama.

Data penelitian dihimpun melalui studi pustaka, selanjutnya dianalisis dengan teknik deskriptif analisis, dengan pola pikir deduktif yaitu mengemukakan teori atau dalil-dalil yang bersifat umum untuk memperoleh kesimpulan.

Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa dalam perkawinan beda agama, JIL tidak mempermasalahkan perkawinan antara seorang Muslim dengan non-Muslim, baik laki-laki maupun perempuan, jadi boleh menikah beda agama apapun aliran kepercayaannya baik laki-laki maupun perempuan.

Metode yang digunakan JIL dalam ijtihad hukum Islam tentang perkawinan beda agama adalah JIL menempatkan maqa<sid shari<’ah sebagai metode ijtihad yang pertama kemudian Alquran, sunah, ijmak dan qiyas, artinya kemaslahatan manusia lebih diutamakan daripada ayat itu sendiri, oleh karena itu apabila antara teks dalam wahyu saling bertentangan dengan kemaslahatan manusia maka yang diutamakan adalah kemaslahatan manusia meskipun menyalahi teks itu sendiri. Oleh karena metode ijtihad inilah, maka JIL memperbolehkan perkawinan beda agama demi kemaslahatan manusia.

Oleh karena itu, kita sebagai umat Muslim hendaknya untuk lebih proaktif menghadapi tantangan besar dalam bidang pemikiran tentang liberalisasi Islam yang sebenarnya bersumber dari luar Islam yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam.


(8)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM... i

PERNYATAAN KEASLIAN... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii

PENGESAHAN... iv

MOTTO... v

ABSTRAK... vi

KATA PENGANTAR... vii

DAFTAR ISI... x

DAFTAR TRANSLITERASI... xi

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Identifikasi Masalah... 14

C. Batasan Masalah... 14

D. Rumusan Masalah... 14

E. Kajian Pustaka... 14

F. Tujuan Penelitian... 16

G. Kegunaan Hasil Penelitian... 16

H. Definisi Operasional... 17

I. Metode Penelitian... 18

J. Sistematika Pembahasan... 20

BAB II DESKRIPSI UMUM JARINGAN ISLAM LIBERAL... 22

A. Profil Jaringan Islam Liberal... 22

1. Sejarah Kemunculan Jaringan Islam Liberal... 29

2. Pengertian Islam Liberal... 3. Misi dan Kegiatan Pokok Jaringan Islam Liberal.... 32

B. Karakteristik Pemikiran Jaringan Islam Liberal... 47


(9)

BAB III PANDANGAN DAN METODE IJTIHAD JARINGAN ISLAM LIBERAL TERHADAP PERKAWINAN BEDA

AGAMA... 51

A. Pandangan JIL terhadap Perkawinan Beda Agama... 51

B. Metode Ijtihad JIL dalam Perkawinan Beda Agama... 53

BAB IV ANALISIS TERHADAP PANDANGAN JARINGAN ISLAM LIBERAL TERHADAP PERKAWINAN BEDA AGAMA ... 60

A. Analisis terhadap Pandangan Jaringan Islam Liberal tentang Perkawinan Beda Agama... 60

B.Analisis terhadap Metode Ijtihad Jaringan Islam Liberal terhadap Perkawinan Beda Agama... 72

BAB V PENUTUP... 78

A. Kesimpulan... 78

B. Saran... 79 DAFTAR PUSTAKA


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Allah menciptakan hubungan antara laki-laki dan perempuan dengan suatu wadah pernikahan sebagai jaminan kelestarian populasi manusia di muka bumi, sebagai motivasi dari tabiat dan syahwat manusia dan untuk menjaga kekekalan keturunan mereka. Dengan adanya dorongan syahwat seksual yang terpendam dalam diri laki-laki dan perempuan, mereka akan berfikir tentang pernikahan.1 Menurut fitrahnya, manusia dilengkapi oleh Tuhan dengan kecenderungan seks, oleh karena itu, Tuhan menyediakan wadah yang legal untuk terselenggaranya penyaluran tersebut yang sesuai dengan derajat kemanusiaan, yakni dengan wadah perkawinan. Akan tetapi, perkawinan tidaklah semata-mata dimaksudkan untuk menunaikan hasrat biologis tersebut. Terdapat tujuan lainnya dari sebuah perkawinan, yaitu untuk mencapai kehidupan saki>nah, mawaddah dan rahmah, regenerasi, menjaga kehormatan, dan beribadah untuk Tuhan,2 serta menjalin hubungan kekeluargaan.

Hal tersebut diatas sesuai dengan rumusan yang terkandung dalam aturan hukum positif di Indonesia yakni, pasal 1 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang berbunyi: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk

1 Muhammad Ali Ash-Shabuny, az-Zawaju Islamil Mubakkrir: Sa’adah, Terj. Mustaqiim, Hadiah untuk Pengantin, (Jakarta: Mustaqim, 2001), 28.

2 Khoruddin Nasution, Islam Tentang Relasi Suami dan Istri, (Hukum Perkawinan 1) Dilengkapi Perbandingan UU Negara Muslim, (Yogyakarta: Academia dan Tazzafa, 2004), 35.


(11)

2

keluarga (rumah tangga) yang bahagia yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.3

Dari bunyi Pasal 1 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tersebut di atas, tersimpul suatu rumusan arti dan tujuan perkawinan. Dalam pengertian yang lain, perkawinan juga diartikan sebagai akad yang sangat kuat, hal ini sesuai dengan Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi: “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mithaqan ghaliz}an untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”4.

Menurut Sayuti Thalib perkawinan ialah perjanjian suci membentuk keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan.5 Sementara Mahmud Yunus menegaskan, perkawinan ialah akad antara calon laki istri untuk memenuhi hajat jenisnya menurut yang diatur oleh syariat.6 Perkawinan merupakan ikatan sakral karena di dalam ikatan perkawinan tersebut tidak hanya terdapat ikatan lahir atau jasmani saja tetapi juga ada ikatan rohani yang berdasarkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Maksudnya ialah bahwa suatu perkawinan tidak hanya sekedar hubungan lahiriah saja, tetapi lebih dari itu yaitu satu ikatan atau hubungan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang

3 Indonesia, Undang-Undang Perkawinan, UU No 1 tahun 1974, pasal 1.

4 Departemen Agama RI, Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000), 14.

5 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1986), 47.


(12)

3

bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa7.

Jadi, pada dasarnya perkawinan merupakan cara penghalalan terhadap hubungan antar kedua lawan jenis, yang semula diharamkan, seperti memegang, memeluk, mencium dan hubungan intim. Perkawinan juga merupakan cara untuk melangsungkan kehidupan umat manusia di muka bumi, karena tanpa adanya regenerasi, populasi manusia di bumi ini akan punah. Dan perkawinan memiliki dimensi psikologis yang sangat dalam, karena dengan perkawinan ini kedua insan, suami dan istri, yang semula merupakan orang lain kemudian menjadi satu. Mereka saling memiliki, saling menjaga, saling membutuhkan, dan tentu saja saling mencintai dan saling menyayangi, sehingga terwujud keluarga yang harmonis (saki>nah).8 Begitu jelas Islam menjelaskan tentang hakekat dan arti penting perkawinan, bahkan dalam beberapa undang-undang masalah perkawinan diatur secara khusus. Seperti, Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 dan lain-lain. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa antara perkawinan dan agama mempunyai hubungan yang sangat erat, karena perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir atau jasmani, tatapi unsur batin atau rohani juga mempunyai peranan yang penting.9

7 Sution Usman Adji, Kawin lari dan Kawin antar Agama, (Yogyakarta: Liberty, 1989), 21. 8Masykuri Abdillah, “Distorsi Sakralitas Perkawinan Pada Masa Kini”, dalam Mimbar Hukum No. 36 Tahun IX 1998, 74.


(13)

4

Tujuan perkawinan yang diinginkan dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 adalah suatu bentuk tujuan yang ideal. Tujuan perkawinan itu tidak hanya melihat dari segi lahirnya saja tapi sekaligus terdapat adanya suatu pertautan batin antara suami dan istri yang ditujukan untuk membina suatu keluarga atau rumah tangga yang kekal dan bahagia bagi keduanya dan yang sesuai dengan kehendak Tuhan Yang Maha Esa10.

Dari uraian diatas, menurut M. Yahya Harahap asas-asas yang dipandang cukup prinsip dalam Undang-Undang perkawinan adalah:

1. Menampung segala kenyataan-kenyataan yang ada yang sudah hidup dalam masyarakat bangsa Indonesia dewasa ini. Undang-Undang perkawinan menampung didalamnya segala unsur-unsur ketentuan hukum agama dan kepercayaan masing-masing.

2. Sesuai dengan adanya tuntutan perkembangan zaman. Maksud dari perkembangan zaman adalah terpenuhinya aspirasi wanita yang menuntut adanya emansipasi, disamping perkebangan sosial ekonomi, ilmu pengetahuan teknologi yang telah membawa implikasi mobilitas sosial di segala lapangan hidup dan pemikiran.

3. Tujuan perkawwinan adalah membentuk keluarga bahagia kekal. Tujuan perkawinan ini dapat dielaborasi menjadi tiga hal. Pertama, suami-istri saling membantu dan saling melengkapi. Kedua, masing-masing kedua belah pihak dapat mengembangkan kepribadiannya dan untuk pengembangan kepribadian itu suami-istri harus saling

10 Ibid, 4.


(14)

5

membantu. Ketiga, tujuan terakhir yang ingin dikejar oleh keluarga bangsa Indonesia adalah keluarga bahagia yang sejahtera spiritual dan material.

4. Kesadaran akan hukum agama dan keyakinan masing-masing warga negara Indonesia yaitu perkawinan harus dilakukan berdasarkan hukum agama dan kepercayaan masing-masing. Hal ini merupakan crusial poin yang hampir menenggelamkan Undang-Undang ini. Disamping itu perkawinan harus memenuhi administratif pemerintahan dalam bentuk pencatatan.

5. Undang-Undang menganut asas monogami akan tetapi tetap terbuka peluang untuk melakukan poligami selama hukum agamanya mengizinkannya.

6. Perkawinan dan pembentukan keluarga dilakukan oleh pribadi yang telah matang jiwa dan raganya.

7. Kedudukan suami-istri dalam kehidupan keluarga adalah seimbang, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat.11

Hukum perkawinan Islam dibangun untuk menciptakan kemaslahatan bagi seluruh manusia dan bagi pihak-pihak yang bersangkutan dengan pernikahan tersebut. Secara umum, kemaslahatan perkawinan adalah segala sesuatu yang merupakan kebaikan atau yang menyebabkan timbulnya kebaikan dan bukan merupakan sebuah kemudaratan atau sesuatu yang menolak munculnya berbagai


(15)

6

kemudaratan di dalam kehidupan perkawinan bagi pihak yang bersangkutan dan bagi masyarakat di sekitarnya.12

Kemaslahatan perkawinan juga berarti segala sesuatu yang digunakan untuk meraih maqa>s{id al-shari’>ah dari perkawinan, baik yang bersifat as}liyyah atau t}abi>’ah. Kemaslahatan perkawinan yang termasuk ke dalam as{liyyah adalah meneruskan keturunan yang merupakan penjagaan langsung terhadap salah satu al-ushu>l al-khamsah . Sedangkan kemaslahatan perkawinan yang bersifat t{abi>’ah adalah mencari ketenangan (saki>nah), membagi cinta dan kasih sayang (mawaddah wa al-rahmah), menyalurkan kebutuhan biologis secara benar dan sebagainya.13

Kemaslahatan perkawinan yang berupa meneruskan keturunan tersebut juga berarti maslah{ah d{aru>riyyah. Sedangkan kemaslahatan yang berupa kelanggengan ikatan perkawinan, keharmonisan rumah tangga, saling berbagi kasih sayang, ketenangan dan cinta adalah maslah{ah h{a>jiyyah.14

Di era modern ini, pergaulan antara pria dan wanita telah melampaui suku, etnis, bangsa, bahkan mereka tidak memperdulikan batasan agama. Hal itu berarti perbedaan-perbedaan tersebut bukanlah hal yang menjadi penghalang antara pria dan wanita untuk menjalin suatu hubungan hingga ke jenjang perkawinan, sehingga dengan latar belakang tesebut muncullah perkawinan antar agama, yang mana kasus tersebut menjadi polemik para ulama terdahulu hingga sekarang. Masih banyak perdebatan berkenaan tentang perkawinan beda agama hingga kini

12Abd al-Wahab Khalla<f, Us{u<l al Fikih, (Kairo: Da<r al-Qalam,1978), 198.

13Yu>suf H{a>mid ‘A>lim, al-Maqa>shid al-‘A>mmah li al-Sharî’ah al-Isla>miyyah (USA: Internasional

Graphics Printing Service, 1991), 102.


(16)

7

masih santer terjadi. Perdebatan terjadi antara para akademisi, tokoh ulama, ormas-ormas keagamaan dan bahkan masyarakat yang awam pun turut memperdebatkannya. Ada pihak yang memperbolehkan dan adapula pihak yang mengutuk secara keras terjadinya perkawinan beda agama.

Perkawinan beda agama banyak terjadi di kalangan masyarakat, baik masyarakat kota maupun desa, baik kalangan artis maupun rakyat jelata. Hal itu didasarkan atas banyak hal, antara lain minimnya pengetahuan tentang agama, rendahnya pendidikan atau bahkan disebabkan faktor ekonomi. Hukum-hukum di Indonesia mutlak mengharamkan terjadinya perkawinan beda agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia yakni haram hukumnya perkawinan campuran antara seorang laki-laki muslim dengan wanita musyrik (non muslim),

Ketentuan hukum perkawinan antar agama telah dinyatakan secara tegas dalam Alquran. Paling tidak ada tiga mainstream pemikiran dalam masalah ini. Pertama, mengharamkan secara mutlak perkawinan beda agama. Kedua, membolehkan dengan syarat tertentu. Ketiga, membolehkan tanpa syarat.

Disebutkan dalam firman Allah swt:

ْوَلَو ٍةَكِرْشُم نِ م ٌرْ يَخ ٌةَنِمْؤُم ٌةَمَأَو ىنِمْؤُ ي ىََح ِتاَكِرْشُمْلا ْاوُحِكنَت َاَو

ََ

ْاوُحِكنُت َاَو ُْْكَْْ َََْْ

وُْْدَي َكِئ َلْوَُ ُْْكََََََْْ ْوَلَو ٍكِرْشُم نِ م ٌرْ يَخ ٌنِمْؤُم ٌدََْعَلَو ْاوُنِمْؤُ ي ىََح َنِكِرِشُمْلا

ُ ّاَو ِ اىنلا ََِِ ََ

ىنلِل ِهِتََآ ُِ نَ َُ يَو ِهِنْذِِِ ِةَرِفْغَمْلاَو ِةىنَْْا ََِِ َوُْْدَي

ىلَعَل ِسا

َوُرىكَكََْ ي ُْْم

Artinya: Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah


(17)

8

menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.15

Pada ayat di atas dapat dipahami bahwa Islam menurut pendapat yang pertama, yakni melarang dengan tegas adanya perkawinan campuran antar agama, bahkan dijelaskan pula pada ayat tersebut bahwa seorang wanita hamba sahaya yang muslim itu jauh lebih baik untuk dikawini daripada wanita non muslim yang merdeka.

Pendapat kedua, yakni memperbolehkan dengan syarat. Pendapat yang kedua menyatakan bahwa laki-laki Muslim diperbolehkan menikah dengan perempuan ahlul kita>b. Menurut mereka lafaz{ musyrikah tidak mencakup ahlul kita>b. Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam surah al-Baqarah (2): 105 dan al-Bayyinah (98):1 dan 6. Diperbolehkannya seorang laki-laki muslim mengawini wanita-wanita ahlul kita>b dapat dilihat dalam buku Sayyid Sabiq dalam fikih sunnahnya, bahwa seorang laki-laki muslim diperbolehkan untuk menikahi perempuan merdeka dari ahlul kita<b.16 Pernyataan yang ada dalam buku ini didasarkan pada firman Allah swt dalam Al- Qur’an:

ُىّ ُلِح ُْْكُماَعَطَو ُْْكىل ٌلِح َباَِْكْلا ْاوُتوَُ َنيِكىلا ُماَعَطَو ُتاََِ يىطلا ُُْكَل ىلِحَُ َمْوَ يْلا

ُتاَنََْحُمْلاَو ْْ

َُ وُجَُ ىنُوُمُْْ يَ تآ اَذِِ ُْْكِلََْ ق نِم َباَِْكْلا ْاوُتوَُ َنيِكىلا َنِم ُتاَنََْحُمْلاَو ِتاَنِمْؤُمْلا َنِم

َنِنَُُِْ ىن

ا ِِ َوَُو ُهُلَمَْ َطََِح ْدَقَ ف َِاَمِإِِ ْرُفْكَي نَمَو ٍَاَدْخََ يِكِخىُْم َاَو َنِحِفاَسُم َرْ يَغ

َنِم ِةَرِخآ

َنيِرِساَْْا

Artinya: Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini)

15 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, (Solo: Pustaka Mantiq, 1997), 53. 16 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, vol. 3, (Matraman: Tinta, 2013), 336.


(18)

9

wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.17

Selain pendapat tersebut di atas, dalam qaul mu’tama<d maz{hab Shafi’i, perempuan ahlul kita<b yang halal dinikahi laki-laki muslim adalah perempuan yang menganut agama Nasrani dan Yahudi sebagai keturunan dari orang-orang (nenek moyang mereka) yang menganut agama tersebut sejak masa sebelum nabi Muhammad diutus menjadi rasul. Sedangkan orang-orang yang baru menganut agama Yahudi atau Nasrani sesudah Alquran diturunkan tidaklah dianggap ahlul kita<b, karena terdapat kalimat min qablikum (dari sebelum kamu), dalam ayat 5 surat Al-Ma<idah kalimat tersebut menjadi qayid bagi ahlul kita<b yang dimaksud. Pendapat maz{hab Shafi’i ini mengakui ahlul kita<b bukan karena agamanya, tetapi karena menghormati asal keturunannya.18 Muhammad Jawad Mughniyah dalam buku Fiqih Lima Maz{habnya juga menyatakan tentang diperbolehkannya laki-laki muslim mengawini wanita ahlul kita<b, yakni wanita-wanita Yahudi dan Nasrani oleh empat Maz{hab (Imam Maliki, Shafi’i, Hanafi, dan Hambali).19

Pendapat ketiga, yakni mutlak memperbolehkan perkawinan beda agama Antara lain sebagian contoh buku Pluralisme Agama yang dibiayai oleh LSM asing seperti The Asia Foundation dan Ford Foundation:

17 Departemen Agama RI, Alquran…, 158.

18 Wardah Nuroniyah, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Yogyakarta: Mitra Utama, 2011), 289. 19 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Maz{hab, (Jakarta: Lentera, 2013), 336.


(19)

10

1. Buku Fiqih Lintas Agama yang diterbitkan oleh Paramadina dan The Asia Foundation. Dengan berdasarkan pada Pluralisme Agama, buku ini kemudian juga merombak hukum Islam dalam bidang perkawinan, dengan menghalalkan perkawinan wanita Muslimah dengan lelaki non-Muslim yang berbunyi: “Soal pernikahan laki-laki non-Muslim dengan wanita Muslim merupakan wilayah ijtihad dan terikat dengan konteks tertentu, diantaranya konteks dakwah Islam pada saat itu. Yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini, sehingga pernikahan antar agama merupakan sesuatu yang terlarang. Karena kedudukannya sebagai hukum yang lahir atas proses ijtihad, maka amat dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita Muslim boleh menikah dengan laki-laki non-Muslim, atau pernikahan beda agama secara lebih luas amat diperbolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaannya.”20

2. Buku “Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam”, (Kerjasama Fatayat Nahdhatul Ulama dan dengan Ford Foundation): Diantara isi buku ialah menyatakan bahwa semua agama adalah sama dan benar; Islam bukanlah satu-satunya jalan kebenaran; dan agama dipandang sama dengan budaya (Pluralisme Agama): “Dalam konteks ini, maka Islam tak lain adalah satu jalan kebenaran diantara jalan-jalan kebenaran yang lain, artinya jalan menuju kebenaran tidak selamanya dan mesti harus melalui jalan ‘agama’, tapi juga bisa memakai medium yang lain. Karena sifatnya yang demikian maka Islam kemudian berdiri sejajar dengan praktik budaya yang ada. Tidak ada


(20)

11

perbedaan yang signifikan kecuali hanya ritualistik-simbolistik. Sedangkan esensinya sama, yakni menuju kebenaran transendental.”21.

Majelis Ulama Indonesia, melalui fatwanya tanggal 29 Juli 2005 juga telah menyatakan bahwa paham pluralisme agama bertentangan dengan Islam dan haram umat Islam memeluk paham ini. MUI mendefinisikan pluralisme agama sebagai suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga. Dr. Anis Malik Thoha, pakar pluralisme agama, yang juga Mustasyar NU Cabang Istimewa Malaysia, mendukung fatwa MUI tersebut dan menyimpulkan bahwa pluralisme agama memang sebuah agama baru yang sangat destruktif terhadap Islam dan agama-agama lain.22

Sebelum MUI mengeluarkan fatwa tentang haramnya paham “Pluralisme Agama”, penyebaran ini di Indonesia sudah sangat meluas. Jika ditelusuri, sebenarnya sebagian benihnya sudah ditabur sejak zaman penjajahan Belanda dengan merebaknya ajaran kelompok teosofi. Namun, istilah “Pluralisme Agama” atau pengakuan seorang sebagai pluralis dalam konteks teologi, bisa ditelusuri pada catatan harian Ahmad Wahib, salah satu perintis gerakan Islam Liberal di

21Nuryamin Aini, “Fakta Empiris pernikahan Beda agama”, dalam http://Islamlib.com/?site

=fakta-empiris-nikah-beda-agama.html, diakses pada 17 maret 2015.


(21)

12

Indonesia, disamping Dawam Rahardjo dan Djohan Effendi. Dan adanya pemikiran yang Liberal ini sangat berdampak pada hubungan sosial kemasyarakatan diantaranya adalah pada masalah perkawinan dan hukum perdata yang lain. Dengan Pluralisme Agama, semua kemungkaran ini dilegitimasi. Pluralisme Agama jelas membongkar Islam dari konsep dasarnya. Dalam paham ini, tidak ada lagi konsep mukmin, kafir, syirik, surga, neraka, dan sebagainya. Karena itu, mustahil paham Pluralisme Agama bisa hidup berdampingan secara damai dengan Tauhid Islam. Sebab keduanya bersifat saling menegasikan.

Jadi, bangunan dan sistem Islam itu begitu jelas, bukan hanya dalam konsepsi teologis, tetapi juga konsepsi sosial, ekonomi, politik, kebudayaan, peradaban, dan sebagainya. Misalnya, dalam hukum bidang perkawinan, sudah jelas, bahwa laki-laki kafir (non-muslim) haram hukumnya dinikahkan dengan wanita muslimah. Dari sekian banyak ormas Islam yang ada, beberapa melarang secara mutlak adanya perkawinan beda agama dan yang terang-terangan memperbolehkan perkawinan beda agama adalah kelompok Jaringan Islam Liberal yang sangat mengganggu hukum yang telah menjadi pedoman mayoritas masyarakat Indonesia.

Hal ini dapat dilihat dari beberapa fatwa berikut, dari tokoh-tokoh Jaringan Islam Liberal tentang perkawinan beda agama:

1. Fatwa dari Ulil Abshar Abdalla selaku koordinator JIL, mengatakan bahwa larangan pernikahan beda agama sudah tidak relevan lagi. Menurutnya Alquran juga tidak pernah secara tegas melarang itu, karena Alquran menganut pandangan universal tentang martabat manusia yang sederajat,


(22)

13

tanpa melihat perbedaan agama. Segala produk hukum Islam klasik yang membedakan kedudukan orang Islam dan non Islam harus diamendemen berdasarkan prinsip kesederajatan universal dalam tataran kemanusiaan.23 2. Nurcholis Madjid bersama para tim penulis buku Fikih Lintas Agama

(FLA) yang merupakan orang-orang yang berpandangan liberal tidak ubah memandang bahwa ditengah rentannya hubungan agama saat ini, pernikahan beda agama justru dapat dijadikan wahana untuk membangun toleransi dan kesepahaman antara masing-masing pemeluk agama. Bermula dari ikatan tali kasih sayang kita rajut kerukunan dan kedamaian.24

Perdebatan berkenaan dengan diperbolehkan atau dilarangnya perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita-wanita ahlul kita>b yang ada saat ini semakin menjadi daya tarik tersendiri bagi penulis untuk melakukan penelitian berkenaan dengan perkawinan beda agama dalam pandangan kelompok Jaringan Islam Liberal (JIL).

Melihat dari permasalahan di atas itulah yang memotivasi penulis tertarik dan mencoba untuk meneliti lebih dalam tentang pandangan JIL terhadap perkawinan beda agama yang kemudian penulis implementasikan dalam skripsi yang berjudul “Pandangan Jaringan Islam Liberal (JIL) Terhadap Perkawinan Beda Agama”.

23 Ulil Abshar Abdalla, “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”, dalam http: //

www.kompas.com, diakses 19 Juni 2008.


(23)

14

B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang masalah di atas penulis mengidentifikasi beberapa masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini, yaitu:

a. Pandangan JIL terhadap perkawinan beda agama.

b. Metode yang digunakan JIL dalam ijtihad hukum Islam tentang perkawinan beda agama.

C. Batasan Masalah

Agar permasalahan dalam skripsi ini lebih fokus, maka penulis membatasi permasalahan untuk dibahas sebagai berikut:

a. Pandangan JIL terhadap perkawinan beda agama.

b. Metode yang digunakan JIL dalam ijtihad hukum Islam tentang perkawinan beda agama.

D. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pandangan JIL terhadap perkawinan beda agama?

2. Bagaimana metode yang digunakan JIL dalam ijtihad hukum Islam tentang perkawinan beda agama?

E. Kajian Pustaka

Kajian pustaka disini dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana kontribusi keilmuan dalam penulisan skripsi ini, dan seberapa banyak pakar yang


(24)

15

membahas permasalahan yang akan dikaji dalam skripsi dengan te dengan skripsi ini. Di bawah ini ada beberapa judul penelitian yang pernah ditulis sebelumnya: Skripsi yang ditulis oleh Isna Nur Fitria (UIN Sunan Ampel) yang berjudul “ Perkawinan Beda Agama dan Dampaknya (Studi Komparasi antara Hukum Perkawinan Mesir dan Indonesia) ”, membahas tentang persamaan dan perbedaan hukum perkawinan yang ada di Mesir dan Indonesia. Skripsi ini menuliskan beberapa persamaan dan perbedaan berkenaan dengan perkawinan beda agama yang ada di Mesir dan Indonesia, selanjutnya skripsi ini juga menjelaskan akibat adanya perkawinan beda agama tersebut.25

Selanjutnya, Skripsi yang ditulis oleh Ahmad Farih Shofi Muhtar(UIN Sunan Ampel) yang berjudul (Studi Komparasi Istinba<t} Hukum MUI dan Nahdlatul Ulama Jawa Timur Terhadap Perkawinan Beda Agama), membahas tentang persamaan dan perbedaan metode istinba<t} hukum dari MUI dan NU di Jawa Timur terhadap perkawinan Beda Agama. Skripsi ini menjelaskan Antara MUI dan NU di Jatim saling berhubungan satu sama lain dalam berfatwa. 26

Skripsi yang ditulis oleh Abdi Pujiasih (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) yang berjudul “Pernikahan Beda Agama Menurut Islam Dan Katolik”, membahas tentang persamaan dan perbedaan perkawinan beda agama antara Agama Islam dan Katolik. Skripsi ini menjelaskan tentang landasan utama Islam dan katolik memandang adanya perkawinan beda agama, yang selanjutnya memberikan

25Isna Nur Fitria, “Perkawinan Beda Agama dan Dampaknya (Studi Komparasi antara Hukum

Perkawinan Mesir dan Indonesia)” (Skripsi—UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2014).

26Ahmad Farih Shofi Muhtar yang berjudul ‘Studi Komparasi Istinba<t} Hukum MUI dan Nahdlatul


(25)

16

rasionalisasi perkawinan beda agama sebagai fakta pluralitas yang ada di Indonesia.27

Pada pembahasan skripsi ini, penulis meneliti tentang pandangan dan metode ijtihad yang dilakukan oleh JIL terhadap perkawinan beda agama. Kelompok ini merupakan kelompok yang sangat kontra fatwanya dalam permasalahan perkawinan beda agama dengan mayoritas ahli hukum Islam. Dan ini sungguh membingungkan masyarakat awam. Oleh karena itu penulis tertarik dan merasa perlu untuk meneliti permasalahan ini.

F. Tujuan Penelitian

Sehubungan dengan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lebih lanjut tentang fatwa JIL terhadap perkawinan beda Agama, adapun rincian tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui secara mendalam pandangan JIL terhadap perkawinan beda agama.

2. Untuk mengetahui dan menganalisa metode yang digunakan JIL dalam ijtihad hukum Islam tentang perkawinan beda agama.

G. Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan bisa bermanfaat minimal memberikan sumbangsih pemikiran bagi disiplin ilmu secara umum, dan sekurang-kurangnya dapat digunakan untuk dua aspek, yaitu:

27Abdi Pujiasih yang berjudul “ Pernikahan Beda Agama Menurut Islam Dan Katolik ” ( Skripsi


(26)

17

1. Manfaat Teoritis

Dari sisi teoritis, penelitian ini diharapkan menjadi masukan dalam rangka memperkaya khasanah pemikiran dalam bidang hukum Islam, khususnya di bidang hukum perkawinan dan keluarga.

2. Manfaat Praktis

Dari sisi praktis, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan acuan atau pertimbangan bagi para praktisi hukum dan mahasiswa Fakultas Syari’ah khususnya serta dapat dijadikan sebagai pedoman dan dasar bagi peneliti lain dalam mengkaji penelitian lagi yang lebih mendalam yang pembahasannya berkaitan perkawinan beda agama.

H. Definisi Operasional

Sehubungan dengan judul skripsi di atas, untuk mempermudah pemahaman dan konteks pembahasan, maka penulis akan memberikan definisi operasional dari masing-masing istilah yang digunakan di dalamnya, diantaranya sebagai berikut:

1. Perkawinan beda agama: diartikan sebagai perkawianan dua insan yang berbeda agama, kepercayaan atau faham.28 Pendapat lain, pernikahan beda agama atau perkawinan antar agama, yakni perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan warga Negara Indonesia yang agamanya masing-masing berbeda.29

28 Slamaet Abidin dan H. Aminuddin, Fikih Munakahat I, (Bandung: Pustaka Setri, 1999), 36. 29 Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau Dari Undang-Undang Perkawinan No.1/1974,


(27)

18

2. Jaringan Islam Liberal (JIL): sebuah kelompok diskusi tentang Islam yang dibentuk untuk mewujudkan Islam Liberal. Penggunaan nama “Islam liberal” sengaja ditujukan untuk menggambarkan prinsip-prinsip yang mereka anut, yaitu Islam yang menekankan kebebasan pribadi dan pembebasan dari struktur sosial-politik yang menindas. “Liberal” di sini bermakna dua: kebebasan dan pembebasan. Sedangkan kata Jaringan sendiri dipilih karena dianggap mewakili tujuan JIL untuk menyebarkan gagasan Islam Liberal seluas luasnya kepada masyarakat.30

3. Metode ijtihad JIL: sebuah metode ijtihad baru yang mereka harapkan dapat mencipatakan kemashalahatan bagi seluruh umat manusia. Sebuah konsep yang mereka harapkan akan mampu mengakomodasi kepentingan dan menjamin hak-hak semua manusia dengan melintasi agama, budaya suku dan Negara.31

I. Metode Penelitian

Penelitian dalam skripsi ini merupakan penelitian analisis deskriptif, agar penulisan skripsi ini dapat tersusun secara sitematis, jelas, dan benar. Maka perlu dijelaskan tentang metode penelitian sebagai berikut:

1. Data yang dikumpulkan

30 Lihat dalam http://islamlib.com/id/tentangkami.php, diakses 13 April 2011


(28)

19

Sesuai dengan mengacu pada masalah baku pada tujuan penelitian, maka data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data yang terkait dengan pandangan JIL tentang perkawinan beda agama dan data lain untuk menganalisis pandangan JIL terhadap perkawinan beda agama. 2. Sumber Data

Penulisan skripsi ini merupakan hasil dari kajian pustaka. Oleh sebab itu data yang digunakan adalah:

a. Sumber data primer, yaitu buku Fiqih Lintas Agama dan buku-buku yang berhubungan dengan Perkawinan beda agama.

b. Sumber data sekunder, yaitu buku Hartono Ahmad Jaiz yang berjudul Menangkal Bahaya JIL dan FLA, Buku Akmal Sjafril berjudul Islam Liberal 101 dan Islam Liberal ideologi delusional, buku Adian Husaini berjudul Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam dan Liberalisasi Islam di Indonesia, Abdul Wahhab Khallaf dalam bukunya Ilmu Ushul Al-Fikih, Muhammad Jawad Mughniyah dalam bukunya Fiqih Lima Maz{hab, Sayyid Sabiq dalam Fikih Sunahnya. Dan buku-buku lain yang membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

c. Sumber data tersier (penunjang), yaitu bahan hukum yang menunjang dengan pembahasan skripsi, yaitu sumber dari internet.


(29)

20

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah studi pustaka yaitu metode pengumpulan data dengan cara mempelajari, memahami buku-buku, peraturan perundang-undangan serta karya tulis ilmiah lainnya yang berhubungan dengan pandangan JIL terhadap perkawinan beda agama.

4. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik deskriptif analisis verifikatif, yaitu teknik analisis dengan cara menjabarkan data sesuai apa adanya, dalam penelitian ini adalah mengenai pandangan JIL terhadap perkawinan beda agama dilanjutkan dengan analisis terhadapnya dan diverifikasi dengan menggunakan metode ijtihad hukum Islam. Selanjutnya dalam penelitian ini akan dilakukan penarikan kesimpulan terhadap pandangan JIL terhadap perkawinan beda agama. Adapun pola pikir yang digunakan untuk penarikan kesimpulan dalam penelitian ini adalah menggunakan pola pikir induktif-deduktif.

J. Sistematika Pembahasan

Untuk dapat mempermudah pemahaman skripsi ini, maka pembahasan dalam skripsi ini akan diuraikan secara sistematis. Adapun penulisan skripsi ini dibagi ke dalam lima bab yang berhubungan satu dengan lainnya, yaitu:

Bab Pertama, bab ini berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan


(30)

21

penelitian, manfaat penelitian, definisi operasional, metode penelitian dan sistematika pembahasan.

Bab Kedua, bab ini membahas tentang landasan teori, yakni sekilas tentang profil JIL meliputi sejarah JIL, pengertian Islam Liberal, serta misi dan kegiatan pokok JIL, karakteristik pemikiran JIL, tokoh-tokoh liberal di Indonesia.

Bab Ketiga, bab ini membahas tentang pandangan JIL terhadap perkawinan beda agama dan metode yang digunakan JIL dalam ijtihad hukum Islam tentang perkawinan beda agama.

Bab Keempat, bab ini membahas tentang analisis pandangan JIL terhadap perkawinan beda agama dan analisis tentang metode yang digunakan JIL dalam ijtihad hukum Islam tentang perkawinan beda agama.

Bab Kelima, merupakan bab terakhir dalam skripsi ini yang berisi penutup yang berupa Kesimpulan dan Saran.


(31)

BAB II

DESKRIPSI UMUM JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL) A. Profil Jaringan Islam Liberal (JIL)

1. Sejarah Kemunculan JIL.

Jika ditelusuri dalam sejarah pemikiran Islam di Indonesia, liberalisasi Islam sudah ditanamkan sejak zaman penjajahan Belanda. Namun secara sistematis dari dalam tubuh organisasi Islam, gerakan liberalisasi Islam di Indonesia bisa dikatakan sudah dimulai pada awal 1970-an. Pada 3 Januari 1970, ketua umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Indonesia (PBHMI), Nurcholish Madjid, secara resmi menggulirkan perlunya dilakukan sekularisasi Islam. 1

Sedangkan, Jaringan Islam Liberal (JIL) sendiri didirikan oleh para aktivis Utan kayu, di Jakarta pada 8 April 2001.2 Yakni sebuah jaringan intelektual di Indonesia yang mempromosikan gagasan Islam liberal. JIL Secara historis, kemunculan JIL merupakan respon atau gerakan tandingan terhadap gerakan-gerakan fundamentalis-radikal di Indonesia yang mengemuka tidak lama setelah lengsernya Suharto pada tahun 1998. Dalam posisinya sebagai kelompok yang memperjuangkan ruang publik di Indonesia, JIL berperan sebagai counter discourse bagi kelompok-kelompok radikal-konservatif Muslim yang selalu menyerukan penerapan syariat dan

1 Adian Husaini, Liberalisasi Islam di Indonesia, (Jakarta: Gema Insani, 2015), 11.

2 Cucu Surahman, “Tafsir Kontekstual JIL: Telaah atas Konsep Syariat Islam dan H}udu>d”,Journal


(32)

23

pembentukan negara Islam Indonesia. Bagi JIL, Indonesia adalah bangsa majemuk/plural yang membutuhkan ruang publik. Apapun yang menyangkut urusan bersama harus dimusyawarahkan secara bebas dan demokratis. Selama keberadaannya, JIL terus mendukung sistem demokrasi, kebebasan, dan kesetaraan sosial. Sedangkan secara ideologis, terbentuknya JIL dapat dilihat sebagai kristalisasi dan kelanjutan dari pemikiran dan gerakan Islam sebelumnya, baik dalam lingkup Indonesia secara khusus maupun di dunia secara umum.3

Disebut Jaringan Islam Liberal menurut Ulil Abshar Abdalla selaku

koordinator JIL mengatakan, “tujuan utama kami adalah menyebarkan gagasan Islam Liberal seluas-luasnya kepada masyarakat. Untuk itu kami memilih bentuk jaringan, bukan organisasi kemasyarakatan, maupun partai politik. JIL adalah wadah yang longgar untuk siapa saja yang memiliki aspirasi dan kepedulian terhadap gagasan Islam Liberal.4 Pada awalnya Jaringan Islam Liberal (JIL) merupakan suatu kelompok diskusi keagamaan yang merespon fenomena-fenomena sosial-keagamaan yang ada pada masyarakat, kemudian seiring berjalannya waktu kelompok ini berkembang menjadi kelompok diskusi Islam Liberal. Kelompok ini terus mendiskusikan berbagai hal mengenai Islam, negara, dan isu-isu kemasyarakatan yang berkembang, JIL pada mulanya diikuti oleh lebih dari 200 anggota, termasuk para penulis, para

3 Ibid, 68.

4Muhammad Najih Maimoen, Membuka Kedok Tokoh-tokoh Liberal dalam Tubuh NU ( Rembang:


(33)

24

intelektual, dan para pengamat politik.5 Ide liberalisme Islam sebagai ciri khas JIL, tidak bisa dilepaskan dari gagasan dan pemikiran para sarjana Muslim sebelumnya. Mengikuti para pendahulunya, JIL berpendapat bahwa agar Islam cocok dengan tuntutan era kontemporer, maka ia harus ditafsirkan secara substansial dan kontekstual.6

Secara khusus JIL mulai aktif pada Maret 2001 dengan menggelar kelompok diskusi maya (milis) dalam islamliberal@yahoogroups.com. Kemudian gagasan-gagasan JIL juga disebarkan lewat website www.islamlib.com. Sejak Juni 2001, JIL mengisi satu halaman Jawa Pos setiap Minggu, berikut puluhan koran jaringannya, dengan artikel dan wawancara seputar pandangan dan pemikiran Islam liberal. Tiap kamis malam, JIL menyiarkan talkshow dan diskusi interaktif dengan para kontributor dan tokoh Islam yang sepaham dengannya, melalui kantor Berita Radio 68H Utan Kayu dan disiarkan juga oleh beberapa radio jaringannya.7 Pada mulanya kegiatan JIL tidak bisa dipisahkan dari dua figur: Luthfi Assyaukani (Universitas Paramadina Mulya, kini Universitas Paramadina) dan Ulil Abshar Abdalla, yang saat itu bekerja di ISAI (Institut Studi Arus Indonesia) dan Lakpesdam (Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia) NU. Saat itu Luthfi memulai membuka website JIL dan

5Ahmad Bunyan Wahib, “Jaringan Islam Liberal: Towads A Liberal Islamic Thoght In Indonesia”,

Jurnal Studi Islam Profetika, No. 1 Vol. 6 (2004), 66.

6 Cucu Surahman, “Tafsir Kontekstual JIL: Telaah atas Konsep Syariat Islam dan H}udu>d”,Journal

of Qur’a>n and H}adi@th Studies ..., 68

7 Adian Husaini, Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, dan Jawabannya (Jakarta: Gema


(34)

25

membuat milisnya untuk diskusi terbuka, dan Ulil dianggap memiliki kemampuan intelektual dan retorika bagus dijadikan jurubicara ide-ide JIL.

Menurut Zainul Bahri dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, terdapat empat faktor yang paling signifikan yang memunculkan gerakan JIL secara agresif, yakni:8 Pertama, konteks global. Kemunculan Islam liberal Indonesia tak bisa dilepaskan dari perkembangan global ketika banyak negara di planet bumi ini mengalami perubahan besar dan mendasar, terutama tuntutan demokratisasi dalam kehidupan sosial, politik dan keagamaan. Agama, di alam demokrasi, harus didedefinisikan untuk sesuai dengan tuntutan kehidupan progresif. Dalam pengertian inilah, para pemikir Muslim Indonesia, termasuk tokoh-tokoh JIL mengidolakan para sarjana barat dan timur ahli Islam yang dianggap progresif dan liberal seperti Abdullah Ahmad an-Naim, Farid Esack, Hasan Hanafi, Arkoun, Abid al-Jabiri, Hamid Abu Zayd, Abdul Karim Soroush, Muhammad Syahrur, dan lain-lain. Pemikiran keislaman mereka dianggap cocok dengan perubahan dunia yang sedang terjadi saat itu. Kedua, era reformasi, dengan tumbang rezim Orde Baru (1998), membuka kran kebebasan berekspresi dan berpendapat. Dalam kehidupan keagamaan, banyak muncul paham Islam garis keras yang diimpor dari Timur Tengah, suatu model Islam yang sebenarnya tidak cocok dengan Indonesia. Pada momen ini skripturalisme dan fundamentalisme Islam menguat.

8 Zainul Bahri, “Ruh Hidup dalam Jasad Kaku”, Mengenang Peran Intelektual Jaringan Islam


(35)

26

Ketiga, Sejak tahun 1990an diskursus Islam intelektual telah menyebar luas di banyak IAIN dan UIN di Indonesia. Hal ini terjadi karena banyak dosen IAIN dan UIN yang telah pulang dari sekolah di Barat. Selain membawa gelar master dan doktor, mereka juga membawa isu-isu baru seperti Islam dan pluralisme, Islam dan demokrasi, Islam dan hak asasi manusia, Islam dan konsep nation-state, Islam dan dialog antar-agama dan lain-lain. Penting dicatat bahwa dengan sumber daya manusia unggul, IAIN dan UIN di kota-kota besar di Indonesia memainkan peran yang sangat signifikan dalam mengembangkan kajian teoritis studi-studi keislaman (Islamic studies) di satu sisi, dan menyebarkan gagasan Islam moderat, bahkan Islam liberal di sisi lain. Tokoh-tokoh UIN, terutama di Jakarta dan Yogyakarta, setelah Harun Nasution dan Mukti Ali, seperti Azyumardi Azra dan Abdul Munir Mulkhan dengan isu Islam kultural Indonesia, Komaruddin Hidayat dan Amin Abdullah dengan diskursus Hermeneutik, Din Syamsuddin dan Bahtiar Effendi dengan politik Islam Indonesia, dan Nasaruddin Umar dengan isu Islam dan kesetaraan gender adalah para penopang yang kuat bagi eksistensi dan masa keemasan JIL pada periode 2000-an. Mereka dimanfaatkan JIL untuk menjadi para kontributor utama dalam acara-acara yang digelar JIL.

Keempat, Islam kultural yang toleran selama ini dikampanyekan oleh NU, Muhammadiyah dan Paramadina, bagi JIL adalah bagian dari kehidupan keseharian dan keislamannya. Para tokoh dan simpatisan JIL hampir seluruhnya adalah anak-anak muda yang dibesarkan di lingkungan NU dan


(36)

27

Muhammadiyah. Mereka tidak semata merasa berkewajiban menjaga Islam kultural tetapi juga ingin mengembangkannya menjadi Islam intelektual dengan spektrum lebih luas. Dalam konteks ini, harus dipahami bahwa tiga figur senior, yaitu Harun Nasution dengan Islam rasional, Cak Nur dengan Islam peradaban dan kemodernan, dan Gus Dur dengan pribumisasi Islam, dijadikan ikon-ikon yang banyak diapresiasi oleh tokoh-tokoh JIL.

Ulil Abshar Abdalla selaku koordinator JIL lahir di Pati, Jawa Tengah, 11 Januari 1967, menyelesaikan pendidikan menengahnya di Madrasah

Mathali’ul Falah, Kajen, Pati Jawa Tengah yang diasuh oleh K.H. M. Ahmad Sahal Mahfudz (Wakil Rois PBNU periode 1994-1999). Alumni fakultas syariah LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) Jakarta. Sekarang bekerja sebagai peneliti Lakpesdam (Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia) Nahdhlatul Ulama, Jakarta. Sekaligus juga menjadi staf di Institut Studi Arus Informasi (ISAI) Jakarta. Menulis di berbagai media massa nasional terkemuka, seperti Tempo, Forum Keadilan, Jurnal Ulumul Quran, Jurnal Tashwirul Afkar, Harian Kompas, Media Indonesia, Republika dan Jawa Pos.9 Dia pemikir muda Islam yang tergabung dalam Komunitas Islam Utan Kayu (KIUK) yang melahirkan Jaringan Islam Liberal (JIL) secara konseptual mengadopsi gagasan-gagasan Islam Liberal dan menyebarluaskannya melalui network yang mereka miliki. Mulai mengkoordinasi Jaringan Islam Liberal sejak awal 2001.


(37)

28

Sedangkan Luthfi Assyaukani lahir di Jakarta 27 Agustus 1967, menyelesaikan sekolah Menengah dan Atas di pesantren At-Taqwa, Bekasi, Jawa Barat. Ia menyelesaikan S-1 bidang Hukum Islam dan Falsafat di University of Yordan, Amman-Yordania, meraih gelar master dari International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) Malaysia, dan mendapat Ph.D dalam bidang Pemikiran Politik Islam dari University of Melbourne, Australia (2006)10.

Ulil Abshar adalah direktur eksekutif JIL yang pertama. Ketika kemudian ia mengambil S-2 di Amerika dan Luthfi kuliah S-3 di Australia, Hamid Basyaib menjadi direktur yang kedua. Setelah selesai dengan ide-ide JIL yang dimuat satu halaman penuh di koran Jawa Pos, Gunawan Muhamad adalah figur yang sangat berperan karena ia adalah salah satu pemilik saham Jawa Pos. Jika melihat proses pematangan Islam intelektual para penggagas JIL, maka sesungguhnya Ulil, Luthfi dan Sahal adalah santri-santri Muslim berlatar belakang pesantren tradisional dengan penguasaan kitab-kitab klasik Islam yang memadai. Pengetahuan Islam tradisional mereka kemudian dipertajam dan diperluas dengan wawasan falsafat Islam, falsafat barat, sosiologi modern dan ilmu politik yang mereka pelajari di perguruan tinggi. Karena itu, para individu JIL memiliki fondasi tradisional Islam yang kuat, tetapi mereka melampauinya dengan pisau analisis ilmu-ilmu sosial dan humaniora modern. Dalam pengertian ini, JIL bukanlah komunitas Muslim


(38)

29

yang sedang bermain-main dengan Islam atau hanya ingin tampil beda semata, melainkan memang memiliki citarasaIslam intelektual.

Selain Luthfi dan Ulil, terdapat tiga tokoh perdana sangat aktif di JIL, yaitu Akhmad Sahal, Hamid Basyaib dan Saiful Muzani. Secara umum, mereka berlima menggerakkan diskusi, kajian dan kegiatan di JIL. Mereka juga aktif menulis opini di korankoran nasional seperti Kompas, Media Indonesia, dan Koran Tempo, dengan perspektif Islam liberal. Di masa awal kegiatan-kegiatan, terdapat juga beberapa tokoh aktif menjadi narasumber seperti Komaruddin Hidayat, Azyumardi Azra, Bahtiar Effendi, Kautsar Azhari Noer, Zainun Kamal, dan Nasaruddin Umar dari UIN Jakarta, Said Aqil Siradjdan Masdar Mas’ud dari NU, Jalaluddin Rakhmat (tokoh Syīah Indonesia) dari Yayasan Muthahhari Bandung, dan lain-lain.11

2. Pengertian Islam Liberal

Islam liberal merupakan sebuah wacana yang menjadi debatable dikalangan intelektual muslim hingga kini. Secara etimologis/dalam kamus bahasa Indonesia, arti Islam Liberal terdiri dari dua kata, yakni Islam dan Liberal. Islam berarti agama yang dibawakan dan diajarkan oleh Nabi Muhammad saw, berpedoman pada kitab suci Alquran yang diturunkan ke dunia melalui wahyu Allah swt.12 Liberal sendiri diartikan bebas, dalam artian

11 Ibid., 279.

12 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: t.t.),


(39)

30

berfikir atau berpandangan secara luas dan terbuka.13 Dapat diartikan bahwa Islam liberal adalah suatu pemahaman terhadap Islam secara bebas luas dan terbuka.

Dr. Greg Barton mengatakan Islam Liberal adalah paham yang membuka wawasan ijtihad dan kebebasan berfikir dalam Islam.14 Sedangkan kelompok JIL sendiri mengatakan, bahwasanya penggunaan nama “Islam liberal” sengaja mereka tujukan untuk mendeskripsikan pada gagasan dan prinsip-prinsip yang mereka wacanakan, yakni Islam yang menekankan kebebasan pribadi dan pembebasan dari struktur sosial-politik yang dianggap menindas. Sedangkan makna “Liberal” sendiri, menurut mereka di sini bermakna kebebasan dan pembebasan.

Sedangkan menurut Ulil Abshar Abdalla selaku Koordinator JIL, alasan menambahkan kata “Liberal” pada Islam, sesungguhnya bertujuan untuk menegaskan kembali dimensi kebebasan dalam Islam yang jangkarnya

adalah “Niat” atau dorongan-dorongan emotif-subyektif dalam manusia itu sendiri. Kata “Liberal” di sini, menurut Ulil Abshar Abdalla tidak ada sangkut pautnya dengan kebebasan yang tanpa batas, dengan sikap-sikap permisif yang melawan kecenderungan intrinsik dalam akal manusia itu sendiri. Karena dengan menekankan kembali dimensi kebebasan manusia, dan menempatkan manusia pada fokus penghayatan keagamaan, maka itu berarti telah

13 Ibid., 668.


(40)

31

memulihkan kembali integritas wahyu dan Islam itu sendiri.15 Jadi untuk mewujudkan Islam Liberal yang mereka maksud itulah, JIL dibentuk. JIL percaya bahwa Islam selalu dilekati kata sifat, sebab pada kenyataannya menurut mereka, Islam ditafsirkan secara berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan penafsirnya.

Ulil Abshar Abdalla mengungkapkan, posisi Islam Liberal selama ini masih sering disalahpahami ketimbang dipahami oleh sebagian umat muslim. Akibatnya, pernyataan ditentang beberapa hal mendasar soal ke-Islam-an yang seharusnya menjadi alternatif pemikiran bagi umat Islam saat berdialektika dengan kemodernan belum mampu terinternalisasikan dengan baik. Sedangkan kata Jaringan sendiri dipilih karena dianggap mewakili tujuan JIL, yakni untuk menyebarkan gagasan Islam Liberal seluas luasnya kepada masyarakat. Sehingga JIL diharapkan menjadi wadah yang longgar untuk siapapun yang memiliki aspirasi dan kepedulian terhadap gagasan Islam Liberal.16 Sebagaimana pernah ditulis dalam majalah GATRA, Desember 2001 jaringan ini mewadai pengembangan pemikiran Islam yang kritis, pluralis dan membawa misi pembebasan. Konsolidasi jaringan ini dimaksudkan sebagai respons atas menguatnya ekstremisme dan fundamentalisme agama. Mereka memanfaatkan kemajuan multimedia untuk menopang kampanye gagasan, dari jaringan koran, radio sampai internet.

15Ulil Abshar abdalla ,” Beberapa pandangan mengenai wacana Jaringan Islam Liberal”, dalam

http://www.seasite.niu.edu/trans/indonesian/Concordance/Jaringan%20Islam%20LiberalUlil.htm,

diakses 31 Desember 2007.


(41)

32

Dalam perjalanannya, kontributor JIL kerap terlibat ketegangan dengan kalangan Islam literal. Mulai ketegangan di forum diskusi, ajuan somasi, sampai ke pengaduan polisi.17

Di Indonesia sendiri, gagasan Islam liberal dapat kita telusuri akar historisnya paling tidak sejak tahun 1970-an, ketika Nurcholish Madjid

menulis sebuah artikel berjudul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”. Dalam artikel tersebut Nurcholish Madjid mulai memperkenalkan ide liberalisasi, sekularisasi, dan modernisasi Islam. Karena pemikiran-pemikirannya yang sangat berpengaruh, maka para aktivis JIL mengakui apabila dikatakan bahwa Nurcholish Madjid adalah lokomotif intelektual bagi wacana Islam liberal di Indonesia sekarang ini.

3. Misi dan Kegiatan Pokok JIL

Menurut Ulil Abshar Abdalla, selaku koordinator JIL mengatakan,”

Misi JIL sendiri, Pertama, mengembangkan penafsiran Islam yang Liberal sesuai dengan prinsip-prinsip yang kami anut, serta menyebarkannya kepada khalayak seluas mungkin. Kedua, mengusahakan terbukanya ruang dialog yang bebas dari tekanan konservatisme. Kami yakin, terbukanya ruang dialog akan memekarkan pemikiran dan gerakan Islam yang sehat. Ketiga, mengupayakan terciptanya struktur sosial dan politik yang adil dan manusiawi.18

17 Hartono Ahmad Jaiz, Menangkal Bahaya JIL FLA, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.2005), 8. 18Ulil Abshar Abdalla,” dalam http://islamlib.com/id/tentangkami.php, diakses 13 April 2011.


(42)

33

Sementara itu, Dr. Luthfi Assyaukanie, salah seorang penggagas JIL yang juga dosen di Universitas Paramadina memperkenalkan empat misi Jaringan Islam Liberal. Pertama, Agenda politik. Menurutnya urusan negara adalah murni urusan dunia, sistem kerajaan maupun parlementer (demokrasi) tidak ada bedanya. Kedua, Mengangkat kehidupan beda agama. Menurutnya perlu pencarian teologi pluralism mengingat semakin majemuknya kehidupan bermasyarakat di negeri negeri Islam. Ketiga, emansipasi wanita. Agenda ini mengajak kaum Muslim untuk memikirkan kembali beberapa doktrin agama yang cenderung merugikan dan mendiskreditkan kaum perempuan. Hal ini karena doktrin-doktrin tersebut dari manapun sumbernya bertentangan dengan semangat dasar Islam yang mengakui persamaan dan menghormati hak-hak semua jenis kelamin. Keempat, kebebasan berpendapat. Agenda ini menjadi penting dalam kehidupan kaum Muslim modern, khususnya ketika persoalan ini berkaitan erat dengan masalah hak-hak asasi manusia.19

Di samping itu, dipublikasikan, juga beberapa kegiatan pokok JIL yang sudah dilakukan, di antaranya:

a. Sindikasi penulis Islam Liberal

Maksudnya adalah mengumpulkan tulisan sejumlah penulis yang selama ini dikenal atau belum dikenal oleh publik luas sebagai pembela Pluralisme dan Inklusivisme. Sindikasi ini akan menyediakan bahan-bahan tulisan yang baik. Dengan adanya otonomi daerah, maka

19 Luthfi asy-Syaukani, “Empat Agenda Islam yang Membebaskan”, dikutip dari


(43)

34

peran media lokal makin penting, dan suara-suara keagamaan yang toleran juga penting untuk disebarkan melalui media massa daerah ini. Setiap minggu, akan disediakan artikel dan wawancara untuk koran-koran daerah.

b. Talk-show di Kantor berita Radio 68 H

Talk-Show ini akan mengundang sejumlah tokoh yang selama ini dikenal sebagai pendekar Pluralisme dan Inklusivisme untuk berbicara tentang isu sosial keagamaan di tanah air. Acara ini akan diselenggarakan setiap minggu, dan disiarkan melalui siaran Radio Namlapanha di 40 Radio, antara lain; Radio Namlapanha Jakarta, Radio Smart (Menado), Radio DMS (Maluku), Radio UNISI (Yogyakarta), Radio PTPN (Solo), Radio MARA (Bandung), Radio Prima FM (Aceh).

c. Penerbitan Buku

JIL berupaya menerbitkan buku-buku yang bertemakan Pluralisme dan Inklusivisme agama, baik berupa terjemahan, kumpulan tulisan, maupun penerbitan ulang buku-buku lama yang masih relevan dengan tema-tema tersebut. JIL sudah menerbitkan buku kumpulan artikel, wawancara, dan diskusi yang diselenggarakan oleh JIL, berjudul wajah Liberal Islam di Indonesia.


(44)

35

d. Penerbitan Buku Saku

Untuk kebutuhan pembaca umum, JIL menerbitkan buku saku setebal sekitar 50-100 halaman dengan bahasa renyah dan mudah dicerna. Buku Saku ini akan mengulas dan menanggapi sejumlah isu yang menjadi bahan perdebatan dalam masyarakat. Tentu, tanggapan ini dari perspektif Islam liberal. Tema-tema itu antara lain: jihad, penerapan syariat Islam, jilbab, penerapan ajaran memerintahkan yang baik dan mencegah yang jahat (amar ma'ruf nahi mungkar), dan lain-lain.

e. Website IslamLib.com

Program website ini, berawal dari dibukanya milis Islam Liberal (islamliberal@yahoogrups.com) yang mendapat tanggapan yang positif. Ada beberapa anggota untuk menyebarluaskan milis ini ke dalam bentuk website yang bisa diakses oleh semua kalangan. Sementara milis akan tetap dipertahankan untuk kalangan terbatas saja. Semua produk JIL (sindikasi media, talk show radio, dll) akan dimuat dalam website ini. Web ini juga akan memuat setiap perkembangan berita, artikel, atau apapun yang berkaitan dengan misi JIL.

f. Iklan Layanan Masyarakat

Dalam menyebarkan visi dari Islam Liberal, JIL membuat sejumlah Iklan Layanan Masyarakat (Public Service Advertisement)


(45)

36

dengan tema-tema seputar Pluralisme, penghargaan atas perbedaan dan pencegahan konflik sosial. Salah satu iklan yang sudah diproduksi oleh JIL adalah iklan yang mereka beri judul Islam Warna-Warni.

g. Diskusi Keislaman

JIL juga selalu menyelenggarakan sejumlah diskusi dan seminar mengenai keislaman dan keagamaan secara umum. Termasuk dalam kegiatan ini adalah diskusi keliling melalui kerjasama yang diadakan dengan kelompok-kelompok mahasiswa di sejumlah Universitas Diponegoro Semarang, Institut Pertanian Bogor, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan lain-lain.20 Melalui kerjasama dengan pihak luar (Universitas, LSM, kelompok mahasiswa, pesantren dan pihak-pihak lain). Salah satu LSM asing yang sangat aktif dalam menyebarkan paham liberal di Indonesia adalah The Asia Foundation (TAF). Untuk menanamkan paham paham dan nilai-nilai inklusif dan pluralis di kalangan muslim Indonesia, TAF telah mendukung berbagai kelompok berbasis muslim sejak tahun 1970-an. TAF saat ini mendukung lebih dari 30 LSM yang mempromosikan nilai-nilai Islam yang dapat menjadi basis bagi sistem politik demokratis, non-kekerasan, dan toleransi beragama.21 Dalam bidang pendidikan kewarganegaraan, HAM, dan rekonsiliasi antar komunitas, kesetaraan

20 Muhammad Najih Maimoen, Membuka Kedok Tokoh-tokoh Liberal dalam Tubuh NU..., 106. 21Adian Husaini, Liberalisasi Islam di Indonesia..., 51.


(46)

37

gender, dan dialog antar agama-agama. TAF juga bekerja sama dengan LSM-LSM tersebut untuk mempromosikan Islam sebagai sebuah katalisator demokratisasi di Indonesia. Program-program itu mencakup Training bagi pemuka agama, studi tentang isu-isu gender dan HAM dalam Islam, pusat-pusat advokasi wanita dan sebagainya.22 Program liberalisasi agama di Indonesia memang melibatkan pendanaan sangat besar. Inilah proyek yang sangat mudah untuk mengeruk uang dari lembaga-lembaga internasional barat seperti The Asia Foundation, dan dari pemerintah Amerika Serikat sendiri.23

B. Karakteristik Pemikiran Islam Liberal

Islam liberal berarti suatu bentuk penafsiran atas Islam dengan landasan pola pemikiran yang direpresentasikan dalam situs resminya, JIL menjelaskan enam landasan karakteristik pemikirannya sebagai berikut:

1. Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam.

Islam Liberal percaya bahwa ijtihad atau penalaran rasional pada teks-teks keislaman pada Alquran dan sunah adalah prinsip utama yang memungkinkan Islam terus bisa bertahan dalam segala kondisi perkembangan zaman. Menurut JIL, penutupan pintu ijtihad, baik secara terbatas atau secara keseluruhan, adalah ancaman atas Islam itu sendiri, sebab dengan demikian Islam akan mengalami

22 Ibid, 52. 23Ibid.


(47)

38

pembusukan. Islam liberal juga mempercayai bahwa ijtihad bisa diselenggarakan dalam semua segi, baik segi muamalat (interaksi sosial), ubudiyyat (ritual), dan ilahiyyat (teologi). 24 Dalam blog pribadi Ulil Abshar Abdalla, tokoh yang sudah terlanjur diidentikkan oleh publik dengan JIL mengatakan:

“JIL sama sekali tidak mengungkit-ungkit masalah ibadah. Saya sadar tidak semua hal dalam agama bisa dirasionalkan. Ada dimensi-dimensi tertentu dalam agama yang tak bisa sepenuhnya dipahami secara rasional. Contoh yang baik adalah masalah ibadah. Yang saya maksud di sini adalah ibadah dalam pengertian yang terbatas, yaitu apa yang disebut dengan ibadah madah alias ibadah murni seperti salat, puasa dan haji. Tata cara ibadah dalam Islam, menurut saya berlaku sepanjang zaman dan tidak bisa dirasionalisasikan.

2. Mengutamakan semangat religio etik, bukan makna literal teks. Dalam memahami wahyu Allah, yang sering mereka sebut sebagai teks, JIL menggunakan landasan kedua sebagai kaidah ijtihad yang telah dikembangkan oleh Islam Liberal yakni upaya menafsirkan Islam berdasarkan semangat religio etik Alquran dan Sunah Nabi, bukan menafsirkan Islam semata-mata berdasarkan makna literal sebuah teks itu sendiri. Penafsiran yang literal hanya akan melumpuhkan Islam. Dengan penafsiran yang berdasarkan semangat religio-etik, Islam akan hidup dan berkembang secara kreatif menjadi bagian dari peradaban kemanusiaan universal.25

24Akmal Sjafril, Islam Liberal 101, (Bogor:Afnan Publishing, 2015), 94. 25 Ibid, 98.


(48)

39

3. Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka, liberal dan plural. Landasan ketiga JIL menjelaskan bahwa relativisme yang sudah pasti muncul dalam setiap penerapan sekularisasi, sekularisme dan liberalisme. Karena kebenaran yang dipahami oleh manusia pada masa silam bisa diralat oleh generasi sekarang, dan kebenaran yang dipahami sekarang pun kelak (kemungkinan besar) akan diralat, maka kebenaran itu haruslah dinyatakan relatif, terbuka dan plural. JIL mendasarkan diri pada gagasan tentang kebenaran dalam penafsiran keagamaan sebagai sesuatu yang relatif, sebab sebuah penafsiran adalah kegiatan manusiawi yang terkungkung oleh konteks tertentu, terbuka. Sebagaimana misalnya Islam liberal menerima kontradiksi yang begitu sengit dalam namanya yaitu antara Islam dan liberal, maka kelompok ini begitu saja menerima semua perbedaan yang sebenarnya mencolok diantara dua hal yang sebenarnya saling bertentangan, misalnya antara tauhid dan trinitas. Keduanya jelas berlawanan, namun berdasarkan prinsip relativisme keduanya harus diterima sebagai kebenaran. Sebab menurut JIL, setiap bentuk penafsiran mengandung kemungkinan penafsiran yang salah, selain kemungkinan benar plural, sebab penafsiran keagamaan, dalam satu dan lain cara, adalah cerminan dari kebutuhan seorang penafsir di suatu masa dan


(49)

40

ruang yang bisa terus berubah-ubah. Dengan cara ini pula kalangan JIL menghindarkan diri dari perdebatan.26

4. Memihak pada yang minoritas dan tertindas.

Memihak pada yang minoritas dan tertindas begitu kental dengan nuansa yang melatarbelakangi kelahiran pemikiran sekuler barat. Karena dulu gereja menghegemoni dan menindas rakyat, maka bangsa-bangsa Eropa umumnya memandang agama sebagai alat legitimasi untuk memaksakan kehendak. Menurut JIL, Islam Liberal berpijak pada penafsiran Islam yang memihak kepada kaum minoritas yang tertindas dan dipinggirkan. Misalnya Ahmadiyah tidak mereka pandang sebagai aliran sesat karena tidak pernah ada kata sesat dalam relativisme atau telah keluar dari Islam, melainkan sebagai aliran yang ditindas oleh para ulama. Setiap struktur sosial-politik yang mengawetkan praktek ketidak adilan atas yang minoritas adalah berlawanan dengan semangat Islam. Minoritas di sini dipahami dalam maknanya yang luas, mencakup minoritas agama, etnik, ras, gender, budaya, politik, dan ekonomi. Pembelaan mereka dalam membela aliran-aliran sesat pada hakikatnya adalah pembelaan pada paham mereka yakni paham relativisme itu sendiri.


(50)

41

5. Meyakini kebebasan beragama.

JIL meyakini bahwa urusan beragama dan tidak beragama adalah hak perorangan yang harus dihargai dan dilindungi karena menjunjung tinggi kebebasan beragama. Mereka tidak membenarkan penganiayaan atas dasar suatu pendapat atau kepercayaan.

6. Memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik.

Karakteristik pemikiran JIL yang keenam ini yang memperlihatkah wajah JIL yang sesungguhnya yang berlandasan Islam liberal, JIL meyakini bahwa kekuasaan keagamaan dan politik serta otoritas duniawi dan ukhrawi harus dipisahkan. Islam Liberal menentang negara agama (teokrasi). Urusan dunia hanya untuk dunia, sedangkan urusan akhirat terpisah sama sekali dengannya. Agama hanya digunakan pada ritual-ritual ibadah, sedangkan urusan politik dijauhkan sama sekali dari tuntunan-tuntunan agama. Islam Liberal yakin bahwa bentuk negara yang sehat bagi kehidupan agama dan politik adalah negara yang memisahkan kedua wewenang tersebut. Agama adalah sumber inspirasi yang dapat mempengaruhi kebijakan publik, tetapi agama tidak punya hak suci untuk menentukan segala bentuk kebijakan publik. Agama berada di ruang privat, dan urusan publik harus diselenggarakan melalui proses konsensus.27

27Jaringan Islam Liberal” dalam: http://islamlib.com/id/halaman/tentang-jil diakses pada 13 Mei


(51)

42

Sedangkan karakteristik program Liberalisasi oleh Islam liberal menurut Dr. Greg Barton28 adalah: (1). Pentingnya kontekstualisasi Ijtihad. (2). Komitmen terhadap rasionalitas dan pembaruan. (3). Penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama. (4). Pemisahan agama dari partai politik dan adanya posisi non-sektarian negara.29

C. Tokoh-tokoh Liberal di Indonesia.

Beberapa pendapat tokoh pembaruan Islam di Indonesia yang berpaham Pluralisme, dalam pandangan Pluralisme Agama, tidak ada agama yang dipandang lebih superior dari agama lainnya. Semuanya dianggap sebagai jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan, semua agama menurut tokoh ini jalan yang sama-sama sah menuju inti dari realitas agama. Tokoh-tokoh pluralis baik sebelum lahirnya JIL dan mereka yang tergabung dalam JIL itu sendiri, antara lain:

1. Prof. Dr. Nurcholish Madjid, menyatakan, bahwa ada tiga sikap dialog agama yang dapat diambil. Yaitu, pertama, sikap eksklusif dalam melihat agama lain (Agama-agama lain adalah jalan yang salah, yang

28 Dr. Greg Barton adalah salah seorang professor di Universitas Monas{ di kota Melbourne,

Australia. Beliau dikenal sebagai seorang professor, dan pengajar yang ahli dalam bidang politik. Beliau sangat tertarik terhadap Islam di Asia khususnya di Indonesia yang begitu kuat, oleh karena itu Dr. Greg bersedia tinggal lebih lama di Indonesia untuk melakukan penelitiannya terhadap Islam dan politik di Indonesia. Cukup lama ia tinggal di Indonesia mulai tahun 1980-an hingga 1990-an bahkan lebih, hanya untuk menuntaskan risetnya terhadap Islam di Asia, khususnya Indonesia, dan lebih khususnya tentang Islam liberal. Beliau dijuluki seorang ahli politik Islam karena kurun waktu tinggal yang cukup lama di Indonesia, untuk mempelajari perkembangan politik di Indonesia, yakni politik Islam.


(52)

43

menyesatkan bagi pengikutnya). Kedua, sikap inklusif (Agama-agama lain adalah bentuk implisit agama kita). Ketiga, sikap pluralisme yang bisa terekspresi dalam macam-macam rumusan, misalnya: “Aga ma-agama lain itu adalah jalan yang juga sama-sama sah untuk mencapai Kebenaran yang sama”, “agama-agama lain berbicara secara berbeda, tetapi merupakan kebenaran-kebenaran yang sama sah”, atau “Setiap

agama mengekspresikan bagian penting sebuah Kebenaran”. Lalu, tulis Nurcholish lagi, “Sebagai sebuah pandangan keagamaan, pada

dasarnya Islam bersifat inklusif dan merentangkan tafsirannya ke arah yang semakin pluralis. Sebagai contoh, filsafat perenial yang belakangan ini banyak dibicarakan dalam dialog antar agama di Indonesia merentangkan pandangan pluralis dengan mengatakan bahwa setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat roda itu adalah Tuhan, dan jari-jari itu adalah jalan dari berbagai Agama. Filsafat perenial juga membagi agama pada level esoterik (batin) dan eksoterik (lahir). Satu agama berbeda dengan agama lain dalam level eksoterik, tetapi relatif sama dalam level esoteriknya. Oleh karena itu ada senuah istilah "Satu

Tuhan Banyak Jalan".”Nurcholish Madjid juga pernah menulis: "Jadi Pluralisme agama sesungguhnya merupakan sebuah aturan dari Tuhan (Sunnat Allah, "Sunnatullah") yang tidak akan berubah, sehingga juga tidak mungkin dilawan atau diingkari." 30

Menurutnya juga umat Islam


(53)

44

pun diperintahkan untuk senantiasa menegaskan bahwa kita semua,para penganut kitab suci yang berbeda-beda itu sama-sama menyembah tuhan yang maha esa dan sama-sama pasrah kepada Tuhan.

2. Abdur Rahman Wahid (Gus Dur), yang terkenal sebagai tokoh yang menggaungkan sebuah ide pembaruan Islam yang disebutnya sebagai

“pribumisasi Islam”. Konsep tersebut menurut Gus Dur sebagai usaha

melakukan pemahaman terhadap nas{ terkait dengan kondisi Negara Indonesia. Pribumisasi ini menurutnya adalah upaya rekonsiliasi Antara budaya dan agama. Ada beberapa argumen Gus Dur guna mempertahankan tawaran pribumisasi Islam ini. Pertama, alasan historis bahwa pribumisasi Islam merupakan bagian dari sejarah Islam, baik di negeri asalnya maupun di negeri lain, termasuk Indonesia. Artinya, Islam senantiasa mengalami proses pergulatan dengan kenyataan-kenyataan pada sebuah historis. Kedua, proses pribumisasi Islam berkaitan erat antara fikih dengan adat, menurutnya adat tidak mengubah nas{, melainkan hanya mengubah atau mengembangkan aplikasinya saja.31 Mengatakan bahwa baginya, peringatan Natal adalah peringatan kaum muslimin juga, kalau kita konsekuen dengan

31 Dedy Jamaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia, (Bandung:


(54)

45

sebagai seorang muslim merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad saw, maka harus konsekuen merayakan natal.

3. Ulil Abshar Abdalla, Koordinator JIL, juga menyatakan, “semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, agama Islam

bukan yang paling benar.” (Majalah GATRA, 21 Desember 2002). Ia

juga menulis: “Dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya

mengatakan, semua agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju yang Maha benar. Semua agama, dengan demikian, adalah benar, dengan variasi, tingkat dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama: yaitu keluarga

pencinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya.”

(Kompas, 18-11-2002).32

4. Dr. Luthfi Assyaukanie, dosen Universitas Paramadina, menulis di Harian Kompas: menyatakan, “Seorang fideis muslim, misalnya, bisa

merasa dekat kepada Allah tanpa melewati jalur shalat karena ia bisa melakukannya lewat meditasi atau ritus-ritus lain yang biasa dilakukan dalam persemedian spiritual yang mereka lakukan. Dengan demikian, pengalaman keagamaan hampir sepenuhnya independen dari aturan-aturan formal agama. Pada gilirannya, perangkat dan konsep-konsep agama seperti kitab suci, nabi, malaikat, dan lain-lain tak


(55)

46

terlalu penting lagi karena yang lebih penting adalah bagaimana seseorang bisa menikmati spiritualitas dan mentransendenkan dirinya

dalam lompatan iman yang tanpa batas itu.” (Kompas, 3/9/2005). 5. Sumanto Al-Qurtuby, alumnus Fakultas Syariah IAIN Semarang, juga

menulis dalam bukunya yang berjudul: Lubang Hitam Agama: “Jika

kelak di akhirat, pertanyaan di atas diajukan kepada Tuhan, mungkin Dia hanya tersenyum simpul. Sambil menunjukkan surga-Nya yang mahaluas, di sana ternyata telah menunggu banyak orang, antara lain, Jesus, Muhammad, Sahabat Umar, Ghandi, Luther, Abu Nawas, Romo

Mangun, Bunda Teresa, Udin, Baharudin Lopa, dan Munir!” (Lubang Hitam Agama, hal. 45). 33

6. Dr. Alwi Shihab (Mantan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa ). Mengatakan bahwa prinsip lain yang digariskan Alquran,adalah pengakuan eksistensi orang-orang yang berbuat baik dalam setiap komunitas beragama dan dengan brgitu layak memperoleh pahala dari Tuhan.

7. Muhammad Ali (Pengajar di Fakultas Ushulludin UIN Jakarta). Mengatakan bahwa ayat-ayat surat Ali Imron: ayat 19 dan 85 harus

ditafsirkan dalam kerangka pluralisme,yakni “Islam”di dalam ayat itu,

harus diartikan sebagai agama penyerah diri.


(56)

47

8. Prof. Dr. KH. Said Aqiel Siradj, mantan Ketua Syuriah Nahdlatul Ulama. Mengatakan bahwa Agama yang membawa misi tauhid adalah Yahudi, Nasrani(Kristen) dan Islam.

9. Sukidi, Direktur Eksekutif pusat studi agama dan peradaban pimpinan pusat Muhammadiyyah. Mengatakan bahwa bangunan epistemologis teologi inklusif cak Nur (Nurkholis Madjid) diawali dengan tafsiran Al-Islam sebagai sikap pasrah kehadirat Tuhan. Kepasrahan ini,menjadi cicil pokok semua agama yang benar. Ini adalah World view alquran,bahwa semua agama yang benar adalah Islam.

10. Prof. Dr. Komarudin Hidayat, pengajar di Fakultas Ushulludin UIN Jakarta. Mengatakan bahwa di masa Nabi Muhammad saw,orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak dikatakan sebagai kafir,tetapi disebut ahlul kita<b.

11. Prof. Dawam Rahardjo, mantan wakil ketua pimpinan pusat Muhammadiyyah. Mengatakan bahwa Ahmadiyah (golongan yang mengakui Mirza Gulam Ahmad sebagai Nabi selepas Rasullullah saw) sama dengan kita, jadi kita tidak bisa menyalahkan atau membantah akidah mereka,apapun akidah mereka itu. Menurutnya juga Ulil Abshar Abdalla justru mengangkat wahyu Tuhan diatas syariat. 12. Dr. Jalaluddin Rakhmat, mengatakan, bahwa semua agama itu kembali

kepada Allah. Islam, Hindu, Budha, Nasrani, Yahudi, kembalinya kepada Allah. Adalah tugas dan wewenang Tuhan untuk


(57)

48

menyelesaikan perbedaan di antara berbagai agama. Kita tidak boleh mengambil alih Tuhan untuk menyelesaikan perbedaan agama dengan

cara apapun, termasuk dengan fatwa.” Setiap agama sudah pasti

memiliki dan mengajarkan kebenaran. Keyakinan tentang yang benar itu didasarkan kepada Tuhan sebagai satu-satunya sumber

kebenaran.”Keyakinan bahwa agama sendiri yang paling benar karena berasal dari Tuhan, sedangkan agama lain hanyalah konstruksi manusia, merupakan contoh penggunaan standar ganda itu. Dalam sejarah, standar ganda ini biasanya dipakai untuk menghakimi agama lain, dalam derajat keabsahan teologis di bawah agamanya sendiri. Melalui standar ganda inilah, terjadi perang dan klaim-klaim

kebenaran dari satu agama atas agama lain.” Agama adalah

seperangkat doktrin, kepercayaan, atau sekumpulan norma dan ajaran Tuhan yang bersifat universal dan mutlak kebenarannya. Adapun keberagamaan, adalah penyikapan atau pemahaman para penganut agama terhadap doktrin, kepercayaan, atau ajaran-ajaran Tuhan itu, yang tentu saja menjadi bersifat relatif, dan sudah pasti kebenarannya menjadi bernilai relatif. 34

13. Ahmad baso, aktivis JIL, tokoh muda NU. Mengatakan bahwa Mushaf Utsmani adalah konstruksi quraisy terhadap Alquran dengan mengabaikan sumber-sumber mushaf lainnya.


(58)

49

14. Taufik Adnan Amal, pengajar Ulumul Quran di IAIN Alaudin Makassar. Mengatakan bahwa proses terhadap pembukuan mushaf utsmani masih meninggalkan sejumlah masalah mendasar, baik dalam ortografi teks maupun pemilihan bacaannya yang kita warisi dalam mushah tercetak dalam dewasa ini.

15. Dr. Zainul Kamal, pengajar Fakultas Ushulludin UIN Jakarta. Mengatakan bahwa hanya sebagian ulama yang berpendapat Muslimah haram menikah dengan non muslim.

16. Dr. Muslim Abdurrahman, tokoh Muhammadiyyah. Mengatakan bahwa korban pertama penerapan syariat adalah perempuan.

17. Prof. Dr. Amin Abdullah. Mantan Ketua Umum Majlis Tarjih Muhammadiyyah. Mengatakan bahwa tafsir-tafsir klasik Alquran tidak lagi memberi makna dap fungsi yang jelas dalam kehidupan umat.35

Begitu juga dengan Djohan Effendi dan Ahmad Wahib yang menurut Dr. Greg Barton sebagai tokoh-tokoh awal Islam Liberal di Indonesia yang berpaham Pluralis, mereka sama-sama memiliki gairah intelektual yang tinggi. Keduanya percaya akan dapat melalui sebuah pendekatan untuk membongkar wacana Islam secara lebih memuaskan bagi masyarakat Indonesia abad ke-20, melalui perwujudan ijtihad


(59)

50

yang terus menerus, dengan semangat bahwa apa yang dibutuhkan adalah proses pencarian rasional yang kontinyu tanpa harus terikat batasan-batasan tabu maupun kebiasaan dogmatik.36


(1)

77

JIL. Demikianlah cara kaum Islam Liberal dalam merombak hukum Islam, dengan mengubah metodologi Ijtihad yang lebih menekankan aspek konteks, ketimbang makna teks itu sendiri.

Dengan dasar metode ijtihad hukum yang dikemukakan kalangan JIL diatas, maka JIL memperbolehkan wanita Muslim boleh menikah dengan laki-laki non-muslim, atau perkawinan beda agama secara lebih luas amat diperbolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaannya.


(2)

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembasan di atas, maka maka dapat diambil kesimpulan sebagai

berikut:

1. Pandangan JIL mengenai perkawinan beda agama adalah JIL yang

berlandaskan paham pluralisme agama yang menganggap semua

agama itu benar. Salah satu ciri khas paham JIL yaitu doktrin

relativisme kebenaran, yakni paham yang memandang perbedaan

budaya, etika, moral bahkan agama bukanlah perbedaan hakikat,

melainkan karena faktor-faktor diluarnya dan nilai-nilai seperti

kebaikan dan kejahatan, kebenaran dan kesalahan tergantung pada

masing-masing orang dan budaya masyarakatnya. Atas dasar-dasar

inilah, maka JIL sangat memperbolehkan perkawinan beda agama

baik Muslim laki-laki ataupun perempuan, dalam arti luas muslim

laki-laki dan perempuan boleh nikah dengan mereka apapun agama

dan aliran kepercayaannya.

2. Dalam berijtihad JIL berpendapat bahwa metode yang digunakan JIL

dalam ijtihad hukum Islam yang pertama adalah maqa<sid shari<’ah

kemudian Alquran dan Sunah artinya kemaslahatan manusia lebih


(3)

79

inilah maka JIL memperbolehkan perkawinan beda agama demi

kemaslahatan manusia.

B. Saran

Sejalan dengan kesimpulan di atas, cita-cita dari JIL yang

menginginkan masyarakat untuk memaksimalkan peran dari akal tidaklah

salah, justru sangat baik sebetulnya karena bertujuan untuk mencerdaskan

masyarakat, akan tetapi peran rasio dalam pemahaman agama yang

berlebihan menyebabkan masyarakat lebih menjauhi nilai-nilai

keagamaan itu sendiri yang mengesampingkan teks yang telah disepakati

hukumnya oleh mayoritas ulama karena JIL tidak selalu mengutamakan

akalnya pada semua bidang pemikiran termasuk dalam memahami

teks-teks dalam Alquran dan Sunah yang menjadi pedoman utama mayoritas

muslim. Oleh karena itu, hendaknya sebagai umat Islam lebih proaktif

menghadapi tantangan besar dalam bidang pemikiran yakni liberalisasi

Islam yang bersumber dari luar Islam yang sangat bertentangan dengan


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Akademi Presindo, 1992.

Abshar Abdalla, Ulil.“Metode Pemahaman Islam Liberal”, dalam htttp.islamlib.com, diakses pada 24 Januari 2015.

Ahmad Jaiz,Hartono. Menangkal Bahaya JIL dan FLA. Jakarta:Pustaka Kautsar, 2005.

Amin, Ma’ruf. Himpunan Fatwa majelis Ulama Indonesia Sejak 1975. Jakarta: Erlangga, 2011.

Asmin. Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau Dari Undang-Undang Perkawinan No.1/1974. Jakarta: Dian Rakyat, 1986.

Bahri, Zainul. “Ruh Hidup dalam Jasad Kaku”, Mengenang Peran Intelektual Jaringan Islam Liberal (JIL) dalam Diskursus Islam Indonesia, No. 3,Vol. 2 ,Januari-Juni,2015.

Dahlan, Rahman. Ushul Fiqh. Jakarta:Amzah, 2011.

Departemen Agama RI. Alquran dan Terjemahannya. Solo: Pustaka Mantiq, 1997. Haroen Nasrun, Ushul Fikih I .Bandung: Logos, 1997.

Djazuli. Kaidah-Kaidah Fikih. Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006.

Efendi, Satria. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, 2005.

http: // www.kompas.com, Ulil Abshar Abdalla, “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”. (19 Juni 2008).

Hamdani. Risalah Nikah. Jakarta: Pustaka Amani, 2011.

Husaini Adian. Liberalisasi Islam di Indonesia Fakta, Gagasan, Kritik dan Solusinya. Jakarta: Gema Insani, 2015.

---,Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam, Jakarta: Gema Insani, 2009 Indonesia. Undang-Undang Perkawinan. UU No 1 tahun 1974.


(5)

Isna Nur Fitria, “Perkawinan Beda Agama dan Dampaknya (Studi Komparasi antara Hukum Perkawinan Mesir dan Indonesia)”. Skripsi—UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2014.

Jawad Mughniyah Muhammad. Fiqih Lima Mazhab. Jakarta: Lentera, 2013. M. Karsayuda. Perkawinan Beda Agama. Total Media: Yogyakarta, 2006. Mughits Abdul. Kritik Nalar Fiqh Pesantren. Jakarta: Kencana, 2008.

Nasution Khoruddin. Islam Tentang Relasi Suami dan Istri (Hukum Perkawinan 1) Dilengkapi Perbandingan UU Negara Muslim .Yogyakarta: Academia dan Tazzafa, 2004.

Najih Maimoen, Muhammad. Membuka Kedok Tokoh-tokoh Liberal dalam Tubuh NU. Rembang: Toko kitab Al Anwar 1, 2011.

Nuruddin, Amiur. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004.

Nuryamin Aini, “Fakta Empiris Nikah Beda Agama”, dalam http://Islamlib.com/?site=1&aid=678&cat=content&cid=12&title=fakta-empiris-nikah-beda-agama.html, diakses pada 17 maret 2015.

Prakoso Djoko.Asas-asas Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Bina Aksara, 1987.

Pujiasih Abdi yang berjudul “Pernikahan Beda Agama Menurut Islam Dan Katolik”. Skripsi --UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2009.

Republika, “Gugatan Perkawinan Beda Agama Disesalkan” dalam

http://www.republika.co.id/berita/koran/halaman-1/14/09/07/nbiujp-gugatan-perkawinan-beda-agama-disesalkan.html, diakses pada 17 maret 2015.

Sabiq Sayyid. Fiqih Sunnah. Matraman: Tinta, 2013.

Shihab M Quraish. Perempuan. Tangerang: Lentera hati, 2009. Sjafril Akmal. Islam Liberal 101. Bogor: Afnan Publishing, 2015.


(6)

Suharman, Cucu. “Tafsir Kontekstual JIL”, Telaah atas Konsep Syariat Islam dan H}udu>d , No. 1, Vol. 2, 2013

Suharsimi, Arikunto. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta, 1997.

Surahman, Cucu. “Tafsir Kontekstual JIL: Telaah atas Konsep Syariat Islam dan H}udu>d”, Journal of Qur’a>n and H}adi@th Studies Vol. 2, No. 1, 2013.

Sungkono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafindo, 1997. Sution, Usman Adji. Kawin lari dan Kawin antar Agama. Yogyakarta: Liberty, 1989. Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: UI Press, 1986.

Tim Penulis 9 Paramadina. Fiqh Lintas Agama. Yayasan Paramadina, Jakarta, 2004. Wasman. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Perbandingan Fikih dan Hukum

Positif. Yogyakarta: Teras, 2011.

Yunus, Mahmud. Hukum Perkawinan dalam Islam. Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1990.

Zuailī, Wahbah. Al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh. Suriah: Dār al-Fikr, 1984.