Ruh hidup dalam jasad kaku: mengenang peran intelektual jaringan Islam liberal (jil) dalam diskursus Islam Indonesia

Ruh Hidup dalam Jasad Kaku:
Mengenang Peran Intelektual Jaringan Islam Liberal (JIL)
dalam Diskursus Islam Indonesia
Media Zainul Bahri
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
zainul.bahri@uinjkt.ac.id

Abstrak: Artikel ini mengurai ide-ide pokok keislaman Jaringan Islam Liberal (JIL) sejak awal kemunculannya hingga
masa emas periode pertama (2001-10.) Meskipun beberapa sarjana menyebut pandangan keagamaan JIL tidak
orisinal, namun JIL adalah sebuah fenomena menarik dengan kontribusi yang cukup penting dalam panggung Islam
Indonesia. Artikel ini ditutup dengan penjelasan tentang faktor-faktor meredup gerakan JIL dan kemungkinan masa
depan mereka.
Katakunci: JIL, Living Islam, Islamic studies, Dekonstruksi
Abstract: This esssay describes the Islamic main ideas of Jaringan Islam Liberal/JIL (Liberal Islam Network) since its
beginning till the golden age of the first period (2001-10.) Although some scholars state that the religious view of JIL is
unoriginal, but it is an interesting phenomenon in which it gave a significant contribution to Indonesian Islam. The
article is ended with an explanation of the dim factors of JIL movement and the possibility of its future.
Keywords: JIL, Living Islam, Islamic studies, Deconstruction

“Setiap orang adalah intelektual,
tetapi tidak semua orang dalam masyarakat memiliki fungsi intelektual”

(Antonio Gramsci)
Pendahuluan1

menjadi primadona dalam diskursus Islam

Boleh jadi bagi sebagian Muslim

Indonesia pada awal dan pertengahan tahun

muda Indonesia saat ini, nama Jaringan Islam

2000. JIL dimaksudkan menjadi lumbung

Liberal (JIL) tidak terlalu familiar lagi

gagasan dan wadah elit-intelektual muda yang

terdengar

nama


NU,

menyebarkan ide-ide Islam progresif. Ia

Hizbut

Tahrir

memang dirancang bukan sebagai organisasi

Indonesia yang masih populer. Padahal JIL

massa. Meski telah melewati masa keemasan

saat ini masih eksis, dalam pengertian masih

periode pertama, jejak dan spirit JIL masih

menggelar diskusi-diskusi aktual keislaman


terasa dalam konstelasi keindonesiaan dan

dan menyebarkan gagasan-gagasan melalui

keislaman. Dalam beberapa hal gagasan-

Islam.lib, namun suaranya terdengar sayup-

gagasan progresif JIL masih kontekstual,

sayup saja. Kelompok ini sebenarnya pernah

seperti mengampanyekan pluralisme agama,

dibanding

Muhammadiyyah,

atau


toleransi, HAM, kesetaraan gender dan
1

menolak teokrasi. Bagi JIL, jika Indonesia

Saya menyampaikan terima kasih kepada
Abd. Moqsith Ghazali, Novriantoni Kahar, Muhammad
Guntur Romli, Nanang Tahqiq, dan Eva Nugraha atas
informasi dan komentar berharga mereka untuk artikel
ini.

masih bisa mendiskusikan gagasan-gagasan
tersebut, maka „rumah Indonesia‟ masih
275

276

Ilmu Ushuluddin, Volume 2, Nomor 3, Januari - Juni 2015


sesuai dengan harapannya. Bersama-sama

Radio 68H Utan Kayu4 dan disiarkan juga

dengan NU dan Muhammadiyah, spirit

oleh beberapa radio jaringannya.5 Pada

gagasan-gagasan pokok JIL sesungguhnya

mulanya kegiatan JIL tidak bisa dipisahkan

telah

dari

memberi

kontribusi


bagi

wajah

dua

figur:

Luthfi

Assyaukani6

Indonesia modern. Artikel ini hanya berfokus

(Universitas

pada

masa


Universitas Paramadina) dan Ulil Abshar

keemasannya periode pertama (2001-2009)

Abdalla,7 yang saat itu bekerja di ISAI

seperti gagasan mengenai „Islam yang hidup,‟

(Institut

pluralisme agama, menolak negara teokrasi,

Lakpesdam

dan penafsiran ulang mengenai kesucian kitab

Pengembangan Sumber Daya Manusia) NU.

al-Qur‟ n. Artikel ini akan ditutup dengan


Saat itu Luthfi memulai membuka website

penjelasan singkat mengenai faktor-faktor

JIL dan membuat milisnya untuk diskusi

redup gerakan Islam liberal di Indonesia sejak

terbuka,

2010 hingga kini.

kemampuan intelektual dan retorika bagus—

isu-isu

utama

JIL


pada

Paramadina

Studi

dan

Arus

(Lembaga

Mulya,

kini

Indonesia)

dan


Kajian

dan

Ulil—dianggap

memiliki

dijadikan jurubicara ide-ide JIL.8 Terkait
Kemunculan Jaringan Islam Liberal
Secara khusus JIL mulai aktif pada
Maret 2001 dengan menggelar kelompok
diskusi

maya

(milis)

dalam


islamliberal@yahoogroups.com.

Kemudian

gagasan-gagasan JIL juga disebarkan lewat
website www.islamlib.com.2 Sejak Juni 2001,
JIL mengisi satu halaman Jawa Pos Minggu,3
berikut puluhan koran jaringannya, dengan
artikel dan wawancara seputar perspektif
Islam

liberal.

Tiap

kamis

malam,

JIL

menyiarkan talkshow dan diskusi interaktif
dengan para kontributor dan tokoh Islam yang
sepaham dengannya, melalui kantor Berita

2

Lih. Luthfi Assyaukani, Islam Benar versus
Islam Salah (Jakarta: Kata Kita, 2007), xvii dan 87.
3
Sebagai contoh sebagian besar artikel-artikel
Luthfi di Jawa Pos kemudian diterbitkan menjadi buku
Islam Benar versus Islam Salah.

4

Radio 68H Utan Kayu Jakarta Timur adalah
juga markas ISAI yang banyak menerbitkan buku-buku
kiri. Di markas ini juga, saat itu, sering
diselenggarakan diskusi, pentas drama, teater dan lainlain. Salah satu tokoh penggerak utama markas 68H
adalah Goenawan Mohamad, seorang sastrawan, dan
jurnalis Indonesia senior serta pendiri majalah Tempo.
5
Lih. Adian Husaini, Islam Liberal: Sejarah,
Konsepsi, Penyimpangan, dan Jawabannya (Jakarta:
Gema Insani, 2002), 4-5.
6
Luthfi Assyaukani lahir di Jakarta 27
Agustus 1967, menyelesaikan sekolah Menengah dan
Atas di pesantren At-Taqwa, Bekasi, Jawa Barat. Ia
menyelesaikan S-1 bidang Hukum Islam dan Falsafat
di University of Yordan, Amman-Yordania, meraih
gelar master dari International Institute of Islamic
Thought and Civilization (ISTAC) Malaysia, dan
mendapat Ph.D dalam bidang Pemikiran Politik Islam
dari University of Melbourne, Australia (2006.)
7
Ulil Abshar Abdalla lahir di Pati, Jawa
Tengah. Ia menyelesaikan Pendidikan Menengah dan
Atas di pesantren Maslakul Huda, Kajen-Pati pimpinan
K.H. Sahal Mahfudz, dan menyelesaikan S-1 pada
Fakultas Syari„ah Lembaga Pendidikan Islam dan Arab
(LIPIA) Jakarta dan pernah kuliah di Sekolah Tinggi
Filsafat Driyarkara. Ia mendapat gelar master di Boston
University, Amerika Serikat.
8
Ulil Abshar adalah direktur eksekutif JIL
yang pertama. Ketika kemudian ia mengambil S-2 di
Amerika dan Luthfi kuliah S-3 di Australia, Hamid
Basyaib menjadi direktur yang kedua. Setelah selesai

Media Zaenul Bahri, Ruh Hidup dalam Jasad Kaku: Mengenang Peran Intelektual Jaringan Islam Liberal (JIL) dalam Diskursus Islam Indonesia

277

dengan ide-ide JIL yang dimuat satu halaman

Pengetahuan

penuh di koran Jawa Pos, Goenawan

kemudian dipertajam dan diperluas dengan

Mohamad adalah figur yang sangat berperan

wawasan

karena ia adalah salah satu pemilik saham

sosiologi modern dan ilmu politik yang

Jawa Pos.

mereka pelajari di perguruan tinggi. Karena

Islam

falsafat

tradisional

Islam,

mereka

falsafat

Barat,

Selain Luthfi dan Ulil, terdapat tiga

itu, para individu JIL memiliki fondasi

tokoh perdana sangat aktif di JIL, yaitu

tradisional Islam yang kuat, tetapi mereka

Akhmad Sahal, Hamid Basyaib dan Saiful

„melampauinya‟ dengan pisau analisis ilmu-

Muzani. Secara umum, mereka berlima

ilmu sosial dan humaniora modern. Dalam

menggerakkan diskusi, kajian dan kegiatan di

pengertian ini, JIL bukanlah komunitas

JIL. Mereka juga aktif menulis opini di koran-

Muslim yang sedang „bermain-main‟ dengan

koran

nasional

Indonesia,

dan

seperti

Kompas,

Media

Islam atau hanya ingin tampil beda semata,

Koran

Tempo,

dengan

melainkan memang memiliki „citarasa‟ Islam

perspektif Islam liberal. Di masa awal
kegiatan-kegiatan, terdapat juga beberapa

intelektual.
Sebelum

Islam

liberal

menjadi

tokoh aktif menjadi narasumber seperti

gerakan atau komunitas eksklusif, Muslim

Komaruddin

Azra,

Indonesia telah mengenal dua buku berbahasa

Bahtiar Effendi, Kautsar Azhari Noer, Zainun

Indonesia yang terbit dengan memakai nama

Kamal, dan Nasaruddin Umar dari UIN

Islam liberal, yaitu Wacana Islam Liberal:

Hidayat,

Azyumardi

9

Jakarta, Said Aqil Siraj dan Masdar Mas‟ud

Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu

dari NU, Jalaluddin Rakhmat (tokoh Syī„ah

Global (2001) karya Charles Kurzman,10 dan

Indonesia)

Gagasan

dari

Yayasan

Muthahhari

Pemikiran

Bandung, dan lain-lain.

Islam

Liberal

di

Neo-Modernisme

Indonesia:
Nurcholish

Jika melihat proses „pematangan‟

Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib dan

Islam intelektual para penggagas JIL, maka

Abdurrahman Wahid 1968-1980 (1999) karya

sesungguhnya Ulil, Luthfi dan Sahal adalah

Greg Barton.11 Dua buku itu diterbitkan oleh

santri-santri

Muslim

pesantren tradisional

berlatar

belakang

dengan penguasaan

kitab-kitab klasik Islam yang memadai.
S-3, Luthfi menjadi direktur yang ke-3, lalu Moqsith
yang ke-4.
9
Said Aqil Siraj pernah aktif menjadi
narasumber bulanan JIL (dan sampai menjadi ketua
umum PBNU) untuk kajian sufisme Ibn „Arabī.
Wawancara dengan Abd. Moqsith Ghazali, Jakarta, 5
Maret 2015.

10

Judul asli buku itu adalah Liberal Islam: A
Sorce Book (New York: Oxford University Press,
1998), kemudian diterjemahkan oleh Bahrul Ulum dan
Heri Junaidi menjadi Wacana Islam Liberal:
Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global
(Jakarta: Penerbit Paramadina, 2001.)
11
Judul asli buku itu adalah The Emergence
Of Neo-Modernism: A Progressive, Liberal Movement
Of Islamic Thought In Indonesia (A Textual Study
Examining the Writings of Nurcholish Madjid, Djohan
Effendi, Ahmad Wahib and Abdurrahman Wahid 19681980) (Monash: Department of Asian Studies and

278

Ilmu Ushuluddin, Volume 2, Nomor 3, Januari - Juni 2015

Paramadina, sebuah Yayasan yang didirikan

Bagi saya, terdapat empat faktor yang paling

oleh Nurcholish Madjid (Cak Nur.) Jika buku

signifikan yang memunculkan gerakan JIL

Kurzman memang berjudul asli Liberal

secara agresif. Pertama, konteks global. Saya

Islam: A Sourcebook (terbit pada 1998),

setuju dengan Zuly Qodir bahwa kemunculan

adapun judul asli karya Barton (berasal dari

Islam liberal Indonesia tak bisa dilepaskan

disertasinya di Monash University, Australia)

dari perkembangan global ketika banyak

adalah The Emergence of Neo-Modernism: A

negara

Progressive, Liberal Movement of Islamic

perubahan besar dan mendasar, terutama

Thought In Indonesia (A Textual Study

tuntutan

Examining

Nurcholish

sosial, politik dan keagamaan. Agama, di

Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib and

alam demokrasi, harus diredefinisikan untuk

Abdurrahman Wahid 1968-1980.) Untuk

sesuai dengan tuntutan kehidupan progresif.

lebih provokatif buku terakhir ini diberi judul

Dalam

Gagasan Islam Liberal di Indonesia. Karena

Muslim Indonesia, termasuk tokoh-tokoh JIL,

popularitas penerbit Paramadina dan wibawa

„mengidolakan‟ para sarjana Barat dan Timur

intelektual Cak Nur, buku-buku terbitan

ahli Islam yang dianggap progresif dan liberal

Paramadina selalu laris di pasaran, dan karena

seperti Abdullah Ahmad an-Naim, Farid

itu pula sejak tahun 2000, istilah Islam liberal

Esack, Hasan Hanafi, Arkoun, Abid al-Jabiri,

menjadi cukup hangat diperbincangkan oleh

Hamid Abu Zayd, Abdul Karim Soroush,

kaum Muslim muda Indonesia. Pada saat

Muhammad

inilah, kemunculan JIL dengan Ulil Abshar

Pemikiran keislaman mereka dianggap cocok

sebagai

dengan perubahan dunia yang sedang terjadi

the

tokoh

Writings

of

utamanya

berada

pada

momentum yang tepat.

di

planet

bumi

demokratisasi

pengertian

ini

dalam

inilah,

Syahrur,

mengalami

kehidupan

para

dan

pemikir

lain-lain.13

saat itu.

Secara umum, kemunculan JIL dapat

Kedua, era reformasi, dengan tumbang

dibaca dengan banyak faktor. Azhar Ibrahim

rezim Orde Baru (1998), membuka kran

(2014) misalnya, seorang peneliti tamu di

kebebasan

National

Singapore,

Dalam kehidupan keagamaan, banyak muncul

menjelaskan tujuh faktor kemunculan JIL.12

paham Islam garis keras yang diimpor dari

University

of

berekspresi

dan

berpendapat.

Timur Tengah, suatu model Islam yang
Languages, 1995), kemudian diterjemahkan oleh
Nanang Tahqiq menjadi Gagasan Islam Liberal di
Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish
Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib dan
Abdurrahman Wahid 1968-1980 (Jakarta: Paramadina,
1999.)
12
Lih. Azhar Ibrahim, Contemporary Islamic
Discourse in the Malay-Indonesian World, Critical

sebenarnya tidak cocok dengan Indonesia.

Perspectives (Malaysia: Strategic Information and
Research Department Centre, 2014), 234-7.
13
Zuly Qodir, Islam Liberal, Varian-Varian
Liberalisme
Islam
di
Indonesia
1991-2002
(Yogyakarta: LKIS, 2010), 89-92.

Media Zaenul Bahri, Ruh Hidup dalam Jasad Kaku: Mengenang Peran Intelektual Jaringan Islam Liberal (JIL) dalam Diskursus Islam Indonesia

Pada

momen

ini

fundamentalisme

skripturalisme
Islam

279

dan

Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan Harun

menguat.

Nasution. Bahkan mereka, terutama Cak Nur

Kemunculan JIL tidak semata karena eforia

dan

reformasi,

untuk

pemerintah Orba. Di masa reformasi, JIL

melawan fundamentalisme dan formalisme

sebagai bayi yang baru lahir bersama para

Islam itu. Karena itu, relevan ungkapan Luthfi

raksasa

bahwa salah satu misi Islam liberal adalah

keleluasaan untuk menyebarkan pandangan

“mengembalikan

keislaman liberal.

melainkan

juga

usaha

semangat

kebangkitan

Gus

dibajak

oleh

konservatisme

tokoh

berani

Islam

menjadi

di

atas

oposisi

memiliki

Kedua, saya setuju dengan Ibrahim

pemikiran Islam yang sejak satu abad silam
telah

Dur,

dan

bahwa sejak tahun 1990an diskursus Islam

fundamentalisme agama.” Benar, di dunia

intelektual telah menyebar luas di banyak

Islam telah satu abad, tapi di Indonesia baru

IAIN (beberapa sekarang berubah menjadi

beberapa tahun saja fundamentalisme Islam

UIN) di Indonesia. Hal ini terjadi karena

menguat.

banyak dosen IAIN yang telah pulang dari

Secara politik, rezim otoriter Orde

sekolah di Barat.15 Selain membawa gelar

Baru (Orba) yang berkuasa 32 tahun telah

master dan doktor, mereka juga membawa

mengontrol kegiatan sosial-politik umat Islam

isu-isu baru seperti Islam dan pluralisme,

di

„pusat‟

supaya

tetap

terjaga

Islam dan demokrasi, Islam dan hak asasi

„kemurniannya.‟ Karena itu, menurut Daniel

manusia, Islam dan konsep nation-state,

S. Lev, perubahan secara signifikan lebih

Islam dan dialog antar-agama dan lain-lain.

mudah dilakukan di „pinggiran‟ daripada di

Penting dicatat bahwa dengan sumber daya

„pusat.‟ Masa reformasi adalah masa ketika

manusia unggul, IAIN dan UIN di kota-kota

sejarah terbuka untuk perubahan besar karena

besar di Indonesia memainkan peran yang

negara sedang lemah, suasana sosial, politik

sangat signifikan dalam mengembangkan

dan intelektual sangat labil, dan masyarakat

kajian teoritis studi-studi keislaman (Islamic

14

segar

studies) di satu sisi, dan menyebarkan

perubahan bagi Muslim Indonesia dengan

gagasan Islam moderat, bahkan Islam liberal

perspektif „Islam liberal,‟ „Islam progresif,‟

di sisi lain. Tokoh-tokoh UIN, terutama di

„Islam

Jakarta

mengharapkan perubahan.

kultural‟

atau

Angin

„Islam

rasional‟

dan

Yogyakarta,

setelah

Harun

sesungguhnya telah lama dihembuskan oleh

Nasution dan Mukti Ali, seperti Azyumardi

tokoh-tokoh sarjana Muslim seperti Cak Nur,

Azra dan Abdul Munir Mulkhan dengan isu

Daniel S. Lev, “Menciptakan Kembali
Indonesia,” dalam Luthfi Assyaukani (ed.), Wajah
Liberal Islam di Indonesia (Jakarta: Jaringan Islam
Liberal, 2002), xiii.
14

Islam

kultural
15

235-6.

Indonesia,

Komaruddin

Ibrahim, Contemporary Islamic Discourse,

280

Ilmu Ushuluddin, Volume 2, Nomor 3, Januari - Juni 2015

Hidayat dan Amin Abdullah dengan diskursus

Pengertian Islam Liberal

Hermeneutik, Din Syamsuddin dan Bahtiar

Apa

itu

Islam

liberal?

Charles

Effendi dengan politik Islam Indonesia, dan

Kurzman—sejak mula sering dirujuk oleh

Nasaruddin Umar dengan isu Islam dan

para tokoh JIL—mendefinisikan Islam liberal

kesetaraan gender,16 adalah para penopang

sebagai

yang kuat bagi eksistensi dan masa keemasan

berbeda dari Islam adat (customary Islam)

JIL

Mereka

dan Islam revivalis (revivalist Islam.) Islam

„dimanfaatkan‟ JIL untuk menjadi para

adat adalah Islam yang diekspresikan dalam

kontributor utama dalam acara-acara yang

bentuk budaya-budaya lokal tempat Islam itu

digelar JIL.

tumbuh, seperti Islam yang merayakan ziarah

pada

periode

2000an.

Ketiga, Islam kultural yang toleran
selama

ini

dikampanyekan

oleh

NU,

kelompok

kubur

kepada

membunyikan

yang

secara

orang-orang

bedug,

tradisi

kontras

suci,
musikal,

Muhammadiyah dan Paramadina,17 bagi JIL

menghormati roh orang mati, dan lain-lain.

adalah bagian dari kehidupan keseharian dan

Sedangkan Islam revivalis adalah kelompok

keislamannya. Para tokoh dan simpatisan JIL

Islam yang biasa disebut sebagai „Islam

hampir seluruhnya adalah anak-anak muda

fundamentalis‟ atau „Wahh bisme.‟ Islam

yang dibesarkan di lingkungan NU dan

revivalis suka menyerang Islam adat karena

Muhammadiyah. Mereka tidak semata merasa

dianggap Islam mereka tidak murni lagi.

berkewajiban menjaga Islam kultural tetapi

Sementara tradisi Islam liberal adalah tradisi

juga ingin mengembangkannya menjadi Islam

Islam yang menghadirkan masa lalu dalam

intelektual dengan spektrum lebih luas.

konteks modernitas, dan menyatakan bahwa

Dalam konteks ini, harus dipahami bahwa tiga

Islam jika dipahami secara benar maka akan

figur senior, yaitu Harun Nasution dengan

sejalan dengan liberalisme Barat.18

Islam

Kurzman lalu menyebut tiga bentuk

peradaban dan kemodernan, dan Gus Dur

utama Islam liberal. Pertama, syari„ah liberal

dengan pribumisasi Islam, dijadikan ikon-

(liberal sharī„a.) Model ini menyatakan

ikon yang banyak diapresiasi oleh tokoh-

bahwa syari„ah bersifat liberal pada dirinya

tokoh JIL.

sendiri jika dipahami secara tepat. Kurzman

Islam

rasional,

Cak

Nurdengan

menyebut beberapa nama sarjana Muslim
liberal untuk bentuk yang pertama ini seperti
Ali Bullac, Muslim liberal Turki; Syafique
16

Bahkan salah satu karya Nasaruddin Umar,
Al-Qur‟an untuk Perempuan diterbitkan oleh
Komunitas Utan Kayu/JIL pada 2002.
17
Ibrahim, Contemporary Islamic Discourse,
236.

Charles Kurzman, “Liberal Islam and Its
Islamic Context,” dalam Charles Kurzman (ed.),
Liberal Islam, A Sourcebook (New York: Oxford
University Press, 1998), 5-6.
18

Media Zaenul Bahri, Ruh Hidup dalam Jasad Kaku: Mengenang Peran Intelektual Jaringan Islam Liberal (JIL) dalam Diskursus Islam Indonesia

281

Ali Khan dari Pakistan, dan Abdelkebir

banyak Muslim yang memahami bahwa

Alaoui

yang

istilah „liberal‟ dalam Islam liberal memunyai

berpendapat bahwa syari„ah membangun

makna kebebasan tanpa batas, sebuah sikap

kebebasan berpikir.19 Kedua, syari„ah yang

permisif, ibāhiyyah (serba boleh), sikap

diam (silent sharī„a.) Model ini menyatakan

menolelir setiap hal tanpa mengenal batas

bahwa syari„ah tidak memberi jawaban yang

pasti. Dengan cara pandang seperti ini, Islam

pasti tentang topik-topik tertentu. Kaum

liberal dianggap sebagai ancaman terhadap

Muslim bebas mengadopsi sikap liberal

keberagamaan

dalam hal-hal yang oleh syari„ah dibiarkan

bahkan dianggap sebagai „musuh‟ Islam itu

terbuka untuk dipahami oleh akal budi dan

sendiri. Padahal kata Ulil, tidak begitu

kecerdasan manusia.20 Ketiga, syari„ah yang

pengertian Islam liberal. Ulil menulis:

M‟Daghri

dari

Maroko

yang

sudah

terlembaga,22

ditafsirkan (interpreted sharī„a.) Terdapat
kesan bahwa syari„ah yang bersifat ilahiah
ditujukan bagi berbagai penafsiran manusia
yang beragam. Tidak ada tafsir tunggal
terhadap syari„ah kecuali untuk beberapa
doktrin ibadah yang sudah pasti (qaṭ„ī.)21
Jika membaca tulisan-tulisan tokoh
JIL, maka mereka banyak mengambil ide atau
inspirasi dari definisi kedua dan ketiga model
Kurzman di atas. Perspektif Islam liberal ala
Kurzman di atas menjadi salah satu referensi
(pemicu) sangat penting para tokoh JIL untuk
melembagakan proyek Islam liberal menjadi
JIL. Setelah terbentuk, JIL melangkah lebih
jauh dengan mengambil referensi luas untuk
mengolah isu-isu keagamaan lebih kompleks.
Ulil sendiri dalam banyak kesempatan
menjelaskan makna „liberal‟ dan pengertian
„Islam liberal‟ yang seringkali disalahpahami
oleh banyak Muslim Indonesia. Menurut Ulil,
Kurzman, “Liberal Islam,” 14.
Kurzman, “Liberal Islam,” 14-5.
21
Kurzman, “Liberal Islam,” 6.

19

20

Bahwa dengan membubuh kata liberal
pada Islam, sesungguhnya saya
hendak menegaskan kembali dimensi
kebebasan
dalam
Islam
yang
jangkarnya adalah niat atau dorongandorongan emotif-subyektif dalam
manusia itu sendiri. Dan sebaiknya
kata liberal dalam „Islam liberal‟
dipahami dalam kerangka semacam
ini. Kata „liberal‟ di sini tidak
tersangkut paut dengan kebebasan
tanpa batas, dengan sikap-sikap
permisif
yang
melawan
kecenderungan „intrinsik‟ dalam diri
manusia
itu
sendiri.
Dengan
menekankan
kembali
dimensi
kebebasan manusia, dan menempatkan
manusia pada fokus penghayatan
keagamaan,
maka
kita
telah
memulihkan kembali integritas wahyu
dan Islam itu sendiri.23
Menurut Ulil, kebebasan memiliki
nilai yang tinggi dalam Islam karena ia
Ulil Abshar-Abdalla, “Agama, Akal, dan
Kebebasan: Tentang Makna „Liberal‟ dalam Islam
Liberal,” dalam Abd. Moqsith Ghazali (ed.), Ijtihad
Islam Liberal, Upaya Merumuskan Keberagamaan
yang Dinamis
(Jakarta: Penerbit Jaringan Islam
Liberal, 2005), xviii.
23
Abshar-Abdalla, “Agama, Akal, dan
Kebebasan,” xix.
22

282

Ilmu Ushuluddin, Volume 2, Nomor 3, Januari - Juni 2015

berhubungan langsung dengan penggunaan

kedua ini adalah yang masih relevan dan

nalar dan keagungan martabat manusia.

kontekstual untuk terus dikembangkan. Pola

Agama tidak diturunkan bagi keledai yang

pikir yang jumud biasanya akan melahirkan

dungu, tapi bagi manusia yang memiliki

sikap

kemampuan untuk memaksimalkan akal dan

fundamentalis, dalam pengertiannya yang

nalarnya. Nabi menyebut bahwa al-dīn huwa

negatif. Termasuk dalam fundamentalisme

al-„aql, lā dīna liman lā „aqla lahu (agama

adalah ide teokrasi yang ingin dipertahankan

adalah akal, tidak ada agama bagi mereka

kaum Muslim fundamentalis.25

keagamaan

yang

konservatif

dan

yang tidak memunyai akal.) Dalam konteks

Dalam menyebar gagasan-gagasannya,

penggunaan akal dan jaminan kebebasan itu,

JIL memiliki beberapa agenda pokok. Dalam

maka

milis

seorang

Muslim

boleh

tidak

resmi

JIL,

islib.com

disebutkan

menjalankan syari„at jika ia tidur (pingsan),

beberapa agenda JIL, yakni a) Membuka pintu

menjadi gila dan seorang anak kecil. Artinya

ijtihad pada semua dimensi

hanya orang dewasa dan berakal yang diberi

Mengutamakan semangat religio etik, bukan

beban untuk melaksanakan syari„ah (atau

makna literal teks, c) Memercayai kebenaran

memilih untuk menjalankan atau tidak.)

yang relatif, terbuka dan plural, d) Memihak

Menurut Ulil, yang terlihat menonjol di dunia

pada yang minoritas dan tertindas, e)

Muslim adalah „bahasa kewajiban,‟ yaitu

Meyakini

tekanan-tekanan

Memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi,

kewajiban

menjalankan

kebebasan

Islam,

beragama,

dan

b)

f)

syari„ah kepada Tuhan. Bahasa „hak dan

otoritas

kebebasan manusia‟ jarang muncul. Dalam

menyebut empat agenda utama yang harus

pengertian inilah, Islam liberal muncul untuk

menjadi perhatian para pembaharu Muslim,

menyeimbangkan

„neraca‟

antara

bahasa

kewajiban dan kebebasan/hak.24

keagamaan

dan

politik.

Luthfi

termasuk JIL, yaitu 1) agenda politik. Ide
negara teokrasi harus dilawan; 2) hubungan

Secara lebih spesifik Luthfi menyebut

Muslim dan non-Muslim. Untuk memerkuat

istilah „Islam liberal‟ berarti „pembebasan‟

hubungan itu, ide tentang teologi pluralisme

kaum Muslim dari dua hal. Pertama, dari

harus dikembangkan; 3) memberdayakan

cengkraman kolonialisme yang menguasai

peran perempuan. Untuk agenda ini, kaum

hampir seluruh dunia Islam di masa lalu.

Muslim harus memikirkan kembali ajaran-

Kedua, pembebasan kaum Muslim dari pola

ajaran Islam yang cenderung merugikan dan

pikir dan sikap keagamaan yang jumud yang

mendiskreditkan

menghambat kemajuan. Pembebasan yang

Kebebasan

24

Abshar-Abdalla,
Kebebasan,” xviii.

“Agama,

Akal,

dan

25

kaum

berpendapat

perempuan;
harus

4)

mendapat

Luthfi Assyaukani, Islam Benar versus
Islam Salah, 61-5.

Media Zaenul Bahri, Ruh Hidup dalam Jasad Kaku: Mengenang Peran Intelektual Jaringan Islam Liberal (JIL) dalam Diskursus Islam Indonesia

283

prioritas dalam kehidupan kaum Muslim

Tuhan‟ dalam pengertian biasa dipahami oleh

modern. Islam sangat menghormati HAM,

umat Islam. Yang ada adalah prinsip-prinsip

dan karena itu juga, sangat menghormati

umum

kebebasan berpendapat.26

maqāṣid al-syarī„ah (tujuan umum syari„at

universal

yang

disebut

dengan

kebebasan

Islam.) Ketiga, kaum Muslim tidak wajib

berpikir dalam Islam, maka Islam liberal

mengikuti Rasul secara harfiah, sebab yang

mendorong kreatifitas berijtihad. Moqsith

dilakukan olehnya di Madīnah adalah upaya

Ghazali, tokoh JIL yang lain, menegaskan

menegosiasikan antara nilai-nilai universal

bahwa Islam harus dikembalikan ke posisi

dengan situasi sosial Madīnah dengan seluruh

awalnya sebagai agama yang membebaskan

kendala yang ada. Islam di Madīnah adalah

dan mencerahkan. Hanya ijtihad cara yang

hasil suatu trade-off antara yang „universal‟

paling efektif untuk menghidupkan kembali

dengan yang „partikular.‟ Lagi pula kata Ulil,

rasionalitas dan aspek liberalitas Islam. Di

Islam di Madīnah adalah one among others,

sinilah relevansi dan signifikansi peran-peran

salah satu jenis Islam yang hadir di muka

intelektual JIL.27

bumi. Keempat, kecenderungan umat Islam

Untuk

menyuburkan

Indonesia „memonumenkan‟ Islam, hingga
Mengampanyekan

Islam

yang

hidup,

Islam menjadi agama yang beku dan mati.
Seolah-olah Islam adalah „paket‟ Tuhan yang

Pluralisme dan Menolak Teokrasi
Pada 18 November 2002 panggung

taken for granted; tidak bisa dipikirkan dan

Islam Indonesia dihebohkan oleh tulisan Ulil

diperdebatkan lagi. Karena itu, Ulil mengajak

di Harian Kompas. Di koran dengan oplah

pembacanya untuk mengembangkan Islam

terbesar di Indonesia itu, Ulil menulis sebuah

yang hidup, yang segar, yang cerah, yang

opini

lebih

bertitel

“Menyegarkan

Kembali

Pemahaman Islam.” Dalam tulisan itu, Ulil
„geram‟

terlihat

sekali

terhadap

dapat

memenuhi

maslahat

umat

manusia.28
Kontan

kaum

saja,

setelah

tulisan

itu

fundamentalisme Islam. Ada empat hal pokok

tersebar luas, muncul kemarahan umat Islam

isi tulisan itu. Pertama, soal jilbab, potong

di mana-mana dan menganggap Ulil telah

tangan, qisas, hukum rajam, jenggot dan

„menghina‟

jubah tidak wajib diikuti oleh kaum Muslim

sebuah

karena itu hanya ekspresi lokal partikular

konservatif membuat jajak pendapat dengan

Islam di Arab. Kedua, tidak ada „hukum

pertanyaan: setujukah bahwa tulisan Ulil telah

26

Salah, 72-5.

majalah

Suara

bulanan

Hidayatullah,
milik

Muslim

menghina Islam? Jawaban responden: 78.15%
Assyaukani, Islam Benar versus Islam

Moqsith Ghazali, “Ijtihad, Upaya
Menembus Batas,” dalam Ijtihad Islam Liberal, x.
27

Islam.

Ulil Abshar, “Menyegarkan Kembali
Pemahaman Islam,” Kompas, 18 November 2002, 4
28

284

Ilmu Ushuluddin, Volume 2, Nomor 3, Januari - Juni 2015

setuju, 17.68% tidak setuju, dan 4.17% tidak

akan menafsirkan ulang doktrin-doktrin lama

tahu. Tulisan Ulil juga telah membuat 80

yang mereka anut agar sesuai dengan

ulama Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa

semangat zaman yang dihadapi.

Barat yang tergabung dalam Forum Ulama-

Apakah setelah kegaduhan akibat

Ummat Indonesia (FUUI) berkumpul di

fatwa FUUI Ulil menjadi bungkam? Ternyata

Bandung pada 1 Desember 2002. Hasil dari

tidak. Tokoh-tokoh Muslim moderat di NU,

pertemuan itu sangat mengejutkan. Para

Muhammadiyah, UIN dan Paramadina kerap

ulama menuntut Ulil—dan siapa pun yang

membelanya, sehingga Ulil merasa memiliki

telah menghina Islam, Allah dan Rasulullah—

banyak dukungan. Bagi Ulil, agama adalah

untuk „dihukum mati.‟ Untuk mengeksekusi

suatu kebaikan buat umat manusia; dan

tuntutan itu, FUUI kemudian melaporkan Ulil

karena manusia adalah organisme yang terus

ke Polri. Ulil sendiri mengaku merasa agak

berkembang, baik secara kuantitatif dan

takut meskipun ia menilai „fatwa‟ FUUI itu

kualitatif, maka agama juga harus bisa

tidak

mengembangkan

kredibel

karena

NU

dan

Muhammadiyah tidak ikut menandatangani.29

manusia

itu

diri

sesuai

sendiri.

Karena

kebutuhan
itu,

yang

Peristiwa itu membuat JIL semakin

dibutuhkan adalah „agama yang hidup‟ atau

populer dan menjadi buah bibir di tengah

„Islam yang hidup‟ sebagai lawan dari „Islam

masyarakat. Ulil dan JIL „dikutuk‟ di mana-

yang mati‟ milik kaum fundamentalis.30

mana namun juga didukung oleh kaum muda

Salah satu bentuk Islam yang hidup

Muslim progresif. Bagi kaum muda Muslim,

adalah mengapresiasi pluralisme. Untuk isu

pemikiran Ulil dan para pembaharu yang lain

ini,

adalah sebuah „harapan‟ akan kelangsungan

mendekonstruksi pandangan kaum Muslim

dan masa depan Islam itu sendiri. Agama

bahwa Islam adalah agama yang paling benar

yang

bisa

dan sempurna. Menurut Ulil, pandangan ini

beradaptasi menghadapi perubahan. Adaptasi

begitu kuat di abad 20 ketika kaum Muslim

dan reformasi tafsir keagamaan tidak akan

inferior di hadapan modernitas dan peradaban

menghilangkan prinsip pokok ajaran agama.

Barat yang unggul. Padahal jika menelaah

Kaum beragama harus berusaha mengadaptasi

tradisi penafsiran al-Qur‟ n pada periode

dan memahami setiap konsep-konsep baru

klasik (yaitu antara abad 8-12 M., periode di

yang berkembang di dunia modern untuk

mana kegiatan intelektual dalam dunia Islam

diselaraskan dengan jiwa dan nilai agama.

mencapai

Jika mereka menemukan kontradiksi, mereka

„kelengkapan/kesempurnaan‟ itu tidak terlalu

“Pendahuluan” editor
Islamiyah, Vol. 1, No. 1, 2003, 7-9.

Ulil Abshar,
Pemahaman Islam.”

hidup

29

adalah

agama

yang

jurnal

Dirosah

Ulil

30

memulai

dengan

cara

puncak kreatifitasnya), konsep

“Menyegarkan Kembali

Media Zaenul Bahri, Ruh Hidup dalam Jasad Kaku: Mengenang Peran Intelektual Jaringan Islam Liberal (JIL) dalam Diskursus Islam Indonesia

285

mendapatkan perhatian khusus. Saat itu Islam

dan sikap yang terbuka untuk menerima

sedang berada di puncak tertinggi peradaban.

berbagai

kebenaran

Karena itu, konsep kesempurnaan tidak

berbagai

agama

terlalu dimunculkan oleh para sarjana Muslim

kesempurnaan justru bermakna kesanggupan

saat itu.

untuk menampung berbagai kebenaran dari

dan

dan

kekayaan

tradisi

lain.

dari
Jadi

Islam

orang lain, bukan malah ketertutupan. Karena

sebagai paling sempurna seperti terlihat

itu menurut Ulil, kebenaran ada di mana-

sangat

ini,

mana di luar kaum Muslim; ada di agama

budaya.‟

Zoroaster, Yahudi, Kristen dan lain-lain.

Perasaan superior itu akan menyebabkan rasa

Dengan merujuk kepada Fazlur Rahman,

„cukup

secara

justru ciri orang bertaqwa adalah rendah hati,

kebudayaan, sehingga tak perlu belajar dari

yaitu sikap mau menerima hikmah (wisdom)

golongan lain. Jika saya atau kami sudah

dari orang lain.31

Menurut Ulil, menganggap

mencolok

melahirkan

di

perasaan

diri‟

(self

abad

modern

„superior
sufficiency)

cukup, kenapa mesti mengambil dari yang

Menurut Ulil, dengan mengutip Cak

lain? Dari superior budaya, lahirlah sikap

Nur, pada masa Nabi, Islam tidak dikenal

tertutup (eksklusif), yang sebenarnya sangat

sebagai nama agama, tapi sebuah sikap

berbahaya. Sikap tertutup dan menutup diri

ketundukan dan kepasrahan kepada Tuhan.

itulah yang sekarang menimpa kaum Muslim

Pada mulanya, Islam adalah sebuah kualitas

di mana-mana. Mereka tidak mau belajar dan

personal, bukan agama institusional. Dalam

menerima kebenaran dari orang lain.

pengertian kepasrahan ini, agama Islam

Menurut

Ulil,

dalam

memahami

dengan agama lain sesungguhnya sejajar.32

kaum

Ulil kemudian mengutip ayat al-Qur‟ n

Muslim harus merumuskan kembali konsep

tentang khātaman nabiyyīn. Kaum Muslim

kesempurnaan itu melalui dua penafsiran

biasanya

progresif. Pertama, kesempurnaan itu terletak

penutup. Maksudnya Nabi Mu ammad adalah

pada aspek aqidah dan norma umum. Norma-

yang terakhir karena ia penutup para nabi.

norma umum ini kemudian dikembangkan

Tetapi Ulil lebih memilih membaca ayat itu

lebih jauh oleh para sarjana Muslim menjadi

sebagai khātam yang berarti cincin. Nabi

norma khusus. Misalnya, dalam al-Qur‟ n ada

Mu ammad adalah jari di antara jari-jari yang

terminologi

ayat

kesempurnaan

tentang

pentingnya

Islam

melakukan

musyawarah di antara kaum Muslim. Konsep
musyawarah ini ternyata kompatibel dengan
model demokrasi modern. Kedua, watak
kesempurnaan Islam artinya sebuah watak

31

mengartikan

khātim

sebagai

Terkait pandangan-pandangan Ulil ini, saya
ringkaskan dari dua artikel Ulil di blog-nya, yaitu
“Tentang Qur‟ n, Konsep Kelengkapan, dan
Superioritas Budaya” (9 Juli 2010), dan “Memahami
Kitab-Kitab Suci Secara non-Apologetik” (6 Agustus
2008.) Lih. www.Ulil.net.
32
Zuly Qodir, Islam Liberal: Varian-Varian
Liberalisme Islam di Indonesia 1991-2002, 205.

286

Ilmu Ushuluddin, Volume 2, Nomor 3, Januari - Juni 2015

ada, hanya saja „jari Nabi‟ begitu istimewa

mendiskusikan tema-tema pokok yang cukup

karena

kehormatan.

sensitif di kalangan kaum Muslim yaitu soal

Dengan tafsir ini, maka Ulil meyakini bahwa

toleransi dan kebebasan beragama, pengakuan

sejarah kenabian tidak berakhir dengan

akan keselamatan umat non-Islam, doktrin

meninggal Nabi Mu ammad. Karena itu,

tentang kafir, syirik, ahli kitab, kebolehan

„Mu ammad-

menikah dengan pasangan non-Muslim, soal

Mu ammad kecil‟ yang mengemban sejarah

perbedaan jihad dan perang. Tema-tema itu

profetis sebagaimana Mu ammad dulu. Tafsir

dieksplorasi menurut ayat-ayat al-Qur‟ n dan

ini menurut Ulil, lebih progresif dibanding

perspektif para mufasir. Moqsith mengurai

penafsiran kaum Muslim fundamentalis yang

secara detail pandangan para ahli tafsir klasik

hanya ingin menjadi „replika‟ atau „imitator‟

dan modern, baik yang eksklusif maupun

Nabi tanpa berusaha keras membuat sejarah

yang

yang progresif.33

pembicaraan ke arah tafsir al-Qur‟ n yang

mengenakan

setiap

Muslim

cincin

adalah

inklusif,

kemudian

mengarahkan

Terkait konsep pluralisme agama,

humanis dan progresif dalam bingkai Islam

Abd. Moqsith Ghazali,34 akademisi UIN

pluralis. Yang istimewa dalam karya itu,

Jakarta

Direktur

Moqsith berhasil menyajikan wawasan al-

Eksekutif JIL periode 2008-2013, menulis

Qur‟ n dan perspektif para mufasir mengenai

sebuah buku akademik berjudul Argumen

doktrin Islam yang bersifat lokal-partikular

Pluralisme Agama: Membangun Toleransi

dan ajaran lain yang humanis-universal.

yang

pernah

menjadi

Berbasis Al-Qur‟an (Depok: Katakita, 2009.)

Gagasan pluralisme agama diusung

Buku ini adalah disertasi doktoral Moqsith

Cak Nur, Gus Dur, Djohan Effendi, dan

dalam bidang tafsir al-Qur‟ n. Moqsith

diperkuat oleh tokoh-tokoh JIL di atas,
mengundang

Ulil Abshar, “Wahyu Progresif,” dalam
Wajah Liberal Islam, 77.
34
Moqsith adalah santri Pesantren Salafiyah
Syafi‟iyyah, Situbondo, Jawa Timur, yang diasuh oleh
Kyai Romo As‟ad Syamsul Arifin, tokoh besar NU. Ia
tinggal di pesantren itu hingga menyelesaikan S-1 pada
Institut Agama Islam Ibrahimi (1995) milik pesantren
itu. Kemudian menyelesaikan S-2 (1999) dan S-3
(2007), keduanya pada Pascasarjana UIN Jakarta.
Moqsith diajak bergabung dengan JIL pada 2003
karena dianggap memiliki kemampuan dalam
membaca dan menganalisis kitab-kitab klasik Islam,
terutama hukum Islam dan tafsir. Selain itu,
retorikanya juga memukau. Saya kira penunjukan
Moqsith menjadi direktur eksekutif JIL ke-4 adalah
karena penguasaannya terhadap kitab klasik Islam
untuk memerkuat argumen eksistensi Islam liberal,
karena kitab-kitab klasik itu biasa menjadi rujukan
kaum Muslim, terutama ulama-ulamanya.
33

kemarahan

kaum

Muslim

konservatif. Bagi mereka, pandangan ingin
menyetarakan Islam dengan agama-agama
lain, sangat membahayakan aqidah kaum
Muslim. Melalui lobi-lobi mereka yang cukup
intens kepada Majelis Ulama Indonesia
(MUI),

akhirnya

pada

2006

MUI

mengeluarkan fatwa haram bagi paham
pluralisme agama. Dalam fatwa itu MUI
menjelaskan pluralisme agama adalah “suatu
paham yang mengajarkan semua agama
adalah sama dan karenanya kebenaran setiap

Media Zaenul Bahri, Ruh Hidup dalam Jasad Kaku: Mengenang Peran Intelektual Jaringan Islam Liberal (JIL) dalam Diskursus Islam Indonesia

287

agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap

Indonesia yang majemuk. Ulil sendiri secara

pemeluk agama tidak boleh menglaim bahwa

emosional menyebut para ulama dalam MUI

hanya agamanya saja yang benar sedangkan

bukanlah

agama lain salah. Pluralisme agama juga

melainkan orang-orang bodoh (juhalā‟.)

mengajarkan bahwa semua pemeluk agama

orang-orang

berilmu

(„ulamā‟)

Fatwa hukuman mati bagi Ulil dan

yang berbeda-beda akan masuk surga dan

fatwa

hidup berdampingan di dalamnya.” Dengan

memiliki efek serius bagi muncul teror dan

paham

MUI

kekerasan. Dengan merujuk kepada fatwa-

“Pluralisme, sekularisme, dan liberalisme

fatwa itu, beberapa laskar Islam seperti Forum

agama adalah paham yang bertentangan

Umat

dengan ajaran agama Islam. Umat Islam

Indonesia, dan Front Pembela Islam (FPI)

haram

mulai

seperti

itu,

maka

mengikuti

paham

bagi

pluralisme,

keharaman

Islam

aktif

pluralisme

(FUI),

berdemo

Majelis

ternyata

Mujahidin

menuntut

kepada

sekularisme, dan liberalisme agama.”35 Bagi

pemerintah bahwa JIL harus dibubarkan. Ada

MUI jelas, secara teologis, kebenaran dan

banyak kampanye di media massa dan poster-

keselamatan di akhirat hanya milik agama

poster bertuliskan „Indonesia damai tanpa

Islam yang dibawa oleh Nabi Mu ammad,

JIL.‟ FPI secara aktif juga menyerang markas

dan hanya Islam satu-satunya agama yang

JIL di Utan Kayu dan menuntut markas itu

mendapat rida Tuhan.36

untuk ditutup. Ulil sendiri merasakan bahwa

Segera setelah fatwa itu diumumkan,

nyawanya dalam bahaya. Ia sering diintai oleh

tokoh

liberal

orang-orang tak dikenal. Bahkan seorang

berkumpul untuk memberikan reaksi yang

aktifis Islam, Iqbal Husaini, telah tiga kali

sangat keras. Dalam konferensi pers, secara

mendatangi markas JIL di Utan Kayu dengan

bergantian,

Gus

Azyumardi

Azra,

para

memberikan

Islam

moderat

Dur,
dan

pernyataan

dan

Syafii

Maarif,

niat membunuh Ulil. Namun sayang, ia tak

Ulil

Abshar

memiliki kesempatan yang tepat untuk bisa

yang

berisi

membunuh

Ulil.

Menurut

Luthfi

yang

keprihatinan atas fatwa itu dan mengritik

mengutip laporan majalah Tempo (2005), niat

keras MUI. Menurut Gus Dur, dengan fatwa

pembunuhan terhadap Ulil itu didasarkan

itu MUI seolah-olah menutup mata atas

Husaini pada fatwa FUUI (2002) yang

kemajemukan Indonesia, namun di sisi lain

mengeluarkan fatwa mati untuk Ulil.37 Tak

ingin tetap hidup di tengah masyarakat

diragukan, di satu sisi, aksi-aksi demonstrasi
dan tindak kekerasan terhadap tokoh-tokoh

35

Sekretariat Majelis Ulama Indonesia,
Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Sejak
1975 (Jakarta: Erlangga, 2011), 91-2.
36
Sekretariat Majelis Ulama Indonesia,
Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, 88-90.

pengusung
37

147-8.

pluralisme

dan

liberalisme

Luthfi, Islam Benar versus Islam Salah,

288

Ilmu Ushuluddin, Volume 2, Nomor 3, Januari - Juni 2015

membuat suatu kecemasan serius, namun di

Mendekonstruksi

sisi lain hal itu membuat JIL semakin populer.

Kesucian al-Qur’ān

JIL dan tokoh-tokoh senior Muslim moderat
yang

membela

pembicaraan
Indonesia.

Pandangan

tentang

Bagi kaum Muslim di manapun, al-

Islam

liberal

menjadi

Qur‟ n adalah kitab suci yang sangat sakral

di

kalangan

Muslim

dan harus diperlakukan secara sakral pula. Ia

tidak

menjadi „pusat fokus‟ kaum Muslim dalam

luas

Tindakan

terjadi, dan segala

pembunuhan
kegaduhan

akhirnya

kehidupan

material

dan

spiritual.

JIL

terhenti. Dalam suatu cara yang „halus,‟

memiliki perhatian serius mengenai posisi al-

kelihatannya, beberapa tokoh di pemerintahan

Qur‟ n ini. Dengan mengambil inspirasi dari

berhasil „melindungi‟ tokoh-tokoh Muslim

seorang ulama klasik ahli kajian al-Qur‟ n,

moderat-liberal.

Jal luddīn al-Suyu ī, dan beberapa sarjana

Gagasan dan praktik mengenai Islam

Muslim modern seperti Fazlur Rahman dan

yang hidup dan pluralisme agama tidak akan

Mohammed Arkoun, tiga tokoh JIL: Ulil

tumbuh berkembang di negara yang menganut

Abshar, Luthfi Assyaukani, dan Moqsith

„negara Islam.‟ Karena itulah, sejak awal JIL

Ghazali

menolak

dan

tentang sejarah al-Qur‟ n, proses kodifikasi

mendukung konsep negara-bangsa (nation

al-Qur‟ n, kemungkinan kesalahan gramatik

state) dengan sistem demokrasi. Menurut

al-Qur‟ n dan bagaimana seharusnya kaum

Luthfi, Islam liberal meyakini bahwa urusan

Muslim memerlakukan al-Qur‟ n. Puncaknya,

pemerintahan dan politik adalah persoalan

tiga tokoh JIL itu menulis satu buku berjudul

ijtihad manusia, dan bukan sesuatu yang baku

Metodologi Studi Al-Qur‟an (2009.) Menurut

yang datang dari masa silam dan dipaksa

mereka, al-Qur‟ n harus dilihat dalam dua hal

untuk diterapkan bagi manusia modern.

yang berbeda. Pertama, ia adalah wahyu

Argumen formalisme negara Islam tak lagi

aural, wahyu yang didengarkan. Persis seperti

memadai

wahyu dalam Weda yang disebut Sruti, yang

konsep

untuk

negara

teokrasi

menjawab

kompleksitas

menulis

beberapa

artikel

kritis

yang

artinya „sesuatu yang didengarkan‟ oleh

mengidealkan pluralitas, persamaan hak, dan

orang-orang bijak, yang dalam tradisi Hindu

demokrasi. Bentuk negara teokrasi hanya

disebut rshi. Al-Qur‟ n adalah wahyu yang

akan

didengarkan, lalu kemudian „dibaca‟ (dalam

kehidupan

masyarakat

memecah

belah

modern

masyarakat

yang

heterogen.38

bahasa Arab menjadi al-Qur‟ n, artinya
bacaan.) Kedua, al-Qur‟ n harus dilihat
sebagai kitab suci yang ditulis (scripture) dan

Luthfi Assyaukani, “Islam Liberal:
Pandangan Partisan,” dalam Wajah Liberal Islam,
xxvi.
38

Media Zaenul Bahri, Ruh Hidup dalam Jasad Kaku: Mengenang Peran Intelektual Jaringan Islam Liberal (JIL) dalam Diskursus Islam Indonesia

289

dikodifikasi.39 Ada proses manusiawi atau

dipahami, menurut tiga tokoh itu, sakralisasi

proses sejarah dalam penulisan dan kodifikasi

al-Qur‟ n

al-Qur‟ n.

pembentukan dan perjalanan wahyu sebagai

berkaitan

erat

dengan

proses

Wahyu atau wahyu aural adalah

kitab suci. Proses sakralisasi berkembang

sesuatu yang berada di alam Ilahi bukan di

seiring proses penulisan dan kodifikasi al-

area manusiawi. Klaim penerimaan wahyu

Qur‟ n.

oleh kaum Muslim adalah klaim subyektif

penyucian atau menganggap suci al-Qur‟ n

yang berada di luar nalar ilmiah. Persoalan

adalah konstruksi sebuah masyarakat. Al-

wahyu

Qur‟ n dianggap suci karena ada sekelompok

sepenuhnya

keimanan,

dan

bukan

adalah

persoalan

persoalan

ilmu

masyarakat

Dalam

perkembangan

itulah,

yang menganggapnya suci,41

pengetahuan. Karena itu klaim keterjagaan al-

tanpa pernah memerhatikan secara kritis ada

Qur‟ n seperti firman-Nya, “Kami yang

proses-proses manusiawi di dalamnya.

menurunkan al-Qur‟ n dan Kami pula yang

Menurut ketiga figur JIL itu, saat ini

menjaganya (Q.s. al- ijr/15: 9),” harus

yang terjadi adalah kecenderungan kaum

dipahami bukan dalam konteks manusiawi,

Muslim untuk menyakralkan huruf, script

tetapi

Sebaliknya,

atau tulisan al-Qur‟ n dibanding semangat

berbeda dari hal itu, menurut ketiga tokoh ini,

pembebasan dan pemuliaan manusia yang

penulisan dan kodifikasi al-Qur‟ n adalah

dikandung Qur‟ n. Kaum Muslim telah

proses panjang pengumpulan, penyeleksian,

meletakkan Qur‟ n hanya sebagai kitab suci

pengeditan, dan percetakan hingga akhirnya

yang tertulis dan sebagai kitab hukum yang

menjadi sebuah buku suci. Menjadi jelas

kaku dan rigid. Akibatnya, pertama, terjadi

dalam

konteks

Ilahi.

bahwa penulisan adalah proses manusiawi
yang bisa diuji dan diverifikasi secara
obyektif. Proses penulisan kitab suci tak lebih
dari

sekedar

proses

penulisan

buku,

melibatkan berbagai unsur: budaya, bahasa,
politik, dan kekuasaan.40 Dari sini harus
39

Abd Moqsith Ghazali, Luthfi Assyaukani,
Ulil Abshar-Abdalla, Metodologi Studi Al-Qur‟an
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), 38-9.
40
Seperti diketahui secara umum oleh kaum
Muslim bahwa mushaf yang ada sekarang disebut
Mushaf „Utsm nī karena dikodifikasi secara seragam
oleh khalifah „Utsm n ibn „Aff n. Kodifikasi itu tentu
saja adalah sebuah ijtihad yang baik tapi tetap saja
melibatkan sisi subyektif „Utsm n dan kekuasaan
politik sang khalifah. Misalnya komisi yang dibentuk
„Utsm n adalah Zayd ibn Ts bit, „Abdull h ibn

Zubayr, „Abdull h ibn „Amr ibn „ ṣ dan „Abdull h ibn
„Abb s. Nama-nama itu juga hasil seleksi khalifah
„Utsm n yang dianggap mampu melakukan tugas
besar, dan yang terpenting adalah loyal kepada
khalifah. Sebenarnya ada tokoh senior seperti Ibn
Mas„ūd tapi tidak dipilih oleh „Utsm n karena Ibn
Mas„ūd adalah tokoh senior yang keras kepala.
Sebelum Mushaf „Utsm ni dikodifikasi, sebenarnya
terdapat 15 mushaf primer, di antaranya Mushaf
„Umar ibn Kha b, Mushaf Ibn Mas„ūd, Mushaf „Alī
ibn Abū lib, Mushaf Ibn „Abb s dan lain-lain. Tetapi
„Utsm n, dengan segala kekuasaan politiknya, ingin
agar mushaf al-Qur‟ n milik umat Islam hanya satu
saja. Maka terbentuklah Mushaf „Utsm nī. Ternyata,
antara Mushaf „Utsm n dan mushaf-mushaf yang
primer itu terdapat beberapa perbedaan dalam hal
jumlah surat, ayat dan kalimat-kalimat ayat al-Qur‟ n.
Lebih lanjut soal ini baca Taufik Adnan Amal,
Rekonstruksi Sejarah Al-Qur‟an (Jakarta: Pustaka alVabet, 2013.)
41
Moqsith Ghazali dkk., Metodologi, 31-2.

290

Ilmu Ushuluddin, Volume 2, Nomor 3, Januari - Juni 2015

penguatan skripturalisme yang eksesif, yaitu

Indonesia,

anggapan bahwa huruf dan kalimat yang

menyembah

tertera dalam kitab suci harus dimengerti

kesalahan

secara „harfiah,‟ dan bahwa maksud Tuhan

meyakini bahwa al-Qur‟ n adalah kitab yang

terkandung secara transparan dan langsung

mengandung

dalam

huruf

disempitkan

itu.
menjadi

yaitu
kitab
fatal

sikap

memuja

dan

suci.

Menurut

Ulil,

kaum

ketentuan

Muslim

yang

adalah

seluruhnya

Kedua,

al-Qur‟ n

bersifat permanen, universal, dan abadi. Al-

sekedar

dokumen

Qur‟ n dianggap sebagai kitab yang “selalu

jauh

relevan untuk semua waktu dan tempat.” Al-

berbeda dari naskah hukum dalam pengertian

Qur‟ n diyakini sebagai kitab yang sempurna,

hukum positif modern saat ini.42 Dengan kata

mengandung seluruh kata kunci penyelesaian

hukum

lain,

yang

al-Qur‟ n

kedudukannya

dimerosotkan

tidak

derajatnya

atas semua masalah. Pandangan ini harus

hanya menjadi „huruf‟ dan „kanon resmi,‟

didekonstruksi.

menjadi kitab aturan, atau dalam bahasa

menyadari secara logis dan realistis bahwa

Mohammed Arkoun menjadi „korpus resmi

ada beberapa ajaran dari Qur‟ n yang bersifat

yang tertutup.‟ Artinya, kanon resmi dibaca

permanen dan universal, tetapi banyak juga

dan dipahami menurut penafsiran tertentu

yang bersifat temporer dan kontekstual.

yang dianggap otoritatif, dan mengabaikan

Adalah keliru menganggap bahwa seluruh isi

ada pemahaman dan penafsiran lain yang

al-Qur‟ n bersifat permanen dan universal.45

Kaum

Muslim

harus

beragam. Padahal menurut mereka, al-Qur‟ n

Menurut Ulil, universalisasi al-Qur‟ n

adalah kitab petunjuk, kitab ilham yang

adalah sama bahaya dengan universalisasi

membuka peluang banyak penafsiran. Al-

HAM dalam pandangan modern yang juga

Qur‟ n

ditentang

adalah

sumber

inspirasi

yang

di

mana-mana.

Alasannya

membebaskan, sebagai bagian dari ritual

sederhana: kehidupan manusia pada dasarnya

sosial,

dalam penciptaan

bersifat konkret, dan kehidupan semacam itu

artistik, sebagai elemen yang juga ikut

bersifat partikular bukan universal. Al-Qur‟ n

membentuk fantasi dan harapan komunitas

turun dalam konteks kehidupan sahabat Nabi

Muslim di sebuah tempat tertentu, pada waktu

dan

tertentu pula.43

sehingga tidak bisa dilakukan universalisasi

sebagai

ilham

masyarakat

Arab

yang

partikular,

Melalui pandangan di atas, JIL telah

al-Qur‟ n yang pada mulanya turun kepada

mengritik sikap bibliolatria44 kaum Muslim

konteks yang konkret dan partikular. Bagi
JIL, sikap menguniversalkan al-Qur‟ n—

42

Moqsith Ghazali dkk., Metodologi, 43-4.
Moqsith Ghazali dkk., Metodologi, 44-5.
44
Kata bibliolatry secara harfiah berarti
„Penyembahan Bibel.‟ Secara umum kata itu berarti
„Pengagungan‟ Kitab Suci secara berlebihan sehingga
43

menyerupai penyembahan. Kata itu dikutip oleh Ulil
dari buku T.H. Huxley, Science and Hebrew Tradition.
45
Moqsith Ghazali dkk., Metodologi, 136-7.

Media Zaenul Bahri, Ruh Hidup dalam Jasad Kaku: Mengenang Peran Intelektual Jaringan Islam Liberal (JIL) dalam Diskursus Islam Indonesia

yang melahirkan sikap bibliolatria—harus
dilawan.

46

Sikap bibliolatria hanya ingin

inspiratif

dan

transformatif

bagi

291

kaum

Muslim modern.

meletakkan al-Qur‟ n semata-mata sebagai

Apa yang dilakukan JIL di atas tidak

teks yang terisolasi dari kenyataan dunia

semata

sekitarnya. Seolah-olah umat Islam bisa

mendekonstruksi cara pandang konvensional

dengan mudah ditarik mundur ke zaman Nabi

kaum Muslim terhadap al-Qur‟ n, sebuah

abad ke-7, dan al-Qur‟ n tidak bisa diajak

kitab yang sangat sakral bagi kaum Muslim.

berdialog dengan kenyataan dan pengalaman

JI