fullpapers jpkk190c2614242full

Hubungan antara Harga Diri dengan Faktor Protektif pada
Pelajar SMA Korban Bullying
Fama Annary,
I Sanny Prakosa Wardhana
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga
Abstract.
Researchers have proven the victims of bullying experienced negative impacts. One of them is the
decreasing of self-esteem level. However, some victims of bullying showed resilience. Protective
factors are believed to play the role on protecting victims from the negative impacts of bullying. This
research aimed to ind out the correlation between self-esteem and protective factors of high school
bullying victims. Subjects of this research are 67 students (20 boys and 47 girls) out of all 460 students
in a school that was assumed to have a high amount of bullying case. All of the 460 students illed
up bullying victimization questionnaires to identify who are the qualiied subjects. The subjects
then illed up self-esteem and protective factors questionnaires. The result of this research showed
that there was a positive correlation between self-esteem and protective factors of high school
bullying victims with the level of signiicance 0,000 and coeicient of correlation 0,490.
Keywords: self-esteem, protective factors, bullying

Abstrak.
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa korban bullying mengalami banyak dampak
negatif, salah satunya yaitu penurunan harga diri. Di sisi lain, beberapa korban kekerasan

memiliki ketahanan akan dampak-dampak negatif tersebut. Faktor protektif membuat
korban bullying tidak harus mengalami berbagai dampak negatif dari bullying. Penelitian
ini dilakukan untuk menguji hubungan antara harga diri dengan faktor protektif pada
pelajar tingkat SMA yang menjadi korban bullying. Jumlah subjek yang berpartisipasi
sebanyak 67 siswa (20 laki-laki dan 47 perempuan) dari jumlah seluruh siswa sebanyak
460 siswa di sebuah sekolah yang diduga memiliki banyak kasus bullying. Seluruh siswa
mengisi kuesioner korban bullying untuk menentukan subjek. Subjek kemudian mengisi
kuesioner harga diri dan faktor protektif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada
hubungan positif antara harga diri dengan faktor protektif pada pelajar tingkat SMA yang
menjadi korban bullying dengan signiikansi 0,000 dan koeisien korelasi sebesar 0,490.
Kata kunci: harga diri, faktor protektif, bullying
Fama Annary, fama.annary@gmail.com
I Sanny Prakosa Wardhana, sannyprakosawardhana@gmail.com
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga
Kampus B Universitas Airlangga
Jl. Airlangga 4-6, Surabaya - 60286
Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental
Vol 5 No. 1, September 2016

1


Hubungan antara Harga Diri dengan Faktor Protektif pada Pelajar SMA Korban Bullying

Pendahuluan
Dampak dari bullying tidak dapat dipungkiri
mengkhawatirkan. Mulai dari yang mudah
terobservasi seperti performa belajar di sekolah
sampai dengan tendensi untuk melakukan
tindakan bunuh diri. Banyak gangguan psikologis
yang dapat dialami korban bullying seperti
PTSD dan depresi. Akibat menjadi korban
bullying juga dapat mengantar anak melakukan
kenakalan (delinquency) dan tindakan agresif
lainnya (Olweus, 1997 & Rigby, 2007). Gangguangangguan psikologis yang riskan dialami oleh
korban bullying di atas disebut juga sebagai
dampak negatif atau konsekuensi dari rendahnya
tingkat harga diri (Emler, 2001). Namun demikian,
sebagian korban bullying tidak mengalami
semua permasalahan tersebut. Kemampuan
untuk bertahan dalam menghadapi situasi yang

sulit ini disebut dipengaruhi oleh faktor-faktor
protektif yang berinteraksi dalam tiga level pada
diri individu (Olsson, dkk., 2003). Penelitian ini
dilakukan untuk menemukan bagaimana harga
diri berhubungan secara positif dengan faktor
protektif pada korban bullying.
Faktor Protektif
Faktor protektif merupakan konsep yang
dikembangkan dari kerangka berpikir prespektif
ekologis Brofenberenner (1986 dalam Dekovic,
1999), di mana anak berada di antara sistem
ekologis yang kompleks serta saling berhubungan.
Perspektif ini kemudian memunculkan konsep
faktor resiko dan faktor protektif. Faktor
protektif adalah faktor-faktor yang melindungi
individu dari konsekuensi-konsekuensi negatif
pengalaman hidup individu yang terdiri dari
adaptable personality, supportive environment,
fewer stressors, dan compensating experience
(Baruth & Caroll, 2002).


2

Harga Diri
Rosenberg (1965) mendeinisikan
harga diri sebagai sikap evaluatif (positif
dan negatif) terhadap self. Individu dengan harga diri tinggi memandang bahwa
dirinya adalah orang yang berharga dan
pantas (person of worth) (Rosenberg &
Roberta, 1972). Individu dengan harga
diri rendah merupakan individu yang
kurang menghargai dirinya sendiri, menganggap dirinya tidak berharga atau tidak
pantas, inadekuat, atau sangat kurang
baik sebagai seorang manusia (Rosenberg & Roberta, 1972). Faktor-faktor
yang mempengaruhi harga diri di antaranya adalah orangtua, kesuksesan dan
kegagalan, penerimaan dan penolakan,
penampilan, etnis atau ras, kelas sosial,
dan gen (Emler, 2001).
Hubungan antara Harga Diri dengan Faktor
Protektif

Baruth & Carroll (2002) menyebutkan bahwa
adaptable personality (kepribadian yang adaptif)
merupakan salah satu faktor protektif dari
resiliensi. Di dalam level individu, Olsson, dkk.
(2003) menyebutkan bahwa atribusi personal
memainkan peran dalam membentuk faktor
protektif seseorang. Salah satu di antara atribusiatribusi personal tersebut adalah harga diri.
Dekovic (1999) memaparkan, apabila harga diri
individu rendah maka akan meningkatkan faktor
resiko seseorang. Maka, apabila tingkat harga
diri individu tinggi, faktor protektif individu
akan meningkat. Losel & Farrington (2012) juga
memaparkan bahwa harga diri memainkan
peran dalam faktor protektif individu pada aspek
kognisi sosial.

Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental
Vol 5 No. 1, September 2016

Fama Annary, I Sanny Prakosa Wardhan


Harga diri juga dapat berhubungan
dengan faktor protektif pada aspek supportive environment. Emler (2001) menyatakan bahwa faktor yang memiliki
pengaruh paling besar bagi harga diri
individu adalah keluarga. Penelitian yang
dilakukan oleh Dekovic (1999) menunjukkan bahwa rendahnya harga diri berhubungan negatif dengan kelekatan dengan orangtua. Sapouna & Wolke (2013)
mendukung bahwa harga diri berhubungan positif dengan rendahnya konlik
orangtua. Ketika menginjak usia remaja,
diterima oleh kelompok pertemanan sebaya dan memiliki hubungan yang lebih
matang merupakan salah satu tugas
perkembangan (Hurlock, 2003). Rosenberg (1979 dalam Emler, 2001) mendukung bahwa dukungan orangtua dalam
perkembangan harga diri anak digantikan dengan penerimaan oleh kelompok
teman sebaya pada usia remaja. Dekovic
(1999) memaparkan bahwa rendahnya
harga diri berhubungan negatif dengan
penerimaan dan kelekatan dengan kelompok teman sebaya.
Apabila lingkungan individu memberi dukungan positif dalam bentuk apapun, maka dapat dikatakan bahwa sedikit
stressor yang mempengaruhi rendahnya
tingkat harga diri pada individu. Stressor yang dimaksud seperti perceraian
orangtua dan penolakan dari lingkungan

(Emler, 2001). Stressor yang sedikit itu
ada karena pengalaman positif yang terjadi lebih banyak daripada pengalaman
negatif (yang bisa menjadi stressor) dan
mampu mengkompensasi pengalaman
negatif yang ada. Dengan kata lain, apabila lingkungan individu mendukung se-

Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental
Vol 5 No. 1, September 2016

cara positif, maka stressor yang muncul
sedikit. Sehingga, individu lebih banyak
memiliki pengalaman positif yang efek
positifnya lebih banyak dari pengalaman
negatif.
Dari latar belakang masalah dan identiikasi
masalah yang telah dijelaskan di atas, penulis
menyimpulkan suatu rumusan masalah yaitu
“Apakah ada hubungan positif antara harga diri
dengan faktor protektif pada pelajar tingkat SMA
yang menjadi korban bullying?”


Metode Penelitian
Variabel
Dalam penelitian ini terdapat 2 (dua) variabel
yaitu variabel bebas (independent variable) dan
variabel terikat (dependent variable). Variabel
bebas dalam penelitian ini adalah harga diri,
sedangkan variabel terikatnya adalah faktor
protektif.

Sampel
Penelitian ini dilakukan di sebuah sekolah
yang tercatat oleh Polsekta setempat memiliki
beberapa kasus kenakalan remaja dan tindakan
kriminal. Perilaku antisosial, pelanggaran aturan,
dan perilaku agresif lainnya terbukti berkorelasi
dengan perilaku bullying (Olweus, 1997 & Rigby,
2007). Sebanyak 67 siswa (20 laki-laki dan 47

3


Hubungan antara Harga Diri dengan Faktor Protektif pada Pelajar SMA Korban Bullying

perempuan) menjadi subjek dalam penelitian ini.
Prosedur
Seluruh siswa sebanyak 460 (kelas X dan
XII) mengisi kuisioner Multidimensional PeerVictimization Scale (MVPS) untuk menentukan
subjek (korban bullying). Subjek kemudian
mengisi kuisioner Rosenberg Self-Esteem Scale
(RSES) untuk mengukur harga diri dan kuisioner
Baruth Protective Factors Inventory (BPFI) untuk
mengukur faktor protektif.
Instrumen Penelitian
Multidimensional Peer-Victimization Scale
merupakan alat ukur untuk mengidentiikasi
korban bullying yang dibuat oleh Helen Mynard
dan Stephen Joseph (2000) dengan reliabilitas yang
baik (α = 0,815). Alat ukur ini terdiri dari 16 item.
Alat ukur ini digunakan untuk mengidentiikasi
korban bullying melalui empat dimensi

dengan reliabilitas internal yang memuaskan,
yaitu: physical victimization (α = 0,561), verbal
victimization (α = 0,696), social manipulation
(α = 0,653), dan attacks on property (α = 0,688).
Skala Likert tiga poin (0 = tidak sama sekali, 1 =
sekali, dan 2 = lebih dari sekali) digunakan untuk
mengukur respon partisipan.
Alat ukur yang digunakan untuk mengukur
harga diri adalah Rosenberg Self-Esteem Scale
(1965) dengan tingkat reliabilitas yang baik (α =
0,726). Kuisioner ini terdiri dari 10 pernyataan
mengenai pandangan seseorang mengenai
kemampuan dirinya. Skala Likert empat poin (1 =
sangat tidak setuju, 2 = tidak setuju, 3 = setuju,
4 = sangat setuju) digunakan untuk mengukur
respon partisipan.
Alat ukur yang digunakan untuk mengukur
faktor protektif adalah Baruth Protective Factors
Inventory. Alat ukur ini terdiri dari 16 item. Alat


4

ukur faktor protektif ini memiliki reliabilitas yang
baik (α = 0,638) dengan reliabilitas internal masingmasing dimensi yaitu: adaptable personality (α =
0,506), supportive environment (α = 0,713), fewer
stressors (α = 0,721), dan compensating experience
(α = 0,564). Skala Likert 5 poin (1 = sangat tidak
setuju, 2 = tidak setuju, 3 = netral, 4 = setuju, dan
5 = sangat setuju) digunakan digunakan untuk
mengukur respon partisipan.
Ketiga alat ukur (MVPS, RSES, dan BPFI) telah
ditranslasi ke bahasa Indonesia dan diuji validitas
isi serta reliabilitasnya. Analisis data dilakukan
dengan korelasi product moment pearson dengan
bantuan SPSS versi 17.0.

Hasil dan Pembahasan
Hasil
Hasil analisis korelasi menunjukkan adanya
hubungan yang signiikan antara kedua variabel
dengan jumlah subjek 67 pada taraf signiikansi
0,01. Koeisien korelasi menunjukkan angka
positif 0,490, yang artinya hubungan antara harga
diri dan faktor protektif adalah hubungan yang
positif. Apabila harga diri tinggi maka faktor
protektif tinggi, begitu juga sebaliknya.
Korelasi antara harga diri dan faktor protektif
pada siswa laki-laki korban bullying menunjukkan
signiikansi dengan koeisien korelasi yang tinggi
sebesar 0,809. Sedangkan, korelasi antara harga
diri dan faktor protektif pada siswa perempuan
korban bullying menunjukkan signiikansi dengan
koeisien korelasi yang rendah sebesar 0,340.
Hasil korelasi antara harga diri dan
faktor protektif pada kedua kelas secara
terpisah menunjukkan adanya korelasi
yang signiikan. Koeisien korelasi pada
Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental
Vol 5 No. 1, September 2016

Fama Annary, I Sanny Prakosa Wardhan

kelas X menunjukkan angka yang lebih
tinggi yaitu 0,528 daripada kelas XII yaitu
0,454.

data penelitian. Peneliti ingin melihat
korelasi antara harga diri dengan dimensi-dimensi dalam faktor protektif yang
terdiri dari adaptable personality (AP),
supportive environment (SE), fewer stressors (FS), dan compensating experience
(CE). Adapun hasil analisis adalah sebagai berikut.

Selain mengkorelasikan antara variabel x dan variabel y, peneliti juga menganalisis data yang didapat dengan detail
lainnya untuk memperkaya interpretasi

Tabel 1.1 Korelasi Harga Diri dengan Dimensi Faktor Protektif
Koeisien
Korelasi

Sig.

AP

0,384**

0,001

SE

-0,158

0,202

FS

0.410**

0,001

CE
0,447
0,000
**. Korelasi signiikan pada level 0,01 (2-tailed).
**

AP (Adaptable Personality)
SE (Supportive Environment)
FS (Fewer Stressors)
CE (Compensating Experience)

Hasil analisis di atas menunjukkan
bahwa ada hubungan yang signiikan
pada taraf signiikansi 0,01 antara adaptable personality, fewer stressors, dan compensating experience dengan harga diri
dengan koeisien korelasi sebesar 0,384,
0,410, dan 0,447. Hanya saja ternyata tidak ada korelasi antara dimensi supportive environment dengan harga diri.
Pembahasan
Hasil korelasi antara kedua variabel dalam
penelitian ini yaitu harga diri dan faktor protektif
menunjukkan bahwa Ho pada penelitian ini
ditolak dan Ha diterima karena ada hubungan
Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental
Vol 5 No. 1, September 2016

positif antara harga diri dengan faktor protektif
pada pelajar tingkat SMA yang menjadi korban
bullying. Hal ini memberikan gambaran bahwa
apabila harga diri korban bullying tinggi, maka
korban bullying memiliki kemampuan yang
tinggi untuk menstabilitasi kondisi psikologisnya,
berada di keluarga dan lingkungan sosial
yang memiliki dinamika lebih positif dengan
stressor dari lingkungan yang lebih sedikit, dan
mendapatkan pengalaman hidup positif yang
lebih banyak mengkompensasi pengalaman
negatifnya.
Hasil uji korelasi mendukung penelitian
sebelumnya yang serupa dengan penelitian ini

5

Hubungan antara Harga Diri dengan Faktor Protektif pada Pelajar SMA Korban Bullying

yaitu penelitian Sapouna &Wolke (2013) yang
menunjukkan adanya hubungan antara harga
diri dengan resiliensi emosi (yang menahan
depresi) dan resiliensi perilaku (yang menahan
delinquency). Pada penelitian tersebut, koeisien
determinasi (R2) harga diri dan resiliensi emosi
sebesar 0,10, sedangkan koeisien determinasi
(R2) harga diri dan resiliensi perilaku sebesar
0,02. Hal ini menunjukkan sebesar kemampuan
harga diri menjelaskan varians dari resiliensi
emosi sebesar 10% dan kemampuan harga diri
menjelaskan varians dari resiliensi perilaku
hanya sebesar 2%. Hasil penelitian ini, di sisi
lain, menunjukkan koeisien determinasi yang
lebih besar yaitu sebesar 0,24. Dengan demikian
kemampuan harga diri menjelaskan varians dari
resiliensi sebesar 24%. Resiliensi dalam penelitian
ini tidak dispesiikan ke dalam emosional atau
perilaku sehingga memungkinkan bagi koeisien
determinasinya untuk lebih besar daripada
penelitian Sapouna & Wolke (2013).
Kemampuan harga diri untuk menjelaskan
varians dari faktor protektif dengan jumlah
24%
merupakan
jumlah
yang
wajar,
mempertimbangkan harga diri merupakan bagian
dari salah satu dimensi pada level individu yaitu
adaptable personality (Olsson, et al., 2003). Baruth
& Caroll (2002) dalam teori dan alat ukurnya
menyebutnya sebagai adaptable personality.
Baruth & Caroll (2002) menjabarkan ada tiga
dimensi lainnya yang menyusun faktor protektif
yang membuat individu resilien yaitu supportive
environment, fewer stressors, dan compensating
experience. Sejumlah 76% kemampuan variabel
dalam menjelaskan varians dari faktor protektif
tersebar di antara keempat dimensi tersebut yang
di dalamnya terdapat lebih banyak atribut lainnya
yang terkait.
Analisis korelasi antara harga diri dengan
empat dimensi faktor protektif secara terpisah

6

menjelaskan bahwa ada hubungan yang
signiikan antara adaptable personality dengan
harga diri. Hal ini menjelaskan apabila harga diri
subjek tinggi maka kemampuan subjek untuk
menstabilitasi kondisi psikologisnya juga tinggi.
Penemuan ini sesuai dengan beberapa penemuan
sebelumnya yang menyatakan bahwa harga diri
berhubungan dengan karakteristik personal
seseorang (Dekovic, 1999; Losel & Farrington,
2012). Hal ini juga sesuai dengan paparan Olsson
dan kolega (2003) bahwa harga diri adalah
bagian dari atribusi personal yang berproses
pada level individu. Hasil korelasi antara harga
diri dengan fewer stressors juga menunjukkan
adanya hubungan yang signiikan di mana artinya
apabila harga diri subjek tinggi, maka stressor
dari lingkungan subjek lebih sedikit. Hasil
korelasi antara harga diri dengan compensating
experience juga menunjukkan adanya hubungan
yang signiikan di mana artinya apabila harga diri
subjek tinggi, maka pengalaman positif hidup
subjek dapat lebih mengkompensasi pengalaman
negatifnya.
Apabila mengacu kepada teori, seharusnya
antara harga diri dengan adaptable personality
memiliki hubungan yang paling kuat karena
harga diri merupakan bagian dari adaptable
personality, namun hubungan yang lebih kuat
ditunjukkan oleh harga diri dengan fewer
stressors dan compensating experience. Apabila
melihat subjek ada pada tahapan perkembangan
remaja di mana transisi terjadi dan penyesuaian
psikologis dengan peran dan tugas yang berbeda
yang sering disebut dengan “stress and storm”
(Coleman & Hagell, 2007). Hal itu membuka
pandangan bahwa mungkin bagi sebagian
remaja yang berhasil menghadapi penyesuaian
ini dengan baik memiliki kepribadian yang welladjusted, namun ada juga yang belum. Di sisi lain,
pengalaman yang baik dan kurang stressful dapat

Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental
Vol 5 No. 1, September 2016

Fama Annary, I Sanny Prakosa Wardhan

mendorong perkembangan harga diri remaja
yang sudah cukup mengalami banyak kecemasan
dari masa transisinya.
Analisis tambahan lain yang dilakukan
adalah mengkorelasikan antara harga diri dan
faktor protektif pada kedua jenis kelamin.
Hasilnya menunjukkan bahwa korelasi antara
kedua variabel pada siswa laki-laki lebih tinggi
yaitu sebesar dibandingkan dengan pada
siswa perempuan sebesar. Temuan ini serupa
dengan penelitian Sapouna & Wolke (2013) yang
menunjukkan bahwa R2 harga diri dan resiliensi
(perilaku) pada laki-laki lebih besar dari R2 harga
diri dan resiliensi (emosi) pada perempuan.
Sedangkan apabila melihat perbedaan kelas,
korelasi antara harga diri dan faktor protektif
ditemukan signiikan pada kedua kelas (X
dan XII), namun koeisien korelasi pada kelas
X lebih tinggi yaitu sebesar. Hal ini mungkin
terjadi melihat bahwa siswa kelas X, merupakan
kelompok siswa yang baru menginjak masa
sekolah menengah atas dan sedang beradaptasi,
sehingga tinggi-rendahnya tingkat harga diri dan
faktor protektifnya akan mungkin lebih signiikan.
Penelitian ini membuktikan bahwa ada
hubungan positif antara harga diri dengan faktor
protektif pada korban bullying remaja tingkat
SMA. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa
harga diri memang menjadi kunci penting bagi
individu untuk bisa resilien dalam menghadapi
bullying
dan
permasalahan-permasalahan
yang diakibatkan olehnya. Permasalahanpermasalahan tersebut diakibatkan oleh tingkat
harga diri yang rendah (Emler, 2001). Korban
bullying cenderung memiliki karakteristik berupa
harga diri rendah (Olweus, 1997 & Rigby, 2007).
Apabila korban bullying tidak dilindungi faktor
protektif yang berfungsi baik dalam menghadapi
fenomena bullying yang dialaminya, maka akan
memungkinkan bagi mereka untuk mengalami
Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental
Vol 5 No. 1, September 2016

permasalahan-permasalahan yang diakibatkan
oleh rendahnya harga diri. Namun apabila korban
bullying memiliki tingkat faktor protektif yang
tinggi, sangat memungkinkan bagi mereka untuk
tidak mengalami penurunan harga diri yang
mengarahkan mereka kepada berbagai macam
permasalahan.
Penelitian ini memiliki kelemahan beberapa
kelemahan. Penelitian ini gagal mengungkapkan
bahwa harga diri berhubungan dengan supportive
environment. Hal ini tidak sesuai dengan
penemuan-penemuan yang menjelaskan bahwa
harga diri remaja berhubungan dengan faktor
protektif pada level lingkungan keluarga dan
kelompok teman sebaya (Dekovic, 1999; Losel
& Farrington, 2012; Shetgiri, dkk., 2012). Hal ini
juga tidak sesuai dengan penjelasan Emler (2001)
bahwa keluarga dan kelompok teman sebaya
sebagai lingkungan individu mempengaruhi
perkembangan harga diri individu

Simpulan dan Saran
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan, dianalisis, dan dibahas dapat
disimpulkan bahwa ada hubungan positif antara
harga diri dengan faktor protektif pada pelajar
tingkat SMA yang menjadi korban bullying.
Hal ini memberikan gambaran bahwa apabila
harga diri korban bullying tinggi, maka korban
bullying memiliki kemampuan yang tinggi untuk
menstabilitasi kondisi psikologisnya, berada di
keluarga dan lingkungan sosial yang memiliki
dinamika yang lebih positif dengan stressor dari
lingkungan yang lebih sedikit, dan mendapatkan
pengalaman hidup positif yang lebih banyak dari
pengalaman negatifnya.

7

Hubungan antara Harga Diri dengan Faktor Protektif pada Pelajar SMA Korban Bullying

Saran
Apabila melihat hasil penelitian ini, masih ada hasil analisis yang perlu diteliti dan dicari tahu. Hubungan antara harga diri dengan
dimensi supportive environment pada penelitian ini tidak menyatakan signiikan. Hal ini
tidak sejalan dengan teori yang menyebutkan
bahwa harga diri remaja dipengaruhi oleh
lingkungan (keluarga dan kelompok pertemanan). Maka, peneliti selanjutnya dapat
meneliti mengenai hubungan antara dua hal
tersebut. Apabila peneliti tertarik dengan resiliensi lebih dalam, peneliti dapat melakukan eksplorasi kualitatif yang lebih dalam
karena resiliensi merupakan hal yang sangat
meluas dan berhubungan dengan banyak hal
dalam psikologis manusia.
Keluarga merupakan lingkungan pertama di mana individu tumbuh dan berkembang. Oleh karena itu, segala proses pembentukan awal dan perkembangan harga diri dan
faktor protektif individu sangat bergantung
dari bagaimana orangtua memberi perlakuan
pada anak. Sehingga, disarankan bagi orangtua untuk melakukan hal-hal yang membangun harga diri anak seperti penerimaan, pemberian afeksi, penetapan standar yang jelas

akan perilaku yang diharapkan, pemberian
penjelasan akan dasar kedisiplinan daripada
pemaksaan, dan perlibatan anak untuk kontribusi dalam beberapa keputusan keluarga.
Hal-hal tersebut juga membangun hubungan
positif dengan anak yang membuat lingkungan keluarga menjadi positif, sehingga mampu meningkatkan faktor protektif anak dan
menjadi resilien terhadap pengalaman bullying yang dialaminya.
Guru dan sekolah memegang peran penting bagi siswanya. Guru disarankan untuk
membangun komunikasi yang baik dengan
siswanya, menetapkan standar yang realistis
bagi siswanya, dan membantu siswa untuk
menggali potensi yang ada pada diri siswa
agar lingkungan sekolah siswa dapat menjadi
hal yang positif dan meningkatkan harga diri
dan faktor protektif siswa.
Subjek
juga
diharapkan
melatih
kemampuan komunikasi yang baik dengan
lingkungannya, membangun rasa percaya
terhadap lingkungan agar terjalin komunikasi
yang baik, melakukan hal-hal yang lebih
menggali minat dan potensi dirinya, dan
memandang secara positif segala pengalaman
yang ada di hidupnya.

Pustaka Acuan
Baruth, K. E. & Caroll, J. J. (2002). A formal assessment of resilience: the baruth protective factors
inventory. The Journal of Individual Psychology, 58(3), 235-244
Coleman, J., & Hagell, A. (2007). Adolescence, Risk and Resilience: Against the Odds. Chichester, West
Sussex. England: J. Wiley & Sons.
Dekovic, M. (1999). Risk and protective factors in the development of problem behavior during
adolescence. Journal of Youth and Adolescence, 28(6), 667-685

8

Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental
Vol 5 No. 1, September 2016

Fama Annary, I Sanny Prakosa Wardhan

Emler, N. (2001). Self-esteem: the cost and causes of low self-worth. Layerthrope: York Publishing Service.
Hurlock, E. B. (2003). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidpan (edisi
kelima.). Jakarta: Erlangga.
Jafee, S. R., Caspi, A., Moitt, T. E., Polo-Tomás, M., & Taylor, A. (2007). Individual, family, and
neighborhood factors distinguish resilient from non-resilientmaltreated children: A cumulative
stressors model. Child Abuse & Neglect, 31, 231–253
Losel, F. & Farrington, D. P. (2012). Direct protective and bufering protective factors in the development
of youth violence. American Journal of Preventive Medicine, 43(2S1), S8-S23
Olsson, C.A., Bond, L., Burns, J.M., Vella-Brodrick, D.A., & Sawyer, S.M. (2003). Adolescent resilience: A
concept analysis. Journal of Adolescence, 26, 1-11
Olweus, D. (1997). Bully/victim problems in school: facts and intervention, European Journal of
Psychology of Education, 12(4), 495-510
Rigby, K. (2007). Bullying in schools and what to do about it. Victoria: Acer Press.
Rosenberg, M. & Roberta G. S. (1972). Black and White Self-Esteem. Washington, DC: American
Sociological Association.
Rosenberg, M. (1965). Society and the adolescent self-image. New Jersey: Princeton University Press.
Sapouna, M. & Wolke, D. (2013). Resilience to bullying victimization: the role of individual, family, and
characteristics. Child Abuse & Neglect, 37, 997-1006
Shetgiri, R., Lin, H., & Flores, G. (2012). Trends in risk and protective factors for child bullying perpetration
in the united states. Children Psychiatry Hum Dev, 1-16

Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental
Vol 5 No. 1, September 2016

9