137 PERMENHUB NO PM 69 TAHUN 2013 TENTANG TATANAN KEBANDARUDARAAN NASIONAL

(1)

1

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN

NOMOR : PM  69  TAHUN   TENTANG

TATANAN KEBANDARUDARAAN NASIONAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI PERHUBUNGAN,

Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 200

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, perlu diatur mengenai tata cara dan prosedur penetapan tatanan kebandarudaraan dengan Peraturan Menteri;

b. bahwa dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 11 Tahun 2010 tentang Tatanan Kebandarudaraan Nasional masih terdapat kekurangan dan belum mengatur ketentuan terkait rencana induk nasional bandar udara, sehingga perlu disempurnakan;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Peraturan Menteri Perhubungan tentang Tatanan Kebandarudaraan Nasional;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang

Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4956);

2. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2012 tentang

Pembangunan dan Pelestarian Lingkungan Hidup Bandar Udara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 71, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5295);

3. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang

Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2011;

4. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang

Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2013;

MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA


(2)

2

5. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 60 Tahun

2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Perhubungan;

6. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 41 Tahun

2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Otoritas Bandar Udara;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN TENTANG TATANAN KEBANDARUDARAAN NASIONAL.

Pasal 1

Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:

1. Kebandarudaraan adalah segala sesuatu yang berkaitan

dengan penyelenggaraan bandar udara dan kegiatan lainnya dalam melaksanakan fungsi keselamatan, keamanan, kelancaran, dan ketertiban arus lalu lintas pesawat udara, penumpang, kargo dan/atau pos, tempat perpindahan intra dan/atau antarmoda serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah.

2. Tatanan Kebandarudaraan Nasional adalah sistem

kebandarudaraan secara nasional yang menggambarkan perencanaan bandar udara berdasarkan rencana tata ruang, pertumbuhan ekonomi, keunggulan komparatif wilayah, kondisi alam dan geografi, keterpaduan intra dan antarmoda transportasi, kelestarian lingkungan, keselamatan dan keamanan penerbangan, serta keterpaduan dengan sektor pembangunan lainnya.

3. Bandar Udara adalah kawasan di daratan dan/atau

perairan dengan batas-batas tertentu yang digunakan sebagai tempat pesawat udara mendarat dan lepas landas, naik turun penumpang, bongkar muat barang, dan tempat perpindahan intra dan antarmoda transportasi, yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan penerbangan, serta fasilitas pokok dan fasilitas penunjang lainnya.

4. Penerbangan adalah satu kesatuan sistem yang terdiri

atas pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, Bandar Udara, angkutan udara, navigasi penerbangan, keselamatan dan keamanan, lingkungan hidup, serta fasilitas penunjang dan fasilitas umum lainnya.

5. Keselamatan Penerbangan adalah suatu keadaan

terpenuhinya persyaratan keselamatan dalam pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, bandar udara, angkutan udara, navigasi penerbangan, serta fasilitas penunjang dan fasilitas umum lainnya.


(3)

3

6. Keamanan Penerbangan adalah suatu keadaan yang

memberikan perlindungan kepada penerbangan dari tindakan melawan hukum melalui keterpaduan pemanfaatan sumber daya manusia, fasilitas, dan prosedur.

7. Badan Usaha Bandar Udara adalah badan usaha milik

negara, badan usaha milik daerah, atau badan hukum Indonesia berbentuk perseroan terbatas atau koperasi, yang kegiatan utamanya mengoperasikan bandar udara untuk pelayanan umum.

8. Unit Penyelenggara Bandar Udara adalah lembaga

pemerintah di bandar udara yang bertindak sebagai penyelenggara bandar udara yang memberikan jasa pelayanan kebandarudaraan untuk bandar udara yang belum diusahakan secara komersial.

9. Otoritas Bandar Udara adalah lembaga pemerintah yang

diangkat oleh Menteri dan memiliki kewenangan untuk menjalankan dan melakukan pengawasan terhadap dipenuhinya ketentuan peraturan perundang-undangan untuk menjamin keselamatan, keamanan, dan pelayanan penerbangan.

10.Menteri adalah menteri yang membidangi urusan

penerbangan.

Pasal 2

(1) Tatanan kebandarudaraan nasional diwujudkan dalam

rangka penyelenggaraan bandar udara yang andal, terpadu, efisien, serta mempunyai daya saing global untuk menunjang pembangunan nasional dan daerah yang berwawasan Nusantara.

(2) Penyelenggaraan bandar udara yang andal sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), yaitu bandar udara yang disusun dalam jaringan dan simpul yang terstruktur, dinamis dalam memenuhi tuntutan kebutuhan angkutan udara.

(3) Penyelenggaraan bandar udara yang terpadu sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), yaitu bandar udara yang saling menunjang dan mengisi peluang dalam satu kesatuan tatanan kebandarudaraan nasional.

(4) Penyelenggaraan bandar udara yang efisien sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), yaitu bandar udara yang sesuai dengan tingkat kebutuhan, tidak saling tumpang tindih dan tidak terjadi duplikasi dalam melayani kebutuhan angkutan udara.

(5) Penyelenggaraan bandar udara yang berdaya saing global

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu bandar udara yang tidak rentan terhadap pengaruh global serta mampu beradaptasi dalam menghadapi perubahan kebutuhan angkutan udara.


(4)

4

(6) Penyelenggaraan bandar udara untuk menunjang

pembangunan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu bandar udara sebagai pintu gerbang perekonomian, dalam rangka pemerataan pembangunan dan keseimbangan pengembangan Indonesia wilayah barat dan Indonesia wilayah timur.

(7) Penyelenggaraan bandar udara untuk menunjang

pembangunan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu bandar udara sebagai pembuka daerah terisolir, tertinggal dan mengembangkan potensi industri daerah.

(8) Penyelenggaraan bandar udara yang berwawasan

Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu bandar udara yang memandang kesatuan politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan, dalam rangka mempersatukan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pasal 3

Tatanan kebandarudaraan nasional memuat :

a. peran, fungsi, penggunaan, hierarki, dan klasifikasi

bandar udara; dan

b. rencana induk nasional bandar udara.

Pasal 4

Peran bandar udara sebagaimana dalam Pasal 3 huruf a, sebagai :

a. simpul dalam jaringan transportasi sesuai dengan hierarkinya;

b. pintu gerbang kegiatan perekonomian; c. tempat kegiatan alih moda transportasi;

d. pendorong dan penunjang kegiatan industri dan/atau perdagangan;

e. pembuka isolasi daerah, pengembangan daerah

perbatasan, dan penanganan bencana; dan

f. prasarana memperkukuh Wawasan Nusantara dan kedaulatan negara.

Pasal 5

(1) Bandar udara sebagai simpul dalam jaringan transportasi

sesuai dengan hierarkinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, yaitu bandar udara dijadikan sebagai titik pertemuan beberapa jaringan dan rute angkutan udara.

(2) Bandar udara sebagai simpul dalam jaringan transportasi

sesuai dengan hierarkinya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan memperhatikan ketentuan jaringan dan rute angkutan udara.


(5)

5

Pasal 6

(1) Bandar udara sebagai pintu gerbang kegiatan

perekonomian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b, yaitu lokasi dan wilayah di sekitar bandar udara dijadikan sebagai pintu gerbang kegiatan perekonomian dalam upaya pemerataan pembangunan, pertumbuhan dan stabilitas ekonomi serta keselarasan pembangunan nasional dan pembangunan daerah.

(2) Bandar udara sebagai pintu gerbang kegiatan

perekonomian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan memperhatikan ketentuan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota.

Pasal 7

(1) Bandar udara sebagai tempat kegiatan alih moda

transportasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, yaitu sebagai tempat perpindahan moda transportasi udara ke moda transportasi lain atau sebaliknya dalam bentuk interkoneksi antar moda pada simpul transportasi guna memenuhi tuntutan peningkatan kualitas pelayanan yang terpadu dan berkesinambungan.

(2) Bandar udara sebagai tempat kegiatan alih moda

transportasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan memperhatikan ketentuan Sistem Transportasi Nasional.

Pasal 8

(1) Bandar udara sebagai pendorong dan penunjang kegiatan

industri dan/atau perdagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d, yaitu keberadaan bandar udara dapat memudahkan transportasi ke dan dari wilayah di sekitarnya dalam rangka pendorong dan penunjang kegiatan industri, perdagangan dan/atau pariwisata dalam menggerakkan dinamika pembangunan nasional, serta keterpaduan dengan sektor pembangunan lainnya.

(2) Bandar udara sebagai pendorong dan penunjang kegiatan

industri dan/atau perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan memperhatikan ketentuan Rencana Pengembangan Ekonomi Nasional.

Pasal 9

(1) Bandar udara sebagai pembuka isolasi daerah,

pengembangan daerah perbatasan, dan penanganan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf e, yaitu keberadaan bandar udara diharapkan dapat membuka daerah terisolir karena kondisi geografis dan/atau karena sulitnya moda transportasi lain,


(6)

6

penghubung daerah perbatasan dalam rangka mempertahankan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta kemudahan dalam penanganan bencana alam pada wilayah-wilayah tertentu dan sekitarnya.

(2) Bandar udara sebagai pembuka isolasi daerah,

pengembangan daerah perbatasan, dan penanganan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan memperhatikan ketentuan tentang Pembangunan Daerah Tertinggal, ketentuan di bidang pertahanan negara, ketentuan Badan Nasional Penanganan Perbatasan (BNPP) dan ketentuan Badan Nasional Pengelola Bencana (BNPB).

Pasal 10

(1) Bandar udara sebagai prasarana memperkukuh Wawasan

Nusantara dan kedaulatan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf f, yaitu titik-titik lokasi bandar udara di wilayah nusantara saling terhubungkan dalam suatu jaringan dan rute penerbangan sehingga dapat mempersatukan wilayah untuk kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(2) Bandar udara sebagai prasarana memperkukuh Wawasan

Nusantara dan kedaulatan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan memperhatikan ketentuan di bidang pertahanan negara.

Pasal 11

Fungsi bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, merupakan tempat penyelenggaraan kegiatan:

a. pemerintahan dan/atau

b. pengusahaan.

Pasal 12

(1) Bandar udara sebagai tempat penyelenggaraan kegiatan

pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a, merupakan tempat unit kerja/instansi pemerintah dalam menjalankan tugas dan fungsinya terhadap masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan.

(2) Unit kerja pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat

(1), yaitu unit kerja pemerintah yang membidangi urusan:

a. pembinaan kegiatan penerbangan;

b. kepabeanan;

c. keimigrasian; dan


(7)

7

(3) Pembinaan kegiatan penerbangan sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) huruf a, dilaksanakan oleh Otoritas Bandar Udara.

(4) Fungsi unit kerja pemerintah yang membidangi urusan

kepabeanan, keimigrasian dan kekarantinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c dan huruf d dilaksanakan pada bandar udara internasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 13

(1) Bandar udara sebagai tempat penyelenggaraan kegiatan

pengusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf b, merupakan tempat usaha bagi :

a. Unit Penyelenggara Bandar Udara atau Badan Usaha

Bandar Udara;

b. Badan Usaha Angkutan Udara; dan

c. Badan Hukum Indonesia atau perorangan melalui

kerjasama dengan Unit Penyelenggara Bandar Udara atau Badan Usaha Bandar Udara.

(2) Kegiatan pengusahaan di bandar udara sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. pelayanan jasa kebandarudaraan; dan

b. pelayanan jasa terkait bandar udara.

Pasal 14

(1) Penggunaan bandar udara sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 3 huruf a, terdiri dari bandar udara internasional dan bandar udara domestik.

(2) Bandar Udara Internasional sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) ditetapkan sebagai bandar udara yang melayani rute penerbangan dalam negeri dan rute penerbangan dari dan ke luar negeri.

(3) Bandar Udara Domestik sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) ditetapkan sebagai bandar udara yang melayani rute penerbangan dalam negeri.

Pasal 15

Penetapan bandar udara internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) dengan mempertimbangkan:

a. rencana induk nasional bandar udara; b. pertahanan dan keamanan negara;

c. pertumbuhan dan perkembangan pariwisata;

d. kepentingan dan kemampuan angkutan udara nasional; dan

e. pengembangan ekonomi nasional dan perdagangan luar negeri.


(8)

8

Pasal 16

(1) Penetapan bandar udara Internasional ditetapkan oleh

Menteri, setelah berkoordinasi dengan menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang keimigrasian, bidang kepabeanan, dan bidang kekarantinaan dalam rangka penempatan unit kerja dan personel.

(2) Untuk kegiatan-kegiatan tertentu yang bersifat nasional

dan internasional, bandar udara domestik dapat digunakan untuk melayani penerbangan dari dan ke luar negeri setelah mendapat persetujuan dari Menteri.

(3) Ketentuan lebih lanjut dan tata cara penetapan bandar

udara internasional dan bandar udara domestik dapat digunakan untuk melayani penerbangan dari dan ke luar negeri diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal.

Pasal 17

(1) Hierarki bandar udara sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 3 huruf a, terdiri:

a. bandar udara pengumpul (hub); dan

b. bandar udara pengumpan (spoke).

(2) Bandar udara pengumpul (hub) sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) huruf a, merupakan bandar udara yang mempunyai cakupan pelayanan yang luas dari berbagai bandar udara yang melayani penumpang dan/atau kargo dalam jumlah besar dan mempengaruhi perkembangan ekonomi secara nasional atau berbagai provinsi yang dibedakan menjadi :

a. bandar udara pengumpul dengan skala pelayanan

primer, yaitu bandar udara sebagai salah satu prasarana penunjang pelayanan Pusat Kegiatan Nasional (PKN) yang melayani penumpang dengan jumlah lebih besar atau sama dengan 5.000.000 (lima juta) orang per tahun;

b. bandar udara pengumpul dengan skala pelayanan

sekunder yaitu bandar udara sebagai salah satu prasarana penunjang pelayanan Pusat Kegiatan Nasional (PKN) yang melayani penumpang dengan jumlah lebih besar dari atau sama dengan 1.000.000 (satu juta) dan lebih kecil dari 5.000.000 (lima juta) orang per tahun; dan

c. bandar udara pengumpul dengan skala pelayanan

tersier yaitu bandar udara sebagai salah satu prasarana penunjang pelayanan Pusat Kegiatan Nasional (PKN) dan Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) terdekat yang melayani penumpang dengan jumlah lebih besar dari atau sama dengan 500.000 (lima ratus ribu) dan lebih kecil dari 1.000.000 (satu juta) orang per tahun.


(9)

9

(3) Bandar udara pengumpan (spoke) sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) huruf a, merupakan:

a. bandar udara yang mempunyai cakupan pelayanan

dan mempengaruhi perkembangan ekonomi lokal;

b. bandar udara tujuan atau bandar udara penunjang

dari bandar udara pengumpul; dan

c. bandar udara sebagai salah satu prasarana penunjang

pelayanan kegiatan lokal.

Pasal 18

(1) Hierarki bandar udara sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 17, ditetapkan berdasarkan penilaian atas kriteria sebagai berikut:

a. bandar udara terletak di kota yang merupakan pusat

kegiatan ekonomi;

b. tingkat kepadatan lalu lintas angkutan udara; dan

c. berfungsi untuk menyebarkan penumpang dan kargo

ke bandar udara lain.

(2) Bandar udara terletak di kota yang merupakan pusat

kegiatan ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, ditunjukkan dengan variabel sebagai berikut:

a. status kota di mana bandar udara tersebut berada

sesuai dengan status yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang wilayah nasional; dan

b. penggunaan bandar udara.

(3) Tingkat kepadatan lalu lintas angkutan udara

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, ditunjukkan dengan variabel:

a. jumlah penumpang datang berangkat dan transit;

b. jumlah kargo; dan

c. jumlah frekuensi penerbangan.

(4) Fungsi untuk menyebarkan penumpang dan kargo ke

bandar udara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, ditunjukkan dengan variabel :

a. jumlah rute penerbangan dalam negeri;

b. jumlah rute penerbangan luar negeri; dan

c. jumlah rute penerbangan dalam negeri yang menjadi

cakupannya.

Pasal 19

(1) Klasifikasi bandar udara sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 3 huruf a terdiri atas beberapa kelas bandar udara yang ditetapkan berdasarkan kapasitas pelayanan dan kegiatan operasional bandar udara.


(10)

10

(2) Kapasitas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

merupakan kemampuan bandar udara untuk melayani jenis pesawat udara terbesar dan jumlah penumpang/barang, meliputi:

1) kode angka (code number), yaitu perhitungan panjang

landas pacu berdasarkan referensi pesawat aeroplane reference field length (ARFL); dan

2) Kode huruf (code letter), yaitu perhitungan sesuai lebar

sayap dan lebar/jarak roda terluar pesawat.

Pasal 20

Peran, fungsi, penggunaan, hierarki dan klasifikasi bandar udara sebagaimana tercantum dalam Lampiran I dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini

Pasal 21

(1) Rencana induk nasional bandar udara merupakan

pedoman dalam penetapan lokasi, penyusunan rencana induk, pembangunan, pengoperasian, dan pengembangan bandar udara.

(2) Rencana induk nasional bandar udara sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), memperhatikan:

a. rencana tata ruang wilayah nasional, rencana tata

ruang wilayah provinsi, rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota;

b. potensi dan perkembangan sosial ekonomi wilayah;

c. potensi sumber daya alam;

d. perkembangan lingkungan strategis, baik nasional

maupun internasional;

e. sistem transportasi nasional;

f. keterpaduan intermoda dan multimoda; dan

g. peran bandar udara.

Pasal 22

Rencana tata ruang wilayah nasional, rencana tata ruang wilayah provinsi, rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf a, yaitu strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang untuk kepentingan nasional, keterkaitan antar pulau dan antar propinsi, keterkaitan antar kawasan/kabupaten/kota.

Pasal 23

Potensi dan perkembangan sosial ekonomi wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf b, yaitu potensi dan perkembangan sosial ekonomi wilayah yang diketahui atau diukur antara lain dengan survei berdasarkan asal dan tujuan penumpang (origin and destination survey) dengan memperhatikan keseimbangan antara perkembangan ekonomi yang mempengaruhi perkembangan pasar atau perkembangan pasar yang mempengaruhi perkembangan ekonomi, serta konsekuensi pembiayaan yang ditimbulkan.


(11)

11

Pasal 24

Potensi sumber daya alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf c, yaitu potensi sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan secara efisien dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan.

Pasal 25

Perkembangan lingkungan strategis, baik nasional maupun internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf d, merupakan perkembangan lingkungan yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia.

Pasal 26

Sistem transportasi nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf e, merupakan tataran transportasi yang terorganisasi secara kesisteman terdiri dari transportasi jalan, transportasi kereta api, transportasi sungai dan danau, transportasi penyebrangan, transportasi laut, transportasi udara, yang membentuk suatu sistem pelayanan jasa transportasi yang efektif dan efisien, berfungsi melayani perpindahan orang dan/atau barang, yang terus berkembang secara dinamis.

Pasal 27

Keterpaduan intermoda dan multimoda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf f, yaitu keterpaduan intermoda dan multimoda yang saling menunjang.

Pasal 28

(1) Rencana induk nasional bandar udara merupakan sistem

perencanaan kebandarudaraan nasional yang menggambarkan:

a. interdependensi;

b. interrelasi; dan

c. sinergi antar unsur; yang meliputi sumber daya alam,

sumber daya manusia, geografis, potensi ekonomi dan pertahanan keamanan dalam rangka mencapai tujuan nasional.

(2) Interdependensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

huruf a, menggambarkan bahwa antar bandar udara saling tergantung dan saling mendukung yang cakupan pelayanannya bukan berdasarkan wilayah administrasi/kepemerintahan.


(12)

12

(3) Interrelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,

menggambarkan bahwa antar bandar udara membentuk jaringan dari rute penerbangan yang saling berhubungan.

(4) Sinergi antar unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

huruf c, merupakan sinergi antara sumber daya alam, sumber daya manusia, geografis, potensi ekonomi dan pertahanan keamanan dalam rangka mencapai tujuan nasional, serta saling mengisi dan berkontribusi dalam bentuk:

a. sumber daya alam potensial yang dikelola secara

maksimal dan dapat dimanfaatkan secara efisien;

b. sumber daya manusia yang dapat diberdayakan

dengan memperhatikan keseimbangan kewenangan dan kemampuan;

c. pemanfaatan potensi dan pengendalian hambatan

geografis; dan

d. pemanfaatan potensi ekonomi dengan memperhatikan

efisiensi dan efektifitas usaha pencapaiannya dan pertahanan keamanan nasional.

Pasal 29

Rencana induk nasional bandar udara, memuat:

a. Kebijakan nasional bandar udara; dan

b. Rencana lokasi bandar udara beserta penggunaan, hierarki, dan klasifikasi bandar udara.

Pasal 30

Untuk mewujudkan kebijakan nasional bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf a, digunakan strategi pembangunan, pengoperasian, pendayagunaan, dan pengembangan bandar udara, dalam bentuk:

a. meningkatkan peran bandar udara dan menyiapkan

kapasitas bandar udara sesuai hierarki bandar udara dengan memperhatikan tahapan pengembangan dan pemantapan hierarki bandar udara sebagai bandar udara pengumpul (hub) dengan skala pelayanan primer, sekunder, atau tersier dan bandar udara pengumpan (spoke) yang merupakan bandar udara tujuan atau penunjang serta merupakan penunjang pelayanan kegiatan lokal;

b. pada bandar udara pengumpan dengan peran sebagai

pembuka isolasi daerah, pengembangan daerah perbatasan, serta prasarana memperkukuh Wawasan Nusantara, dengan memperhatikan kesinambungan dan keteraturan (connectivity and regularity) angkutan udara;

c. bandar udara internasional di daerah destinasi pariwisata

dibangun dan dikembangkan sebagai hub dan pintu gerbang pariwisata nasional, serta bandar udara domestik di sekitarnya berperan sebagai pendorong dan penunjang kegiatan pariwisata;


(13)

13

d. bandar udara yang terletak di wilayah koridor ekonomi

dikembangkan guna meningkatkan konektivitas ke pusat-pusat kegiatan ekonomi;

e. mengendalikan jumlah bandar udara yang terbuka untuk

penerbangan ke/dari luar negeri, dengan mempertimbangkan pertahanan/keamanan negara, pertumbuhan/perkembangan pariwisata, kepentingan/ kemampuan angkutan udara nasional serta pengembangan ekonomi nasional/perdagangan luar negeri;

f. meningkatkan standar operasi prosedur bandar udara

untuk memenuhi ketentuan keselamatan operasi bandar udara, standar teknis dan operasional sesuai klasifikasi bandar udara; dan

g. pada bandar udara pengumpul primer dengan cakupan

wilayah tertentu yang telah mencapai kapasitas maksimal dan tidak terdapat kemungkinan untuk dikembangkan lagi, dilakukan kajian dengan mengembangkan konsep sistim bandar udara jamak (multiple airport system).

Pasal 31

Rencana pembangunan dan pengembangan bandar udara untuk mewujudkan kebijakan nasional bandar udara, terdiri atas:

a. bandar udara pada ibukota provinsi dibangun atau

dikembangkan dengan klasifikasi landas pacu 4D;

b. bandar udara di daerah perbatasan negara dan daerah

lokasi bencana dan daerah rawan bencana dibangun atau dikembangkan dengan klasifikasi landas pacu 3C untuk dapat melayani pesawat Hercules C-130 dan pesawat berpenumpang 50 orang; dan

c. bandar udara di daerah terisolasi dan di daerah provinsi

kepulauan dibangun atau dikembangkan dengan klasifikasi landas pacu 2C untuk dapat melayani penerbangan perintis dengan pesawat berpenumpang 25 orang.

Pasal 32

(1) Pengembangan Bandar Udara dilaksanakan sesuai

dengan rencana induk Bandar Udara yang telah ditetapkan dalam penetapan lokasi Bandar Udara.

(2) Pengembangan bandar udara dilaksanakan dengan

memperhatikan kriteria indikasi awal didasarkan atas tingkat utilisasi operasional.

(3) Tingkat utilisasi operasional sebagaimana yang dimaksud

pada ayat (1) meliputi:

a. fasilitas sisi udara; dan b. fasilitas sisi darat.


(14)

14

Pasal 33

Kebijakan nasional bandar udara dalam pembangunan, pengembangan, pengoperasian dan pendayagunaan bandar udara serta rencana lokasi bandar udara beserta penggunaan, hierarki, dan klasifikasi bandar udara, serta formula perhitungan tingkat utilisasi operasional bandar udara sebagaimana tercantum dalam Lampiran II dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 34

Penetapan lokasi bandar udara diluar rencana lokasi bandar udara beserta penggunaan, hierarki, dan klasifikasi bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, harus memenuhi persyaratan kelayakan akan diatur oleh Menteri sebagaimana tercantum dalam Lampiran III dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini

Pasal 35

(1) Tatanan Kebandarudaraan Nasional ini berlaku untuk

jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dan dilakukan peninjauan ulang apabila terjadi perubahan kondisi lingkungan strategis atau setiap 5 (lima) tahun.

(2) Perubahan kondisi lingkungan strategis sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) meliputi bencana yang ditetapkan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kebijakan nasional yang mengakibatkan perubahan batas wilayah provinsi.

Pasal 36

Direktur Jenderal melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Menteri ini.

Pasal 37

Pada saat Peraturan Menteri ini ditetapkan, maka:

a. Bandar udara internasional yang masuk dalam

perjanjian ASEAN open sky yaitu Bandar Udara

Internasional Soekarno Hatta, Bandar Udara Internasional Juanda, Bandar Udara Internasional Kualanamu, Bandar Udara Internasional I Gusti Ngurah Rai, dan Bandar Udara Internasional Sultan Hasanuddin tetap berlaku; dan

b. Ketentuan terkait penetapan lokasi bandar udara dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 11 Tahun 2010 tentang Tatanan Kebandarudaraan Nasional dinyatakan tetap berlaku.


(15)

15

Pasal 38

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 16 Agustus 2013

MENTERI PERHUBUNGAN,

ttd

E.E. MANGINDAAN Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 20 Agustus 2013

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

ttd

AMIR SYAMSUDIN


(16)

! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . !. ! . ! . ! . ! . ! . !. ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . !. !. ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! .!.!. !. ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . !. ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . !. ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . !. ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . !. ! . !. ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . !. ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! .!.!. ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . ! . !. ! . ! . ! . ! . 139 138 137 136 135 134 133 132 131 130 110 109 108 96 97 92 98 94 95 93 99 107 103 106 100 101 102 104 79 74 75 76 78 77 73 72 71 70 69 68 67 66 65 64 63 62 61 60 29 26 28 25 27 4 1 7 6 5 3 9 2 8 24 23 21 22 20 217 216 215 214 213 212 211 210 209 208 207 206 205 204 203 202 201 200 199 198 197 196 195 192 191 190 189 188 187 186 185 184 183 182 180 179 178 177 175 173 172 170 169 168 167 165 162 161 160 158 157 156 155 154 153 152 151 111 90 88 89 85 80 83 84 86 81 82 87 117 124 123 122 121 120 119 118 129 128 127 126 125 116 115 114 113 112 59 58 57 56 147 146 145 144 143 142 141 236 235 234 233 232 231 230 228 227 225 224 223 222 221 218 13 16 11 17 14 12 15 37 36 35 34 18 19 49 31 30 33 32 38 41 39 40 42 43 44 47 48 46 45 53 54 50 52 51 55 91 10 149 148 140 105 218 140°0'0"E 140°0'0"E 130°0'0"E 130°0'0"E 120°0'0"E 120°0'0"E 110°0'0"E 110°0'0"E 100°0'0"E 100°0'0"E 0 ° 0 '0 " 0 ° 0 '0 " 1 0 ° 0 '0 " S 1 0 ° 0 '0 " S

PETA BANDAR UDARA EKSISTING DI INDONESIA

0 800

km

1 cm = 139 km

KEMENTERIAN PERHUBUNGAN 150. Aboy 151. Akimuga 152. Alama 153. Apalapsili 154. Bade 155. Batom 156. Bilai 157. Bilogaii 158. Bilorai 159. Bokondini 160. Bomakia 221. Anggi 222. Ayawasi 223. Babo 224. Bintuni 225. DEO Sorong 226. Ijahabra 227. Inanwatan 228. Utarom 229. Kambuaya 230. Kebar 231. Merdey 232. Ransiki 233. Rendani - Manokwari 234. Teminabuan 235. Torea - Fak-fak 236. Wasior 237. Werur 161. Tsinga 162. Beoga 163. Borome 164. Dabra 165. Elelim 166. Enarotali 167. Ewer 168. Fawi 169. Frans Kasiepo - Biak 170. Illaga 171. Illu 172. Jila 173. Jita 174. Kamur 175. Karubaga 176. Kebo 177. Kelila 178. Kenyam Nduga 179. Kepi 180. Kimam 181. Kiwirok 182. Kobakma 183. Kokonau 184. Lereh 185. Manggelum 186. Mapnnduma 187. Mararena - Sarmi 188. Mindiptanah 189. Moanamani 190. Molof XXXII. Provinsi Papua

KETERANGAN :

XXXIII. Provinsi Papua Barat

Lampiran I.A.

Peraturan Menteri Perhubungan Nomor : PM 69 TAHUN 2013 Tanggal : 16 AGUSTUS 2013

4

Laut Indonesia Laut Indonesia

Laut Cina Selatan

Laut Sulawesi

Laut Banda Laut Jawa

Laut Arafura

1. Sultan Iskandar Muda 2. Cut Nyak Dhien 3. Lasikin 4. Teuku Cut Ali 5. Maimun Saleh 6. Rembele 7. Singkil/Hamzah Fansuri 8. Alas Lauser 9. Kuala Batu 10. Malikul Saleh

11. Kualanamu 12. Binaka 13. Sibisa

14. Dr. Ferdinand L. Tobing 15. Aek Godang 16. Silangit 17. Lasondre

18. Minangkabau 19. Rokot

20. Sultan Syarif Kasim II 21. Tempuling 22. Japura 23. Pasir Pangaraian 24. Pinang Kampai

25. Hang Nadim 26. RH. Fisabilillah 27. Dabo 28. Ranai

29. Raja Haji Abdullah (Seibati)

30. Depati Amir 31. H. AS. Hanandjoeddin

32. Sultan Thaha 33. Depati Parbo

34. Fatmawati Soekarno 35. Muko-muko

36. S.M. Badaruddin II 37. Silampari

38. Radin Inten II

39. Husein Sastranegara 40. Cakrabhuwana 41. Nusawiru

42. Soekarno - Hatta 43. Budiarto

44. Halim Perdana Kusuma

45. Adi Sumarmo 46. Ahmad Yani 47. Tunggul Wulung 48. Dewa Daru

49. Adi Sutjipto

50. Juanda 51. Abdul Rachman Saleh 52. Blimbingsari 53. Trunojoyo 54. Noto Hadinegoro

55. I Gusti Ngurah Rai I. Provinsi Nangroe Aceh Darussalam

II. Provinsi Sumatera Utara

III. Provinsi Sumatera Barat

IV. Provinsi Riau

VI. Provinsi Bangka Belitung

VII. Provinsi Jambi

VIII. Provinsi Bengkulu

IX. Provinsi Sumatera Selatan

X. Provinsi Lampung

XI. Provinsi Jawa Barat

XII. Provinsi Banten

XIII. Provinsi DKI Jakarta XIV. Provinsi Jawa Tengah

XV. Provinsi D.I Yogyakarta XVI. Provinsi Jawa Timur

XVII. Provinsi Bali

74. Supadio 75. Rahadi Oesman 76. Pangsuma 77. Nangapinoh 78. Paloh 79. Susilo

88. Syamsuddin Noor 89. Gusti Syamsir Alam 90. Tanjung Warukin 91. Bersujud (Batulicin)

92. Sepinggan 93. Juwata 94. Kotabangun 95. Kalimarau 96. Yuvai Semaring 97. Tanjung Harapan 98. Long Apung 99. Datah Dawai 100. Nunukan 101. Melak

102. Kol. RA. Bessing (Seluwing) 103. Temindung

104. Long Layu 105. Muara Wahau 106. Tanjung Bara (Sangata) 107. Binuang

108. Sam Ratulangi 109. Naha 110. Melonguane

111. Djalaluddin

112. Mutiara

113. Syukuran Aminuddin Amir 114. Sultan Bantilan/Lalos 115. Pogogul 116. Kasiguncu

117. Tampa Padang

118. Sultan Hasanuddin 119. Andi Jemma 120. H. Aroepala 121. Seko 122. Rampi 123. Bua/Lagaligo 124. Pongtiku

125. Haluoleo 126. Beto Ambari 127. Sugimanuru

128. Tanggetada/Sangia Nibandera 129. Matahora

XX. Provinsi Kalimantan Barat

XXI. Provinsi Kalimantan Tengah

XXII. Provinsi Kalimantan Selatan

XXIII. Provinsi Kalimantan Timur

XXIV. Provinsi Sulawesi Utara

XXV. Provinsi Gorontalo

XXVI. Provinsi Sulawesi Tengah

XXVII. Provinsi Sulawesi Barat

XXVIII. Provinsi Sulawesi Selatan

XXIX. Provinsi Sulawesi Tenggara

56. Sultan M. Salahuddin 57. Sultan M. Kaharuddin (Brangbiji) 58. Lunyuk

59. Lombok Baru

60. El Tari 61. frans Seda 62. Umbu Mehang Kunda 63. Komodo 64. H. Hasan Aroeboesman 65. Frans Sales Leda 66. Tambolaka 67. Gewayantana 68. A.A. Bere Tallo (Haliwen) 69. Mali

70. David Constantijn Saudale (Lekunik) 71. Tardamu

72. Soa 73. Wunopito

135. Wahai 136. John Becker 137. Liwur Bunga 138. Olilit 139. Dumatubun 140. Namlea

141. Sultan Babullah 142. Kuabang 143. Gamar Malamo 144. Oesman Sadik 145. Buli 146. Emalamo 147. Pitu 148. Gebe

149. Dofa Benjina Falabisahaya

XVIII. Provinsi Nusa Tenggara Barat

XIX. Provinsi Nusa Tenggara Timur

XXX. Provinsi Maluku

XXXI. Provinsi Maluku Utara V. Provinsi Kepulauan Riau

80. Tjilik Riwut 81. Iskandar 82. H. Asan 83. Sanggu 84. Kuala Pembuang 85. Tumbang Samba 86. Kuala Kurun 87. Beringin

191. Mopah - Merauke 192. Mozes Kilangin - Timika 193. Mugi Nduga 194. Mulia 195. Nabire 196. Obano 197. Okaba 198. Oksibil 199. Paro Nduga 200. Potawai 201. Sugapa 202. Senggeh 203. Senggo 204. Sentani - Jayapura 205. Sinak 206. Soedjarwo - Serui 207. Taive II - Tolikara 208. Tanahmerah 209. Kobakma 210. Tiom 211. Ubrub 212. Waghete 213. Wamena 214. Waris

215. Nop Goliat Dekai - Yahukimo 216. Yanirumal 217. Yuruf 218. Aboyaga 219. Numfor 220. Wangbe Timor Leste Australia Malaysia Filipina Malaysia Singapura Thailand Papua Nuigini 130. Pattimura 131. Amahai 132. Namrole 133. Dobo 134. Bandaneira Sumber :

1. Aeronautical Information Publication, Direktorat Navigasi Penerbangan Tahun 2006 2. Aerodrome Reference Point Bandar Udara Indonesia,

Direktorat Navigasi Penerbangan Tahun 2008

3. Peta Digital Rupa Bumi Indonesia Badan Informasi Geospasial Tahun 2008

Sistem Grid : Grid Geografis Datum : WGS 1984

Brunei Darussalam

TATANAN KEBANDARUDARAAN NASIONAL

MENTERI PERHUBUNGAN

E.E. MANGINDAAN


(17)

Lampiran I.B

Peraturan Menteri Perhubungan Nomor :

Tanggal :

Penggunaan Hierarki Klasifikasi

Simpul Gerbang Alih Moda Peindag/ Daerah Rawan Daerah Wawasan Pemerintahan Pengusahaan Bandar Udara Bandar Udara Bandara

Ekonomi Transportasi Pariwisata Terisolir Bencana Perbatasan Nusantara

I PROPINSI NANGGROE ACEH. D 1

Sultan Iskandar Muda Banda Aceh 9 9 9 9 9 9 9 9 Int'l PT 4E

2

Cut Nyak Dhien Nagan Raya 9 9 9 9 9 9 Dom P 3C

3

Lasikin Sinabang 9 9 9 9 9 9 9 Dom P 3C

4

Teuku Cut Ali Tapak Tuan 9 9 9 9 9 9 Dom P 2C

5

Maimun Saleh Sabang 9 9 9 9 9 9 9 9 Int'l P 3C

6

Rembele Takengon 9 9 9 9 9 9 9 Dom P 2C

7

Singkil (Hamzah Fansuri) Singkil 9 9 9 9 9 9 Dom P 2B

8

Alas Lauser Kutacane 9 9 9 9 9 Dom P 3B

9

Kuala Batu Blang Pidie 9 9 9 9 9 Dom P 2B

10

Malikul Saleh Lhok Seumawe 9 9 9 9 9 Dom P 2B

II PROPINSI SUMATERA UTARA 1

Kualanamu Medan 9 9 9 9 9 9 9 Int'l PP 4E

2

Binaka Gn. Sitoli 9 9 9 9 9 9 9 Dom P 3C

3

Sibisa Parapat 9 9 9 9 9 9 9 Dom P 1B

4

Dr. Ferdinand L. Tobing Sibolga 9 9 9 9 9 9 9 Dom P 4C

5

Aek Godang Padang Sidempuan 9 9 9 9 9 Dom P 3C

6

Silangit Siborong-borong 9 9 9 9 9 9 9 9 Dom P 4C

7

Lasondre Pulau-pulau Batu 9 9 9 9 9 9 9 Dom P 3C

III PROPINSI SUMATERA BARAT 1

Minangkabau Padang 9 9 9 9 9 9 9 9 Int'l PS 4D

2

Rokot Sipora 9 9 9 9 9 9 9 9 Dom P 2B

IV PROPINSI RIAU 1

Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru 9 9 9 9 9 9 9 Int'l PS 4C

2

Tempuling Indragiri Hilir 9 9 9 9 9 9 Dom P 3B

3

Japura Rengat 9 9 9 9 9 Dom P 3C

4

Pasir Pangaraian Pasir Pangaraian 9 9 9 9 9 9 Dom P 3B

5

Pinang Kampai Dumai 9 9 9 9 9 9 9 Dom P 3C

V PROPINSI KEPULAUAN RIAU 1

Hang Nadim Batam 9 9 9 9 9 9 9 Int'l PS 4E

2

RH. Fisabilillah Tanjung Pinang 9 9 9 9 9 9 9 Int'l P 4C

3

Dabo Singkep 9 9 9 9 9 Dom P 2C

4

Ranai Natuna 9 9 9 9 9 9 9 Dom P 4C

5

Seibati (Raja Haji Abdullah) Tanjung Balai Karimun 9 9 9 9 9 9 Dom P 2B

VI PROPINSI BANGKA BELITUNG 1

Depati Amir Pangkal Pinang 9 9 9 9 9 9 9 Dom PS 4C

2

H. AS. Hanandjoeddin Tanjung Pandan 9 9 9 9 9 9 Dom PT 4C

II. TABEL PERAN, FUNGSI, PENGGUNAAN, HIERARKI DAN KLASIFIKASI BANDAR UDARA EKSISTING

NO BANDAR UDARA KOTA/LOKASI

PERAN FUNGSI

PM  69  Tahun   6  Agustus  


(18)

Penggunaan Hierarki Klasifikasi

Simpul Gerbang Alih Moda Peindag/ Daerah Rawan Daerah Wawasan Pemerintahan Pengusahaan Bandar Udara Bandar Udara Bandara

Ekonomi Transportasi Pariwisata Terisolir Bencana Perbatasan Nusantara

NO BANDAR UDARA KOTA/LOKASI

PERAN FUNGSI

VII PROPINSI JAMBI 1

Sultan Thaha Jambi 9 9 9 9 9 9 9 Dom PS 4C

2

Depati Parbo Kerinci 9 9 9 9 9 9 9 Dom P 3C

VIII PROPINSI BENGKULU 1

Fatmawati - Soekarno Bengkulu 9 9 9 9 9 9 9 Dom PT 4C

2

Muko-Muko Muko-Muko 9 9 9 9 9 9 Dom P 3C

IX PROPINSI SUMATERA SELATAN 1

S.M. Badaruddin II Palembang 9 9 9 9 9 9 9 Int'l PS 4D

2

Silampari Lubuk Linggau 9 9 9 9 9 9 9 Dom P 3C

X PROPINSI LAMPUNG

1

Radin Inten II Tanjung Karang 9 9 9 9 9 9 9 Dom PS 4D

XI PROPINSI JAWA BARAT 1

Husein Sastranegara Bandung 9 9 9 9 9 9 9 Int'l PT 4C

2

Cakrabhuwana Cirebon 9 9 9 9 9 Dom P 3C

3

Nusawiru Ciamis 9 9 9 9 9 9 Dom P 3C

XII PROPINSI BANTEN 1

Soekarno - Hatta Jakarta 9 9 9 9 9 9 9 Int'l PP 4E

2

Budiarto Curug 9 9 9 9 9 9 Dom P 3D

XIII PROPINSI DKI JAKARTA 1

Halim Perdanakusuma Jakarta 9 9 9 9 9 9 Int'l P 4E

XIV PROPINSI JAWA TENGAH 1

Adi Sumarmo Solo 9 9 9 9 9 9 9 Int'l PS 4D

2

Ahmad Yani Semarang 9 9 9 9 9 9 9 Int'l PS 4D

3

Tunggul Wulung Cilacap 9 9 9 9 9 9 9 Dom P 3C

4

Dewa Daru Karimunjawa 9 9 9 9 9 9 Dom P 2C

XV PROPINSI DI. YOGYAKARTA 1

Adi Sutjipto Yogyakarta 9 9 9 9 9 9 9 Int'l PS 4D

XVI PROPINSI JAWA TIMUR 1

Juanda Surabaya 9 9 9 9 9 9 9 Int'l PP 4E

2

Abdul Rachman Saleh Malang 9 9 9 9 9 9 Dom P 4C

3

Blimbingsari Banyuwangi 9 9 9 9 9 9 9 Dom P 3C

4

Trunojoyo Sumenep 9 9 9 9 9 9 Dom P 2B

5

Noto Hadinegoro Jember 9 9 9 9 9 9 Dom P 3C

XVII PROPINSI BALI 1

I Gusti Ngurah Rai Denpasar 9 9 9 9 9 9 9 9 Int'l PP 4E

XVIII PROPINSI NTB 1

Sultan M. Salahuddin Bima 9 9 9 9 9 9 9 Dom P 3C

2

Brangbiji (Sultan Muh. Kaharuddin) Sumbawa Besar 9 9 9 9 9 9 9 Dom P 3C

3

Lunyuk Sumbawa 9 9 9 9 9 9 Dom P 2B

4

Lombok Baru Lombok Tengah 9 9 9 9 9 9 9 9 Int'l PS 4D

XIX PROPINSI NTT 1

Eltari Kupang 9 9 9 9 9 9 9 9 Int'l PS 4D

2

Frans Seda Maumere 9 9 9 9 9 9 9 Dom P 4C

3

Umbu Mehang Kunda Waingapu 9 9 9 9 9 9 9 Dom P 3C

4


(19)

Penggunaan Hierarki Klasifikasi

Simpul Gerbang Alih Moda Peindag/ Daerah Rawan Daerah Wawasan Pemerintahan Pengusahaan Bandar Udara Bandar Udara Bandara

Ekonomi Transportasi Pariwisata Terisolir Bencana Perbatasan Nusantara

NO BANDAR UDARA KOTA/LOKASI

PERAN FUNGSI

5

H. Hasan Aroeboesman Ende 9 9 9 9 9 9 9 Dom P 3C

6

Frans Sales Leda Ruteng 9 9 9 9 9 9 9 Dom P 3C

7

Tambolaka Waikabubak 9 9 9 9 9 9 9 Dom P 4C

8

Gewayantana Larantuka 9 9 9 9 9 9 9 Dom P 2C

9

Haliwen (A.A. Bere Tallo) Atambua 9 9 9 9 9 9 9 Dom P 3B

10

Mali Alor 9 9 9 9 9 9 9 9 Dom P 3C

11

Lekunik (David Constantijn Saudele) Rote 9 9 9 9 9 9 9 9 Dom P 2C

12

Tardamu Sabu 9 9 9 9 9 9 9 Dom P 2B

13

Soa Bajawa 9 9 9 9 9 9 9 Dom P 3B

14

Wunopito Lewoleba 9 9 9 9 9 9 9 Dom P 2C

XX PROPINSI KALIMANTAN BARAT 1

Supadio Pontianak 9 9 9 9 9 9 9 Int'l PS 4C

2

Rahadi Oesman Ketapang 9 9 9 9 9 9 9 Dom P 3C

3

Pangsuma Putussibau 9 9 9 9 9 9 9 9 Dom P 3C

4

Nangapinoh Nangapinoh 9 9 9 9 9 Dom P 2B

5

Paloh Sambas 9 9 9 9 9 9 9 Dom p 1B

6

Susilo Sintang 9 9 9 9 9 9 Dom p 3C

XXI PROPINSI KALIMANTAN TENGAH 1

Tjilik Riwut Palangkaraya 9 9 9 9 9 9 Dom PT 4D

2

Iskandar Pangkalan Bun 9 9 9 9 9 9 Dom PT 4C

3

H. Asan Sampit 9 9 9 9 9 Dom P 4C

4

Sanggu Buntok 9 9 9 9 9 Dom P 1B

5

Kuala Pembuang Kota Waringin Timur 9 9 9 9 9 9 Dom P 3C

6

Tumbang Samba Tumbang Samba 9 9 9 9 9 Dom P 2B

7

Kuala Kurun Kuala Kurun 9 9 9 9 9 9 Dom P 2B

8

Beringin Muara Teweh 9 9 9 9 9 Dom P 2B

XXII PROPINSI KALIMANTAN SELATAN 1

Syamsuddin Noor Banjarmasin 9 9 9 9 9 9 9 Dom PS 4D

2

Gusti Syamsir Alam Kotabaru 9 9 9 9 9 9 Dom P 3C

3

Tanjung Warukin Tanjung Warukin 9 9 9 9 9 Dom P 3C

4

Bersujud Batu Licin 9 9 9 9 9 Dom P 3C

XXIII PROPINSI KALIMANTAN TIMUR 1

Sepinggan Balikpapan 9 9 9 9 9 9 9 Int'l PP 4D

2

Juwata Tarakan 9 9 9 9 9 Int'l PT 4D

3

Kotabangun Kotabangun 9 9 9 9 9 Dom P 1B

4

Kalimarau Tj. Redep 9 9 9 9 9 9 Dom P 4D

5

Yuvai Semaring Longbawan 9 9 9 9 9 9 Dom P 2B

6

Tanjung Harapan Tj. Selor 9 9 9 9 9 9 Dom P 3C

7

Long Apung Long Apung 9 9 9 9 9 9 Dom P 2B

8

Datah Dawai Datah Dawai 9 9 9 9 9 9 9 Dom P 1B

9

Nunukan Nunukan 9 9 9 9 9 9 9 9 Dom P 2B

10

Melak Sendawar 9 9 9 9 9 9 9 Dom P 2B

11

Kol. RA. Bessing (Seluwing) Malinau 9 9 9 9 9 9 9 9 Dom P 2B

12

Temindung Samarinda 9 9 9 9 9 9 Dom P 2B

13

Long Layu Long Layu 9 9 9 9 9 Dom P 2B

14

Muara Wahau Muara Wahau 9 9 9 9 9 Dom P 2B

15

Tanjung Bara (Sangata) Kutai Timur 9 9 9 9 9 Dom P 2B

16

Binuang Binuang 9 9 9 9 9 Dom P 2B

XXIV PROPINSI SULAWESI UTARA 1

Sam Ratulangi Manado 9 9 9 9 9 9 9 Int'l PS 4D

2

Naha Tahuna 9 9 9 9 9 9 9 9 Dom P 3C

3


(20)

Penggunaan Hierarki Klasifikasi

Simpul Gerbang Alih Moda Peindag/ Daerah Rawan Daerah Wawasan Pemerintahan Pengusahaan Bandar Udara Bandar Udara Bandara

Ekonomi Transportasi Pariwisata Terisolir Bencana Perbatasan Nusantara

NO BANDAR UDARA KOTA/LOKASI

PERAN FUNGSI

XXV PROPINSI GORONTALO 1

Djalaluddin Gorontalo 9 9 9 9 9 9 9 Dom P 4D

XXVI PROPINSI SULAWESI TENGAH 1

Mutiara Palu 9 9 9 9 9 9 9 Dom PT 4D

2

Syukuran Aminuddin Amir Luwuk 9 9 9 9 9 9 9 Dom P 4C

3

Sultan Bantilan (Lalos) Toli-toli 9 9 9 9 9 9 Dom P 3C

4

Pogogul Buol 9 9 9 9 9 9 Dom P 3B

5

Kasiguncu Poso 9 9 9 9 9 9 9 Dom P 3C

XXVII PROPINSI SULAWESI BARAT 1

Tampa Padang Mamuju 9 9 9 9 9 9 Dom P 4C

XXVIII PROPINSI SULAWESI SELATAN 1

Sultan Hasanuddin Makassar 9 9 9 9 9 9 9 9 Int'l PP 4D

2

Andi Jemma Masamba 9 9 9 9 9 Dom P 2B

3

H. Aroepala P. Selayar 9 9 9 9 9 9 9 Dom P 3B

4

Seko Seko 9 9 9 9 9 Dom P 2B

5

Rampi Rampi 9 9 9 9 9 Dom P 2B

6

Bua (Lagaligo) Luwu 9 9 9 9 9 Dom P 3C

7

Pongtiku Tana Toraja 9 9 9 9 9 9 Dom P 2C

XXIX PROPINSI SULAWESI TENGGARA 1

Haluoleo Kendari 9 9 9 9 9 9 Dom PT 4D

2

Beto Ambari Bau-bau 9 9 9 9 9 9 Dom P 3C

3

Sugimanuru Muna 9 9 9 9 9 Dom P 3C

4

Tanggetada (Sangia Nibandera) Kolaka 9 9 9 9 9 Dom P 2C

5

Matahora Wakatobi 9 9 9 9 9 9 Dom P 3C

XXX PROPINSI MALUKU 1

Pattimura Ambon 9 9 9 9 9 9 9 9 Int'l PT 4D

2

Amahai Pulau Seram 9 9 9 9 9 9 Dom P 1B

3

Namrole Pulau Buru 9 9 9 9 9 9 Dom P 2B

4

Dobo Pulau Aru 9 9 9 9 9 9 9 Dom P 2B

5

Bandaneira Pulau Banda 9 9 9 9 9 9 9 Dom P 2C

6

Wahai Pulau Seram 9 9 9 9 9 9 Dom P 2B

7

John Becker Pulau Kisar 9 9 9 9 9 9 9 Dom P 2B

8

Liwur Bunga Pulau larat 9 9 9 9 9 9 Dom P 2B

9

Olilit Saumlaki 9 9 9 9 9 9 9 Dom P 2C

10

Dumatubun Tual 9 9 9 9 9 9 Dom P 3C

11

Namlea Pulau Buru 9 9 9 9 9 9 Dom P 1B

XXXI PROPINSI MALUKU UTARA 1

Sultan Babullah Ternate 9 9 9 9 9 9 9 Dom PT 4C

2

Kuabang Kao 9 9 9 9 9 Dom P 3C

3

Gamar Malamo Galela 9 9 9 9 9 Dom P 3C

4

Oesman Sadik Labuha 9 9 9 9 9 9 Dom P 3C

5

Buli Maba 9 9 9 9 9 9 Dom P 3C

6

Emalamo Sanana 9 9 9 9 9 9 Dom P 2B

7

Pitu Morotai 9 9 9 9 9 9 Dom P 4C

8

Gebe Kab. Halmahera Tengah 9 9 9 9 9 9 Dom P 2C

9


(21)

Penggunaan Hierarki Klasifikasi

Simpul Gerbang Alih Moda Peindag/ Daerah Rawan Daerah Wawasan Pemerintahan Pengusahaan Bandar Udara Bandar Udara Bandara

Ekonomi Transportasi Pariwisata Terisolir Bencana Perbatasan Nusantara

NO BANDAR UDARA KOTA/LOKASI

PERAN FUNGSI

XXXII PROPINSI PAPUA 1

Frans Kaisiepo Biak 9 9 9 9 9 9 9 9 Int'l P 4D

2

Sentani Jayapura 9 9 9 9 9 9 9 9 Int'l PS 4D

3

Mopah Merauke 9 9 9 9 9 9 9 9 Int'l P 4D

4

Ubrub Kab. Keerom 9 9 9 9 9 Dom P 1C

5

Dabra Kab. Mamberamo Raya 9 9 9 9 9 Dom P 1B

6

Yuruf Kab. Keerom 9 9 9 9 9 Dom P 1B

7

Molof Kab. Keerom 9 9 9 9 9 Dom P 1C

8

Kamur Kab. Asmat 9 9 9 9 9 9 Dom P 1B

9

Kimam Kab. Merauke 9 9 9 9 9 9 9 Dom P 1B

10

Elelim Kab. Yalimo 9 9 9 9 9 Dom P 2C

11

Bomakia Kab. Boven Digoel 9 9 9 9 9 9 Dom P 2C

12

Senggeh Kab. Keerom 9 9 9 9 9 Dom P 1B

13

Manggelum Kab. Boven Digoel 9 9 9 9 9 9 9 Dom P 1C

14

Wamena Kab. Jayawijaya 9 9 9 9 9 9 9 Dom P 4C

15

Kelila Kab. Mamberamo Raya 9 9 9 9 9 Dom P 1C

16

Kiwirok Kab. Pegunungan Bintang 9 9 9 9 9 9 Dom P 1C

17

Bilorai Kab. Intan Jaya 9 9 9 9 9 9 Dom P 1C

18

Bilai Kab. Intan Jaya 9 9 9 9 9 Dom P 1B

19

Kebo Kab. Paniai 9 9 9 9 9 9 Dom P 2C

20

Akimuga Kab. Mimika 9 9 9 9 9 9 Dom P 1B

21

Enarotali Kab. Paniai 9 9 9 9 9 9 9 9 Dom P 2B

22

Mararena Kab. Sarmi 9 9 9 9 9 9 9 9 Dom P 1B

23

Tanah Merah Kab. Boven Digoel 9 9 9 9 9 9 9 Dom P 2C

24

Mulia Kab. Puncak Jaya 9 9 9 9 9 9 Dom P 2C

25

Oksibil Kab. Pegunungan Bintang 9 9 9 9 9 9 9 9 Dom P 3C

26

Moanamani Nabire 9 9 9 9 9 9 Dom P 2B

27

Mindip Tanah Kab. Boven Digoel 9 9 9 9 9 9 Dom P 1B

28

Kepi Kab. Mappi 9 9 9 9 9 9 9 Dom P 1B

29

Kokonau Kab. Mimika 9 9 9 9 9 9 Dom P 1B

30

Bokondini Kab. Jayawijaya 9 9 9 9 9 Dom P 1C

31

Okaba Kab. Merauke 9 9 9 9 9 9 9 Dom P 1C

32

Numfor Kab. Biak Numfor 9 9 9 9 9 9 Dom P 3B

33

Illaga Kab. Puncak 9 9 9 9 9 Dom P 1B

34

Illu Kab. Puncak Jaya 9 9 9 9 9 9 Dom P 2C

35

Tiom Kab. Lanni Jaya 9 9 9 9 9 Dom P 1B

36

Ewer Kab. Asmat 9 9 9 9 9 9 9 Dom P 1B

37

Batom Kab. Pegunungan Bintang 9 9 9 9 9 9 Dom P 2B

38

Bade Kab. Mappi 9 9 9 9 9 9 Dom P 1B

39

Lereh Kab. Keerom 9 9 9 9 9 Dom P 1C

40

Karubaga Kab. Tolikara 9 9 9 9 9 9 9 9 Dom P 1B

41

Obano Kab. Paniai 9 9 9 9 9 9 Dom P 1B

42

Senggo Kab. Mappi 9 9 9 9 9 9 Dom P 1B

43

Mozes Kilangin Timika 9 9 9 9 9 9 9 Dom PT 4D

44

Taive II Kab. Tolikara 9 9 9 9 9 Dom P 1B

45

Yahukimo Kab. Yahukimo 9 9 9 9 9 9 Dom P 3C

46

Sudjarwo Tj./Ros Bori/Kamanap Baru Serui Kab. Kep. Yapen 9 9 9 9 9 9 Dom P 1C

47

Nabire (Douw Aturure) Kab. Nabire 9 9 9 9 9 9 9 Dom P 3C

48

Waghete Kab. Deiyai 9 9 9 9 9 9 Dom P 2B

49

Sinak Kab. Puncak Jaya 9 9 9 9 9 9 Dom P 2B

50

Aboyaga Kab. Nabire 9 9 9 9 9 Dom P 2B

51

Aboy Kab. Pegunungan Bintang 9 9 9 9 9 9 Dom P 2B

52

Yaniruma Kab. Boven Digoel 9 9 9 9 9 9 Dom P 2B

53

Nop Goliat Dekai Kab. Yahukimo 9 9 9 9 9 9 Dom P 3C

54

Sugapa Kab. Intan Jaya 9 9 9 9 9 Dom P 2B

58

Kobakma Kab. Membramo Tengah 9 9 9 9 9 Dom P 2B

56

Apalapsili Kab. Yalimo 9 9 9 9 9 Dom P 2B

59

Kenyam Kab. Nduga 9 9 9 9 9 Dom P 2B

67

Mapnduma Kab. Nduga 9 9 9 9 9 Dom P 1A

69


(22)

Penggunaan Hierarki Klasifikasi

Simpul Gerbang Alih Moda Peindag/ Daerah Rawan Daerah Wawasan Pemerintahan Pengusahaan Bandar Udara Bandar Udara Bandara

Ekonomi Transportasi Pariwisata Terisolir Bencana Perbatasan Nusantara

NO BANDAR UDARA KOTA/LOKASI

PERAN FUNGSI

68

Paro Kab. Nduga 9 9 9 9 9 Dom P 1B

55

Fawi Kab. Puncak Jaya 9 9 9 9 9 Dom P 2B

57

Borome Borome 9 9 9 9 9 Dom P 2B

60

Beoga Kab. Intan Jaya 9 9 9 9 9 Dom P 2B

61

Jila Kab. Mimika 9 9 9 9 9 Dom P 2B

62

Jita Kab. Mimika 9 9 9 9 9 Dom P 2B

63

Potowai Kab. Mimika 9 9 9 9 9 Dom P 2B

64

Bilogai Kab. Intan Jaya 9 9 9 9 9 Dom P 2B

65

Tsinga Kab. Mimika 9 9 9 9 9 Dom P 2B

66

Alama Kab. Pegunungan Bintang 9 9 9 9 9 Dom P 2B

70

Wangbe Kab. Puncak 9 9 9 9 9 Dom P 2B

71

Waris/Towehitam Kab. Keerom 9 9 9 9 9 Dom P 2B

XXXIII PROPINSI PAPUA BARAT 1

Rendani Manokwari 9 9 9 9 9 9 9 9 Dom P 4C

2

Domine Eduard Osok Sorong 9 9 9 9 9 9 Dom PT 4C

3

Torea Fak-fak 9 9 9 9 9 9 Dom P 3C

4

Bintuni Kab. Teluk Bintuni 9 9 9 9 9 9 Dom P 1B

5

Babo Kab. Teluk Bintuni 9 9 9 9 9 9 Dom P 3C

6

Utarom Kab. Kaimana 9 9 9 9 9 9 Dom P 3C

7

Wasior Kab. Teluk Wondama 9 9 9 9 9 Dom P 1C

8

Inanwatan Kab. Sorong Selatan 9 9 9 9 9 Dom P 1B

9

Teminabuan Kab. Sorong Selatan 9 9 9 9 9 Dom P 1B

10

Ayawasi Kab. Sorong Selatan 9 9 9 9 9 Dom P 2B

11

Ijahabra Kab. Manokwari 9 9 9 9 9 Dom P 1C

12

Merdey Kab. Manokwari 9 9 9 9 9 Dom P 1B

13

Anggi Kab. Manokwari 9 9 9 9 9 Dom P 1B

14

Kambuaya Kab. Manokwari 9 9 9 9 9 Dom P 1B

15

Werur Kab. Manokwari 9 9 9 9 9 Dom P 1C

16

Kebar Kab. Manokwari 9 9 9 9 9 9 9 Dom P 2B

17

Ransiki Kab. Manokwari 9 9 9 9 9 Dom P 2C

KETERANGAN :

Int'l = Internasional

Dom = Domestik MENTERI PERHUBUNGAN

PP = Pengumpul Skala Primer PS = Pengumpul Skala Sekunder

PT = Pengumpul Skala Tersier ttd

P = Pengumpan


(1)

140°0'0"E 140°0'0"E

130°0'0"E 130°0'0"E

120°0'0"E 120°0'0"E

110°0'0"E 110°0'0"E

100°0'0"E 100°0'0"E

0

°

0

'0

"

0

°

0

'0

"

1

0

°

0

'0

"

S

1

0

°

0

'0

"

S

PETA CAKUPAN PELAYANAN BANDAR UDARA DI INDONESIA

0 800

km 1 cm = 139 km

KEMENTERIAN PERHUBUNGAN

KETERANGAN :

Laut Indonesia

Laut Indonesia

Laut Cina Selatan

Laut Sulawesi

Laut Banda

Laut Jawa

Laut Arafura

Australia Malaysia

Filipina

Malaysia

Singapura Thailand

Papua Nugini Timor Leste

: Wilayah yang Masuk di Dalam Cakupan Pelayanan Bandar Udara Eksisting

Sistem Grid : Grid Geografis Datum : WGS 1984

Brunei Darussalam

Lampiran III.A.

Peraturan Menteri Perhubungan Nomor : PM 69 TAHUN 2013 Tanggal : 16 AGUSTUS 2013 Sumber :

1. Aeronautical Information Publication, Direktorat Navigasi Penerbangan Tahun 2006 2. Aerodrome Reference Point Bandar Udara Indonesia,

Direktorat Navigasi Penerbangan Tahun 2008

3. Peta Digital Rupa Bumi Indonesia Badan Informasi Geospasial Tahun 2008

4

TATANAN KEBANDARUDARAAN NASIONAL

MENTERI PERHUBUNGAN

E.E. MANGINDAAN


(2)

Lampiran III.B Peraturan Menteri Perhubungan

Nomor :

PM    6 9    T A H U N          

Tanggal

:

6    A g u s t u s          

I.

TABEL KRITERIA CAKUPAN PELAYANAN BANDAR UDARA

Wilayah Kriteria Indikator

Pulau Jawa dan

Sumatera

cakupan pelayanan 100 km atau jarak dua bandar udara 200 km.

Jarak / waktu pencapaian moda transportasi darat atau moda transportasi lainnya yang dapat dilayani suatu bandar udara pada wilayah tertentu.

Pulau Kalimantan dan Sulawesi

cakupan pelayanan 60 km atau jarak dua bandar udara 120 km.

Jarak / waktu pencapaian moda transportasi darat atau moda transportasi lainnya yang dapat dilayani suatu bandar udara pada wilayah tertentu.

Bali, Nusa Tenggara, Kepulauan Maluku dan Pulau Papua

cakupan pelayanan 30 km atau jarak dua bandar udara 60 km.

Jarak / waktu pencapaian moda transportasi darat atau moda transportasi lainnya yang dapat dilayani suatu bandar udara pada wilayah tertentu.

II.

TABEL KRITERIA PERAN BANDAR UDARA

Kebijakan Kriteria Indikator

Bandara Sebagai Pembuka Daerah Terisolir

1. Terletak di pedalaman

perbukitan/pegunung an,kepulauan, pesisir, dan pulau terpencil;

2. Keterbatasan

aksesibilitas moda transportasi lain;

3. Rendahnya tingkat

kehidupan masyarakat;

− Jarak pencapaian untuk pulau

terpencil ke daerah terdekat yang mempunyai moda transportasi lain yang lebih baik minimal 4 jam waktu tempuh.

− Jarak pencapaian minimal 10 km atau

dengan waktu tempuh minimal 3 jam berjalan kaki dari moda transportasi terdekat

− Kondisi geografis terdapat sungai,

gunung dan lembah

− Terbatasnya prasarana infrastruktur

transportasi darat dan laut/sungai

seperti: jembatan, jalan dan dermaga.

− Terbatasnya moda transportasi darat

dan laut (belum terlayani sarana transportasi yang beroperasi secara tetap dan teratur)

− Rendahnya tingkat perekonomian

masyarakat


(3)

− Tingkat pendidikan masyarakat yang rendah.

− Produktivitas masyarakat yang masih

rendah (tingginya tingkat pengangguran)

− Rendahnya kemampuan keuangan lokal

(celah fiskal);

− Adanya kemampuan masyarakat untuk

menggunakan jasa transportasi udara (ATP).

− Adanya kemauan masyarakat

menggunakan jasa transportasi udara.(WTP)

Bandara sebagai Pengemban gan Daerah Perbatasan

1. Perbatasan wilayah

Darat;

2. Merupakan

pulau-pulau kecil terluar;

− Berada di daerah perbatasan

antarnegara

− Daerah perbatasan yang berpotensi

konflik sosial;

− Wilayah yang merupakan jalur rawan

penyelundupan (barang, orang, hewan);

− Ditetapkan oleh BNPP (Badan Nasional

Pengelolaan Perbatasan)

− Wilayah yang merupakan jalur rawan

penyelundupan (barang, orang, hewan);

− Ditetapkan oleh BNPP (Badan Nasional

Pengelolaan Perbatasan)

− Wilayah rawan terhadap pencurian

Sumber Daya Alam. Bandara

sebagai Penanganan Bencana

1. Berada pada daerah

rawan bencana;

2. Berada pada daerah

yang pernah terjadi bencana terutama gempa, tsunami dan gunung berapi;

3. Bandara yang

dijadikan crisis center

dalam penanganan bencana.

− Tercantum di peta potensi gempa,

tsunami dan gunung berapi (Badan Informasi Geospasial dan/atau Badan Nasional Penanganan Bencana);

− Mempunyai indeks resiko bencana

sedang atau tinggi.

− Lebih dari 1 (satu) kali terjadi bencana

yang sama di daerah yang sama dalam 1 tahun;

− Mempunyai indeks resiko bencana

tinggi.

- Berada pada jarak 500-600 km dari

bandara di lokasi rawan bencana.

- Aman/tidak terkena dampak dari

bencana. Bandar

Udara Sebagai Pendorong

1. Daerah yang

mempunyai potensi pariwisata:

- Ketersediaan infrastruktur pariwisata

(hotel, restaurant dll);

- Potensi jumlah kunjungan wisman dan


(4)

Industri, Perekonomi an dan Perdaganga n.

2. Daerah yang

mempunyai potensi pertambangan dan energy;

3. Potensi perdagangan;

4. Potensi ekonomi.

nusantara) yang cukup tinggi.

- Ada aktivitas pertambangan;

- Ada Ijin Usaha Pertambangan;

- Ada komoditi Eksport import;

- Adanya potensi pertumbuhan industri

yang cukup tinggi.

- Laju pertumbuhan PAD (Pendapatan

Asli Daerah) tinggi;

- Laju pertumbuhan Pendapatan

Perkapita Penduduk tinggi.

III.

TABEL KRITERIA PENGGUNAAN BANDAR UDARA INTERNASIONAL

NO Kriteria Sub Kriteria

1 Rencana induk nasional bandar

udara Arah kebijakan nasional bandar udara

2 Pertahanan dan keamanan Negara Arah kebijakan pertahanan dan

keamanan nasonal

3 Potensi, pertumbuhan dan

perkembangan pariwisata

a. bandar udara terletak di daerah

tujuan wisata;

b. tersedianya infrastruktur pariwisata

(hotel, restoran, tempat wisata).

4 Kepentingan dan kemampuan

angkutan udara nasional serta potensi permintaan penumpang dan kargo

a. potensi angkutan udara dalam

negeri dan luar negeri;

b. potensi permintaan angkutan udara

dalam negeri dan luar negeri.

5 Potensi dan pengembangan ekonomi

nasional dan perdagangan luar negeri

a. pertumbuhan Pendapatan Domestik

Regional Bruto provinsi;

b. kontribusi sektor transportasi udara

terhadap pertumbuhan Pendapatan Domestik Regional Bruto provinsi.

6 Potensi kondisi geografis a. lokasi bandar udara dengan bandar

udara di negara lain yang terdekat;

b. lokasi bandar udara dengan bandar

udara internasional yang telah ada.

7 Aksesibilitas dengan bandar udara

internasional disekitarnya

a. jumlah kapasitas dan frekuensi

penerbangan ke/dari bandar udara internasional disekitarnya;


(5)

NO Kriteria Sub Kriteria

b. moda darat dan/laut ke/dari

bandar udara internasional disekitarnya

8 Keterkaitan intra dan antar moda a. keterkaitan dengan moda udara

untuk aksesibilitas ke/dari bandar udara ke/dari kota-kota lain;

b. keterkaitan dengan moda darat

untuk aksesibilitas ke/dari bandar udara ke/dari kota-kota lain; dan/atau

c. Keterkaitan dengan moda

laut/sungai untuk aksesibilitas ke/dari bandar udara ke/dari kota-kota lain

9 Kepentingan angkutan udara haji a. potensi angkutan haji dalam

cakupan bandar udara;

b. cakupan/jarak bandar udara

embarkasi/debarkasi haji terdekat.

IV.

TABEL KRITERIA DAN CARA PENILAIAN HIERARKI BANDAR UDARA

NO KRITERIA SUB KRITERIA SUB KRITERIA

1 Terletak di kota

yang merupakan pusat zona ekonomi

a. Status kota dalam

RTRWN

b. Penggunaan Bandar

Udara

1). PKN 2). PKW 3). PKL

1). Internasional 2). Domestik

2 Kepadatan Penumpang

a. Penumpang Datang

dan Berangkat (per tahun)

b. Penumpang Transit

c. Frekuensi Penerbangan

(per minggu)

1). ≥ 5.000.000

2). 1.000.000 – 4.999.999 3). 500.000 – 999.999 4). 100.000 – 499.999 5). < 100.000

1). ≥ 500.000

2). 250.000 – 499.999 3). 100.000 – 249.999 4). 50.000 – 99.999 5). < 50.000

1). ≥ 500

2). 200 – 499 3). 100 – 199 4). 50 – 99 5). < 50


(6)

3 Fungsi Penyebaran a. Rute Penerbangan Dalam Negeri

b. Rute Penerbangan Luar

Negeri

c. Rute Cakupan Dalam

Negeri

1). ≥ 15

2). 5 – 14 3). < 5

1). ≥ 5

2). 1 – 4 1). > 5 2). 3 – 5 3). < 3

V.

TABEL KRITERIA KLASIFIKASI BANDAR UDARA

Kode Nomor

(Code

Number)

Panjang RW Berdasar Referensi Pesawat

(Aeroplane Reference

Field Length)

Kode Huruf

(Code

Letter)

Bentang Sayap

(Wing Span)

Jarak Roda Utama Terluar

(Outer Mean

Gear)

1 ARFL < 800 m A wing span < 15 Outer Mean Gear

< 4.5 m

2 800 m ≤ ARFL < 1200

m

B 15 m ≤wing

span < 24 m

4.5 m ≤outer

mean gear < 6 m

3 1200 m ≤ ARFL <

1800 m

C 24 m ≤wing

span < 36 m

6 m ≤outer mean

gear < 9 m

4 1800 m ≤ ARFL D 36 m ≤wing

span < 52 m

9 m ≤outer mean

gear < 14 m

E 52 m ≤wing

span < 56 m

9 m ≤outer mean

gear < 14 m

F 56 m ≤wing

span < 80 m

14 m ≤ outer

mean gear < 16

m

MENTERI PERHUBUNGAN,

ttd