Pengelolaan Air yang Berkelanjutan

PENGELOLAAN AIR YANG BERKELANJUTAN BERDASAR KAJIAN BANJIR
DAN KEKERINGAN SEBAGAI FAKTOR PENENTU DAYA DUKUNG LAHAN
Oleh: Darmanto
Magister Teknik Pengelolaan Bencana Alam
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Motto
Ingat Jasmerah,
Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah,
karena pengalaman adalah guru yang paling bijak.
Membuang musibah ke hilir saat sekarang,
sambil menciptakan musibah di hulu & hilir dihari lusa.
atau
Mendapatkan berkah di hulu & hilir secara berkelanjutan,
dengan kesadaran & kemauan kolektif sebagai kuncinya.
Mentradisikan masalah air (banjir dan kekeringan)
menjadi urusan bersama, kapan dan dimanapun juga.
Pendahuluan
Tonggak sejarah bangsa Indonesia
ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan
yang pada proses pencapaian kejayaan dan
keruntuhannya selalu diawali dengan faktor air

sebagai state variable-nya. Secara singkat disini
disampaikan hal tersebut.
1. Kerajaan Sriwijaya
Kenangan atas kejayaan zaman Bahari
pantas diberikan kepada kerajaan Maritim
Sriwijaya karena menurut konsepsi negara
kesatuan, kerajaan ini merupakan negaranasional yang pertama dan meliputi sebagian
besar wilayah Nasional Indonesia sekarang
ini. Menurut catatan Ma Huan seorang
musafir Islam Tionghoa, kerajaan ini mulai
dikenal pada tahun 392 Masehi, sedang
keberadaannya terakhir adalah pada 1406
Masehi, atau berdiri selama + 1010 tahun.
Puncak kejayaan Sriwijaya ditunjukkan
dengan penguasaannya atas pulau Sumatera
dan sebagian Jawa dengan ibukotanya di
wilayah Tulangbawang (sekarang ini).
Penguasaannya atas Selat Sumatera dan
Selat Sunda adalah mutlak, armadanya
mengontrol lalu lintas perdagangan yang

menghubungkan Samudra Indonesia dengan
Samudra Pasific. Oleh orang orang Arab,
Hindia dan Tionghoa kerajaan Sriwijaya
dinamakan sebagai kerajaan militer-maritim
terbesar di Asia Tenggara pada masanya.

Kerajaan ini mulai memudar sejak mengalami
kerusakan
lingkungan
di
pusat
pemerintahannya, ditimpali tragedi wabah
malaria yang cukup dahsyat dikarenakan
wilayahnya berubah menjadi rawa sampai
sekarang ini. Hal itu akibat dari pelumpuran
yang berat yang dibawa pada waktu terjadi
banjir secara periodik.
2. Kerajaan Kutai
Sejak berdirinya kerajaan Kutai di Kalimantan
Timur sekitar tahun 400 Masehi, lalu lintas

perdagangan dari India, Kalimantan, Pilipina
terus ke negeri Cina selalu singgah di
kerajaan Kutai. Selama hubungan itu
berlangsung andalan utama komoditas
perdagangannya adalah hasil pertanian dan
peternakan. Namun akibat eksploitasi sumber
daya lahan yang berlebihan melebihi
kapasitasnya,
terjadilah
kemunduran
kejayaan kerajaan Kutai. Kemunduran
tersebut mulai terasa ketika terjadi proses
pelumpuran di daerah Anggana, di muara
sungai Mahakam yang pada waktu itu
berfungsi
sebagai
pintu
gerbang
perdagangan kerajaan. Adapun proses
angkutan sedimen atau pelumpuran tersebut

diperkirakan berlangsung secara alami
terutama dari kejadian banjir yang terjadi di
sungai Mahakam, yang juga masih tetap
berlangsung hingga masa sekarang. Proses
pelumpuran tersebut akhirnya menjadi awal
runtuhnya kerajaan Kutai.

3. Kerajaan Syailendra
Kerajaan ini mulai dikenal sejak + 750 Masehi
setelah melalui persaingan ketat antar
kerajaan kecil yang ada di tanah Jawa.
Awalnya kerajaan ini merupakan kerajaan
agraris, yang berkembang menjadi kerajaan
maritim, ditandai dari penguasaan terhadap
perairan laut melalui pelabuhan Bergota (di
Semarang). Pelabuhan Bergota merupakan
prasarana vital bagi kerajaan dalam
pengembangan kejayaannya. Kombinasi
penguasaan atas sektor pertanian dan
kemaritiman menjadikan kerajaan ini cukup

kaya sehingga mampu membangun candi
Borobudur yang sangat terkenal sampai saat
ini. Eksploitasi lahan yang terlalu intensif
kurang terkendali menyebabkan bencana
alamiah banjir & kekeringan berlangsung silih
berganti, maka terjadilah kerusakan
lingkungan fisik yang berakibat fatal terhadap
fungsi pelabuhan Bergota sebagai pintu
gerbang
perdagangan
kerajaan
ini.
Pelumpuran dahsyat terhadap pelabuhan
Bergota dan banyaknya pengorbanan untuk
kebutuhan
proyek
mercusuar
telah
melemahkan
kerajaan Syailendra dan

akhirnya runtuh pada + 900 Masehi.
4. Kerajaan Majapahit
Kelahiran kerajaan Majapahit diawali dengan
peristiwa Maritim penting yaitu ekspedisi
Kubilai Khan ke pulau Jawa pada tahun 1292
Masehi yang bermaksud menundukkan
kerajaan Singasari, yang berakhir dengan
kegagalan, namun justru melahirkan kerajaan
Majapahit. Pada awalnya Majapahit
berkembang mengandalkan tradisi kerajaan
agraris yang biasanya agresif terhadap lahan
usaha pertanian. Keistimewaan kerajaan
Majapahit adalah pada kemampuannya
mensinergikan tradisi pelayaran-perniagaan
sungai dengan potensi kemaritiman. Tercatat
sebagai bandar cukup vital pada masa itu
adalah Bandar Tjanggu di sungai Brantas dan
Bandar Sedayu di Bengawan Solo.
Ibukotanya terletak diantara sungai Brantas
dan Bengawan Solo, yang berfungsi sebagai

jalur lalu lintas perdagangan yang ramai.
Dengan pesat kerajaan ini berkembang
menjadi negara maritim tanpa meninggalkan
jatidirinya sebagai negara agraris. Jaringan
lalu lintas darat-sungai-laut ternyata menjadi
andalan kejayaan kerajaan Majapahit dan
secara positip mendukung terselenggaranya
komunikasi antar daerah kekuasaan “Negara
Kesatuan Majapahit”.

Keruntuhan kerajaan Majapahit dimulai dari
Pusat Kerajaan yang dipicu oleh kondisi
kacau akibat bencana insaniah pertikaian
antar politisi-bangsawan, perang gerilya dan
lunturnya kepercayaan rakyat atas kharisma
kraton. Disamping itu bencana alamiah yang
bertubi tubi dan kerusakan lingkungan
dilahan usahanya, mengakibatkan erosi serta
pelumpuran di sungai Bengawan Solo dan
Brantas, juga wabah penyakit yang

mengganas akhirnya melumpuhkan daya
dukung lingkungannya, hingga mematikan
bandar Tjanggu dan Sedayu. Akibatnya fatal
yaitu
melemahnya
kemampuan
perekonomian pusat kerajaan dan dominasi
pusat pemerintahan terhadap daerah
kekuasaannya. Proses ini mengakhiri
kehadiran kerajaan Majapahit pada tahun +
1525 Masehi.
Sebagai pelajaran sejarah, semua
kejadian tersebut menunjukkan bahwa masalah
banjir dan kekeringan, apalagi yang terjadi di
ibukota pemerintahan atau mengganggu pintu
gerbang perdagangan internasionalnya, dapat
berakibat
fatal,
meruntuhkan
eksistensi

kerajaannya.
Ketersediaan Air
Ketersediaan air dapat dikaji dari
pengertian air sebagai ”modal alami” yang
keberadaannya disuatu tempat dipengaruhi oleh
kondisi : Hidrometeorologi, Topografi, Geologi,
Hidraulik, Geografi. Semua hal itu secara
bersama membentuk ekosistem yang spesifik/unik
dan kodratis, harus diterima apa adanya (given).
Sebagai hasil pengaruh dari karakter
hidrometeorologi & hidrauliknya, ekosistem
tersebut bersifat: ”cyclic, dinamic, probabilistic and
stochastic”. Sehingga ekosistem sebagai habitat
mahluk hidup sangat dipengaruhi oleh kondisi
hubungan ketersediaan air dengan kebutuhan air
dari mahluk hidupnya. Dengan kata lain kualitas
daya dukung lingkungan lahannya dalam
mendukung kebutuhan hidupnya dipengaruhi juga
oleh siklus peristiwa banjir dan kekeringan yang
ada setempat, sebagai peristiwa alami.

Khususnya dari aspek keairan sebagai
sumberdaya alam yang bersifat renewable &
manageble, maka kondisi ekosistem suatu tempat
pada hakekatnya dapat diatur sesuai kehendak
manusia dengan batasan kemampuannya
didalam berkompromi mengendalikan kaidah-2
hukum alam yang berlaku. Dari uraian ini dapat
dikatakan bahwa kondisi ketersediaan air disuatu

tempat itu khas, berbeda dengan daerah lainnya,
sehingga masing masing daerah mempunyai
kompleksitas dan dinamika permasalahannya
sendiri sendiri.
Untuk kondisi ketersediaan air di
Jabodetabek, hal ini tentunya juga berlaku,
sehingga dalam mengkaji peristiwa banjir,
kekeringan dan permasalahannya, harus
memperhatikan aspek lain yang saling terkait
membentuk permasalahan yang kompleks.


Kebutuhan Air
Pertanyaan awal perlu diungkapkan
disini yaitu : Berapa kebutuhan air bagi setiap
orang perharinya? Pengertian kebutuhan
mencakup untuk : minum, makan, kesehatan,
sebagai kebutuhan primer (basic need), maupun
untuk mencukupi kebutuhan sekunder maupun
tersiernya.
Estimasi besaran kebutuhan air minimum
dapat disajikan dalam tabel dibawah.

Tabel 1. Estimasi Besaran Kebutuhan Air Minum
Jenis Kebutuhan
(orang/hari)
Primer (basic need)
1. minum
2. makan
3. lauk pauk & buah
4. kesehatan
Sekunder
1. industri produksi
2. pelayanan publik
Tersier
1. gaya hidup
2. lain lain

Jumlah
Kebutuhan

Ekivalensi dengan Jumlah Air

2-4 liter air
0.33 kg beras
lumpsum
40-80 liter air

3 liter
1l/dt/ha dlm 90 hr = 3 ton beras
30% kebutuhan makan (estimasi)
60 liter
total

lumpsum

10 – 20 % kebutuhan primer (estimasi
rerata 15 % )
total

lumpsum

Jumlah
(lt/orang/hari)
3
864
259
60
1186

178

1 – 2 % kebutuhan primer (estimasi
rerata 1.5 % )
26
total
Total jumlah kebutuhan
1390

Sebagai catatan dapat dikatakan bahwa
nilai 1390 l/orang/hari akan cenderung meningkat
dipengaruhi oleh perilaku masing masing orang
sebagai mahluk sosial.
Didalam konteks penyediaannya sampai
di konsumen besarnya kebutuhan masih
dipengaruhi oleh efisiensi pengelolaan dan
efektifitas pemanfaatannya. Hal ini berarti
dipengaruhi perilaku publik sebagai ”modal
sosial”, yang mana dapat di representasikan
kedalam bentuk kemampuan, kemauan,
komitmen-disiplin & konsistensi dari seluruh pihak
yang berkepentingan. Dengan kata lain, itu semua
adalah ”kearifan kolektif” dari seluruh
masyarakatnya didalam menegakkan nilai nilai
kebersamaan.
Permasalahan
Fenomena alami peristiwa banjir akan
terjadi ketika aliran sebagai proses instream,
melebihi kapasitasnya sehingga terjadi luapan ke

offstream, yang membentuk genangan melebihi
toleransi keberfungsian offstream sebagai wadah
seluruh aset dan aktifitas masyarakat dilakukan.
Dengan demikian kerugian dari akibat resiko
genangan menjadi harga yang harus ditanggung
oleh pihak pihak yang berkepentingan. Instream
ini terwujud dalam bentuk jaringan drainasi yang
terdiri dari tata saluran baik yang alami maupun
buatan lengkap dengan segala bangunannya.
Sebagai kriteria desain sistem drainasi
berorientasi pada pengurangan kelebihan
genangan secepatnya dan kala ulang
kemungkinan kejadiannya sejarang mungkin. Hal
ini menjadikan kapasitas saluran diusahakan
sebesar mungkin. Dengan demikian air hujan
sebagai sumber utama kelebihan air harus
secepat mungkin dibuang dari lahan.
Fenomena alami peristiwa kekeringan
terjadi ketika di offstream mengalami kekurangan
air dalam memenuhi kebutuhan bagi aktifitas yang
ada setempat. Untuk itu sering dilakukan usaha
mendatangkan air sejumlah yang dibutuhkan.

Resiko kegagalan didalam penanganan peristiwa
kekeringan dapat mengakibatkan berbagai
gangguan kerugian materiil maupun immateriil.
Kedua peristiwa alami tersebut akan
selalu berlangsung dalam satu batasan siklus
tahunan dengan jumlah total air yang relatif tetap.
Dengan demikian dalam ungkapan sederhana
peristiwa banjir dapat dipahami sebagai
keberadaan kelebihan air yang salah waktu untuk
suatu tempat. Keberadaan kelebihan air pada
waktu dan tempat yang tepat akan meningkatkan
nilai daya dukung lahannya.
Dari
uraian
kriteria
teknis
penanganannya,
diantara
kepentingan
keseimbangan hubungan ketersediaan dan
kebutuhan air disuatu lahan, terdapat adanya
konflik kriteria teknis penanganan banjir dengan
kekeringan. Dengan demikian penanganan
masalah kedua peristiwa alami tersebut dalam
satu kesatuan siklus masalah, mutlak diperlukan
guna mendapatkan hasil dan manfaat yang
optimal. Selain itu karakteristik permasalahan
kebutuhan air bersifat dinamis, semakin kompleks
dalam jumlah, kualitas maupun keandalannya,
seiring kemajuan jaman. Pengaruh pranata sosial
& perilaku masyarakat terkait dengan bencana
alam beserta permasalahannya, merupakan
modal sosial untuk mengatasinya. Dalam
ungkapan lain hal itu merepresentasikan kondisi
SDM dari semua pihak yang terkait termasuk
pemikir, pelaku sampai ke masyarakat luas yang
berinteraksi langsung dengan kedua peristiwa
alami tersebut.
Pembahasan & Usaha Peningkatan Daya
Dukung Lingkungan
Adanya perubahan tata guna lahan
melalui proses urbanisasi, biasanya berakibat
pada musim hujan terjadi peningkatan volume
aliran air dan puncak banjir, juga waktu
kedatangan puncak banjir yang semakin cepat,
didaerah hilir sungai. Selanjutnya dalam kesatuan
rentetan peristiwa alam (siklus hidrologi), hal itu
akan diikuti dengan menurunnya debit aliran
sungai di musim kemarau, yang dampaknya
berupa kekeringan dengan segala akibat bencana
pencemaran terhadap lingkungannya. Secara fisik
dimusim kemarau akan terjadi perubahan kondisi
iklim mikro yang secara langsung akan
berpengaruh
pada
kualitas
kesehatan
lingkungannya.
Disamping masalah tersebut, konflik
diantara berbagai kepentingan publik, yang
terwujud dari adanya jaringan prasarana yang

saling mengganggu, mengakibatkan hubungan
ketersediaan air dengan kebutuhan air menjadi
semakin serius berdampak negatif mempengaruhi
daya dukung lahannya. Dari kondisi ini
kanibalisme antar prasarana sungguh menjadi
bencana sekunder dari kurang mampuan para
pelaku pembangunannya didalam mengelola
pembangunan prasarana lingkungan. Disini kunci
utamanya pada koordinasi kerja diantara sektor
jaringan prasarana yang bersangkutan.
Dari uraian tersebut dapat dipahami
bahwa banjir dan kekeringan merupakan
pasangan masalah alami yang langsung
mempengaruhi hubungan antara ketersediaan
dengan kebutuhan airnya. Dampak interaksinya
secara langsung mempengaruhi daya dukung
lingkungannya, karena peran air yang strategis
sebagai basic need dari kehidupan dalam arti
luas. Untuk itu cara pandang dan strategi yang
tepat
menuntut
keserba
cakupan
(comprehensiveness) dan konsistensi didalam
penanganan masalahnya.
Mengingat peran air sangat strategis
didalam penentuan besarnya daya dukung
lingkungan khususnya di lahan dimana seluruh
aset dan aktivitas kehidupan kemasyarakatan
berlangsung, maka perlu di cari konsep langkah
serbacakup yang akan mampu mengantar pada
langkah langkah konkrit yang tepat. Untuk itu
disini diusulkan suatu konsep strategi : Triple
“E” (problems) versus Triple “E” (solution),
yang uraiannya seperti tersebut dibawah.
Problems
1. Environment
Dari peristiwa banjir & kekeringan
memunculkan
problem
kesehatan
lingkungan, kuantitas & kualitas ketersediaan
air dan iklim mikro diwilayah setempat, yang
kondisinya berada dibawah pengaruh hukum
alam (sebagai modal alami SDA). Akibatnya
daya dukung lingkungan akan mengalami
evolusi-degradasi.
2. Equity
HAM bagi setiap warga dalam mendapatkan
kesempatan
berbudidaya
guna
mempertahankan
hak
hidupnya,
mengandung banyak konflik kepentingan.
Disini penyelesaian masalahnya memerlukan
pendekatan optimasi dengan pertimbangan
terhadap adanya berbagai kepentingan yang
dinamis-probabilistis.
3. Economic
Proses tercapainya kesejahteraan melalui
peningkatan produktivitas lahan dan kinerja

semua pihak dalam beraktivitas, berlangsung
lambat terganggu oleh kendala masalah
banjir & kekeringan secara periodik.
Solution
1. Engineering
Diperlukan teknologi bangunan pengendali
peristiwa alam guna menekan dampak negatip
dan resiko gangguan terhadap keberlanjutan
kehidupan dan kelancaran terwujudnya
kesejahteraan masyarakat.
2. Entrepreneurship
Membuka peluang munculnya kreativitas dan
inovasi dalam tata kehidupan masyarakat (nilai
budaya dalam berbudidaya) yang hidup di
bawah pengaruh perilaku alam melalui cara
pandang sumber bencana sebagai sumber
berkah.
3. Energy
Kerja keras secara berkelanjutan berbasis
kemandirian sebagai konsekuensi kodrat
manusia yang menuntut kehidupannya
semakin baik. Dalam reelnya hal ini berupa
investasi, operasi & pemeliharaan dan
manajemen aset.
Usulan Kreativitas Untuk Jabodetabek
Karena kodrat letaknya didataran rendah
dan berhubungan langsung dengan laut, maka
tidak dapat dihindari adanya pengaruh gerakan
pasang surut muka air laut yang menyebabkan
time of drainage menjadi < 24 jam/etm. Hal ini
secara alamiah akan semakin memperparah
kondisi bencana banjir dan kekeringannya. Untuk
itu perlu diusahakan terbangunnya fasilitas
bangunan pengendali pertemuan diantara aliran
dari hulu dengan gerakan pasang surut dari laut.
Dari realita adanya kompleksitas
kepentingan yang ada didalam satuan ruang
perkotaan, maka mutlak diperlukan koordinasi
antar stakeholder dengan meletakkan air sebagai
urusan bersama dan masalah banjir beserta
kekeringannya sebagai satu kesatuan masalah
yang berkelanjutan. Cara pandang ini diharapkan
menjadikan usaha penanganan masalah bencana
lebih optimal.
Perlu diciptakan tradisi kegiatan
”kompetisi pendidikan mencintai lingkungan” bagi
masyarakat, terutama generasi mudanya secara
meluas, dengan dukungan semua pihak melalui
keputusan kebijakan publik. Partisipasi publik
menjadi kunci penting dan untuk itu pihak
pemerintah perlu menyediakan pranata yang
serius kearah itu.

Salah satu usulan kreativitas adalah
terciptanya Garden Roof bagi setiap bangunan
gedung sebagai penampung air hujan sekaligus
konservasi air dan iklim mikro di lingkungan
perkotaan. Hal ini dapat dimulai dari bangunan
milik pemerintah sebagai percontohan.
Disamping itu mutlak dilakukan
pembenahan daerah tangkapan hujan melalui
tindakan struktural maupun nonstruktural dalam
rangka tujuan konservasi tanah dan air untuk
menekan laju aliran dan proses pelumpuran di
bagian hilir. Untuk tindakan non struktural dapat
dilakukan melalui peraturan pajak bangunan dan
aktivitas yang memihak pada pelestarian
lingkungan.
Contoh Strategi Penanganan Masalah Publik
Fakta sejarah menunjukkan bahwa
banyak peninggalan dari nenek moyang
pendahulu generasi sekarang ini yang masih
eksis dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat
sampai saat ini. Ambil contoh candi Borobudur,
Prambanan dan bangunan tempo dulu lainnya,
yang kesemuanya legendaris, dapat dirasakan
kebermanfaatannya
sampai
sekarang.
Pertanyaan
muncul
:
”Apa
motivasi
pembangunnya dalam mewujudkan karya
monumental tersebut ? Adakah kepentingan diri
sendiri pada saat itu?” Dapat dipastikan visi para
pelaku sejarah tersebut menjangkau jauh
kedepan melampaui batas masa kehidupan
pribadinya. Sehingga dapat ditebak bahwa
motivasi yang muncul adalah rasa cinta kepada
anak cucunya, termasuk kita yang hidup sekarang
ini, agar kita dapat hidup lebih layak dengan
kemudahan lebih banyak.
Kesadaran kolektif yang ditanamkan oleh
para pemuka/pemimpin pada masa itu, akan arti
pentingnya cinta kepada generasi penerus,
tentunya merupakan indikator kesuksesan
community development pada masa itu, yang
berlangsung melalui proses pendidikan bukan
formal. Rasa cinta kepada anak cucu yang
meliputi anak kandung, anak didik, anak asuh,
anak buah dan anak bangsa, diyakini telah
mampu mendorong tumbuhnya motivasi untuk
berkarya
demi
kesejahteraan
generasi
penerusnya.
Kalau kesimpulan tersebut diatas benar,
pertanyaan ditujukan kepada generasi sekarang
ini : apakah kita cinta kepada generasi
mendatang, mampukah kita berkarya untuk
menunjang tercapainya kesejahteraan generasi
mendatang? Mampukah kita menghasilkan karya

monumental yang bobotnya setara dengan candi
Borobudur?
Untuk membangun kesadaran bersama
tentang makna cinta kepada generasi mendatang,
kiranya perlu disimak perjuangan sosok Sri Sultan
Hamengku Buwono IX didalam upaya
mensejahterakan rakyatnya. Kemampuannya
didalam menyelesaikan masalah dengan
mensinergikan antara : motivasi, kebersamaan,
ketekunan, komitmen dan kerja keras dari
masyarakat di Yogyakarta telah mampu
melahirkan karya monumental yang berupa
Selokan Mataram. Disini “kearifan” nyata terbaca
dari strategi “menggoreng daging dengan
menggunakan lemaknya sendiri” sebagai The
Core of Community Development yang diterapkan
secara jitu, sekaligus mampu menyelesaikan
masalah tanpa membuat masalah baru dan tujuan
mulia tercapai dengan lancar. Dijaman modern,
hal itu dinamakan End to End Solution atau win
win solution, dan dalam ungkapan tempo dulu
adalah : entuk iwake, tanpo butek banyune.
Sebagai sasarannya adalah perubahan “opini
publik” melalui rekayasa mindset untuk
menumbuhkan public trust terhadap suatu visi
bersama.
Pada waktu itu rekayasa sosialnya
melalui suatu mitos dengan ungkapan : “Yen
banyu kali Progo wis biso kawin karo banyu
kali Opak, iku tumeko jamane Ngajodjokarto
Hadiningrat gemah ripah loh jinawi”.
Kenyataannya mitos tersebut telah mampu
menggerakkan masyarakat agraris di Yogyakarta
pada waktu itu untuk membangun Selokan
Mataram. Mitos yang ditumbuhkan dimasyarakat
yang mempunyai tradisi budaya metafisik yang
kuat, merupakan strategi yang mendasari
pembangunan pertanian pada waktu itu.
Kearifan seorang HB IX telah menjelma
menjadi tindakan publik dan itu tidak melalui
proses pendidikan formal, akan tetapi melalui
pendidikan masyarakat atau bahasa sekarang
community education yang diterapkan melalui
jalur pendidikan informal dan nonformal.
Kebersamaan yang diciptakan telah mampu
menggerakkan seluruh lapisan masyarakat
sebagai stakeholder. Lebih khusus lagi beliau
mampu menanamkan kesadaran bahwa air
adalah urusan bersama dan perlu dimanfaatkan
untuk kemaslahatan umum. Adapun tindakan
publik tersebut mengandung unsur :
1. Ketekunan, dalam berusaha dalam jangka
waktu panjang dengan penuh kesabaran
dalam
menyelesaikan
setiap
masalah/tantangan.

2. Komitmen pada pencapaian tujuan utama
yaitu terciptanya kemandirian dalam
penyediaan basic need kehidupan : air,
makan, kesehatan lingkungan.
3. Kerjakeras yang melahirkan kreativitas baru
dalam keanekaragaman usaha budidaya,
indikatornya berupa bangunan monumental
sebagai prasarana irigasi yang sampai
sekarang masih terus berfungsi.
Hal itu semua pada jaman sekarang
disebut Socio-Engineering yang konon sebagai
ilmu “baru”, sedang dicari oleh banyak pakar
untuk menyelesaikan masalah krisis multidimensi
di Indonesia, termasuk masalah banjir dan
kekeringan di Jabodetabek.
Penutup
Dapatkah warga Jabodetabek generasi
sekarang ini mengatasi masalahnya berbasis rasa
cinta pada generasi penerusnya ? Atau ingin
mendapatkan predikat dari anak cucunya sebagai
“generasi parasit dan tanpa guna”? Untuk itu perlu
secara konsisten diterapkan konsep One River,
One Integrated Plan, One Management dengan
strategi mentradisikan kerja sinergi antara top
down dan bottom up sebagai kesatuan
pendekatan masalahnya. Dan untuk itu perlu
komitmen
didalam
mewujudkan
moral
pengawasan melekat yang berkelajutan yang
intinya adalah nilai nilai kedisiplinan nasional.
Akhirnya perlu dikobarkan kesadaran
dan semangat ”Perang Rakyat Semesta”
melawan bencana banjir dan kekeringan guna
mendapatkan keseimbangan hubungan antara
ketersediaan dan kebutuhan air di Jabodetabek,
dengan mengandalkan kearifan lokal dan
kreativitas berdasar perhitungan resiko, sehingga
diperoleh daya dukung lingkungan lahan yang
memadai.
Selamat berjuang. Matur Nuwun.
Lereng Merapi, 28 Februari 2007
MPBA-UGM