Analisis kebijakan perkreditan untuk pengelolaan perikanan tangkap yang berkelanjutan

(1)

UNTUK PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP

YANG BERKELANJUTAN

FATCHUDIN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Analisis Kebijakan Perkreditan Untuk Pengelolaan Perikanan Tangkap yang Berkelanjutan adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Mei 2006


(3)

Analisis Kebijakan Perkreditan untuk Pengelolaan Perikanan Tangkap yang berkelanjutan. Oleh Fatchudin, di bawah bimbingan Daniel R. Monintja., John Haluan, Akhmad Fauzi., dan Hartrisari Hardjomidjojo.

Aspek finansial merupakah salah satu kendala pengembangan perikanan di negara berkembang seperti Indonesia. Untuk mengatasi kendala tersebut, pemerintah sering melakukan kebijakan subsidi dengan memberikan kredit murah kepada nelayan agar mereka bisa meningkatkan produktifitasnya. Namun demikian efektivitas kebijakan perkreditan ini banyak menimbulkan pertanyaan khususnya bagi perikanan yang sudah dikatakan mengalami overfishing. Keberlanjutan perikanan juga merupakan salah satu isu krusial manakala kredit perikanan di berlakukan.

Studi ini secara umum ingin mengetahui dampak kebijakan perkeditan perikanan tersebut terhadap keberlanjutan usaha perikanan. Secara spesifik, studi ini ingin menjawab berbagai pertanyaan menyangkut efektvitas kebijakan perkreditan pada tingkat makro dan juga tingkat mikro operasional. Keberlanjutan usaha perikanan diukur dari dampak kredit terhadap sumber daya, input yang digunakan (effort) dan tingkat produksi lestari dan aktual. Selain itu studi ini juga melakukan analisis risiko untuk mengetahui risiko kredit, yang semestinya harus diperhitungkan untuk sektor perikanan.

Studi dilakukan di wilayah perikanan pantai utara Jawa Tengah khususnya di wilayah Pekalongan dari mulai bulan Juli hingga Desember 2005. Unit analisis adalah perikanan skala kecil di bawah 30 GT penerima kredit dan bukan penerima kredit, serta usaha perikanan dengan kredit skala besar yang diberikan oleh BRI Cabang Pekalongan.

Hasil studi menunjukkan bahwa dalam konteks makro, kebijakan perkreditan perikanan belum terintegrasi secara utuh karena belum diperhitungkannya aspek sumber daya perikanan dalam pemberian kredit. Dalam skala mikro, pemberian kredit dalam jangka panjang tidak berpengaruh nyata dalam meningkatkan produktifitas nelayan, bahkan dalam jangka panjang bisa menurunkan produksi lestari dan meningkatnya effort. Efisiensi kredit pada skala mikro juga diketahui berkisar antara Rp 7 sampai 10 juta rupiah. Lebih dari nilai tersebut kredit tidak akan efektif. Volatility dari usaha perikanan rata-rata sekitar 9%. Nilai ini lebih besar jika dihitung berdasarkan volatility kredir bank semata yang berkisar 1%. Sebuah model yang disebut sebagai RESCRA diajukan untuk dijadikan model pengelolaan kredit. Model ini sudah mengakomodasi keberlanjutan, efisiensi dan pemberdayaan nelayan kecil sebagaimana diamanahkan oleh UU No 31 tahun 2004 tentang perikanan.

Disarankan bahwa pemerintah melihat tipologi kredit dan sumber daya perikanan dalam menjalankan program kreditnya. Disarankan juga bahwa aliansi strategis antara kebijakan konvesional perikanan dengan kebijakan perkreditan dilakukan pada tahap awal

assessment perkreditan sehingga kredit perikanan akan lebih efektif. Ke depan risiko internal dan eksternal perikanan juga hendaknya dihitung dalam pemberian kredit.

Kata kunci : Kebijakan perkreditan, perikanan tangkap, keberlanjutan, analisis risiko, model RESCRA, Pekalongan


(4)

Analysis of Fishery Credits Program for Sustainable Capture Fisheries. By:Fatchudin, Under supervision of Daniel R. Moninjta., John Haluan., Akhmad Fauzi., and Hartrisari Hardjomidjojo.

Financial aspect has been acknowledged as one of constraints facing by fishing industries, especially in developing countries such as Indonesia. To overcome such a constraint, government often provides credit programs for the fishermen. The effectiveness of the credit program, especially for the fishery which has experienced overfishing would be questionable. The sustainability of the fishery is also an issue whenever the credit program takes place.

This research aims to seek the answer of credit effectiveness to the small-scale fishery. Particularly, this study is aimed to find the typology of the fishery credits on macro scale, the impact of the credit programs to the sustainability of the fishery including the resource state, the production as well as inputs used in the fishery. In addition, the study also aims to determine the risk of credit program by employing risk analyses.

The study was conducted in the fishing area of the north coast of central java in the Pekalongan regency. Unit of analysis include fishermen with credit program as well as those fisherment not receiving the credit. The study also includes large scale fishermen who receive large credit scheme for the local bank.

Results from study show that on macro perspective, the credit programs aimed for fisheries are not yet designed comprehensively since no integrated assessment has been done to review the credits before they are implemented. On micro perspective, there is no significant differences among fishermen receiving credits with those who are not receiving credits in terms of their productivity and efficiency. Fishery credit in the long run will affect the sustainability of the fisheries by lowering sustainable yield. An efficient Micro credit would range from Rp 7 million to Rp 10 million, while credit will eventually increase effort and reduce sustainable yield. The risk of fishery credit on average is around 9% of the production variance. A new model so called RESCRA model is proposed to administer the credit program for fisheries development. This model takes into account sustainability, efficiency and empowerement aspects of small scale fisheries as stipulated by Fisheries Act No 31/2004.

It is suggested that government follow the typological credit and fisheries when implementing credit programs. It is also recommended that strategic alliance between fisheries program and credit program be adopted for the sustainable fisheries. In the future it should be noted that the risk analysis should be also calculated for the fisheries so that it will not undervalue the risk bears by the fisheries sector.

Key words : Credit program, capture fisheries, sustainability, risk analysis, RESCRA model, Pekalongan


(5)

© Hak cipta milik Fatchudin, tahun 2006 Hak cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak,


(6)

UNTUK PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP

YANG BERKELANJUTAN

Oleh : FATCHUDIN

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

SEKOLAH PASCASARJANA

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(7)

Nama Mahasiswa : Fatchudin Nomor Pokok : C 526010204 Program Studi : Teknologi Kelautan

Disetujui : Komisi Pembimbing,

Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja Ketua

Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc Anggota

Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc Anggota

Dr. Ir. Hartrisari H. DEA Anggota

Diketahui :

Ketua Program Studi Teknologi Kelautan,

Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc

Dekan Sekolah Pascasarjana,

Prof. Dr. Ir. Sjafrida Manuwoto, M.Sc


(8)

(Dan, Dia telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah itu sangat besar).

(QS.An-Nisa : 113) Kebodohan merupakan tanda kematian jiwa, terbunuhnya kehidupan

dan membusuknya umur. (Sesungguhnya, Aku mengingatkan kepadamu supaya kamu tidak termasuk

orang-orang yang tidak berpengetahuan) (QS. Hud : 46 )

Sebaliknya, ilmu adalah cahaya bagi hati nurani, kehidupan bagi ruh dan bahan bakar bagi tabiat. (Dan, apakah orang yang mati kemudian Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya

yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan ditengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang

berkali-kali tidak dapat keluar daripadanya ? ) (QS.Al-An’am :122) Kebahagiaan, kedamaian dan ketenteraman hati senantiasa berawal dari ilmu pengetahuan. Itu terjadi karena ilmu mampu menembus yang samar, menemukan sesuatu yang hilang, dan menyingkap yang tersembunyi. Selain itu naluri dan jiwa manusia adalah selalu ingin mengetahui hal-hal yang baru dan ingin

mengungkap sesuatu yang menarik. Kebodohan itu sangat membosankan dan menyedihkan. Pasalnya, ia tidak pernah memunculkan hal yang baru yang lebih menarik dan segar, yang kemarin seperti hari ini, dan yang hari inipun akan sama dengan yang akan terjadi esok hari. Bila anda ingin senantiasa bahagia, tuntutlah ilmu, galilah pengetahuan, dan raihlah pelbagai manfaat, niscaya semua kesedihan, kepedihan dan kecemasan itu akan sirna. (Dan,katakanlah : ”Ya Rabb-ku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan”) (QS. Thaha :114) (Bacalah dengan nama Rabb-mu yang menciptakan) (QS.Al-Alaq: 1) Kegembiraan karena ilmu itu akan abadi, kemuliaan akan ilmu akan lestari, dan ketenaran karena ilmu akan kekal. Sedangkan kegembiraan karena harta akan mudah sirna, kemuliaan yang disebabkan harta akan mengarah kepada kehancuran, dan ketenaran karena harta akan memudar. Allahumma inni ’Auudzubika min ’ilmin laa yanfa’ , wa Qolbin laa Yakhsya’, wa Amalin laa Yurfa’, wa Do’ain laa Yusma’ , Birohmatika yaa Arhamar Roohimiin. ( Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadaMu ya Allah dari ilmu yang tidak bermanfaat,dan hati yang tidak khusyu, dan amal (perilaku) yang tidak diangkat, dan Do’a yang tidak didengar, dengan rahmatMu wahai Dzat yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang)


(9)

PRAKATA

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, akhirnya penulisan disertasi yang menjadi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Sekolah Pascasarjana (SPs) IPB dapat penulis selesaikan diantara kesibukan dan aktivitas harian penulis dalam tugas kedinasan di PT. Bank Tabungan Negara (Persero).

Sudah lama dalam pemikiran penulis sebagai praktisi perbankan yang berlatar belakang pendidikan Sarjana Perikanan IPB, terobsesi merancang sebuah kebijakan finansial yang dapat mengakselerasi pembangunan perikanan secara berkelanjutan yang berbasis manajemen risiko dan prudential banking practices. Penulis menyadari bahwa hal tersebut memerlukan pendekatan yang menyeluruh antara berbagai variabel yang berpengaruh dominan dalam pengelolaan sumber dayaperikanan.

Kesadaran inilah yang mendasari kerangka berpikir penulis dalam mencari solusi atas berbagai masalah dalam pengelolaan perikanan untuk peningkatan kesejahteraan nelayan khususnya dan masyarakat pada umumnya. Dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia, dari aspek politik negara sektor perikanan dan kelautan baru mendapatkan landasan yang strategis sejak pemerintahan Presiden Abdurachman Wahid yang membentuk Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Momentum ini memberikan spirit penulis untuk turut memberikan pemikiran hal-hal yang sebaiknya harus menjadi dasar dalam mengelola pembangunan sektor kelautan dan perikanan nasional kedepan secara profesional dalam perspektif seorang bankir, untuk kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Memadukan pengalaman empiris selama 31 tahun bekerja di dunia perbankan nasional (25 tahun di PT. Bank BRI Tbk dan 6 tahun di PT. Bank BTN), serta kesempatan mengikuti studi pada Sekolah Pascasarjana (SPs) IPB yang membuka Kelas Khusus pada tahun kuliah 2001/2002 untuk Program Studi Teknologi Kelautan, Sub Program Studi Perencanaan Pembangunan Kelautan dan Perikanan, semakin meningkatkan minat dan pendalaman penulis untuk


(10)

menyusun sebuah disertasi yang berjudul: “Analisis Kebijakan Perkreditan untuk Pembangunan Perikanan Tangkap yang Berkelanjutan”.

Analisis ini mengaitkan konsep berpikir bioekonomi dengan pendekatan manajemen risiko dari aspek perbankannya. Oleh karena itu pengembangan fungsi produksi lestari sumber daya perikanan dilakukan dengan memasukkan finansial faktor, sehingga menghasilkan temuan baru ”Formula F2” yang merupakan inisial dari penulis dan pembimbing (Fatchudin & Fauzi).

Dengan dukungan dan bimbingan Prof. Dr. Ir. Daniel R.Monintja, M.Sc sebagai Ketua Komisi Pembimbing, serta Prof. Dr. Ir. John Haluan M.Sc, Dr. Ir. Hartrisari Hardjomidjojo, DEA dan Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc masing masing sebagai anggota Komisi Pembimbing, akhirnya penyusunan disertasi dari penelitian yang dilakukan sejak bulan Agustus sampai dengan Desember 2005 diwilayah perairan Pekalongan dapat diselesaikan. Untuk hal tersebut pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang tulus, kepada Bapak-Bapak dan Ibu Komisi Pembimbing atas segala pengetahuan maupun ilmu yang telah diberikan, saran, kritik serta diskusi yang intens maupun koreksi yang disampaikan untuk kesempurnaan hasil penelitian ini.

Disertasi ini juga tidak akan terwujud tanpa iklim yang kondusif, pengorbanan dan semangat yang konstruktif dari anggota keluarga yang terus diberikan kepada penulis. Untuk itu penghargaan dan terima kasih secara khusus ingin penulis sampaikan kepada istri tercinta Hj. Agustini Zamiruddin, serta kedua anak penulis yaitu Emri Wirawan, S.E, MM dan Edwin Ramadhani, B.Eng,S.T, M.Eng.

Dari lubuk hati yang paling dalam, penghargaan serta terima kasih juga ingin penulis ungkapkan atas keteladanan yang diberikan Ayahanda Almarhum H. Machali dan doa restu dari Ibunda penulis H. Churaesih, dukungan moral dari keluarga besar penulis di Brebes maupun Kediri, yang turut memberikan banyak inspirasi dalam menyelesaikan disertasi ini. Juga keikhlasan doa dan bimbingan dari Bapak KH. Abdullah A.Fatah (Almarhum) serta keluarga besar Pondok Pesantren Bahrul Maghfiroh Malang yang diasuh oleh Gus Lukman, semuanya telah memberikan spirit tersendiri bagi penyelesaian studi program Doktor dari penulis.


(11)

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Suzy Anna, M.Si yang turut membantu dalam verifikasi data lapangan di Wonokerto Pekalongan, Pak Bambang Iman Santoso dan seluruh staf di BRI Pekalongan (Pak Rochadi cs), teman-teman di Kantor Pusat Bank BRI dan Bank BTN atas segala dukungan yang diberikan kepada penulis dalam menyusun dan menyelesaikan disertasi ini. Kepada tim kreatif dan akomodasi masing-masing : Benny Osta Nababan, Yesi Dewita Sari, A. Dyna R, Shinta dan Sofi serta Ridwan dan Wasir, juga rekan-rekan lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah membantu moril maupun materil, tidak lupa penulis menghaturkan banyak terima kasih dan semoga semuanya menjadi amal soleh Bapak dan Ibu sekalian.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa hasil penelitian dalam disertasi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saran dan koreksi serta pengembangan lebih lanjut sangat diperlukan dalam penelitian-penelitian yang selanjutnya. Akhirnya penulis berharap disertasi ini dapat memberikan makna dan manfaat, tidak hanya bagi perkembangan ilmu pengetahuan tetapi juga untuk pembangunan nasional serta kesejahteraan rakyat Indonesia dalam mengelola potensi sumber daya kelautan dan perikanannya secara berkelanjutan. Semoga Allah SWT memberkahi langkah-langkah kita bersama. Amin Ya Robbal Alamin.

Bogor, Mei 2006


(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Brebes pada tanggal 4 Juni 1950, merupakan anak

kelima dari sembilan bersaudara keluarga Bapak H. Machali (Alm) dan Ibu Hj. Churaesih. Pendidikan Sekolah Rakyat (Sekolah Dasar), Sekolah

Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) diselesaikannya di kota Brebes, masing-masing pada tahun 1962, 1965 dan 1968. Setelah menamatkan pendidikan di SMA Negeri 1 Jurusan Ilmu Pasti kemudian melanjutkan pendidikannya di Institut Pertanian Bogor dan terdaftar sebagai mahasiswa IPB Fakultas Perikanan pada tanggal 24 Februari 1969. Pendidikan Sarjana Perikanan diselesaikannya pada tanggal 5 April 1975 di Fakultas Perikanan IPB dengan skripsi penelitian di bidang Teknik Penangkapan berjudul “Suatu Penelitian Tentang Perikanan “Purse Seine” di Muncar”, di bawah bimbingan Bapak Ir. Ayodhyoa, M.Sc (Alm), Ir. Wisnu Gunarso (Alm), dan Ir. Daniel R.O. Monintja.

Selepas meraih gelar Insinyur dari IPB, penulis sempat beberapa bulan menjadi calon pegawai di Departemen Pertanian Direktorat Jendral Perikanan yang berkantor di Salemba Jakarta. Selanjutnya mengikuti proses rekruitmen calon staf pimpinan cabang di Bank BRI, lulus dan diterima menjadi trainee calon pegawai BRI terhitung mulai 18 Agustus 1975, berturut-turut ditugaskan di BRI cabang Tabanan Bali, BRI Nganjuk dan pada tahun 1979 menjadi Staf pada Biro Kredit Tani dan Nelayan Kantor Besar BRI di Jalan Veteran Jakarta.

Perjalanan karir penulis meraih jabatan struktural pertama di BRI dimulai pada tahun 1981 ketika mendapat pengangkatan sebagai Wakil Kepala Kantor Cabang di Ujung Pandang, kemudian pada tahun 1983 sampai dengan tahun 1986 menjabat sebagai Kepala Cabang BRI Bau-Bau di Pulau Buton. Berbagai jabatan struktural lainnya terus dilalui dalam 25 tahun perjalanan karir menjadi praktisi perbankan di BRI, seperti menjadi Kepala Cabang BRI di Cikampek, di Karawang dan di Padang.

Pada tahun 1993 penulis diangkat menjadi Wakil Kepala Wilayah BRI di Denpasar, selanjutnya pada 1995 menjabat sebagai Kepala Divisi Mikro Banking Kantor Pusat BRI di jalan Jenderal Sudirman Jakarta. Penugasan operasional


(13)

lapangan selanjutnya adalah sebagai Pemimpin Wilayah (Pinwil) BRI masing-masing di Manado (1997), Makassar (1998) dan Pemimpin Wilayah (Pinwil) BRI Jawa Barat di Bandung pada tahun 1999, dimana pada 1998 penulis meraih pangkat tertinggi untuk seorang pegawai BRI yaitu F.VI Direktur Muda BRI. Pada tahun 1999 sampai dengan 2000 penulis ditugaskan menjadi Kepala Divisi Manajemen Sumber Daya Manusia BRI di Kantor Pusat Jakarta, yang merupakan penugasan akhir penulis di Bank BRI sampai dengan 15 Mei 2000.

Setelah melalui proses Fit and Proper Test di Bank Indonesia, selanjutnya dengan Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 145/KMK.01/2000 tanggal 16 Mei 2000, penulis mendapat tugas sebagai dengan Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No 145/KMK.01/2000 tanggal 16 Mei 2000, penulis mendapat tugas sebagai Direktur di Bank BTN selama satu periode (5 Tahun) sampai dengan 15 Mei 2005. Selanjutnya dengan Surat Menteri BUMN No.S.169/MBU/2005 tanggal 16 Mei 2005, sambil menunggu ditetapkannya pengangkatan Direksi PT. Bank Tabungan Negara (Persero) untuk masa jabatan berikutnya, diminta untuk tetap menjalankan tugas, wewenang dan kewajiban sebagai Direktur PT. Bank Tabungan Negara (Persero) sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar Perseroan dan Ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.

Jenjang pendidikan formal lainnya yakni pendidikan S2 yang dijalaninya atas biaya sendiri saat bertugas di Jakarta sebagai Kepala Divisi Mikro Banking BRI pada tahun 1995 di Universitas Persada Indonesia Y.A.I. Jakarta pada Program Pasca Sarjana, program studi Manajemen Pemasaran dan berhasil meraih gelar Magister Manajemen pada tanggal 10 Desember 1998.

Berbagai pendidikan profesional perbankan penulis ikuti baik didalam maupun diluar negeri diantaranya Sespibank, Sertifikasi Manajemen Risiko,

Advanced Bank Management Program, Establishing Micro Banking Industry, dan

Mico Finance Training. Pada tahun 2001 penulis mendapat penawaran melalui Surat No.1037/K13.8/KM/2001 tanggal 23 Juli dari Program Pasca Sarjana IPB yang ditandatangani oleh Prof. Dr. Daniel R. Monintja untuk bergabung dalam Program Doktor dibidang Perencanaan Pembangunan Kelautan dan Perikanan dalam bentuk Kelas Khusus. Dengan rekomendasi dari Prof.Dr.Muchtar Talib,


(14)

MBA.Akt, selaku Direktur Program Pasca Sarjana UPI YAI serta Dr. Hamdy Hady selaku Ketua Program Studi MM UPI YAI dan Dr. Ir. Enang Haris, M.Si selaku Dekan Fakultas Perikanan IPB, serta melalui proses seleksi yang diadakan, penulis dinyatakan dapat diterima sebagai mahasiswa Sekolah Pasca Sarjana (SPs) IPB Tahun Akademik 2001/2002, atas biaya sendiri, sebagaimana dinyatakan dalam Surat dari Direktur Sekolah Pascasarjana (SPs) Institut Pertanian Bogor (IPB) No.1427/K.13.8/pp/2001 tanggal 12 Oktober 2001 yang ditandatangani oleh Prof. Dr. Ir. Sjafrida Manuwoto.

Secara formal keikutsertaan penulis dalam Program Doktor di IPB juga mendapat izin serta dukungan dari Bapak Drs. Kodradi selaku Dirut Bank BTN maupun dari Komisaris Bank BTN yaitu Bapak Prof. Dr. Mas’ud Machfoedz dan Bapak Drs. Daryono Raharjdo, MM dalam Surat Komisaris Nomor 25/DK/BTN/X/2001, dalam tanggal 25 Oktober 2001.

Penulis menikah dengan Agustini Zamiruddin pada tanggal 1 April 1978 di Kota Kediri dan dikaruniai dua orang anak yaitu : Emri Wirawan, S.E., MM. (lahir di Kediri, 15 Februari 1979) dan Edwin Ramadhani, B.Eng., S.T, M.Eng. (lahir di Ujung Pandang , 21 Juli 1982).


(15)

DAFTAR ISI

Halaman

PRAKATA ... viii

RIWAYAT HIDUP ... xi

DAFTAR ISI ... xiv

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

1 PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang Masalah... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 10

1.3 Tujuan Penelitian ... 12

1.3.1 Tujuan Umum ... 12

1.3.2 Tujuan Khusus ... 12

1.4 Kerangka Pemikiran ... 13

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 19

2.1 Kebijakan Kredit Perikanan Tangkap ... 19

2.2 Pengelolaan Sumber Daya Perikanan ... 28

2.3 Analisis Efisiensi Kebijakan Kredit Perikanan ... 33

2.4 Analisis Systems Dynamic... 40

2.5 Manajemen Risiko dalam Perencanaan Pemberian Kredit ... 42

3 METODE PENELITIAN ... 47

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 47

3.2 Tahapan-Tahapan Penelitian... 48

3.3 Metode Pengambilan Sampel... 49

3.4 Metode Analisis Data... 50

3.4.1 Evaluasi Kebijakan Kredit ... 50


(16)

Halaman

3.4.3 Analisis Sistem Dinamik... 60

3.4.4 Analisis Risiko ... 63

4 ANALISIS KEBIJAKAN MAKRO PERKREDITAN PERIKANAN . 68 4.1 Perkembangan Perkreditan Perikanan dalam Skala Nasional... 68

4.2 Tipologi Perkreditan Perikanan dalam Konteks Makro... 75

4.3 Efektivitas Perkreditan Perikanan ... 79

5 ANALISIS KEBIJAKAN MIKRO PERKREDITAN PERIKANAN... 83

5.1 Gambaran Umum Perkreditan pada Level Mikro ... 83

5.2 Analisis Efisiensi Kredit Perikanan ... 91

5.3 Analisis Perbandingan Pengaruh Kredit ... 106

5.4 Analisis Pengaruh Kredit Pada Pola Usaha Perikanan ... 108

5.5 Analisis Sistem Dinamik Kredit Perikanan pada Skala Mikro ... 109

5.6 Analisis Bioekonomi Dampak Kredit terhadap Pengelolaan Perikanan ... 116

5.7 Analisis Risiko ... 122

6 IMPLIKASI KEBIJAKAN ... 130

7 KESIMPULAN DAN SARAN ... 139

DAFTAR PUSTAKA ... 143


(17)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 PDB sektor perikanan tahun 2000-2005 (atas dasar harga konstan

tahun 2000) ... 2

2 Perkembangan outstanding kredit sesuai sektor ekonomi pada Bank Persero 1997-2001 ... 6

3 Perkembangan investasi PMA untuk 3 sektor ekonomi 1997-2001 ... 7

4 Perkembangan investasi sektor perikanan tahun 2001-2005 ... 8

5 Primal-Dual Corresponding of DEA... 36

6 Data pinjaman sektor perikanan 2004-2005 (Rp juta) ... 73

7 Matriks tipe kredit perikanan dan karakteristiknya... 76

8 Tipologi kredit perikanan... 78

9 Input-output DMU nelayan motor tempel penerima kredit Kecamatan Wonokerto, Pekalongan... 91

10 Skor efisiensi nelayan motor tempel penerima kredit dengan asumsi minimizing input... 93

11 Skor efisiensi nelayan motor tempel penerima kredit dengan asumsi maximizing output... 95

12 Data input dan output dengan trip... 98

13 Skor efisisensi DMU nelayan motor tempel penerima kredit pada model tambahan input trip... 99

14 Data input output untuk setiap DMU pada perikanan di bawah 30 GT tanpa kredit ... 101

15 Skor efisiensi setiap DMU perikanan di bawah 30 GT tanpa kredit... 101

16 Data input output untuk setiap DMU pada perikanan di atas 30 GT ... 104

17 Skor efisiensi setiap DMU perikanan di atas 30 GT tanpa kredit... 105

18 Perbandingan hasil regresi kualitatif... 107

19 Dampak kredit terhadap variabel input dan pada dua rezim yang berbeda ... 118

20 Analisis risiko kapal di bawah 30 GT ... 125

21 Pinjaman kredit dan nilai agunan skala besar ... 127


(18)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka pikir studi... 14

2 Keterkaitan komponen kapital dalam pengelolaan sumber daya perikanan yang berkelanjutan ... 15

3 Triple bottom line pemanfaatan sumber daya (UNEP, 2004)... 27

4 Kurva pertumbuhan ikan dan maksimum pertumbuhan (Fauzi, 2004) ... 29

5 Kurva yield effort untuk perikanan (Fauzi, 2004)... 31

6 Pendekatan bioekonomi MEY (Fauzi, 2004) ... 32

7 Perancangan model systems dynamic... 41

8 Lokasi penelitian... 47

9 Tahapan penelitian ... 49

10 Tipologi perkreditan di sektor perikanan... 51

11 Kurva backward bending pada produksi sumber daya ikan ... 55

12 Dampak pemberian kredit terhadap produksi perikanan tangkap... 58

13 Dampak pemberian kredit terhadap produksi perikanan dengan sumber daya perikanan masih under exploited ... 59

14 Dampak pemberian kredit terhadap peningkatan nilai tambah dan pengaruhnya terhadap penerimaan ... 60

15 Analisis sistem dinamik kredit perikanan ... 61

16 Analisis risiko dengan metode delta-EVT dan risiko perikanan ... 64

17 Pemetaan penelitian ... 65

18 Teknik analisis data primer dan sekunder ... 66

19 Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ... 67

20 Trend penyaluran kredit perikanan tangkap periode tahun 1990an... 73

21 Mekanisme penyediaan jaminan kredit perikanan ... 82

22 Flow chart alur proses putusan KUPEDES Kaunit ... 85

23 Flow chart alur proses putusan KUPEDES Pinca (tanpa AMBM dan MBM)... 86

24 Efisiensi plot nelayan motor tempel penerima kredit dengan asumsi minimizing input ... 94

25 Diagram pie nelayan motor tempel penerima kredit untuk total potential improvement dari input output dengan minimizing input... 95


(19)

Halaman

26 Distribusi skor dari DMU nelayan motor tempel penerima kredit ... 96

27 Analisis frontierplot nelayan motor tempel penerima kredit pada model maximizing output... 97

28 Diagram pie total potential improvement nelayan motor tempel penerima kredit pada model tambahan inputtrip... 100

29 Distribusi skor dari DMU nelayan motor tempel tanpa kredit ... 102

30 Diagram pie total potential improvement nelayan motor tempel tanpa pada model tambahan inputtrip... 103

31 Grafik distribusi skor pada DMU yang diuji ... 105

32 Total potential improvement pada model minimisasi input perikanan di atas 30 GT tanpa kredit ... 106

33 Total potential improvement pada model maksimisasi output perikanan di atas 30 GT tanpa kredit ... 106

34 Simulasi sistem dinamis dengan software VENSIM ... 110

35 Trajektori stok ikan dalam jangka panjang akibat interaksi dengan sistem lain ... 111

36 Trajektori pola perubahan stok ikan (DX) dalam jangka panjang... 112

37 Trajektori effort dalam jangka panjang akibat kredit... 113

38 Trajektori perubahan effort dalam jangka panjang ... 114

39 Dampak kredit terhadap trajektori produksi ... 115

40 Kurva yield-effort dengan dan tanpa kredit perikanan ... 117

41 Input dan output dalam rezim MEY ... 120

42 Produksi lestari dalam rezim open access dengan kredit dan tanpa kredit 120 43 Jumlah input (trip) dalam kondisi open access dengan kredit dan tanpa kredit ... 121

44 Kurva total revenue dan total cost dengan kredit dan tanpa kredit ... 121

45 Keragaman produksi nelayan di bawah 30 GT dengan kredit ... 124

46 Keragaman produksi nelayan di bawah 30 GT tanpa kredit ... 124

47 Kurva efektivitas kredit terhadap waktu ... 132

48 Kurva efisiensi kredit terhadap besaran kredit ... 132

49 Two-tier policy kebijakan perkreditan dengan rasionalisasi... 134


(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Kredit perikanan BRI Kantor Cabang Pekalongan ... 150

2. Daftar nasabah usaha perikanan BRI Kantor Cabang Pekalongan ... 151

3. Daftar nasabah usaha perdagangan/industri BRI Kantor Cabang Pekalongan ... 152

4. Daftar nasabah usaha perikanan BRI Kantor Cabang Pekalongan Unit Wonokerto ... 153

5. Algoritma analisis bioekonomi dengan software MAPLE ... 154

6. Hasil analisis regresi ... 159

7. Output hasil simulasi sistem dinamik ... 164

8. Algoritma sistem dinamik dengan software VENSIM ... 167

9. Armada perikanan di PPN Pekalongan (tanpa kredit) ... 169

10. Armada perikanan di Wonokerto (kredit) ... 170

11. Hasil DEA untuk Armada > 30 GT dengan maksimum output ... 171

12. Parameter-parameter DEA untuk armada > 30 GT dengan maksimum output ... 183

13. Hasil DEA untuk armada > 30 GT dengan minimum input ... 184

14. Parameter-parameter DEA untuk armada > 30 GT dengan minimum input... 196

15. Hasil DEA untuk armada < 30 GT dengan maksimum output (non kredit) ... 197

16. Parameter-parameter DEA untuk armada < 30 GT dengan maksimum output (non kredit) ... 209

17. Hasil DEA untuk armada < 30 GT dengan minimum input (non kredit) ... 210

18. Parameter-parameter DEA untuk armada < 30 GT dengan minimum input (non kredit) ... 222

19. Hasil DEA untuk armada < 30 GT dengan maksimum output (no trip) ... 223

20. Parameter-parameter DEA untuk armada < 30 GT dengan maksimum output (notrip) ... 234

21. Hasil DEA untuk armada < 30 GT dengan minimum input (no trip) . 235 22. Parameter-parameter DEA untuk armada < 30 GT dengan minimum input (no trip) ... 246


(21)

Halaman

23. Regresi produksi versus trip, DMU dan variabel dummy dengan kredit dan tanpa kredit ... 247 24. Dokumentasi survei lapang ... 248


(22)

1.1 Latar Belakang Masalah

Pembangunan perikanan di Indonesia pada dasarnya adalah pembangunan yang berpihak kepada 3 (tiga) hal, yaitu pertumbuhan ekonomi, penyusutan lapangan kerja dan penurunan tingkat kemiskinan (pro growth, pro job dan pro poor). Seperti negara-negara berkembang lainnya yang banyak memiliki kendala, sumber daya perikanan sebenarnya mampu memberikan manfaat untuk kesejahteraan rakyat namun masih belum banyak terealisasikan.

Perencanaan dan pembangunan sektor perikanan yang telah dilaksanakan di Indonesia selama masa orde baru hingga saat ini ternyata belum berlangsung dengan baik. Pembangunan perikanan selama ini belum mampu secara optimal memberikan kontribusi ekonomi yang berarti bagi perolehan devisa negara, penyediaan lapangan kerja, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan nelayan serta petani ikan, serta perkembangan industrialisasi.

Meskipun demikian dilihat dari sisi kontribusi sektor perikanan terhadap PDB Nasional ada kecenderungan peningkatan kontribusi sektor perikanan terhadap PDB. Menurut Mulyadi (2005), selama periode 1992–1996, PDB sektor perikanan meningkat rata-rata 6,8 persen per tahun, yaitu dari Rp. 4.662,3 milyar pada tahun 1992 menjadi Rp.6.248,4 milyar pada tahun 1996. Kemudian setelah berdirinya Departemen Kelautan dan Perikanan PDB sektor perikanan terus meningkat secara nominal selama periode tahun 2000 sampai dengan tahun 2005. Tabel 1 berikut ini menunjukkan peningkatan PDB sektor perikanan dari tahun 2000 sampai tahun 2005.


(23)

Tabel 1 PDB sektor perikanan tahun 2000–2005 (atas dasar harga konstan tahun 2000)

Tahun Rp. Miliar

2000 8.463,6 2001 8.897,2 2002 8.971,9 2003 9.534,2 2004 9.697,2 2005 10.059,3 Sumber : Data Statistik Bank Indonesia, 2006 (www.bi.go.id)

Saat ini sektor kelautan dan perikanan Indonesia diperkirakan memberikan kontribusi sebesar 20,06 % terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), jauh lebih kecil dibandingkan perolehan negara-negara lain dengan garis pantai yang lebih pendek, seperti Korea Selatan dan Jepang yang masing-masing telah mencapai 37 % dan 54 % dari PDB nasionalnya.

Dari sisi pemanfaatan sumber daya perikanan Indonesia, secara nasional potensi lestari (Maximum Sustainable Yield) sumber daya perikanan diperkirakan mencapai 6,4 juta ton per tahun. Potensi ini sebetulnya aman untuk diekploitasi. Akan tetapi dengan prinsip kehati-hatian terhadap kelestarian sumber daya, maka potensi itu direduksi menjadi sekitar 5,12 juta ton atau 80 % dari potensi lestari (MSY). Angka 5,12 juta ton ini menjadi batas dari jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) atau Total Allowable Catch (TAC). Bila yang menjadi rujukan limit pemanfaatan adalah angka JTB maka sebetulnya pemanfaatan sumber daya perikanan tangkap telah mencapai sekitar 90 %. Namun bila yang menjadi rujukan adalah angka MSY 6,4 juta ton maka tingkat pemanfaatannya telah mencapai 70 %. Dari kedua angka rujukan tersebut sebenarnya pemanfaatan sumber daya perikanan telah mencapai posisi kritis, yang berarti pengelolaan


(24)

sumber daya (resources management) yang berkelanjutan sudah sangat diperlukan. Dengan produksi tahun 2003 sebesar 4,4 juta ton, maka jumlah kelonggaran produksi yang masih dapat dieksploitasi adalah sekitar 720.00 ton atau 16 % dari produksi saat ini (Nikijuluw, 2005).

Namun demikian usaha untuk melakukan eksplorasi sektor perikanan tersebut mengalami banyak persoalan baik internal maupun eksternal sektor perikanan. Sektor perikanan Indonesia sebagai penghasil sumber daya alam potensial dan terbarukan (renewable) yang dapat menghasilkan bermacam produk, masih menghadapi permasalahan klasik internal. Masalah tersebut diantaranya adalah : (1) Sebagian besar nelayan masih merupakan nelayan tradisional dengan segala karakteristik sosial budaya yang memang belum kondusif untuk suatu kemajuan; (2) Struktur armada penangkapan yang masih didominasi oleh skala kecil/tradisional dengan kemampuan IPTEK yang rendah; (3) Tingkat pemanfaatan stok ikan antara satu kawasan dengan kawasan lainnya yang masih timpang; (4) Banyaknya praktek illegal fishing, unreported fishing, unregulated, yang terjadi karena lemahnya sistem monitoring dan pengawasan serta kurangnya

law enforcement di laut perairan Indonesia; (5) Infrastruktur perikanan untuk

menunjang budidaya maupun usaha penangkapan ikan belum memadai; (6) Masalah kerusakan ekosistem dan lingkungan laut akibat penambangan dan

aktivitas manusia lainnya; (7) Rendahnya kamampuan pasca panen maupun pengolahan hasil perikanan; (8) Lemahnya market inteligence, yang meliputi penguasaan informasi tentang pesaing, segmen pasar, selera konsumen, dan akses pasar; (9) Sistem distribusi barang (delivery channel) yang continue, tepat waktu masih jauh dari memuaskan; (10) Lemahnya management information system


(25)

yang berbasis teknologi informasi dalam penyediaan data yang akurat, dan tepat waktu; (11) Belum berkembangnya bioteknologi kelautan dan perikanan; (12) Kualitas infrastruktur dan kapasitas kelembagaan di bidang kelautan dan perikanan yang belum optimal; (13) Lemahnya akses pelaku bisnis perikanan pada lembaga keuangan dan perbankan serta pasar internasional; (14) Lemahnya

Public Policy (Kebijakan Publik) dan peraturan-peraturan dibidang perikanan yang terintegrasi dengan pemangku kepentingan (stakeholder) perikanan yang lain.

Tidak dapat dipungkiri bahwa swasta, termasuk BUMN, memiliki peran yang penting sebagai pelaku utama dalam pembangunan kelautan dan perikanan Indonesia. Dengan keanekaragaman bidang usaha sektor perikanan, output sektor swasta di bidang kelautan dan perikanan masih dirasakan oleh masyarakat jauh dari optimal. Sektor swasta dalam perkembangannya telah banyak mengalami pasang surut baik yang diakibatkan oleh perubahan iklim usaha, yang dipengaruhi oleh faktor eksternal yaitu keadaan ekonomi nasional dan global maupun kondisi internal kelembagaan swasta itu sendiri yang disebabkan oleh penggunaan sumber daya yang tidak efisien dan efektif. Untuk meningkatkan peran swasta dalam mengembangkan sektor perikanan, pemerintah perlu mengambil kebijakan yang dapat mendorong sektor swasta untuk melakukan investasi di sektor perikanan tersebut. Karenanya penelitian tentang arah kebijakan pemerintah dan peran serta sektor swasta dalam mengembangkan sektor perikanan perlu dilakukan.

Dalam tataran kelembagaan, telah banyak institusi yang juga ikut berperan dalam pertumbuhan sektor perikanan. Peran yang dominan diambil oleh pemerintah sebagai lembaga pembuat peraturan dan perundang-undangan yang


(26)

dapat secara langsung mempengaruhi sektor perikanan. Pemerintah dan bank sentral serta bank umum diduga dapat mempengaruhi tingkat pertumbuhan sektor perikanan melalui kebijakan kredit dan perbankannya. Kesadaran inilah yang seharusnya timbul dari pemerintah dan bank sentral serta bank umum untuk membuat langkah-langkah strategis, terintegrasi dan bersinergi dalam meningkatkan sektor perikanan. Kebijakan dan regulasi ini diperlukan sekali agar sektor perikanan mampu memberikan output yang positif dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa mengganggu kelestarian sumber daya.

Permasalahan eksternal perikanan sendiri juga banyak dan sering berpengaruh pada permasalahan internal seperti : kebijakan dan peraturan-peraturan pemerintah, khususnya yang terkait dengan kebijakan moneter, fiskal dan kebijakan investasi, serta rendahnya pelaksanaan law enforcement, rendahnya kesadaran masyarakat tentang arti pentingnya laut, maupun permasalahan-permasalahan yang terkait dengan perubahan-perubahan lingkungan strategis lainnya. Pemerintah baik Departemen Kelautan dan Perikanan dan lembaga keuangan sudah banyak menelurkan kebijakan yang terkait dengan pengembangan sektor perikanan khususnya yang menyangkut kendala financial capital di sektor perikanan. Namun demikian, belum dapat diketahui apakah kebijakan yang dibuat pemerintah dan lembaga keuangan tersebut telah efektif meningkatkan pertumbuhan sektor perikanan atau apakah kebijakan tersebut berdampak signifikan terhadap tingkat pertumbuhan sektor perikanan. Penelitian dalam disertasi ini ingin mengetahui apakah kebijakan pemerintah dan lembaga


(27)

keuangan tersebut sudah atau belum memberikan peningkatan terhadap pertumbuhan sektor perikanan.

Selain pemerintah dan bank sentral, bank umum komersil yang mempunyai tugas sebagai development agent dengan menyalurkan pembiayaan kepada sektor perikanan seharusnya dapat memberikan kontribusi dalam meningkatkan pertumbuhan sektor perikanan. Namun demikian, belum terdapat bukti jelas tentang kontribusi bank umum komersil dalam meningkatkan sektor perikanan. Tabel 2 menunjukkan perkembangan kredit per sektor ekonomi yang diberikan oleh bank umum komersil dari tahun 1997 hingga tahun 2001.

Pada Tabel 2, tampak bahwa jumlah pemberian kredit secara keseluruhan mengalami penurunan yaitu dari Rp. 261.534 milyar di tahun 1997 menjadi Rp. 152.482 milyar di tahun 2000 dan menjadi Rp. 202.618 milyar di tahun 2001. Meskipun data untuk pemberian kredit di sektor perikanan tidak ditunjukkan dalam Tabel 2 tersebut, namun dapat diduga bahwa pemberian kredit sektor perikanan juga mengalami penurunan.

Tabel 2 Perkembangan outstanding kredit sesuai sektor ekonomi pada Bank Persero 1997 – 2001

Kredit Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing menurut Sektor Ekonomi 1) (milliar rupiah)

Rincian 1997 1998 1999 2000 Des. 2001

Kredit Dalam Rupiah 261.534 313.118 140.527 152.482 202.618 Pertanian 20. 430 29. 430 21.139 15.028 16.851

Pertambangan 2.769 2.729 879 2.879 3.676

Perindustrian 56.123 85.594 35.561 35.697 50.434 Perdagangan 57.471 59. 830 29.687 30.601 38.491 Jasa – Jasa 85.598 101.129 26.332 23.784 30.696 Lain – Lain 39.233 34.406 26.929 44.493 62. 470 1) Tidak termasuk pinjaman antar bank, pinjaman kepada pemerintah pusat & bukan penduduk,

serta nilai lawan valuta asing pinjaman investasi dalam rangka bantuan proyek Sumber : Statistik Bank Indonesia, 2002


(28)

Portofolio kredit perikanan selama orde baru besarnya tidak lebih dari 0,02% dari total kredit yang disalurkan bank-bank umum komersil. Sementara itu kegiatan investasi domestik di sektor perikanan dan kelautan tahun 1997 hingga 2000 menunjukkan nilai 1,37%. Investasi asing hanya mencapai 0,31% pada kurun waktu yang sama. Perkembangan penanaman modal dalam negeri (PMDN) maupun penanaman modal asing (PMA) yang disetujui pemerintah untuk sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan dari tahun 1997 sampai dengan 2001 dapat dilihat pada Tabel 3 dibawah ini.

Tabel 3 Perkembangan investasi PMA untuk 3 sektor ekonomi 1997 – 2001.

Jumlah1)

Sektor 1997 1998 1999 2000 2001 1998 s.d. Juli 2000

Nilaia) Proyekb)

Pertanian, Kehutanan & Perikanan 463,7 998,2 482,4 443,5 387,3 8.063,6 380

Pertanian 436,6 965,2 412,7 388,9 281,3 6.686,6 240

Kehutanan 0,0 0,0 0,0 5,0 100,5 653,1 28

Perikanan 27,1 33,0 69,7 49,6 5,5 723,9 112

1) a. Data kumulatif investasi sejak 1968 merupakan penjumlahan dari investasi baru, perluasan, alih status, perubahan dan penggabungan dikurangi pembatalan

b. Data kumulatif proyek sejak 1968 merupakan penjumlahan dari proyek baru, alih status, & penggabungan dikurangi

Pencabutan

Data terakhir kumulatif nilai investasi & proyek (PMDN) sejak th. 1968 hanya sampai juli 2000

Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal

Dari Tabel 3 ini dapat diketahui pula bahwa sektor perikanan memperoleh porsi investasi PMA yang paling kecil pada tahun 2001, yaitu hanya sebanyak $5,5 juta. Perkembangan investasi di sektor perikanan dan kelautan domestik pada periode 2001–2005 juga belum menunjukkan angka yang menggembirakan sebagaimana gambaran angka-angka dalam Tabel 4 berikut.


(29)

Tabel 4 Perkembangan investasi sektor perikanan tahun 2001 – 2005

Tahun PMA

(US $ juta)

PMDN Rp. Miliar

2001 0 0

2002 3,7 1,5

2003 26,2 94,3

2004 132,6 2,9

2005 15,4 10

Sumber : Statistik Bank Indonesia, 2006 (www.bi.go.id)

Dari data pada beberapa tabel di atas ini dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa sektor perikanan mengalami tingkat pertumbuhan yang belum menggembirakan. Khusus untuk indikator finansial (perkreditan) yang menjadi kajian dalam disertasi ini permasalahannya adalah mengapa pemberian kredit di sektor perikanan maupun gairah investasi di sektor perikanan ini belum memberikan indikasi angka-angka yang meningkat signifikan, dan faktor-faktor, peraturan atau kebijakan yang perlu dibenahi agar tingkat pertumbuhan sektor perikanan mengalami peningkatan.

Beberapa hal yang dapat diteliti lebih jauh adalah apakah kontribusi pembiayaan bank umum komersil sudah cukup signifikan sehingga mampu meningkatkan pertumbuhan sektor perikanan? Ataukah kontribusi pembiayaan bank umum komersil belum cukup signifikan dalam meningkatkan pertumbuhan sektor perikanan. Disertasi ini mencoba pula meneliti peran pembiayaan bank umum komersil dalam meningkatkan pertumbuhan sektor perikanan.

Analisis tentang lingkungan bisnis dari sektor perikanan dan sektor ekonomi secara nasional menunjukkan bahwa terdapat tantangan yang harus dicermati. Tantangan yang perlu diantisipasi adalah perubahan lingkungan


(30)

strategis baru, dimana era perdagangan bebas Asean Free Trade Area (AFTA) telah dimulai pada 2003, sementara liberalisasi perdagangan dunia World Trade Organization (WTO) akan terjadi pada 2020. Untuk mengantisipasi dampak liberalisasi perdagangan bebas ini harus ada kesadaran bersama sebagai bangsa bahwa era ini merupakan pedang bermata dua (doubled edged sword), yang pada satu sisi menyodorkan peluang (opportunity) tetapi pada sisi lain sesungguhnya juga merupakan ancaman (threat). Khususnya tentang ancaman di sektor perikanan ini, timbul karena tiadanya hambatan bagi produk perikanan asing masuk ke Indonesia. Demikian pula tuntutan adanya treatment yang sama dengan penghapusan subsidi dan proteksi, penghapusan tarif dan lain sebagainya dapat menghambat laju pertumbuhan sektor perikanan.

Fenomena perdagangan bebas dalam era globalisasi telah melahirkan neo- kolonialisme baru dalam bidang ekonomi. Hal ini terefleksi dari lebih 70 % perangkat politik dunia dikuasai oleh 20% negara-negara maju, lebih dari 75 % pemilikan modal ekonomi, perdagangan dan investasi dikuasai segitiga kutub Amerika Utara, Jepang dan Uni Eropa, lebih dari 65 % persenjataan nuklir dimiliki oleh negara-negara maju, lebih dari 80 % kemajuan riset dan teknologi juga dikuasai oleh negara-negara maju. Jika 20 % penduduk dunia menguasai 80 % sumber-sumber energi penggerak pertumbuhan di seluruh dunia, maka dapat diduga bahwa persaingan dagang di era globalisasi ini tidak bertarung dengan seimbang.

Bagi sektor perikanan tangkap yang potensi sumber dayanya masih besar dan memiliki keunggulan komparatif serta sifatnya yang renewable namun sangat


(31)

globalisasi pada masa mendatang, harus benar-benar diantisipasi mulai saat ini. Perencanaan kebijakan untuk meningkatkan pertumbuhan sektor perikanan perlu dilakukan secara terpadu. Perencanaan kebijakan ini tidak saja mempertimbangkan penyelesaian masalah internal sektor perikanan itu sendiri, tetapi juga yang lebih penting adalah bagaimana regulator (bank dan pemerintah) dapat mengeluarkan kebijakan yang dapat meningkatkan kinerja sektor perikanan. Pemerintah dan lembaga perbankan baik umum maupun komersial harus berperan dalam pembiayaan yang dapat secara signifikan meningkatkan pertumbuhan sektor perikanan. Karenanya analisis efektivitas dan risk management sumber daya finansial dalam pengelolaan perikanan dapat dipertimbangkan sebagai salah satu pendekatan baru untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi sektor perikanan.

1.2 Perumusan Masalah

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa masalah pertumbuhan sektor perikanan di Indonesia yang rendah dapat diringkas dalam empat hal mendasar, yaitu:

(1) Secara empiris sumber daya perikanan dicirikan dengan potensi yang tinggi namun memiliki kendala peningkatan kapasitas dan rendahnya bantuan finansial dari lembaga pemerintah maupun lembaga keuangan lainnya.

(2) Peraturan dan kebijakan yang diambil lembaga keuangan dalam pembiayaan kredit sektor perikanan untuk memajukan sektor perikanan diduga belum optimal bahkan mungkin tidak efektif sama sekali.


(32)

(3) Kondisi internal mikro ditingkat sumber daya perikanan yang direpresentasikan dengan variabel-variabel input dan output yang dihasilkan diduga tidak atau belum banyak membantu meningkatkan pertumbuhan sektor perikanan.

(4) Lembaga keuangan dalam mengambil kebijakan pembiayaan kredit sektor perikanan belum memperhitungkan risiko spesifik yang ditanggung sehingga kebijakan yang diambil lembaga tersebut tidak komprehensif dan bahkan diduga merugikan pertumbuhan sektor perikanan karena persepsi risikonya yang berlebihan.

Untuk menyelesaikan dan menjawab pokok masalah di atas, perlu dilakukan penelitian secara empiris tentang dampak kebijakan perkreditan yang ada sekarang ini, sedangkan untuk pengembangan ke depan diperlukan suatu pengembangan model efektifas kredit perikanan dalam kaitannya dengan karakteristik sumber daya dalam suatu kerangka bioekonomi. Sedangkan analisis

system dynamic simulation perlu dilakukan untuk memprediksi perilaku man-made capital, natural capital dan financial capital dalam konteks kinerja pembangunan sektor perikanan. Dengan demikian berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka pertanyaan penelitian (research questions) yang akan diteliti adalah :

(1) Bagaimanakah pemerintah dan lembaga keuangan menyikapi defisiensi finansial kapital yang dialami sektor perikanan ?


(33)

(2) Apakah kebijakan pemerintah dan lembaga keuangan untuk membantu sektor perikanan telah mempengaruhi kinerja sektor perikanan tangkap secara signifikan ?

(3) Variabel ekonomi dan sumber daya apakah yang signifikan mempengaruhi kinerja bantuan finansial baik kredit maupun bantuan umum lainnya bagi sektor perikanan tangkap ?

(4) Variabel risiko keuangan apakah yang signifikan mempengaruhi pertumbuhan usaha sektor perikanan tangkap melalui pengelolaan kredit perikanan ?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk melakukan sintesis atas kebijakan pemerintah dibidang perkreditan untuk sektor perikanan dan dampaknya terhadap pengelolaan sumber daya perikanan.

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus yang akan dicapai adalah meliputi :

(1) Mengembangkan model keterkaitan antara financial capital, natural capital

dan man-made capital dalam pengelolaan perikanan tangkap.

(2) Menganalisis kebijakan perkreditan untuk pengembangan perikanan tangkap dan dampaknya terhadap kondisi sumber daya perikanan dan sosial ekonomi di wilayah pesisir.


(34)

(3) Mengkaji kinerja input dan output yang digunakan pada perikanan tangkap dengan dan tanpa bantuan finansial perkreditan.

(4) Melakukan analisis dampak kebijakan mikro finansial yang telah diterapkan pada saat ini untuk sektor perikanan tangkap.

(5) Mengkaji model perkreditan perikanan yang berbasis sumber daya perikanan dan karakteristik usaha perikanan.

(6) Mengkaji tipologi perencanaan kredit berbasis manajemen risiko dalam kondisi tertentu, sehingga dunia perbankan dapat mengantisipasinya secara lebih dini.

1.4 Kerangka Pemikiran

Kerangka berpikir studi ini berawal dari adanya gap antara klaim kemampuan sumber daya ikan menghasilkan potensi ekspor, penyerapan tenaga kerja dan berbagai klaim lainnya yang juga menunjukkan adanya potensi yang besar dari sumber daya perikanan. Di sisi lain, klaim tersebut tidak didukung oleh kenyataan yang ada karena banyaknya masalah yang dihadapi sektor perikanan seperti kemiskinan, struktur pasar yang tidak kompetitif, permasalahan subsidi yang kurang tepat serta terjadi overfishing dan overcapacity di beberapa wilayah perikanan tangkap. Permasalahan inipun saling terkait satu sama lain di mana satu masalah bisa memperbesar atau menyebabkan permasalahan lainnya.

Terjadinya gap ini salah satunya adalah kurangnya pemahaman yang komprehensif mengenai aspek financial capital dan kaitannya dengan pembangunan perikanan yang berkelanjutan. Akibatnya seringkali usaha perikanan bukan saja tidak berkelanjutan secara ekonomi namun juga secara


(35)

ekologi dan sosial. Untuk itulah diperlukan analisis mengenai keterkaitan antara

financial capital dalam perikanan dengan komponen kapital lainnya seperti man made capital dan natural capital sehingga dapat dihasilkan kebijakan yang tepat menyangkut komponen financial capital ini. Secara sistematis pola kerangka pikir studi ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka pikir studi

Pertumbuhan sektor perikanan yang merupakan obyek penelitian studi ini dipengaruhi oleh banyak variabel. Variabel-variabel tersebut menyangkut tiga hal utama yakni natural capital (stok sumber daya ikan), man-made capital (input yang digunakan untuk penangkapan ikan seperti kapal, alat tangkap, dan berbagai instrumen lainnya), human capital (tenaga kerja yang digunakan), dan financial capital atau sumber pendanaan. Tiga komponen capital yakni natural, man-made


(36)

dan human lebih sering bersifat exogenous atau di luar kendali pelaku perikanan dan pemerintah. Di sisi lain financial capital, sering menjadi kendala yang bersifat

exogenous dan memerlukan intervensi dari berbagai pihak baik pemerintah maupun lembaga keuangan lainnya. Ini disebabkan karena ketidakmampuan pelaku perikanan seperti nelayan untuk memenuhi capital ini secara penuh. Komponen ini selain akan berpengaruh terhadap produktifitas nelayan dan kondisi sumber daya ikan, juga dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan pemerintah yang terkait dengan bantuan keuangan seperti perkreditan untuk sektor perikanan tangkap. Keterkaitan antara berbagai faktor tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Keterkaitan komponen kapital dalam pengelolaan sumber daya perikanan yang berkelanjutan


(37)

Sebagaimana terlihat pada Gambar 2, interaksi antara berbagai komponen

capital akan menentukan kegiatan penangkapan ikan (fishing). Khusus yang menyangkut financial capital, komponen ini akan secara langsung mempengaruhi

man-made capital dan secara tidak langsung akan mempengaruhi human capital. Keterkaitan langsung antara financial capital dan man-made capital terkait dengan pembelian faktor produksi yang diperlukan untuk kegiatan penangkapan ikan. Oleh karena adanya kendala yang dimiliki oleh nelayan, maka bantuan finansial akan meningkatkan kemampuan input yang digunakan yang kemudian akan berpengaruh terhadap stok sumber daya ikan. Dalam beberapa hal, bantuan finansial ini bisa berakibat negatif juga, yaitu menambah tekanan terhadap sumber daya karena terjadinya overcapacity pada perikanan tangkap yang kemudian akan berpengaruh pada kegiatan penangkapan itu sendiri.

Di sisi lain, komponen financial capital ini banyak dipengaruhi oleh variabel-variabel kebijakan pemerintah mengenai perkreditan dan bantuan finansial lainnya untuk sektor perikanan. Kebijakan perbankan untuk perikanan yang tidak kondusif selama ini juga menjadi penyebab rendahnya kinerja sektor perikanan.

Selain kebijakan pemerintah, komponen financial capital ini juga dipengaruhi secara langsung oleh risiko dan ketidakpastian yang diakibatkan dari karakteristik sumber daya ikan itu sendiri maupun ketidakpastian risiko finansial lainnya. Secara tidak langsung, sumber daya manusia akan menentukan kemampuan manajerial yang pada akhirnya juga akan berpengaruh pada kemampuan kapital finansial untuk mendukung kegiatan penangkapan ikan. Interaksi keseluruhan komponen ini pada akhirnya akan berpengaruh terhadap


(38)

produksi perikanan secara keseluruhan dan manfaat ekonomi yang dihasilkannya yang akan menentukan tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir secara umum.

Kerangka berpikir seperti ini juga diilhami oleh implementasi manajemen risiko sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia no.5/8/PBI tahun 2003 tentang penerapan Manajemen risiko bagi bank umum serta Peraturan Bank Indonesia No.7/3/DPNP tanggal 31 Januari 2005 tentang penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum dan Surat Edaran Bank Indonesia No.7/3/DPNP tanggal 31 Januari 2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum. Ketentuan Bank Indonesia yang baru dirilis tersebut memberikan indikasi peningkatan kepedulian dan peran serta dunia perbankan dalam mendukung sustainabilitas pengelolaan lingkungan hidup.

Salah satu assesment yang harus dilakukan oleh bank untuk menilai kelayakan usaha debitur adalah faktor risiko industri, dimana kelangsungan usaha debitur dan prospek industri tertentu juga ditentukan oleh kemampuan debitur dalam hubungannya dengan pengelolaan lingkungan hidup. Pemberian input

financial capital pada sektor perikanan akan berpengaruh dan terkait langsung dengan kondisi sumber daya perikanan itu sendiri, yang pada akhirnya akan bermuara pada kualitas kredit yang diberikan oleh perbankan.

Tiga faktor penting yang digunakan dalam penilaian kualitas pemberian kredit adalah : prospek usaha, kinerja debitur dan kemampuan membayar. Materialitas dan signifikansi dari ketiga faktor penilaian kualitas kredit tersebut, di dalamnya termasuk upaya pengelolaan sumber daya lingkungan secara berkelanjutan.


(39)

Pada sektor perikanan, pemberian kredit ataupun input financial capital

lainnya akan menjadi prime mover yang mengakselerasi man made capital dan

human capital yang kemudian akan berpengaruh terhadap sumber daya perikanan di wilayah perairan tersebut.

Pengembangan dari model bioekonomi sumber daya ikan secara konvensional belum memperhitungkan input financial capital. Melalui penelitian ini diteliti dengan cermat serta dibuatkan model dan simulasinya secara dinamik yang akan diuraikan secara rinci pada Bab 3 : Metode Penelitian.


(40)

2.1 Kebijakan Kredit Perikanan Tangkap

Seperti sudah dibahas pada Bab 1 : Pendahuluan, salah satu permasalahan yang mendasar dalam pembangunan perikanan tangkap di Indonesia adalah menyangkut permodalan. Kurangnya kemampuan nelayan untuk mengakses institusi perkreditan serta kurangnya pemahaman lembaga keuangan dan perbankan terhadap karakteristik usaha di sektor perikanan tangkap, telah banyak dipahami merupakan salah satu hambatan yang cukup mengganggu pada perkembangan sektor perikanan tangkap skala kecil. Fauzi (2005) menguraikan mengenai kredit sebagai berikut: pemberian kredit adalah salah satu kebijakan publik berupa subsidi yang dalam definisi WTO merupakan kontribusi finansial pemerintah dalam bentuk fund transfer (loan, grant, dan sebagainya) maupun pelayanan umum (pembangunan infrastuktur).

Fauzi (2005) menguraikan mengenai kredit sebagai berikut: pemberian kredit adalah salah satu kebijakan publik berupa subsidi yang dalam definisi WTO merupakan kontribusi finansial pemerintah dalam bentuk fund transfer (loan,

grant, dan sebagainya) maupun pelayanan umum (pembangunan infrastuktur). Kredit tidak hanya dibutuhkan untuk investasi pada kapal dan alat tangkap, penanganan dan processing pasca panen, fasilitas pemasaran dan jasa, maupun pembangunan infrastruktur seperti diuraikan di atas, bahkan juga merupakan hal yang sangat penting untuk modal dari hari – ke hari nelayan menangkap ikan,

handling, prosesing dan juga mendistribusikannya. Modal harian tersebut digunakan baik untuk peralatan menangkap ikan, fasilitas yang harus diganti atau


(41)

diperbaiki, upah dimuka bagi ABK, dan biaya lain-lain yang harus ada pada saat akan menangkap ikan. Modal ini biasanya secara likuid sering tidak dimiliki nelayan dari pendapatan sebelumnya, karena pendapatan yang seringkali lebih besar pasak daripada tiang.

Institusi perbankan, selama ini diketahui merupakan solusi yang kurang diminati oleh nelayan kecil, karena kerumitan dan tingkat ketidakpastian yang tinggi dalam menangkap ikan. Institusi non konvensional seperti peminjam perorangan profesional, koperasi, bank-bank perkreditan swasta, atau bahkan pemilik kapal, lebih banyak diminati oleh nelayan kecil, karena kepraktisannya. Jumlah kredit dari institusi non-konvensional ini memang terbatas dalam jumlah kecil dan biasanya lebih ditujukan untuk modal kerja dan pinjaman jangka pendek (short term finance). Bagaimanapun, lembaga perkreditan non-konvesional ini memiliki sejumlah kelemahan, seperti lebih tidak menguntungkan (high cost), serta termin dan kondisi pinjaman yang tidak menarik. Lebih jauh lagi Tietze dan Merrikin (1989) menyatakan bahwa prevalensi dari perkreditan non-institusi dalam sektor perikanan ini telah menyebabkan adanya segmentasi dari rural financial market. Secara umum memang dapat dikatakan bahwa tampaknya pemanfaatan saving dan kredit pada aktivitas perikanan tangkap tidak sebaik seperti pada kondisi sektor lainnya misalnya pertanian.

Bagaimanapun dapat kita lihat bahwa lembaga non-konvensional menjadi lebih berkembang pada sektor perikanan tangkap dibandingkan dengan institusi konvensional. Pada beberapa kasus, institusi pemerintah baik tingkat pusat (departemen) maupun pemerintah daerah yang bertanggung jawab terhadap pembangunan perikanan, secara langsung melakukan program kredit untuk


(42)

perikanan tangkap tanpa melibatkan lembaga keuangan. Beberapa program kredit direncanakan dan diimplementasikan sebagai bagian dari proyek investasi keuangan eksternal, dan sebagian lagi merupakan konteks ekspansi jasa perbankan nasional ke daerah pesisir atau dalam framework program pengentasan kemiskinan.

Sejauh ini tidak pernah secara tegas ada satu payung kebijakan finansial dari pemerintah khusus dalam mengembangkan sektor perikanan. Suatu hal yang ironis untuk sebuah negara yang sebagian besar wilayahnya adalah perairan laut dengan potensi sumber daya ikan yang belum optimal dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakatnya.

Bahkan apabila kita amati lebih jauh dalam statistik perkreditan yang diterbitkan oleh otoritas moneter, ternyata angka perkreditan untuk sektor perikanan tidak pernah disebutkan secara tersendiri, sehingga datanya harus diolah karena tercampur dengan sektor pertanian. Demikian pula untuk institusi perbankan yang memberikan kredit untuk sektor perikanan, umumnya hanya bersifat sporadis dengan total portofolio kredit yang relatif kecil dibanding sektor-sektor pembiayaan lainnya.

Secara umum dapat dikatakan bahwa belum ada hasil yang memuaskan yang diperoleh dari berbagai program kredit yang ada, bisa terlihat dari tingkat penyerapan kredit konvensional yang sangat rendah, hal ini kebanyakan karena tidak tepatnya program yang ada serta prosedur yang lemah dalam perjanjian dengan peminjam. Program kredit yang dapat memberikan dampak ekonomi dan manfaat sosio-ekonomi serta pembayaran kredit yang tepat masih jarang ditemui.


(43)

Bahkan di Indonesia tampaknya program kredit nelayan ini masih stagnan dan cenderung menurun.

Kredit perikanan pada dasarnya dapat merupakan pendorong bagi kemajuan perikanan tangkap dan kesejahteraan nelayan, namun di lain pihak juga dapat merupakan ancaman bagi keberlanjutan stok ikan di perairan, yang pada akhirnya akan berdampak bagi kesejahteraan nelayan. Bagaimana hal tersebut terjadi ? Analisis berikut adalah seperti diuraikan oleh Fauzi (2001; 2005) sebagai berikut: Dalam kaitannya dengan sektor perikanan, subsidi dalam bentuk kredit memang telah lama menjadi bahan perdebatan mengingat implikasinya terhadap sumber daya perikanan itu sendiri. Dokumen Bank Dunia yang ditulis secara komprehensif oleh Milazzo (1998) menunjukkan bahwa secara global, subsidi yang diberikan kepada perikanan baik dalam bentuk skim kredit maupun grant

mencapai antara US$ 14 hingga 20 milyar yang setara dengan 17 % sampai 25 % dari total penerimaan dari perikanan. Secara keseluruhan subsidi sebesar itu telah menyebab terjadinya overcapacity di bidang perikanan. Arnason (1999) lebih jauh mengatakan bahwa subsidi yang diberikan pada perikanan yang notabene merupakan sumber daya yang bersifat common property justru akan hanya menimbulkan economic waste.

Selanjutnya dalam uraiannya pada buku yang sama, Fauzi (2005) menyatakan sebagai berikut: pengalaman pemberian kredit di negara lain semakin memperkuat pernyataan di atas. Sebagai contoh, pemerintah Belanda memberikan skim kredit besar-besaran terhadap industri perikanan mereka yang sempat collaps

setelah PD II. Dengan dana sebesar NLG 45 juta disusul dengan pengembangan kredit melalui perbankan sejak tahun 1965 memang dalam jangka pendek telah


(44)

menimbulkan dampak positif yaitu dengan semakin luasnya operasi kapal trawl

mereka dan makin efisiennya perikanan mereka. Namun demikian, pemberian kredit ini telah menyebabkan peningkatan kapasitas perikanan mereka sehingga terjadi penurunan produktivitas perikanan pada periode akhir-akhir ini. Hasil analisis Wilde (1999) juga menunjukkan bahwa kredit yang diberikan justru jatuh bukan kepada mereka yang membutuhkan, namun kepada nelayan yang merencanakan investasi baru dan menggunakan program kredit sebagai sarana. Demikian halnya dengan perikanan di Thailand. Program subsidi untuk perikanan di Thailand dimulai sekitar tahun 1994 dimana dengan bantuan dana dari ADB berupa loan, Thailand memberikan kredit kepada sekitar 135 gillnet dan purse seine untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam hal permodalan. Dalam beberapa tahun kemudian 70 % dari kapal di atas telah dikonversi menjadi trawl

yang kemudian digunakan untuk menangkap ikan-ikan demersal yang sudah

overfishing. Negara lain yang juga patut menjadi perbandingan adalah Jepang. Subsidi yang diberikan oleh pemerintah Jepang untuk sektor perikanan mencapai hampir US$ 4 milyar yang setara dengan hampir seperempat dari total penerimaan sektor perikanan tangkap. Subsidi diberikan berupa pengembangan infrastruktur dan non public expenditure. Dampak dari subsidi ini justru telah menurunkan produktivitas dari perikanan-perikanan pesisir. Salah satu negara dimana subsidi dianggap tidak atau belum menimbulkan dampak distortif adalah Irlandia. Subsidi perikanan Irlandia dimulai tahun 1960 dan diberikan dalam bentuk grant dan pinjaman dengan bunga ringan (kredit). Dampak dari subsidi ini telah meningkatkan produksi perikanan tangkap Irlandia dan mencegah terjadinya outmigrasi dan urbanisasi dari masyarakat pesisir”.


(45)

Secara lebih khusus, FAO telah mendokumentasikan mengenai beberapa studi kasus keterkaitan kredit perikanan dengan pembangunan perikanan di Asia dan Afrika (Tietze dan Merrikin, 1989). Dalam dokumen ini dibahas pengaruh kredit perikanan terhadap pembangunan perikanan skala kecil di negara berkembang. Dalam kasus Asia, tiga contoh studi kasus yang dikemukakan oleh FAO adalah pengembangan kredit skala kecil di India dan Nepal serta kredit perikanan untuk wanita yang terlibat dalam usaha perikanan di Filipina, sedangkan di Afrika, studi berkaitan dengan pemberian kredit perikanan skala kecil di Tanyanika.

Akhirnya Fauzi (2005) menguraikan kesimpulannya mengenai dampak kredit terhadap perikanan, sebagai berikut : Dari tiga contoh di atas tampak bahwa secara umum bisa dikatakan bahwa subsidi baik dalam bentuk grant maupun kredit harus disikapi secara cermat dan hati-hati. Dilihat dalam kerangka jangka pendek kredit di bidang perikanan memang dapat membantu industri perikanan tersebut untuk mencapai akselerasi dalam produktivitas mereka sebagaimana dialami di negara-negara yang disebutkan di atas. Termasuk juga kredit yang terjadi pada perikanan di Indonesia seperti halnya program motorisasi perikanan dan kredit KIK/KMKP. Dampak jangka pendek dari kredit tersebut memang terlihat dengan pesatnya pertumbuhan perikanan dan meningkatnya produksi perikanan secara agregat. Namun demikian, dalam perspektif jangka panjang hal ini harus dicermati karena sebagaimana pengalaman negara-negara lain, dengan sifat sumber daya perikanan yang sangat khas, justru dikhawatirkan malah akan meningkatkan kapasitas perikanan yang berakibat pada penurunan manfaat ekonomi dan timbulnya eksploitasi yang berlebihan. Hal ini sudah terlihat di


(46)

perikanan yang padat seperti halnya perikanan Pantura, dimana produktifitas nelayan terlihat mengalami trend yang menurun dan berkurangnya sumber daya ikan (trip yang makin lama dan daerah penangkapan yang makin jauh). Program motorisasi perikanan yang dilakukan di daerah Pantura ternyata menyebabkan ekses kapasitas perikanan yang cukup signifikan. Studi dari McElroy (1991), menunjukkan bahwa pada awal modernisasi memang terlihat adanya peningkatan tajam produksi ikan pelagis dari rata-rata 165.000 ton pada akhir tahun 1980-an, menjadi 385.000 ton pada lima tahun kemudian. Lima puluh persen dari peningkatan produksi tersebut merupakan kontribusi dari purseseine, armada yang penambahannya cukup pesat pada masa modernisasi perikanan. Ketika perkembangan purse seine semakin pesat, yang terjadi adalah timbulnya gejala

backward bending, yaitu terjadinya penurunan landing pelagis kecil, khususnya dari purse seine menjadi rata-rata 126.000 ton, meski efektif fishing effort yang diukur dari day-fished malah meningkat dari rata-rata 18 hari menjadi 30-35 hari”.

Dampak dari financial capital yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya penurunan sumber daya ikan secara cepat, berkurangnya manfaat ekonomi dan kelestarian pengelolaan perikanan yang bertanggungjawab.

Financial capital yang kebijakan dan regulasinya tidak berbasis pada zonasi kondisi dari masing-masing sumber daya ikan di suatu kawasan perairan, pada hakikatnya bertentangan dengan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan.

Menurut kesepakatan global dari Konferensi Johannessburg pada tahun 2002 tentang visi pembangunan berkelanjutan adalah suatu pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan kita sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka.


(47)

Dari sisi perbankan Indonesia, kebijakan pemberian kredit yang

ecofriendly secara umum telah diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia N0.21/9/UKU tanggal 23 Maret 1989 perihal Kredit Investasi dan Penyertaan Modal, yang di dalamnya antara lain mengatur tentang keharusan bank untuk memperhatikan AMDAL dalam pemberian kreditnya. Dalam perkembangan selanjutnya, seiring dengan perkembangan global tentang sustainable development, Bank Indonesia telah menerbitkan Peraturan BI No.7/2/PBI/2005 tanggal 20 januari 2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum dan Surat Edaran BI No.7/3/DPNP tanggal 31 Januari 2005 yang di dalamnya antara lain menentukan bahwa di dalam menilai prospek usaha debitur, bank perlu memperhatikan upaya yang dilakukan oleh debitur dalam rangka memelihara sustainabilitas lingkungan hidup. Rusaknya lingkungan hidup oleh meningkatnya

input finansial kapital akan memberikan berbagai dampak risiko bagi bank dan institusi finansial, tidak hanya risiko kredit tetapi juga risiko reputasi, risiko menurunnya stok sumber daya ikan bagi sektor perikanan atau menurunnya nilai agunan/aktiva tetap, serta risiko pertanggungjawaban sosial.

Secara umum, pada dasarnya terdapat triple bottom line antara faktor ekonomi, sosial dan lingkungan dalam hal pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan (UNEP, 2004). Seperti Gambar 3 di bawah ini, triple bottom line

ketiga faktor tadi digambarkan pada segitiga yang saling berkaitan, yang meliputi kasus biodiversity, sustainable business, sustainable finance dan sustainable development. Pada kasus biodiversity, ketiga triangle tadi meliputi konservasi, pemanfaatan secara sustainable dan sharing yang adil. Sementara untuk


(48)

kemudian pertumbuhan ekonomi dan keadilan sosial. Pada kondisi sustainable finance, ada beberapa hal yang berpengaruh, yaitu nilai (value) dari lingkungan, nilai ekonomi dan nilai sosial. Terakhir untuk sustainable development, akan sangat tergantung dari proteksi terhadap lingkungan itu sendiri, pembangunan ekonomi secara keseluruhan dan juga pembangunan sosialnya.

Case: Biodiversity Sustainable Bussiness Sustainable Finance Sustainable Development

Environmental Conservation

Environmental

Environmental Environmental

Protection

Value

Protection

Economic

Sustainable Economic

Economic

Economic

Use

Growth

Value

Development

Social

Equitable

Social Equity

Social Value

Social

Sharing

Development

Economy

Social Environment

Gambar 3 Triple bottom line pemanfaatan sumber daya (UNEP, 2004)

Penetapan kualitas kredit yang dikaitkan dengan faktor lingkungan hidup dalam peraturan Bank Indonesia tersebut di atas akan berimplikasi bahwa bank harus segera melakukan penyesuaian terhadap metodologi penetapan kolektibilitas kreditnya. Aspek risiko lingkungan harus masuk dalam perhitungan Internal Rating System untuk menentukan Credit Rating bagi masing-masing nasabahnya.


(49)

Penelitian ini memberikan solusi model dan perhitungan risiko kredit khusus di sektor perikanan yang dikembangkan dari model umum perhitungan risiko kredit. Tinggi rendahnya Customer Risk Rating akan menentukan lending policy dan pricing yang diberikan kepada nasabah, karena pada hakekatnya CRR akan sangat tergantung pada zonasi perairan, yang sangat berpengaruh terhadap

repayment capacity dari nasabah. Model tipologi perencanaan kredit perikanan yang berbasis manajemen risiko yang dikembangkan pada penelitian ini yang dinamakan Resources Credit Risk Assesment (RESCRA) adalah sejalan dengan

Triple Bottom Line dalam pengelolaan lingkungan yang menyelaraskan sustainabilitas faktor-faktor economy, social dan environment sebagaimana matrik dari UNEP (2004) di atas.

Implikasi dari implementasi model RESCRA bagi perbankan untuk pemberian kredit di sektor perikanan akan meningkatkan tidak hanya Corporate Social Responsibility tetapi juga Corporate Resorces Responsibility Bank yang bersangkutan.

2.2 Pengelolaan Sumber Daya Perikanan

Fauzi (2003) menyatakan bahwa pengelolaan sumber daya perikanan mengalami evolusi yang cukup panjang dari sekedar pendekatan biologi ke arah pendekatan yang lebih komprehensif seperti pendekatan ekonomi, bioekonomi, sosial (community) dan pendekatan sistem. Pada pendekatan biologi, pengelolaan perikanan lebih diarahkan pada peningkatan produksi yang lestari yang paling maksimum yang dapat dihasilkan dari sumber daya ikan. Pendekatan ini kemudian dikenal dengan sebagai pendekatan yang berbasis maximum sustainable


(50)

yield. Secara umum pendekatan ini didasarkan pada konsep daya dukung lingkungan atau carrying capacity sehingga diasumsikan bahwa produksi ikan akan mengalami pertumbuhan nol ketika stok mencapai carrying capacity. Dalam fungsi logistik, pertumbuhan ikan akan maksimum pada tingkat setengah dari

carrying capacity. Gambar 4 berikut ini menjelaskan proses pertumbuhan ikan sebagaimana dijelaskan di atas.

x F(x) K 1 2K 0 (a) x F(x) K 1 2K 0 (a) t xt K 1 r 2 r 0 (b) t xt K 1 r 2 r 0 (b)

Gambar 4 Kurva pertumbuhan ikan dan maksimum pertumbuhan (Fauzi, 2004)

Oleh karena variabel ikan (stok) yang digambarkan dalam variabel x di atas tidak bisa diobservasi, maka persamaan tersebut harus ditransformasi ke dalam variabel yang bisa diamati, antara lain input (effort) dan produksi (output). Jika dimisalkan bahwa pertumbuhan ikan mengikuti fungsi logistik:

(1 / )

x

rx x K t

=

∂ (2.1)

Di mana r adalah pertumbuhan alamiah dan K adalah daya dukung, maka dengan mengasumsikan produksi perikanan sebagai h=qxE dimana q adalah koefisien


(51)

daya tangkap dan E adalah input (upaya) maka perubahan stok ikan dalam periode waktu tertentu dapat ditulis menjadi:

(1 / )

x

rx x K qxE t

= − −

∂ (2.2)

Dalam kondisi keseimbangan jangka panjang, maka persamaan di atas akan menghasilkan

1 qE

x K r

⎛ ⎞

=

⎝ ⎠ (2.3)

Sehingga jika disubstitusikan kembali ke fungsi produksi ikan akan menghasilkan fungsi hubungan antara input dan output yang disebut sebagai kurva yield-effort atau secara rinci menjadi:

h=qxE

1 qE

h qKE r

⎛ ⎞

=

⎝ ⎠ (2.4)

Persamaan di atas akan menghasilkan kurva berbentuk kuadratik dalam Effort

sebagaimana terlihat pada Gambar 5 berikut. Berdasarkan kaidah di atas, pengelolaan perikanan ditentukan berdasarkan produksi tertinggi yang terjadi pada tingkat input sebesar EMSY dan output sebesar hMSY.


(52)

Upaya (Effort) P rodu ks i le st ar i MSY E MSY h ( ) h E max E Upaya (Effort) P rodu ks i le st ar i MSY E MSY h ( ) h E max E

Gambar 5 Kurva yield effort untuk perikanan (Fauzi,2004)

Salah satu kekurangan mendasar dari pendekatan biologi tersebut adalah terabaikannya variabel-variabel ekonomi seperti biaya penangkapan ikan dan penerimaan yang diperoleh dari perikanan. Oleh karenanya Gordon (1954) yang diacu dalam Fauzi (2004) kemudian mengenalkan pendekatan ekonomi yang kemudian disebut sebagai pendekatan Maximum Economi Yield atau MEY. Pada prinsipnya pendekatan MEY dapat dijabarkan dalam Gambar 6. Sebagaimana terlihat pada Gambar 6, pengelolaan sumber daya perikanan yang optimal terjadi pada saat selisih antara penerimaan (Total Revenue=TR) dan pengeluaran (Total Cost = TC) terbesar yakni jarak BC, dengan tingkat input (effort) yang optimal sebesar Eo


(53)

Upaya (Effort) TR TC Rp & & E MSY E 0 E B iaya, Pe n erim aan B C max π Upaya (Effort) TR TC Rp & & E MSY E 0 E B iaya, Pe n erim aan B C max π

Gambar 6 Pendekatan bioekonomi MEY (Fauzi, 2004)

Meski kemudian defisiensi variabel ekonomi sudah terakomodasi dalam model sederhana tersebut, variabel input yang digunakan masih sebatas variabel

man-made capital seperti jumlah kapal dan sebagainya yang diwakili oleh effort

(E). Padahal dalam kenyataannya ada variabel lain yang mempengaruhi faktor

input tersebut di atas yakni financial capital. Beberapa peneliti pernah mencoba menganalisis peranan finansial kapital ini dalam pengelolaan perikanan. Zulham (2005) misalnya melihat pengaruh kredit perikanan terhadap fenomena

overfishing yang terjadi di pantai utara Jawa Tengah. Namun model yang digunakan tidak secara langsung memasukan variabel kredit tersebut ke dalam persamaan di atas. Ritonga (2004) juga pernah menganalisis peranan kredit perikanan di wilayah Pantura Jawa Barat dan pantai selatan Jawa Tengah, namun analisis yang dilakukan masih terbatas pada analisis kualitatif sehingga belum


(54)

sepenuhnya mengakomodasi peranan financial capital dalam pengelolaan perikanan. Dengan kata lain model yang secara langsung memasukan interaksi variabel finansial ini ke dalam model standar bioekonomi perikanan belum banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Pengembangan model ini kemudian diuraikan secara rinci pada Bab 3 : Metode Penelitian.

2.3 Analisis Efisiensi Kebijakan Kredit Perikanan

Sebagian analisis kebijakan perkreditan perikanan masih banyak dilakukan secara deskriptif. Kelemahan dari pendekatan ini adalah tidak terukurnya kinerja perikanan dengan atau tanpa bantuan kredit perikanan. Dengan demikian diperlukan satu indikator pengukuran efisiensi kebijakan tersebut yang dapat digunakan sebagai acuan apakah kebijakan yang telah dilakukan tersebut efektif atau tidak.

Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan adalah menganalisis secara cepat dengan bantuan Rapfish (Rapid Appraisal for Fisheries) yang sudah dikenalkan oleh Fauzi dan Anna (2005). Salah satu dimensi yang ada dalam

Rapfish memasukan variabel subsidi (termasuk) kredit di dalamnya, sehingga dengan demikan dapat diketahui apakah perikanan dengan bantuan kredit akan lebih baik daripada perikanan tanpa bantuan kredit. Namun demikian, penggunaan Rapfish biasanya akan lebih baik pada perikanan yang heterogen dan komunitas usaha antara yang menerima kredit dengan yang tidak terlihat jelas. Selain itu, indikator yang dihasilkan dari Rapfish adalah indikator kualitatif (baik atau buruk).


(55)

Pendekatan lain yang dapat digunakan adalah dengan melihat skor efisiensi yang dihasilkan dari setiap unit usaha perikanan yang memperoleh kredit melalui pendekatan analisis efisiensi. Salah satu yang sudah banyak diterapkan untuk perikanan adalah pendekatan Data Envelopment Analysis (DEA) yang diperkenalkan oleh Fauzi dan Anna (2005). Melihat perbandingan kelebihan dan kekurangan antara pendekatan Rapfish dan pendekatan DEA, studi ini akan menggunakan pendekatan DEA untuk mengetahui efektifitas penggunaan kredit di sektor perikanan.

Korhonen et al., (1998) yang diacu dalam Fauzi (2003) menyatakan bahwa DEA merupakan metode yang ”value free” , karena keseluruhan hasil yang didapat berdasarkan pada data yang tersedia tanpa melibatkan pendapat atau preferensi dari ahli atau pengambil keputusan. Dengan menggunakan DEA, maka kita dapat melakukan analisis perbandingan dari alternatif kebijakan dan kegiatan berkaitan dengan pilihan yang ada. Alternatif kebijakan ini yang dikenal sebagai DMU tadi, direpresentasikan dalam hubungan input dan output berkaitan dengan aktivitas. DMU adalah merupakan sebuah entitas yang bertanggung jawab dalam mengkonversikan input menjadi output yang performance-nya akan dievaluasi (Cooper et al., 2002). Secara umum DEA digunakan untuk mengukur kinerja efisiensi relatif dari setiap DEA yang diukur.

Struktur DEA dapat dituliskan sebagai berikut: jika terdapat sejumlah DMU yang akan dievaluasi, dan

n

j

DMU yang akan dievaluasi dianggap sebagai , dimana o berkisar 1,2,…n, kemudian DEA biasanya mencari solusi nilai

optimal dari bobot input

o

DMU

( ) (vi i=1,..., )m dan bobot output sebagai

variabel. Formulasinya dapat ditulis sebagai :


(1)

Efficiency Report

89,17%

2

Peers:

1

References:

0

Potential Improvements

Variable

Actual:

Target:

Potential improvement:

Kredit

7,00

6,00

-14,29%

Biaya

0,14

0,12

-10,83%

Produksi

100,00

100,00

00,00%

Peer Contributions

Peer:

Variable:

Contribution:

3

Kredit

100,00 %

3

Biaya

100,00 %

3

Produksi

100,00 %

Input / Output Contributions

Variable:

Contribution:

Input

/

Output

:

Kredit

00,000

Input

Biaya

100,000

Input

Produksi

100,000

Output

Peer References

Unit:


(2)

Efficiency Report

100,00%

6

Peers:

0

References:

7

Potential Improvements

Variable

Actual:

Target:

Potential improvement:

Kredit

5,00

5,00

00,00%

Biaya

0,42

0,42

00,00%

Produksi

110,00

110,00

00,00%

Input / Output Contributions

Variable:

Contribution:

Input

/

Output

:

Kredit

67,776

Input

Biaya

32,224

Input


(3)

Efficiency Report

100,00%

3

Peers:

0

References:

9

Potential Improvements

Variable

Actual:

Target:

Potential improvement:

Kredit

6,00

6,00

00,00%

Biaya

0,12

0,12

00,00%

Produksi

100,00

100,00

00,00%

Input / Output Contributions

Variable:

Contribution:

Input

/

Output

:

Kredit

00,000

Input

Biaya

100,000

Input


(4)

Lampiran 22. Parameter-parameter DEA untuk armada < 30 GT dengan minimum

input

(no trip)

Unit

name Score RTS Actual Kredit Actual

Biaya Actual Produksi Target Kredit Target Biaya

Target

Produksi Percent Kredit Percent Biaya Percent Produksi

1 23,47 0 3,5 0,29 18 0,82 0,07 18 -76,5 -76,5 0

10 38,46 0 5 0,22 36 1,92 0,09 36 -61,5 -61,5 0

11 35,9 0 7 0,25 45 2,51 0,09 45 -64,1 -64,1 0

2 89,17 0 7 0,14 100 6 0,12 100 -14,3 -10,8 0

3 100 0 6 0,12 100 6 0,12 100 0 0 0

4 75,91 0 5 0,21 70 3,8 0,16 70 -24,1 -24,1 0

5 26,11 0 20 0,55 90 5,22 0,14 90 -73,9 -73,9 0

6 100 0 5 0,42 110 5 0,42 110 0 0 0

7 43 0 7 0,25 54 3,01 0,11 54 -57 -57 0

8 4,08 0 7 0,21 5 0,29 0,01 5 -95,9 -95,9 0


(5)

Lampiran 23. Regresi produksi versus trip, DMU dan variabel

dummy

dengan kredit dan tanpa kredit

Regression Statistics

Multiple R

0.894964672

R Square

0.800961764

Adjusted R Square

0.769534674

Standard Error

0.494991774

Observations

23

ANOVA

df

SS

MS

F

Significance F

Regression

3

18.73375491

6.244584969

25.48634845

7.155E-07

Residual

19

4.655320265

0.245016856

Total

22

23.38907517

Coefficients

Standard Error

t Stat

P-value

Lower 95%

Upper 95%

Lower 95.0%

Upper 95.0%

Intercept

6.13017

3.07640

1.99264

0.06087

-0.30882

12.56916

-0.30882

12.56916

Trip

-0.11965

0.57675

-0.20746

0.83786

-1.32681

1.08750

-1.32681

1.08750

Efisiensi

0.80952

0.14984

5.40269

0.00003

0.49591

1.12313

0.49591

1.12313


(6)

Maaf ...