Analisis Yuridis Terhadap Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Pencurian Arus Listrik (Putusan Nomor : 1770 Pid.B 2014 PN.Mdn)

BAB II
PENGATURAN HUKUM TENTANG PENCURIAN ARUS
LISTRIK DI INDONESIA
A. Pengertian Pencurian dalam KUHP.
Pencurian menunjukkan kecenderungan meningkat baik kuantitas maupun
kualitasnya, hal ini tentunya meresahkan masyarakat dan menjadi salah satu
penyakit masyarakat yang harus ditindak secara seksama. Mengenai tindak pidana
pencurian diatur dalam BAB XXII Buku II Pasal 362 KUHP yang berbunyi
“Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian
kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum,
diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau
denda paling banyak enam puluh rupiah”.
KUHP tidak memberikan pengertian dari pencurian, hal ini dapat diketahui
dalam KUHP BAB IX buku I tentang arti beberapa istilah yang dipakai dalam
kitab undang-undang tersebut tidak dijelaskan. Di dalam rumusan Pasal 362
KUHP dapat diketahui bahwa tindak pidana pencurian itu merupakan tindak
pidana yang diancam hukuman adalah suatu perbuatan yang dalam hal ini adalah
“mengambil” barang orang lain. Tetapi tidak setiap mengambil barang orang lain
adalah pencurian, sebab ada juga mengambil barang orang lain dan kemudian
diserahkan kepada pemiliknya dan untuk membedakan bahwa yang dilarang itu
bukanlah setiap mengambil barang melainkan ditambah dengan unsur maksud

untuk dimiliki secara melawan hukum. Sedangkan unsur objektif dari tindak
pencurian adalah perbuatan mengambil ,barang yang keseluruhan atau sebagian

15
Universitas Sumatera Utara

16

milik orang lain,secara melawan hukum,sedangkan unsur subyektifnya adalah
untuk dimiliki secara melawan hukum.
KUHP tidak menerangkan mengenai pengertian tindak pidana pencurian
secara jelas karena hanya disebutkan tentang unsur-unsur dari tindak pidana
tersebut. R Wirjono Prodjodikoro menyebutkan unsur khas dari tindak pidana
pencurian adalah mengambil barang milik orang lain untuk dimilikinya. 18
Moelyatno mengemukakan bahwa arti dari tindak pidana pencurian diterangkan
mengenai unsur-unsur dari tindak pidana tersebut yang dilarang. Mengenai
perbuatan yang dilarang unsur pokoknya adalah mengambil barang milik orang
lain.19
Berdasarkan pendapat di atas yaitu mengenai tindak pidana pencurian
bertitik tolak dari perbuatan mengambil barang milik orang lain, sehingga dapat

diketahui bahwa yang dimaksud pencurian adalah perbuatan mengambil barang
milik orang lain untuk dimiliki secara melawan hukum.
Pengertian unsur tindak pidana dapat dibedakan menjadi dua arti, yaitu
pengertian unsur tindak pidana dalam arti sempit dan pengertian unsur-unsur
dalam arti luas. Misalnya unsur-unsur tindak pidana dalam arti sempit terdapat
pada tindak pidana pencurian biasa, yaitu unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal
362 KUHP. Sedangkan unsur-unsur tindak pidana dalam arti luas terdapat pada
tindak pidana pencurian dengan pemberatan, yaitu unsur-unsur yang terdapat
dalam Pasal 365 KUHP.

18

R. Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Refika
Aditama, Bandung, 2003, hal. 31
19
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, hal.16

Universitas Sumatera Utara

17


Seseorang dapat dikatakan melakukan pencurian biasa jika unsur-unsur
tersebut telah terpenuhi dalam tindakan tersebut seperti yang diatur dalam Pasal
362 KUHP. Dalam Pasal ini syarat untuk dapat telah terjadinya suatu perbuatan
pidana pencurian adalah barang yang curi sudah berpindah tempat, bila barang itu
baru dipegang saja maka orang tersebut belum dapat dikatakan telah melakukan
pencurian, akan tetapi ia baru melakukan percobaan pencurian.
Unsur-unsur dari kejahatan pencurian tersebut dibagi menjadi dua yaitu
unsur subyektif dan unsur obyektif. 20Unsur-unsur tersebut antara lain:
1. Unsur Obyektif :
a. Unsur “mengambil” barang
Unsur pertama dari tindak pidana pencurian ialah perbuatan
“mengambil” barang. Kata mengambil (wegnemen) dalam arti sempit terbatas
pada menggerakkan tangan dan jari-jari, memegang dan mengalihkannya ke
lain tempat. Sudah lazim masuk istilah pencurian, apabila orang mencuri
barang cair seperti misalnya bir, dengan membuka suatu keran untuk
mengalirkannya ke dalam botol yang ditempatkan di bawah keran itu. Bahkan
tenaga listrik sekarang dianggap dapat dicuri dengan sepotong kawat yang
mengalirkan tenaga listrik itu ke suatu tempat lain yang telah ditentukan.
Perbuatan “mengambil” barang itu tidak ada, apabila barangnya oleh

yang berhak diserahkan kepada pelaku. Apabila penyerahan ini disebabkan
oleh pembujukan dengan tipu muslihat, maka ada tindak pidana “penipuan”.
Jika penyerahan ini disebabkan ada paksanaan dengan kekerasan oleh si

20

R. Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit, hal. 17.

Universitas Sumatera Utara

18

pelaku, maka ada tindak pidana kekerasan, jika paksaan ini berupa kekerasan
langsung, itu disebut tindak pidana pengancaman (afdreiging) jika paksaan
ini berupa mengancam akan membuka rahasia.21
Unsur perbuatan mengambil barang dengan maksud bahwa suatu
barang berada dalam penguasaan mutlak dan mengakibatkan putusnya
hubungan antara barang dengan orang yang memilikinya. Menurut PAF.
Lamintang yang secara lengkap dalam bahasa Belanda berbunyi:
“Wegnemen is ene gendraging wa ardor man het goed brengthinzijn

feitolijke heerrchappij, bedoeling die men ten opzichte van dat goed
verder koestert”. (Mengambil itu adalah suatu perilaku yang membuat
suatu benda berada dalam penguasaannya yang nyata atau berada dalam
kekuasaannya atau di dalam detensinya, terlepas dari maksud tentang
apa yang diinginkan dengan benda tersebut).22
Mengambil adalah mengambil untuk dikuasai. Maksudnya untuk
mengambil barang itu dan barang tersebut belum dalam kekuasaannya,
apabila sewaktu memiliki barang itu telah berada ditangannya, maka
perbuatan

bukan

pencurian

tapi

penggelapan

(Pasal


372

KUHP).

Pengambilan (pencurian) itu sudah dikatakan selesai apabila barang tersebut
sudah pindah tempat. Bila mana seseorang baru memegang saja barang
tersebut dan belum berpindah tempat, maka perbuatan itu belum dikatakan
pencurian, melainkan “mencoba mencuri”.23
Perkembangan dalam Hukum Pidana menyebabkan pengertian
perbuatan “mengambil” dapat pula mengalami penafsiran yang luas, seperti
yang dipakai oleh pembuat Undang-Undang yaitu tidak terbatas dengan
21

Ibid, hal..14
PAF. Lamintang , Op.Cit, hal.13
23
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya.
Politea, Bogor, 2005, hal. 250
22


Universitas Sumatera Utara

19

tangan saja melainkan bisa juga mengambil dengan kaki, atau dengan
menggunakan satu macam alat lain, sebagaimana teori alat dalam hukum
pidana. Misalnya, dengan sepotong kayu atau besi ataupun menghabiskan
bensin dalam mengendarai kendaraan tanpa seizin pemiliknya, walaupun
tidak berniat mengambil kendaraan itu.
Disamping itu mengambil aliran listrik dari suatu tempat yang
dikehendaki dengan cara menempatkan sepotong kabel untuk mengalirkan
muatan aliran listrik tanpa melalui alat ukur Perusahaan Listrik Negara
(PLN), telah dapat dikategorikan sebagai suatu kejahatan pencurian.
Beberapa teori yang terdapat di dalam doktrin menjelaskan tentang
bilamana suatu perbuatan mengambil dapat dipandang sebagai telah terjadi,
masing-masing ialah:
1) Teori Kontrektasi
Menurut teori ini adanya suatu perbuatan mengambil itu diisyaratkan
bahwa dengan sentuhan badaniah, pelaku telah memindahkan benda
yang bersangkutan dari tempatnya semula.

2) Teori Ablasi
Teori ini mengatakan untuk selesainya perbuatan mengambil itu
diisyaratkan bahwa benda yang bersangkutan harus telah diamankan
oleh pelaku.
3) Teori Aprehensi
Menurut teori ini, untuk adanya perbuatan mengambil itu diisyaratkan
bahwa pelaku harus membuat benda yang bersangkutan berada dalam
penguasaan yang nyata.24
b. Unsur barang yang diambil
Sifat tindak pidana pencurian ialah merugikan kekayaan korban, maka
barang yang diambil harus berharga. Harga ini tidak selalu bersifat ekonomis.

24

P.A.F Lamintang, OpCit, hal. 5.

Universitas Sumatera Utara

20


Misalnya barang yang diambil itu tidak mungkin akan terjual kepada orang
lain, tetapi bagi si korban sangat dihargai sebagai suatu kenang-kenangan.
Barang yang diambil dapat sebagian dimiliki oleh pencuri, yaitu
apabila merupakan suatu barang warisan yang belum dibagi-bagi dan si
pencuri adalah seorang ahli waris yang turut berhak atas barang itu. Hanya
jika barang yang siambil itu, tidak dimiliki oleh siapapun juga (res nullius),
misalnya sudah dibuang oleh si pemilik, maka tidak ada tindak pidana
pencurian.
Menurut R. Soesilo memberikan pengertian sesuatu barang adalah
segala sesuatu yang berwujud dan bernilai ekonomis termasuk pula binatang
(manusia tidak termasuk), misalnya uang, baju, kalung, dan sebagainya. 25
Dalam pengertian barang masuk pula “daya listrik” dan “gas”, meskipun
tidak berwujud, akan tetapi dialirkan dikawat atau pipa. Barang disini tidak
perlu mempunyai harga ekonomis. Pada mulanya benda-benda yang menjadi
objek pencurian ini sesuai dengan keterangan dalam Memorie van
Toelichting (MvT) mengenai pembentukan Pasal 362 KUHP adalah terbatas
pada benda-benda bergerak saja (roerend goed). Benda-benda tidak bergerak
baru dapat menjadi benda bergerak. Misalnya, sebatang pohon yang telah
ditebang, atau daun pintu rumah yang telah terlepas/dilepas. Benda bergerak
adalah setiap benda yang berwujud dan bergerak ini sesuai dengan unsur

perbuatan mengambil. Benda yang kekuasaannya dapat dipindahkan secara
mutlak dan nyata adalah terhadap benda yang bergerak dan berwujud saja.

25

R. Soesilo, Op.Cit, hal. 250.

Universitas Sumatera Utara

21

Benda bergerak adalah setiap benda yang menurut sifatnya dapat
dipindahkan (Pasal 509 KUHPerdata). Sedangkan benda yang tidak bergerak
adalah benda-benda yang karena sifatnya tidak dapat berpindah atau
dipindahkan.
c. Seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain
Barang sebagai objek pencurian harus kepunyaan atau milik orang
lain walaupun hanya sebagian saja. Hal ini memiliki pengertian bahwa
meskipun barang yang dicuri tersebut merupakan sebahagian lainnya adalah
kepunyaan (milik) dari pelaku pencurian tersebut dapat dituntut dengan Pasal

362 KUHP. Misalnya sebuah sepeda milik A dan B, yang kemudian A
mengambilnya dari kekuasaan si B lalu menjualnya. Akan tetapi berbeda
halnya apabila semua sepeda tersebut berada halnya apabila semua sepeda
tersebut berada dalam kekuasaannya kemudian menjualnya, maka bukan
pencurian yang terjadi melainkan penggelapan (Pasal 372 KUHP).
Pengertian “orang lain” dalam unsur sebagian atau seluruhnya milik
orang lain yaitu diartikan sebagai bukan si petindak. Dengan demikian maka
pencurian dapat pula terjadi terhadap benda-benda milik suatu badan
misalnya milik Negara. Jadi benda yang dapat menjadi obyek pencurian ini
haruslah benda-benda yang ada pemiliknya. Benda-benda yang tidak ada
pemiliknya tidak dapat menjadi obyek pencurian.
2. Unsur-Unsur Subyektif.
a. Maksud untuk memiliki
Maksud untuk memiliki terdiri dari dua unsur, yakni pertama unsur
maksud (kesengajaan sebagai maksud atau opzet als oogmerk), berupa

Universitas Sumatera Utara

22

unsur kesalahan dalam pencurian, dan kedua unsur memiliki. Dua unsur
itu dapat dibedakan dan tidak dapat dipisahkan. Maksud dari perbuatan
mengambil barang milik orang lain itu harus ditujukan untuk memilikinya.
Gabungan dari dua unsur itulah yang menunjukan bahwa dalam delik atau
tindak pidana pencurian, pengertian memiliki tidak mensyaratkan
beralihnya hak milik atas barang yang dicuri ketangan petindak, dengan
alasan, pertama tidak dapat mengalihkan hak milik dengan perbuatan yang
melanggar hukum, dan yang kedua menjadi unsur pencurian ini adalah
maksudnya (subyektif) saja. Sebagai suatu unsur subyektif, memiliki
adalah untuk memiliki bagi diri sendiri atau untuk dijadikan sebagai
barang miliknya. Apabila dihubungkan dengan unsur maksud, berarti
sebelum melakukan perbuatan mengambil dalam diri petindak sudah
terkandung suatu kehendak (sikap batin) terhadap barang itu untuk
dijadikan sebagai miliknya.
b. Unsur tujuan memiliki barangnya dengan melanggar hukum
Unsur “melawan hukum” ini erat berkaitan dengan unsur menguasai
untuk dirinya sendiri. Unsur “melawan hukum” ini akan memberikan warna
pada perbuatan “menguasai” itu menjadi perbuatan yang dapat dipidana. Hal
ini berarti bahwa “melawan hukum” tersebut merupakan suatu perbuatan
yang dipandang bertentangan dengan hukum tertulis yakni undang-undang
atau ketentuan yang berlaku.
Unsur memiliki barangnya dengan melanggar hukum tedapat pada
tindak pidana penggelapan barang dari Pasal 372 KUHP, bahkan di situ tidak

Universitas Sumatera Utara

23

hanya harus ada “tujuan”, melainkan perbuatan melanggar hukum, baik
dalam Pasal 262 KUHP perihal penggelapan barang wujud barang tersebut
sama sekali tidak ditegaskan.
Menurut Moeljatno suatu perbuatan dikatakan melawan hukum yaitu
apabila sesuatu perbuatan telah mencocoki rumusan undang-undang yang
menggariskan bahwa suatu perbuatan yang melanggar undang-undang dalam
hal ini bersifat melawan hukum.26
P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang menyebutkan bahwa memiliki
secara melawan hukum itu juga dapat terjadi jika penyerahan telah terjadi
karena perbuatan-perbuatan yang sifatnya melanggar hukum, misalnya
dengan cara memalsukan suarat kuasa, dan sebagainya. 27
Maksud memiliki dengan melawan hukum artinya adalah sebelum
bertindak melakukan perbuatan mengambil benda, ia sudah mengetahui,
sudah sadar memiliki benda orang lain itu adalah bertentangan dengan hukum
dalam pencurian digolongkan ke dalam unsur melawan hukum subyektif.
KUHP mengenal 5 (lima) macam pencurian yaitu:
1. Pencurian biasa (Pasal 362 KUHP).
Istilah pencurian biasa digunakan oleh beberapa pakar hukum pidana
untuk menunjuk pengertian “pencurian dalam arti pokok”. Pencurian biasa ini
perumusannya diatur dalam Pasal 362 KUHP. Menurut R. Susilo menjelaskan
unsur-unsur pencurian biasa yaitu sebagai berikut:

26

Moeljatno, Op.Cit, hal. 56
P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, Delik-Delik Khusus, Kejahatan Terhadap Harta
Kekayaan. Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal. 33
27

Universitas Sumatera Utara

24

a. Elemen-elemen pencurian biasa sebagai berikut:
1) Perbuatan “mengambil”
2) Yang diambil harus “sesuatu barang”
3) Barang itu harus “seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain”
4) Pengambilan itu harus dilakukan dengan maksud untuk “memiliki”
barang itu dengan “melawan hukum” (melawan hak).
b. “Mengambil” = mengambil hak untuk dikuasainya, maksudnya waktu
pencuri mengambil barang itu, barang tersebut belum ada dalam
kekuasaannya, apabila waktu memiliki itu barangnya sudah ada
ditangannya, maka perbuatan ini bukan pencurian tetapi penggelapan
(Pasal 372 KUHP). Pengambilan (pencurian) itu sudah dapat dikatakan
selesai, apabila barang tersebut sudah pindah tempat. Bila orang baru
memegang saja barang itu, dan belum berpindah tempat, maka orang itu
belum dapat dikatakan mencuri.
c. “Sesuatu barang” = segala sesuatu yang berwujud termasuk pula binatang
(manusia tidak masuk), misalnya uang, baju, kalungdan sebagainya.
Dalam pengertian barang masuk pula “daya listrik” dan “gas”, meskipun
tidak berwujud, akan tetapi dialirkan dikawat attau pipa. Barang ini tidak
perlu mempunyai harga ekonomis. Oleh karena itu, mengambil beberapa
helai rambut wanita (untuk kenang-kenangan) tidak dengan izin wanita
itu, masuk pencurian, meskipun dua helai rambut tidak ada harganya.
d. Barang itu harus “seluruhnya atau sebagian milik orang lain”. “Sebagian
kepunyaan orang lain” misalnya: A bersama B disimpan dirumah A,
kemudian “dicuri” oleh B, atau A dan B menerima barang warisan dari C,
disimpan dirumah A kemudian “dicuri” oleh B, suatu barang yang bukan
kepunyaan seseorang tidak menimbulkan pencurian, misalnya binatang
liar yang hidup di alam, barang-barang yang sudah “dibuang” oleh yang
punya dan sebagainya.
e. “Pengambilan” itu harus dengan sengaja dan dengan maksud untuk
memilikinya. Orang “karena keliru” mengambil barang orang lain itu
bukan pencurian. Seorang “menemui” barang di jalan kemudian
diambilnya. Bila waktu mengambil itu sudah ada maksud “untuk
memiliki” barang itu, masuk pencurian. Jika waktu mengambil itu pikiran
terdakwa barang akan diserahkan ke polisi, akan tetapi setelah datang di
rumah barang itu dimiliki untuk diri sendiri (tidak diserahkan ke polisi), ia
salah „menggelapkan” (Pasal 372), karena waktu barang itu dimilikinya
sudah berada ditangannya.28
2. Pencurian Ringan
Jenis pencurian ini diatur dalam ketentuan Pasal 364 KUHP yang
menyatakan: “Perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 362 KUHP dan Pasal 363

28

R. Susilo, Op.Cit, hal. 249.

Universitas Sumatera Utara

25

ke-4 begitu juga perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 365 ke-5, apabila tidak
dilakukan dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, jika
harga barang yang dicuri tidak lebih dari dua puluh lima rupiah, dihukum sebagai
pencurian ringan, pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak
sembilan ratus rupiah”.
Berdasarkan rumusan pasal 364 KUHP, maka unsur-unsur pencurian
ringan adalah:
a. Pencurian dalam bentuk yang pokok (Pasal 362)
b. Pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama
(Pasal 363 ayat (1) ke-4 KUHP).
c. Tindak pidana pencurian yang untuk mengusahakan masuk ke dalam tempat
kejahatan atau untuk mencapai benda yang hendak diambilnya, orang yang
bersalah telah melakukan pembongkaran, pengrusakan, pemanjatan atau telah
memakai kunci palsu, perintah palsu atau jabatan palsu. Dengan syarat:
1) Tidak dilakukan di dalam sebuah tempat kediaman/rumah
2) Nilai dari benda yang dicuri tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah.
3. Pencurian dengan pemberatan
Suatu perbuatan dapat digolongkan sebagai pencurian berat apabila
memenuhi unsur-unsur Pasal 362 KUHP, juga harus memenuhi unsurlain yang
terdapat dalam Pasal 363 KUHP. Andi Hamzah menerjemahkan Palas 363 KUHP
sebagai berikut:
a. Diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun:
1) Pencurian ternak.

Universitas Sumatera Utara

26

2) Pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir, gempa bumi atau
gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan
kereta api, huru hara, pemberontakan atau bahaya perang.
3) Pencurian diwaktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup
yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang ada disitu tidak
diketahui atau dikehendaki oleh orang yang berhak.
4) Pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu.
5) Pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan atau untuk
sampai pada barang yang diambil, dilakukan dengan merusak, memotong,
atau memanjat, atau dengan anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian
jabatan palsu.
b. Jika pencurian yang diterangkan dalam butir 3 disertai dengan salah satu hal
dalam butir 4 dan 5 maka diancamdengan pidana penjara paling lama 9
tahun.29
4. Pencurian dengan Kekerasan
Pencurian dengan pemberatan kedua adalah pencurian yang diatur dalam
Pasal 365 KUHP. Jenis pencurian ini lazim disebut dengan istilah “pencurian
dengan kekerasan” atau popular dengan istilah “curas”. Pencurian dengan
kekerasan yaitu pencurian yang didahului, disertai, dan diikuti dengan kekerasan
atau ancaman kekerasan terhadap orang seperti yang diatur dalam Pasal 365
KUHP.

29

Andi Hamzah, Delik-delik Tertentu (Speciale Delicten) di Dalam KUHP. Sinar
Grafika, Jakarta, 2009, hal.173.

Universitas Sumatera Utara

27

Unsur kekerasan dapat berupa mengikat orang yang mempunyai rumah,
menutup di dalam kamar dan sebagainya. Kekerasan harus dilakukan pada orang
bukan kepada barang dan dapat dilakukan sebelumnya, bersama-sama, atau
setelah

pencurian

dilakukan,

asal

maksudnya

untuk

menyiapkan

atau

memudahkan pencurian, dan jika tertangkap tangan supaya ada kesempatan bagi
dirinya atau kawannya yang turut melakukan akan melarikan diri atau supaya
barang yang dicuri itu tetap berada di tangannya.
Adapun yang menjadi unsur-unsur dalam Pasal 365 KUHP adalah sebagau
berikut:
a. Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, pencurian yang
didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan,
terhadap orang, dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah
pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan
diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang
dicurinya.
b. Diancam dengan pidana paling lama dua belas tahun:
Ke-1 jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau
pekarangan tertutup yang ada rumahnya, di jalan umum, atau dalam kereta api
atau trem yang sedang berjalan.
Ke-2 jika perbuatan dilakukan oleh dua orang ataulebih secara bersama-sama.
Ke-tiga jika masuknya ke tempat melakukan kejahatan dengan membongkar,
merusak, atau memanjat atau memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau
pakaian jabatan palsu.

Universitas Sumatera Utara

28

Ke-4 jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat.
c. Jika perbuatan mengakibatkan mati, maka dikenakan pidana penjara paling
lama lima belas tahun.
d. Diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau selama waktu
tertentu paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan mengakibatkan luka berat
atau mati dan dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama
dengan disertai oleh salah satu hal yang diterang dalam ayat (2) ke-1 dan ke3.30
5. Pencurian dalam Kalangan Keluarga
Pencurian dalam keluarga ini diatur dalam KUHP Pasal 367, dimana
dalam hal ini yang melakukan pencurian itu adalah orang-orang yang berada
dalam satu lingkungan keluarga dan oleh karena itu tidak dapat dilakukan
penuntutan kecuali ada pengaduan dari orang yang dikenakan kejahatan itu, jika
perbuatan itu dilakukan sebelum mereka bercerai meja makan dan tempat tidur
maka mereka tidak dapat dihukum karena kedua orang itu sama-sama memiliki
harta benda suami isteri dan hal ini juga didasarkan pada tata susila.
Pencurian ini diatur dalam Pasal 367 KUHP yang menyatakan:
(1) Jika perbuatan atau pembantu salah satu kejahatan yang diterangkan dalam
bab ini ada suami (istri) orang yang kena kejahatan itu, yang tidak bercerai
meja makan dan tempat tidur atau bercerai harta benda, maka pembuat atau
pembantu itu tidak dapat dituntut hukuman.
(2) Jika suaminya (istrinya) yang sudah diceraikan meja makan tempat tidur atau
harta benda, atau sanak atau keluarga orang itu karena kawin, baik dalam

30

R. Soesilo, Op.Cit, hal. 253

Universitas Sumatera Utara

29

keturuan yang lurus, maupun keturunan yang menyimpang dalam derajat
yang kedua, maka bagi ia sendiri hanya dapat dilakukan penuntutan, kalau
ada pengaduan dari orang yang dikenakan kejahatan itu.
(3) Jika menuntut adat istiadat keturuan ibu, kekuasaan bapak dilakukan oleh
orang lain dari bapak kandung, maka ketentuan dalam ayat kedua berlaku
juga bagi orang itu.
Pencurian sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 367 KUHP ini
merupakan pencurian di kalangan keluarga. Artinya baik pelaku maupun
korbannya masih dalam satu keluarga, misalnya yang terjadi, apabila seorang
suami atau istri melakukan (sendiri) atau membantu (orang lain) pencurian
terhadap harta benda istri atau suaminya.

B. Pengertian Pencurian di Luar KUHP.
1. Dalam Arrest.
Melihat rumusan Pasal 362 KUHP diketahui bahwa kejahatan pencurian
merupakan tindak pidana yang dirumuskan secara formil. Dalam hal ini yang
dilarang dan diancam pidana adalah suatu perbuatan mengambil. Pada tahun 1921
pengertian kata “barang” hanyalah diartikan barang yang berwujud saja karena
pada waktu itu tidak ada barang yang tidak berwujud dan dapat diambil, namun
karena perkembangan Iptek ada barang yang tidak berwujud dan dapat diambil
yaitu “aliran listrik“. Pada tanggal 23 Mei 1921, Arrest Hoge Raad memperluas
arti kata barang yang tidak berwujud yaitu aliran listrik sehingga orang yang
melakukan pencurian listrik dapat dijatuhi pidana karena memenuhi unsur-unsur
yang terdapat dalam Pasal 362 KUHP tentang pencurian.

Universitas Sumatera Utara

30

Pemakaian listrik secara tidak sah tidak diatur secara khusus dalam KUHP
tetapi dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pencurian. Hal ini ditegaskan
dalam Arret Hoge Raad Tanggal 3 Januari 1922 (N.J. 1922 halaman 280, w.
10864), yaitu: “Tidak ada seorangpun yang dapat mengatakan, bahwa tenaga
listrik itu berada dibawah kekuasaanya. Perusahaan listrik tidak mempercayakan
tenaga listrik itu kepadanya dan tidak menyuruh ia menyimpanya. Mengambil
arus listrik secara melawan hak adalah pencurian bukan penggelapan”.31
Perbuatan mengambil dalam pencurian tenaga listrik ditegaskan dalam
Arrest Hoge Raad tanggal 23 Mei 1921 yaitu “perbuatan menyambung kawat
listrik untuk dialirkan kesuatu rumah dari kawat yang terdapat sebelum meteran
adalah perbuatan mengambil”.32 Umumnya dapat dikatakan bahwa suatu
kejahatan pencurian telah selesai apabila si pelaku telah mengambil atau
memindahkan benda dari tempatnya semula ketempat lain dengan maksud untuk
menguasai atau memilikinya secara melawan hukum. Jadi apabila perbuatan
tersebut hanya memegang, menyentuh, atau mengulurkan tangan tidak dapat
dikatakan telah selesai melakukan perbuatan mencuri tetapi dapat dikatakan baru
melakukan “percobaan” untuk melakukan pencurian.
Pencurian tenaga listrik, hal tersebut ditegaskan dalam Arrest Hoge Raad
tanggal 24 Mei 1937 yang menyatakan bahwa : “Pada pencurian aliran listrik
tidaklah penting apakah orang yang menghidupkan aliran dan dengan demikian
untuk dipakai bagi kepentingan sendiri ataupun untuk dikumpulkan bagi

31
32

P.A.F Lamintang , Op.Cit, hal. 102
Ibid, hal. 109.

Universitas Sumatera Utara

31

kepentingannya sendiri. Pencuri telah selesai pada saat diambilnya aliran listrik
itu”.33
Seperti dinyatakan dalam Arrest Hoge Raad tanggal 23 Mei 1921 (N.J.
1921 Halaman 564, W.10728) : “Tenaga listrik termasuk dalam pengertian benda,
karena ia mempunyai nilai tertentu. Untuk memperolehnya diperlukan biaya dan
tenaga. Tenaga listrik dapat dipergunakan untuk kepentingan sendiri, akan tetapi
juga dapat diserahkan kepada orang lain dengan penggantian pembayaran. Karena
Pasal 362 KUHP mempunyai tujuan untuk melindungi milik seseorang, maka
didalam pengertian benda haruslah tenaga listrik itu dimasudkan didalamnya.”
Arrest ini kemudian dikenal dengan apa yang disebut “Electriciteits Arrest”.34
Tenaga listik dapat dikatakan sebagai benda karena :
a. Energi listrik itu tidak dapat dipisahkan secara sendiri.
b. Energi listrik dapat diangkut dan dikumpulkan.
c. Energi listrik mempunyai nilai karena membangkitkan energi, memerlukan
biaya dan usaha dan dapat dipakai sendiri maupun dapat dipakai orang
banyak.
Kejahatan pencurian tenaga listrik jelas bahwa ada pemakaian listrik
secara tidak sah karena menikmati tenaga listrik yang bukan miliknya tetapi milik
PT. Perusahaan Listrik Negara yang untuk memperolehnya diharuskan melalui
prosedur yang ditentukan.

33

Adami Chazawi. Pelajaran Hukum Pidana 1, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002, hal,

157.
34

P.A.F. Laminang , Op.Cit, hal. 87.

Universitas Sumatera Utara

32

2. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012
Banyaknya perkara-perkara pencurian dengan nilai barang yang kecil yang
kini diadili di pengadilan cukup mendapatkan sorotan masyarakat. Masyarakat
umumnya menilai bahwa sangatlah tidak adil jika perkara tersebut diancam
dengan ancaman hukuman 5 (lima) tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 362
KUHP oleh karena tidak sebanding dengan nilai barang yang dicurinya.
Secara historis Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 2 Tahun 2012
tentang Tindak Pidana Ringan (Tipiring) ini muncul lebih dikarenakan adanya
tekanan masyarakat yang menilai bahwasanya pelaku pencurian yang nilainya
tidak “seberapa” dibandingkan dengan pelaku yang nilainya lebih besar terhadap
prosesnya dianggap sama saja, bahkan ketika hakim memutus suatu perkara
masyarakat banyak yang menganggap “maling ayam” lebih berat hukumannya
dibandingkan “maling kelas kakap” yang hukumannya jauh lebih ringan. Dan juga
Perma ini muncul dikarenakan jumlah rupiah pada saat ini tidak sesuai lagi
dengan perkembangan zaman pada saat ini, karena jumlah rupiah pada saat ini
mengalami penurunan yang sangat pesat ±10.000 kali jika dibandingkan harga
emas pada saat ini, oleh karena itu kata-kata “dua ratus lima puluh rupiah”
menjadi Rp. 2.500.000,00 (dua jua lima ratus ribu rupiah) dan denda yang
dikenakan juga dilipatgandakan menjadi seribu kali lipat.
Perma No 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana
Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP, yang pada intinya memerintahkan
kepada para aparat hukum untuk mengaktifkan kembali ketentuan Pasal 364
KUHP pada khususnya dalam memproses sebauah kasus pencurian ringan, agar

Universitas Sumatera Utara

33

kasus-kasus kecil yang didakwa dan dituntut serta dijatuhi hukuman pidana
dengan Pasal 362 KUHP tidak terulang kembali dimasa yang akan datang. Karena
pada umumunya masyarakat menganggap sangatlah tidak adil jika perkaraperkara tersebut diancam dengan ancaman hukuman 5 (lima) tahun penjara
sebagaimana diatur dalam Pasal 362 KUHP oleh karena tidak sebanding dengan
nilai barang yang dicurinya.
Langkah yang ditempuh oleh Mahkamah Agung sangatlah positif, namun
kita harus hati-hati dalam menyikapinya. Penafsiran unsur dalam pasal 364 KUHP
harus dipahami secara komprehensif agar kita tidak tersesat pada penafsiran
bahwa perbuatan pidana ringan hanya dapat dilihat dari sisi nominal nilai barang
yang dicuri. Ketentuan Pasal 364 KUHP menyatakan ‚perbuatan yang diterangkan
dalam pasal 362 dan pasal 363 No 4, begitu juga apa yang diterangkan dalam
pasal 363 No.5, asal saja tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau dalam
pekarangan yang tertutup yang ada rumahnya, maka jika barang yang dicuri itu
tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah, dihukum sebagai pencurian ringan
dengan hukuman penjara selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyakbanyaknya Rp.900,-.
Salah satu unsur yang terdapat pada pasal 364 KUHP tidak hanya sebatas
pada nilai nominal barang yang dicuri yakni tidak lebih dari seratus dua puluh
lima rupiah, yang dalam Perma sudah dilipatgandakan sepuluh ribu kali lipat
menjadi dua juta lima ratus ribu rupiah, namun juga bahwa pencurian tersebut asal
saja tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau dalam pekarangan yang tertutup
yang ada rumahnya.

Universitas Sumatera Utara

34

Ada dua hal yang membedakan antara pencurian biasa dan pencurian
ringan dalam KUHP dan Perma tersebut, yaitu:
a. Nilai Barang yang Dicuri.
Hal utama yang membedakan antara Pasal 362 KUHP (Pencurian) dengan
Pasal 364 KUHP (Pencurian Ringan) terletak pada batasan nilai (nominal)
barang yang dicuri pelaku tindak pidana. Dalam ketentuan Pasal 364 KUHP
dirumuskan suatu syarat untuk mengatakan bahwa suatu tindak pidana adalah
pencurian ringan yaitu dengan membatasi nilai barang yang dicuri tidak lebih
dari dua puluh lima rupiah sedangkan dalam Perma No 2 Tahun 2012 di
lipatgandakan menjadi dua juta lima ratus ribu rupiah. Ketentuan tersebut
berbeda dengan Pasal 362 KUHP yang tidak memberikan batasan nilai barang
yang dicuri oleh pelaku untuk bisa diterapkan pasal ini.
b. Ancaman Pidana.
Perbedaan kedua adalah menyangkut pidana yang diancamkan bagi pelaku
tindak pidana tersebut. Pada ketentuan Pasal 362 KUHP, pembuat undangundang mencantumkan ancaman pidana penjara paling lama lima tahun atau
denda paling banyak enam puluh rupiah bagi setiap orang yang melanggar
ketentuan pasal tersebut. Sedangkan dalam Pasal 364 KUHP, pidana yang
diancamkan pada pelaku hanya pidana penjara paling lama tiga bulan atau
pidana denda paling banyak enam puluh rupiah.
Kedua perbedaan di atas memberikan konsekuensi hukum yang berbeda
bagi pelakunya, terutama hak yang dimiliki pelaku dalam proses peradilan pidana,
yang bisa kita analisis sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

35

a. Penahanan terhadap pelaku tindak pidana.
Konsekuensi pertama yang akan dialami oleh pelaku tindak pidana adalah
boleh/tidaknya pelaku ditahan oleh penegak hukum dalam proses peradilan
pidana. Syarat penahanan dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana atau yang biasa disebut sebagai Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu:
1) Syarat obyektif.
Penahanan hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang
melakukan tindak pidana dan/atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam
tindak pidana tersebut dalam hal:
a) Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.
b) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296,
Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378,
Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480, da Pasal
506 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26
Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap Ordonansi Bea dan Cukai, terakhir
diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal
4 Undang-Undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-Undang Nomor 8 Darurat
Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal
41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47, dan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 9 Tahu
1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3086).

Universitas Sumatera Utara

36

2) Syarat subyektif.
Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang
tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan
bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran
bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan
barang bukti, dan/atau mengulangi tindak pidana.
Syarat obyektif merupakan syarat yang mutlak harus dipenuhi oleh pelaku
tindak pidana untuk dapat dilakukan penahanan oleh penegak hukum dalam
sistem peradilan pidana, sedangkan syarat subyektif bisa saya katakan sebagai
supporting circumstances yang mendukung syarat utama dalam penahanan.
Karenanya saya melihat bahwa penahanan harus, pertama kalinya, memenuhi
syarat obyektif kemudian apakah penegak hukum khawatir pelaku akan melarikan
diri dan lain-lain, itu adalah cuap-cuap yang bisa dikarang kapanpun dengan
kondisi apapun.
Kembali pada pembahasan mengenai tindak pidana pencurian (Pasal 362
KUHP) dengan tindak pidana pencurian ringan (Pasal 364 KUHP), implikasinya
berpengaruh pada subyek penahanan. Ilustrasinya adalah jika seseorang disangka
melanggar ketentuan Pasal 362 KUHP, karena ancaman pidananya paling banyak
lima tahun (dan memenuhi Pasal 21 ayat (4) huruf a KUHAP), ia harus
berhadapan dengan fakta, bahwa oleh hukum, ia diberikan hak istimewa untuk
dapat memperoleh status tahanan dari penegak hukum, terlepas apakah
keleluasaan itu digunakan atau tidak. Tetapi, jika yang digunakan adalah Pasal
364 KUHP, pelaku tindak pidana, dalam keadaan apapun, tidak akan bisa ditahan

Universitas Sumatera Utara

37

karena syarat obyektif yaitu ancaman pidana minimal lima tahun penjara, tidak
dapat dipenuhi, dan karenanya oleh hukum, ia tidak akan bisa merasakan
„nikmatnya‟ menjadi seorang tahanan. Ini adalah poin perbedaan yang sangat
fundamental dari kedua pasal tersebut.
b. Pengajuan Kasasi oleh Pelaku dan/atau Jaksa.
Konsekuensi selanjutnya adalah diprosesnya suatu perkara dengan
menggunakan acara cepat. Jika suatu tindak pidana dikategorikan sebagai tindak
pidana ringan, perkara tersebut harus diproses dengan menggunakan acara cepat
sebagaimana diatur dalam Pasal 205-210 KUHAP.
Pasal 205 KUHAP menyebutkan :
(1) Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah

perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama
tiga bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah
dan penghinaan ringan kecuali yang ditentukan dalam Paragraf 2 Bagian
ini.
(2) Dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penyidik atas kuasa
penuntut umum, dalam waktu tiga hari sejak berita acara pemeriksaan
selesai dibuat, menghadapkan terdakwa beserta barang bukti, saksi, ahli,
dan/atau juru bahasa ke sidang pengadilan.
(3) Dalam acara pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
pengadilan mengadili dengan hakim tunggal pada tingkat pertama dan
terakhir, kecuali dalam hal dijatuhkan pidana perampasan kemerdekaan,
terdakwa dapat minta banding.
Berdasarkan ketentuan di atas, bahwa pemeriksaan terhadap tindak pidana
ringan berbeda sama sekali dengan tindak pidana pada umumnya. Dalam waktu
tiga hari sejak berita acara pemeriksaan selesai dibuat, penyidik atas kuasa
penuntut umum langsung dapat membawa terdakwa ke sidang pengadilan dan
diadili dengan menggunakan hakim tunggal sehingga prosesnya akan berjalan
dengan cepat. Hal ini yang akan dikenakan pada pelaku tindak pidana pencurian

Universitas Sumatera Utara

38

ringan, yang untuk kesekian kalinya, berbeda dengan pelaku pada tindak pidana
pencurian dalam Pasal 362 KUHP.
Nominal yang ada di KUHP masih demikian adanya tanpa pernah
disesuaikan lagi sejak tahun 1960. Terakhir kali, DPR dan Pemerintah
memberikan perhatian serius (bukan sekedar omong kosong) adalah pada tahun
1960 dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(PERPU) Nomor 16 Tahun 1960 tentang Beberapa Perubahan dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana dan PERPU Nomor 18 Tahun 1960 tentang
Perubahan Jumlah Hukum Denda dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
dan dalam Ketentuan-Ketentuan Pidana Lainnya yang Dikeluarkan sebelum
Tanggal 17 Agustus 1945 (keduanya telah disahkan melalui Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1961 tentang Penetapan Semua Undang-Undang Darurat dan
Semua Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang sudah ada sebelum
Tanggal 1 Januari 1961 Menjadi Undang-Undang). Berikut adalah beberapa
perubahan dalam kedua peraturan tersebut.
Pasal I PERPU Nomor 16 Tahun 1960‚Kata-kata ‚vijf en twintig gulden‛
dalam pasal-pasal 364, 373, 379, 384, dan 407 ayat (1) Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana diubah menjadi ‚dua ratus lima puluh rupiah‛.‛
Pasal I PERPU Nomor 18 Tahun 1960:
(1) Tiap jumlah hukuman denda yang diancamkan, baik dalam KUHP

sebagaimana beberapa kali telah ditambah dan diubah yang terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1960 (L.N. 1960-1) maupun
dalam ketentuan-ketentuan pidana lainnya yang dikeluarkan sebelum
tanggal 17 Agustus 1945, sebagaimana telah diubah sebelum hari mulai
berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, harus
dibaca dalam mata uang rupiah dan dilipatgandakan menjadi lima belas
kali.

Universitas Sumatera Utara

39

(2) Ketentuan dalam ayat (1) tidak berlaku terhadap jumlah hukuman denda

dalam ketentuan-ketentuan yang telah dimasukkan dalam tindak pidana
ekonomi.
Dua PERPU ini mengubah ketentuan KUHP, yaitu:
1) Nilai ‚barang‛ dalam Pasal 364, 373, 379, 3984, dan 407 ayat (1) KUHP
diubah menjadi ‚dua ratus lima puluh rupiah‛ yang berlaku demikian adanya
hingga detik ini (sebelum dikeluarkannya PERMA Nomor 02 Tahun 2012).
2) Pidana denda dalam KUHP dibaca dalam mata uang rupiah dilipatgandakan
menjadi lima belas kali. Sehingga jika di KUHP tertulis ‚denda paling banyak
enam puluh rupiah‛ harus dikalikan lima belas sehingga dibaca ‚denda paling
banyak sembilan ratus rupiah‛.
3. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009.
Upaya memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan
bangsa, tenaga listrik sebagai bagian dari cabang produksi yang penting bagi
negara sangat menunjang upaya tersebut. Sebagai salah satu hasil pemanfaatan
kekayaan alam yang menguasai hajat hidup orang banyak, tenaga listrik perlu
dipergunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Upaya memenuhi kebutuhan tenaga listrik secara lebih merata, adil dan
untuk lebih meningkatkan kemampuan negara dalam hal penyediaan tenaga listik
dapat diberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada Badan Usaha Milik
Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi atau swasta untuk menyediakan
tenaga listrik berdasarkan izinusaha penyediaan tenaga listrik. Untuk penyediaan
tenaga listrik skala kecil, prioritas diberikan kepadan Badan Usaha kecil dan
menengah.

Universitas Sumatera Utara

40

Meningkatkan pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan di sektor ketenagalistrikan, diperlukan upaya secara optimal dan
efisien memanfaatkan sumber energi domestik serta energi yang bersih dan ramah
lingkungan, dan teknologi yang efisien guna menghasilkan nilai tambah untuk
pembangkitan tenaga listrik sehingga menjamin tersedianya tenaga listrik yang
diperlukan.
Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang
Ketenagalistrikan disebutkan bahwa ketenagalistrikan adalah sesuatu yang
menyangkut penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik serta usaha penunjang
tenaga listrik.
Selanjutnya yang dimaksud dengan konsumen menurut Pasal 1 ayat (7)
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan bahwa
konsumen adalah setiap orang atau badan yang membeli tenaga listrik dari
pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik. Penyelenggaraan usaha
ketenagalistrikan menganut asas manfaat, efisiensi, berkeadilan, kebersamaan,
optimasi ekonomis dalam pemanfaatan sumber daya, berkelanjutan, percaya dan
mengandalkan pada kemampuan sendiri, keamanan dan keselamatan serta
kelestarian fungsi lingkungan hidup dan otonomi daerah.

Pembangunan

ketenagalistrikan bertujuan untuk menjamin ketersediaan tenaga listrik dalam
jumlah yang cukup, kualitas yang baik, dan harga yang wajar dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata serta
mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan (Pasal 2 Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan).

Universitas Sumatera Utara

41

Tindak pidana pencurian tenaga listrik diatur dalam Pasal 51 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan, yang
menyatakan: Setiap orang yang menggunakan tenaga listrik yang bukan haknya
secara melawan hukum dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh)
tahun dan denda paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta
rupiah).
Menurut

Undang-Undang

Nomor

30

Tahun

2009

Tentang

Ketenagalistrikan mendefinisikan perbuatan tersebut tidak menggunakan istilah
“pencurian tenaga listrik” tetapi menggunakan istilah “menggunakan tenaga listrik
yang bukan haknya secara melawan hukum” sebagaimana terdapat dalam
Keputusan Direksi PT. PLN Nomor: 1486.K/DIR/2011 Tentang Penertiban
Pemakaian Tenaga Listrik. Surat keputusan ini menyatakan bahwa: “Yang
dimaksud dengan pemakaian tenaga listrik secara tidak sah adalah pemakaian
listrik PLN dengan melanggar ketentuan-ketentuan tersebut dalam syarat-syarat
untuk mendapatkan sambungan, aturan-aturan instalasi dan tarif dasar listrik yang
berlaku”.
Melihat pada pengertian pemakaian tenaga listrik secara tidak sah yang
telah dikemukakan, maka didapat unsur-unsur dari pemakaian tenaga listrik secara
tidak sah adalah sebagai berikut:
a. Pemakaian tenaga listrik menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan adalah satu bentuk energi sekunder
yang dibangkitkan, ditransmisikan dan didistribusikan untuk segala macam
keperluan dan bukan listrik yang dipakai untuk komunikasi atau isyarat.

Universitas Sumatera Utara

42

Menurut penjelasan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009
tentang Ketenagalistrikan yang dimaksud dengan tenaga listrik hanya terbatas
pada pengertian tenaganya (power).
b. Melanggar salah satu ketentuan yaitu :
1) Syarat-syarat mendapatkan sambungan.
Setiap calon pelanggan yang hendak melakukan penyambungan baik
penyambungan baru, penyambungan sementara atau penambahan daya
harus mengikuti prosedur dan memenuhi persyaratan yang telah
ditentukan oleh PLN, yaitu:
a) Calon pelanggan mengajukan permohonan untuk memperoleh
sambungan listrik kepada PLN.
b) Permohonan tersebut diteliti oleh pihak PLN untuk mementukan
perencanaan perhitungan biaya.
c) Jika calon pelanggan menyetujui besarnya biaya yang telah
diperhitungkan oleh PLN, maka dibuatlah surat persetujuan.
d) Pemasangan instalasi listrik dilakukan oleh instalator yang ditunjuk
oleh pelanggan.
e) Membuat surat perjanjian.
f) Membayar semua tagihan yang telah ditetapkan dalam surat perjanjian.
g) PLN memasukkan daya listrik ke rumah pelanggan.
2) Tarif Dasar Listrik yang berlaku.
Tarif dasar yang berlaku adalah segala biaya yang dikenakan kepada
pelanggan,. Biaya pemakaian listrik tersebut wajib dibayar oleh pelanggan

Universitas Sumatera Utara

43

setiap bulannya, meliputi bea beban dan bea pemakaian yang besarnya
tergantung dari besarnya daya yang digunakan dan golongan pemakaian.
3) Aturan-Aturan instalasi.
Aturan-aturan instalasi ini ditujukan kepada Biro Teknik Listrik yang
melaksanakan intslasi si rumah pelanggan. Dalam pelaksanaan instalasi
listrik tersebut, Biro Teknik Listrik harus memenuhi aturan-aturan
instalasi, yaitu petunjuk pemasangan teknis pemasangan instalasi.
Apabila dalam penggunaan tenaga listrik digunakan dengan melanggar
salah satu ketentuan dari PLN maka perbuatan tersebut merupakan pemakaian
tenaga listrik secara tidak sah.

Universitas Sumatera Utara