Preparasi Serbuk dan Sintering Magnet Permanen Barium Heksaferit dengan Aditif FeMn

5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Magnet
Magnet adalah suatu benda yang mempunyai medan magnet dan mempunyai
gaya tolak menolak dan tarik menarik terhadap benda-benda teretentu. Efek tarik
menarik dan tolak menolak pada magnet disebut dengan magnetisme. Kata magnet
berasal dari bahasa Yunani yaitu Magnitis Lithos yang berarti batu Magnesian.
Magnesian adalah nama sebuah wilayah Yunani pada masa lalu, dimana teradapat
batu magnet yang ditemukan sejak zaman dulu di wilayah tersebut (Zailani, 2014).
Magnet merupakan suatu fenomena yang sangat menarik untuk dikaji, karena
pada material magnet dapat ditarik atau ditolak tanpa adanya sentuhan secara
langsung. Hal tersebut sudah diketahui sejak ratusan tahun yang lalu. Akan tetapi
mekanisme dan prinsip yang mendasarinya mulai dimengerti secara ilmiah pada abad
ke 18, yaitu oleh fisikawan belanda Hans Cristian Oersted membuat suatu
eksperimen yang menerangkan adanya efek-efek magnet yang dialiri arus listrik
(Muklisin, 2013).
Magnet dapat dibuat dari bahan besi, baja, dan campuran logam serta telah
banyak dimanfaatkan untuk industri otomotif dan lainnya. Sebuah magnet terdiri atas
magnet-magnet kecil yang memiliki arah yang sama (tersusun teratur), magnetmagnet kecil ini disebut magnet elementer. Pada logam yang bukan magnet, magnet

elementernya mempunyai arah sembarangan (tidak teratur) sehingga efeknya saling
meniadakan, yang mengakibatkan tidak adanya kutub-kutub magnet pada ujung
logam. Setiap magnet memiliki dua kutub, yaitu: utara dan selatan. Kutub magnet
adalah daerah yang berada pada ujung-ujung magnet dengan kekuatan magnet yang
paling besar berada pada kutub-kutubnya. Magnet dapat menarik benda lain,
beberapa benda bahkan tertarik lebih kuat dari yang lain, yaitu bahan logam. Namun
tidak semua logam mempunyai daya tarik yang sama terhadap magnet. Besi dan baja
adalah dua contoh materi yang mempunyai daya tarik yang tinggi oleh magnet.
Sedangkan oksigen cair adalah contoh materi yang mempunyai daya tarik yang
rendah oleh magnet. Satuan intensitas magnet menurut sistem metrik Satuan
Internasional (SI) adalah Tesla dan SI unit untuk total fluks magnetik adalah weber

Universitas Sumatera Utara

6

(1 weber/m2 = 1 tesla) yang mempengaruhi luasan satu meter persegi (Anonim,
2014).
Magnet terbaik umumnya mengandung besi metalik. Namun, ternyata bahwa
unsur lain pun menampilkan sifat magnetik; selain itu, material bukan logam pun

dapat memiliki sifat magnet. Dalam teknologi modern kini banyak digunakan magnet
logam maupun magnet keramik. Selain itu dimanfaatkan pula unsur lain untuk
meningkatkan kemampuan magnetik sehingga memenuhi persyaratan (Van Vlack,
1984).

2.2 Sifat-Sifat Magnet
Sifat-sifat yang terdapat dalam benda magnetik diantaranya :
2.2.1 Koersivitas
Koersivitas digunakan untuk membedakan hard magnet atau soft magnet. Semakin
besar gaya koersivitasnya maka semakin tinggi sifat magnetnya. Bahan dengan
koersivitas tinggi berarti tidak mudah hilang kemagnetannya. Untuk menghilangkan
kemagnetannya diperlukan intensitas magnet H yang besar. Tidak seperti bahan soft
magnet yang mempunyai medan magnet B sebesar oM, dalam magnet permanen.
Magnetisasi bukan merupakan fungsi linier yang sederhana dari rapat fluks karena
nilai dari medan magnet H yang digunakan dalam magnet permanen secara umum
jauh lebih besar dari pada dalam bahan soft magnet (Young Joon, 2008).
2.2.2 Remanensi atau Ketertambatan
Remanen atau ketertambatan adalah sisa medan magnet B dalam proses magnetisasi
pada saat medan magnet H dihilangkan, atau remanensi terjadi pada saat intensitas
medan magnetik H berharga nol dan medan magnet B menunjukkan harga tertentu.

Bagaimanapun juga koersivitas sangat dipengaruhi oleh nilai remanensinya. Oleh
karena itu besar nilai remanensi yang dikombinasikan dengan besar koersivitas pada
magnet permanen menjadi sangat penting (Jiles, 1996).
2.2.3 Saturasi Magnetisasi
Saturasi magnetisasi adalah keadaan dimana terjadi kejenuhan, nilai medan magnet B
akan selalu konstan. walaupun medan eksternal H dinaikkan terus. Remanensi
bergantung pada saturasi magnetisasi. Untuk magnet permanen (hard magnet), nilai

Universitas Sumatera Utara

7

saturasi magnetisasinya lebih besar dari pada soft magnet. Kerapatan dari bahan ferit
lebih rendah dibandingkan logam-logam lain dengan ukuran yang sama. Oleh
karenanya nilai saturasi dari bahan ferit relatif rendah, hal ini menguntungkan untuk
dapat dihilangkan. Nilai kerapatan ferit dapat dilihat pada Table 1.
Tabel 1 Nilai kerapatan dari beberapa jenis Ferrite (Allan, 2011).
Kerapatan,
No.


Ferrite

ρ (x10-3
kg/m3)

1

Zinc Ferrite

5,4

2

Cadmium

5,76

3

Ferrous


5,24

Hexagonal
4

Barium

5,3

5

Stronsium

5,12

6

MnZn (high permeability)


4,29

7

MnZn (recording head)

4,7 - 4,75

2.2.4 Medan Anisotropi
Medan Anisotropi (HA), juga merupakan nilai instrinsik yang sangat penting dari
magnet permanen karena nilai ini dapat didefenisikan sebagai koersivitas maksimum
yang menunjukkan besar medan magnet luar yang diberikan dengan arah berlawanan
untuk menghilangkan medan magnet permanen. Anisotropi salah satu metode dalam
pembuatan magnet, dimana hal ini dilakukan untuk menyearahkan domain daripada
magnet tersebut. Dalam proses pembentukan magnet dengan anisotropi dilakukan
dalam medan magnet sehingga partikel – pertikel pada magnet terorientasi dan
umumnya dilakukan dengan cara basah. Anisotropi pada magnet dapat muncul
disebabkan oleh beberapa faktor seperti bentuk magnet, striktur kristal, efek stress
dan sebagainya. Anisotropi kristal banyak dimiliki oleh material feromagnetik yang
disebut sebagai Magnetocrystalline Anisotropy, yaitu bahan magnet yang

mempunyai sumbu mudah (easy axis) sehingga mudah dimagnetisasi (soft magnetic).
Spin momen magnet terarah dan searah dengan sumbu mudah ini. Pada keadaan
stabil, energi total magnet atau magnetisasi kristal sama dengan sumbu mudah.

Universitas Sumatera Utara

8

Selain itu, ada juga yang disebut juga dengan hard magnetic dimana diperlukan suatu
energi yang merubah verktor dari sumbu mudah ke sumbu keras (hard axis).
2.2.5 Temperatur Curie (Tc)
Temperatur Curie (Tc) didefinisikan sebagai temperatur kritis dimana fase magnetik
bertransisi dari konfigurasi struktur magnetik yang teratur menjadi tidak
teratur (Silitonga, 2016).

2.3 Bahan Magnetik
Bahan magnetik adalah suatu bahan yang memiliki sifat kemagnetan dalam
komponen pembentuknya. Berdasarkan perilaku molekulnya di dalam medan
magnetik luar, bahan magnetik terdiri atas tiga kategori, yaitu diamagnetik,
paramagnetik, dan ferromagnetik.

2.3.1 Bahan Diamagnetik
Bahan diamagnetik adalah bahan yang resultan medan magnet atomis masing–
masing atom/molekulnya adalah nol, tetapi medan magnet akibat orbit dan spin
elektronnya tidak nol. Bahan diamagnetik tidak mempunyai momen dipol magnet
permanen. Jika bahan diamagnetik diberi medan magnet luar, maka elektron elektron dalam atom akan mengubah gerakannya sedemikian rupa sehingga
menghasilkan resultan medan magnet atomis yang arahnya berlawanan dengan
medan magnet luar tersebut. Sifat diamagnetik bahan ditimbulkan oleh gerak orbital
elektron. Karena atom mempunyai elektron orbital, maka semua bahan bersifat
diamagnetik. Suatu bahan dapat bersifat magnet apabila susunan atom dalam bahan
tersebut mempunyai spin elektron yang tidak berpasangan.
Dalam bahan diamagnetik hampir semua spin elektron berpasangan,
akibatnya bahan ini tidak menarik garis gaya. Permeabilitas bahan iniμ <

0

dengan

suseptibilitas magnetik bahanμ χm < 0. Nilai bahan diamagnetik mempunyai orde -105

m3/kg. Contoh bahan diamagnetik yaitu: bismut, perak, emas, tembaga dan seng.

2.3.2 Bahan Paramagnetik

Bahan paramagnetik adalah bahan yang resultan medan magnet atomis masingmasing atom/molekulnya tidak nol, tetapi resultan medan magnet atomis total
seluruh atom/molekul dalam bahan nol, hal ini disebabkan karena gerakan atom/

Universitas Sumatera Utara

9

molekul acak, sehingga resultan medan magnet atomis masing-masing atom saling
meniadakan. Di bawah pengaruh medan eksternal, mereka mensejajarkan diri karena
torsi yang dihasilkan. Sifat paramagnetik ditimbulkan oleh momen magnetik spin
yang menjadi terarah oleh medan magnet luar.

Gambar 1. Arah domain-domain dalam bahan paramagnetik sebelum diberi medan
magnet luar.
Bahan ini jika diberi medan magnet luar, elektron-elektronnya akan berusaha
sedemikian rupa sehingga resultan medan magnet atomisnya searah dengan medan
magnet luar. Sifat paramagnetik ditimbulkan oleh momen magnetik spin yang
menjadi terarah oleh medan magnet luar.


Gambar 2. Arah domain dalam bahan paramagnetik setelah diberi medan magnet
luar.
Dalam bahan ini hanya sedikit spin elektron yang tidak berpasangan,
sehingga bahan ini sedikit menarik garis-garis gaya. Dalam bahan paramagnetik,
medan B yang dihasilkan akan lebih besar dibanding dengan nilainya dalam hampa
udara. Suseptibilitas magnet dari bahan paramagnetik adalah positif dan berada
dalam Rentang 10-5 sampai 10-3 m3/Kg, sedangkan permeabilitasnya adalah

>

0.

Contoh bahan paramagnetik: alumunium, magnesium dan wolfram.
2.3.3 Bahan Ferromagnetik
Ferromagnetik merupakan bahan yang memiliki nilai suseptibilitas magnetik
positif yang sangat tinggi. Dalam bahan ini sejumlah kecil medan magnetik luar
dapat menyebabkan derajat penyearahan yang tinggi pada momen dipol magnetik
atomnya. Dalam beberapa kasus, penyearahan ini dapat bertahan sekalipun medan
kemagnetannya telah hilang. Hal ini terjadi karena momen dipol magnetik atom dari


Universitas Sumatera Utara

10

bahan-bahan ferromagnetik ini mengarahkan gaya-gaya yang kuat pada atom
disebelahnya. Sehingga dalam daerah ruang yang sempit, momen ini disearahkan
satu sama lain sekalipun medan luarnya tidak ada lagi. Daerah ruang tempat momen
dipol magnetik disearahkan, tetapi arah penyearahnya beragam dari daerah sehingga
momen magnetik total dari kepingan mikrokopi bahan ferromagnetik ini adalah nol
dalam keadaaan normal (Tipler, 2001).

Gambar 3. Momen magnetik dari sifat ferromagnetik
Bahan ini juga mempunyai sifat remanensi, artinya bahwa setelah medan
magnet luar dihilangkan, akan tetap memiliki medan magnet, karena itu bahan ini
sangat baik sebagai sumber magnet permanen. Permeabilitas bahan μ

>>

0

dengan

suseptibilitas bahan μ χm >> 0. Contoh bahan ferromagnetik: besi, baja. Sifat
kemagnetan bahan ferromagnetik akan hilang pada temperatur Currie. Temperatur
Currie untuk besi lemah adalah 770°C dan untuk baja adalah 1043°C.
Sifat bahan ferromagnetik biasanya terdapat dalam bahan ferit. Ferit merupakan
bahan dasar magnet permanen yang banyak digunakan dalam industri-industri
elektronika, seperti dalam loudspeaker, motor-motor listrik, dinamo dan KWH-meter
(Afza, 2011).
2.3.4 Bahan Anti Ferromagnetik
Bahan anti ferromagnetik adalah suatu bahan yang memiliki susebtibilitas positif
yang kecil pada segala temperatur, tetapi perubahan suscepbilitas karena tempratur
adalah keadaan yang sangat khusus.Susunan dwikutubnya adalah sejajar tetapi
berlawanan arah, diperlihatkan pada Gambar 4.

Universitas Sumatera Utara

11

(a)

(b)

Gambar 4. Arah domain dan kurva bahan Anti Ferromagnetik, (a) Sebelum diberi
medan luar, (b) Setelah diberi medan luar.
2.3.5 Bahan Ferrimagnetik
Pada bahan yang bersifat dipol yang berdekatan memiliki arah yang berlawanan
tetapi momen magnetiknya tidak sama besar. Bahan ferrimagnetik memiliki nilai
susepbilitas tinggi tetapi lebih rendah dari bahan ferromagnetik, beberapa contoh dari
bahan ferrimagnetik adalah ferrite dan magnetite (Mujiman, 2004).

Gambar 5. Momen magnet dari sifat ferrimagnetik

2.4 Jenis Magnet Permanen
Produk magnet permanen ada dua macam berdasarkan teknik pembuatannya yaitu
magnet permanen isotropi dan magnet permanen anisotropi. Magnet permanen
isotropi magnet dimana pada proses pembentukkan arah domain magnet partikelpartikelnya masih acak, sedangkan yang anisotropi pada pembentukkan dilakukan di
dalam medan magnet sehingga arah domain magnet partikel-partikelnya mengarah
pada satu arah tertentu seperti ditunjukkan pada gambar 6 untuk membedakan
isotropi dan anisotropi. Magnet permanen isotropi memiliki sifat magnet atau
remanensi magnet yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan magnet permanen
anisotropi.

Universitas Sumatera Utara

12

Gambar 6. Arah partikel pada magnet isotropi dan anisotropi
(a) Arah partikel acak (Isotrop)
(b) Arah partikel searah (Anisotrop) (Masno G, dkk, 2006).

2.5 Kurva Histerisis
Kurva histerisis pada bahan merupakan bentuk disipasi energi yang terjadi selama
proses pembentukan kurva B-H. Besarnya energi yang didisipasikan pada frekuensi
rendah umumnya dipengaruhi oleh porositas, ukuran grain dan impuritasBentuk
umum kurva medan magnetB sebagai fungsi intensitas magnet H terlihat pada
gambar 7 kurva B (H) seperti ini disebut kurva induksi normal.

Gambar 7. kurva induksi normal
Pada gambar di atas tampak bahwa kurva tidak berbentuk garis lurus
sehingga dapat dikatakan bahwa hubungan antara B dan H tidak linier. Dengan
kenaikan harga H, mula-mula B turut naik cukup besar, tetapi mulai dari nilai H
tertentuterjadi kenaikan nilai B yang kecil dan menuju nilai B yang konstan. Harga
medan magnet untuk keadaan saturasi disebut dengan Bs atau medan magnet
saturasi. Saturasi magnetisasi merupakan keadaan dimana terjadi kejenuhan, nilai
medan magnet B akan selalu konstan walaupun medan eksternal H dinaikkan terus.
(Ika Mayasari, 2012).

Universitas Sumatera Utara

13

Sesudah mencapai saturasi ketika intensitas magnet H diperkecil hingga
mencapai H = 0, ternyata kurva B tidak melewati jalur kurva semula. Pada harga H =
0, medan magnet atau rapat fluks B mempunyai harga Br ≠ 0 seperti ditunjukkan
pada kurva histerisis pada gambar 8.

Gambar 8. Kurva histerisis
Harga Br ini disebut dengan induksi remanen atau remanensi bahan.
Remanen atau ketertambatan adalah sisa medan magnet B dalam proses magnetisasi
pada saat medan magnet H dihilangkan, atau remanensi terjadi pada saat intensitas
medan magnetik H berharga nol dan medan magnet B menunjukkan harga tertentu.
Setelah harga intensitas magnet H = 0 atau dibuat negatif (dengan membalik
arus lilitan), kurva B(H) akan memotong sumbu pada harga Hc. Intensitas Hc inilah
yang diperlukan untuk membuat rapat fluks B = 0 atau menghilangkan fluks dalam
bahan. Intensitas magnet Hc ini disebut koersivitas bahan. Koersivitas digunakan
untuk membedakan hard magnet atau soft magnet. Semakin besar gaya
koersivitasnya maka semakin keras sifat magnetnya. Bahan dengan koersivitas tinggi
berarti tidak mudah hilang kemagnetannya (Ika Mayasari, 2012).
Untuk menghilangkan kemagnetannya diperlukan intensitas magnet H yang
besar. Bila selanjutnya harga diperbesar pada harga negatif sampai mencapai saturasi
dan dikembalikan melalui nol, berbalik arah dan terus diperbesar pada harga H
positif hingga saturasi kembali, maka kurva B(H) akan membentuk satu lintasan
tertutup yang disebut kurva histeresis. Bahan yang mempunyai koersivitas tinggi
kemagnetannya tidak mudah hilang. Bahan seperti itu baik untuk membuat magnet
permanen (Ika Mayasari, 2012).
Kurva histerisis merupakan acuan dalam mengidentifikasi sifat magnet suatu
material magnetik. Dari kurva histerisis kita dapat membedakan antara material soft
magnetic dan hard magnetic berdasarkan kekuatan medan koersifnya, dimana soft

Universitas Sumatera Utara

14

magnetic memiliki medan koersif yang lemah, sedangkan hard magnetic memiliki
medan koersif yang kuat.

Gambar 9. Kurva histerisis (smallman and bishop, 2000)
Gambar 9 menunjukkan kurva histerisis untuk soft magnetic materials pada
gambar (a) dan hard magnetic materials pada gambar (b). H adalah medan magnetik
yang diperlukan untuk menginduksi medan berkekuatan B dalam material. Setelah
medan H ditiadakan, dalam specimen tersisa magnetisme residual Br, yang disebut
residual remanen dan diperlukan medan magnet Hc yang disebut gaya koersif, yang
harus diterapkan dalam arah berlawanan untuk meniadakannya.
Material magnetik lunak (soft magnetic material) hanya memerlukan sedikit
medan magnet untuk membuatnya menjadi magnet. Material ini mempunyai
koersivitas rendah dan sekali medan magnetnya hilang, kerapatan fluks akan menjadi
nol. Rangkaian arus bolak-balik atau searah dapat digunakan untuk membangkitkan
medan magnet atau menghasilkan suatu gaya. Nilai koersivitas untuk bahan soft
magnet yaitu 1256,6 Oe) (Slusarek B, 2001). Material
magnetik keras dapat diaplikasikan pada electroacoustic, seperti pada loudspeaker,
mikropon, atau earphone (Bement, A.L., et al. 1985).

2.6 Barium Heksaferit
Berdasarkan rumus kimia dan struktur kristalnya, heksaferit dikelompokkan menjadi
5 tipe, yaitu : tipe-M (BaFe12O19 ), tipe-W (BaMe2 Fe16O27 ), tipe-X (Ba2 Me2
Fe28O46 ), tipe-Y (Ba2 Me2 Fe12O22 ), tipe-Z (Ba3Me2 Fe24O41 ) dan tipe-U (Ba4 Me2
Fe36O60 ) (Özgüri dkk,2009). Barium heksaferite memiliki rumus kimia BaO.6Fe2O3
(BaFe12O19). Sel komplek Barium heksaferit tersusun atas 2 sistem kristal yaitu
struktur kubus-pusat-sisi (face-centered-cubic) dan heksagonal mampat (hexagonalclose-packed) seperti terlihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Struktur kristal BaFe12O19 dimana ion Ba diwakili dalam warna hijau,
ion Fe warna biru, dan O warna merah
Material magnet oksida BaFe12O19 merupakan jenis magnet keramik yang
banyak dijumpai disamping material magnet SrFe12O19. Seperti pada jenis oksida
lainnya, material magnet tersebut memiliki sifat mekanik yang sangat kuat dan tidak
mudah terkorosi. Barium heksaferit (BaO.6Fe2O3) yang memiliki paramete kisi a =
5,8920 Angstrom, dan c = 23,1830 Angstrom. Sebagai magnet permanen, material
BaFe12O19 memiliki sifat kemagnetan dengan tingkat kestabilan tinggi terhadap
pengaruh medan magnet luar pada suhu diatas 300°C. Sehingga sangat cocok
dipergunakan dalam peralatan teknologi pada jangkauan yang cukup luas (Afza,
2011).

Universitas Sumatera Utara

16

2.7 Ferromangan (FeMn)
Mangan merupakan unsur dasar dalam paduan baja mangan struktural dan austenitic
[Šalak, A., et al. 2001]. Sebagai paduan, mangan dapat meningkatkan kekuatan,
ketangguhan, pengerasan, kemampuan kerja dan abrasi resistensi dari produk besi,
khususnya baja. Sekitar 90 - 95 dari keseluruhan jumlah mangan yang diproduksi di
dunia digunakan dalam produksi besi dan baja dalam bentuk paduan seperti
ferromangan dan siliconmangan (Çardakli, İ. S. 2010).
Ferromangan dibedakan atas kandungan karbon yaitu high carbon
ferromanganese (maks. 7% C), medium carbon ferromanganese (maks. 1-1,5% C),
dan low carbon ferromanganese (maks. 0,5% C). Ferromangan pada industri
merupakan paduan multikomponen dengan melting temperature 1200-1250°C
(Selecka, 2009).
Pada penelitian ini FeMn yang digunakan adalah FeMn HC (high carbon).
FeMn jenis ini pada umumnya dibuat dengan menggunakan blast furnace (Mardias,
J. 2016).

2.8 Mechanical Milling
Mechanical Milling atau dipendekkan milling adalah suatu penggilingan mekanik
dengan suatu proses penggilingan bola dimana suatu serbuk yang ditempatkan
dalam suatu wadah penggilingan di giling dengan cara dikenai benturan bola – bola
berenergi tinggi. Proses ini merupakan metode pencampuran yang dapat
menghasilkan produk yang sangat homogen (F. Izuni, 2012).
Dalam mekanik milling serbuk akan dicampur dalam suatu chamber
(ruangan) dan dikenai energi tinggi terjadi deformasi yang berulang – ulang
sehingga terjadi partikel – partikel yang lebih kecil dari sebelumnya. Akibat dari
tumbukkan pada tiap tipe dari unsur partikel serbuk akan menghasilkan bentuk yang
berbeda juga, untuk bahan yang ulet, sebelum terjadi fracture akan menjadi flat atau
pipih terlebih dahulu, sedangkan untuk bahan yang getas akan langsung terjadi
fracture dan menjadi partikel serbuk yang lebih kecil. Saat dua bola bertumbukan
berulang ulang menyebabkan terjadinya penggabungan alloying (Suryanarayana
,2003). Proses milling memiliki dua metode yaitu : Metode Dry Milling dan Metode

Universitas Sumatera Utara

17

Wet Milling. Dalam metode dry milling proses milling untuk menghindari terjadinya
proses oksidasi dilakukan pemberian gas

innert seperti argon atau nitogen.

Sedangkan dalam wet milling untuk menghindari terjadinya oksidasi maka selama
proses milling diberi campuran toulene.
Adapun parameter yang memengaruhi proses milling antara lain adalah :
2.8.1 Tipe Milling
Tipe - tipe milling berbeda dari peralatan milling yang digunakan untuk
menghaluskan ukuran partikel serbuk. Perbedaannya terletak pada kapasitasnya,
efisiensi milling, dan kecepatan putar jar milling. Tipe – tipe milling tersebut, antara
lain : Rotary Ball Mill, High Energy Milling, SPEX Shaker Milling, Ball Mill
Planetary, Attritor Mill. Namun pada penelitian ini tipe milling yang digunakn untuk
menghaluskan partikel serbuk NdFeB adalah Ball Mill.
Ball Mill adalah salah satu jenis mesin penggiling yang digunakan untuk
menggiling suatu bahan material menjadi bubuk yang sangat halus. Mesin ini sangat
umum digunakan untuk proses mechanical milling. Secara umum prinsip kerjanya
yaitu dengan cara mengahancurkan campuran serbuk melalui mekanisme
pembenturan bola – bola giling yang bergerak mengikuti pola gerakan wadahnya
yang berbentuk elips tiga dimensi inilah yang memungkinkan pembentukan partikel
– partikel serbuk berkala mikrometer sampai nanometer akibat tingginya frekuensi
tumbukan. Tingginya frekuensi tumbukan yang terjadi antara campuran serbuk
dengan bola – bola giling disebabkan karena wadahnya yang berputar

dengan

kecepatan tinggi yaitu lebih dari 800 rpm. (Nurul T. R. Agus S , 2007).
2.8.2 Bahan Baku
Bahan baku yang digunakan dalam proses penggilingan adalah serbuk. Ukuran
serbuk yang digunakan umumnya berkisar antara 1 mm – 20 mm. Semakin kecil
ukuran partikel yang digunakan, maka proses penggilingan akan semakin efektif dan
efisien. Selain itu serbuk yang digunakan juga harus memiliki kemurnian yang
sangat tinggi. Namun ukuran tidakalah terlalu kritis, asalkan ukuran material itu
haruslah lebih kecil dari ukuran bola grinda. Ini disebabkan karena ukuran partikel
serbuk akan berkurang dan akan mencapai ukuran mikron setelah dimilling beberapa
jam. Selain itu serbuk yang dimilling dengan cairan misalnya dengan toluene dan
dikenal dengan penggilingan basah. Dan telah dilaporkan bahwa kecepatan atmosfir

Universitas Sumatera Utara

18

lebih cepat selama proses penggilingan basah dari pada penggilingan kering.
Kerugian dari penggilingan basah adalah meningkatnya

kontaminasi serbuk (C

.Suryanarayana, 2001).
2.8.3 Bola Giling
Fungsi bola gilling dalam proses penggilingan adalah sebgai penghancur serbuk atau
digunakan sebagai pengecil ukuran partikel serbuk NdFeB. Oleh karena itu, material
pembentuk bola giling harus memiliki kekerasan yang tinggi agar tidak

terjadi

kontaminasi saat terjadi benturan dan gesekan antara serbuk , bola dan

wadah

penggilingan. Ukuran bola yang dapat digunakan dalam prose milling ini bermacam
– macam. Pemilihan ukuran bola bergantung pada ukuran serbuk yang akan dipadu.
Bola yang akan digunakan harus memilki diameter yang lebih besar dibandingkan
dengan diameter serbuknya.
Rasio berat bola serbuk / ball powder ratio (BPR) adalah variabel yang
penting dalam proses milling, rasio berat – serbuk mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap waktu yang dibutuhkan untuk mencapai fasa tertentu dari bubuk
yang di milling. Semakin tinggi BPR semakin pendek waktu yang dibutuhkan. Hal
ini dikarenakan peningkatan berat bola tumbukkan persatuan waktu meningkat dan
konsekuensinya adalah banyak energi yang ditransfer ke partikel sebuk dan proses
milling berjalan lebih cepat.
2.8.4 Wadah Penggilingan
Wadah penggilingan merupakan media yang akan digunakan untuk menahan
gerakan bola – bola giling dan serbuk ketika proses penggilingan berlangsung.
Akibat yang ditimbulkan dari proses penahan gerak bola – bola giling dan serbuk
tersebut adalah terjadinya benturan antara bola – bola giling, serbuk dan wadah
penggilingan sehingga menyebabkan terjadinya proses penghancuran serbuk (C.
Suryanarayana , 2001 ).
2.8.5 Kecepatan Milling
Besar kecepatan maksimum tiap tipe milling akan berbeda, ketika perputaran ball
mill semakin cepat, maka energi yang dihasilkan juga akan semakin besar. Tetapi
disamping itu, design dari milling ada pembatasan kecepatan yang harus dilakukan.
Sebagai contoh pada ball mill, meningkatkan kecepatan akan mengakibatkan bola
yang ada di dalam chamber juga akan semakin cepat pergerakannya, tenaga yang

Universitas Sumatera Utara

19

dihasilkan juga besar. Tapi jika kecepatan melebihi kecepatan kritis maka akan
terjadi pinned pada dinding bagian dalam sehingga bola – bola tidak jatuh sehingga
tidak menghasilkan gaya impact yang optimal. Hal ini akan berpengaruh ke waktu
yang dibutuhkan untuk mencapai hasil yang diinginkan. (Suryanarayana , 2003).
2.8.6 Waktu Milling
Waktu milling merupakan salah satu parameter yang penting utuk milling pada
serbuk. Pada umumnya waktu dipilih untuk mencapai posisi tepatnya antara
pemisahan dan pengelasan partikel serbuk untuk memudahkan mamadukan logam.
Variasi waktu yang diperlukan tergantung pada tipe milling yang digunakan,
pengaturan milling, intensitas milling BPR, dan temperatur pada milling. Pada
umumnya dihitung waktu yang diambil untuk mencapai kondisi yang tepat, yaitu
jangka pendek untuk energi milling yang tinggi, dan jangka waktu lama ketika
dengan energi milling yang rendah. Waktu yang dibutuhkan lebih sedikit untuk BPR
dengan nilai – nilai yang tinggi dan waktu yang lama untuk BPR dengan nilai rendah
(Suryanarayana , 2003).

2.9 Karakterisasi Material Magnet
Karakterisasi material magnet dilakukan untuk mengetahui sifat-sifat dan
kemampuan material. Pada penelitian ini dilakukan pengujian sifat fisis,
mikrostruktur, dan sifat magnetik.
2.9.1 Sifat Fisis
2.9.1.1 Densitas
Densitas merupakan ukuran kepadatan dari suatu material atau sering didefinisikan
sebagai perbandingan antara massa (m) dengan volume (v) dalam hubungannya
dapat dituliskan sebagai berikut (M. Ristic, 1979) :
(1)
dengan :
ρ = Densitas (gram/cm3)
m = Massa sampel (gram)
v = Volume sampel (cm3)

Universitas Sumatera Utara

20

Ada dua macam densitas yaitu : true density dan bulk density (metode
archemedes). True density adalah kerapatan dari serbuk yang diukur dengan alat
piknometer. Densitasnya dapat dihitung dengan rumus:
(2)
Dengan :
ρs

= true density sampel (g/cm3)

m1

= massa piknometer kosong (g)

m2

= massa piknometer diisi media cair (g)

m3

= massa piknometer diisi serbuk (g)

m4

= massa piknometer diisi sampel serbuk dan media cair (g)

ρmedia cair = densitas media cair (g/cm3)
True density campuran dapat dihitung secara teoritis dengan persamaan :

dengan :
ρx , ρy

(

)

(3)

= Densitas sampel (g/cm3)

%wtx , %wty = komposisi sampel (wt%)
Bulk density merupakan densitas sampel yang berdasarkan volume sampel
termasuk dengan rongga atau pori. Pengujian Bulk density dilakukan untuk megukur
benda padatan yang besar dengan bentuk yang beraturan maupun yang tidak
beraturan.Pada pengujian Bulk density menggunakan metode Archimedes. Bulk
density dapat dihitung dengan persamaan (Lisjak, 2006):
(4)
dengan :
ρs

= bulk density sampel (g/cm3)

mk

= massa kering sampel (g)

mb

= massa basah sampel (g)

ρmedia cair = densitas media cair (g/cm3)

Universitas Sumatera Utara

21

2.9.2 Mikrostruktur
2.9.2.1 PSA (Particle Size Analyzer)
Particle Size Analyzer berfungsi menentukan ukuran partikel dan distribusinya dari
sampel yang representative. Distribusi ukuran partikel dapat diketahui melalui grafik
sebaran ukuran partikel yang dihasilkan. Ukuran tersebut dinyatakan dalam jari-jari
untuk partikel yang berbentuk bola. Penentuan ukuran dan distribusi partikel dengan
PSA dapat dilakukan dengan:
1. Difraksi sinar kaser untuk partikel dari ukuran submicron sampai dengan
Millimeter.
2. Counter particle untuk mengukur dan menghitung partikel yang berukuran
micron sampai dengan millimeter.
3. Penghamburan sinar untuk mengukur partikel yang berukuran mikro
sampai nanometer.
Pengukuran partikel dengan menggunakan PSA biasanya menggunakan
metode basah. Metode ini dinilai lebih akurat jika dibandingkan dengan metode
kering ataupun pengukuran partikel dengan metode ayakan dan analisa gambar.
Terutama untuk sampel-sampel dalam orde nanometer dan submicron yang biasanya
memliki kecenderungan aglomerasi yang tinggi. Hal ini dikarenakan partikel
didispersikan ke dalam media sehingga partikel tidak saling teraglomerasi
(menggumpal).

Gambar 11. Gambar Hasil Karakterisasi PSA
Horiba scientific menyatakan pendekatan yang umum untuk menentukan
lebar distribusi mengutip tiga nilai pada sumbu x, D10, D50, D90 dan seperti yang

Universitas Sumatera Utara

22

ditunjukkan pada Gambar 12, D50 median, telah didefinisikan sebagai diameter
dimana setengah dari populasi terletak di bawah nilai ini. Demikian pula, 90 persen
dari distribusi terletak di bawah D90, dan 10 persen dari populasi terletak di bawah
D10 seperti terlihat pada Gambar 12.

Gambar 12. Grafik nilai pada D10, D50, dan D90
Keunggulan penggunaan Particle Size Analyzer (PSA) untuk mengetahui
ukuran partikel adalah :
1. Pengukuran partikel dengan menggunakan PSA lebih akurat jika
dibandingkan dengan pengukuran partikel dengan alat lain seperti XRD
ataupun SEM. Hal ini dikarenakan partikel didispersikan ke dalam media
sehingga ukuran partikel yang terukur adalah ukuran dari single particle.
2. Hasil

pengukuran

dalam

bentuk

distribusi,

sehingga

dapat

menggambarkan keseluruhan kondisi sampel. Rentang pengukuran diatas
0,02 -500 m.
2.9.2.2 XRD (X-Ray Diffraction)
Sinar X merupakan gelombang elektromagnetik yang dapat digunakan untuk
mengetahui struktur Kristal dan fasa suatu material.Bila sinar x dengan panjang
gelombang

diarahkan kesuatu permukaan Kristal dengan sudut datang sebesar

,maka sebagian sinar dihamburkan oleh bidang atom dcalam Kristal.Berkas sinar x
yang dihamburkan dalam arah-arah tertentu akan menghasilkan puncak-puncak
difraksi yang dapat diamati dengan peralatan X-Ray Diffraction (Cullity,1978).
Fenomena interaksi dan difraksi sudah dikenal pada ilmu optik. Standart
pengujian laboratorium fisika adalah untuk menentukan jarak antara dua gelombang
dengan mengetahui panjang gelombang sinar, dengan mengukur sudut berkas sinar

Universitas Sumatera Utara

23

yang terdifraksi. Pengujian ini merupakan aplikasi langsung dari pemakaian sinar-X
untuk menentukan jarak antar atom dalam kristal.

Gambar 13. Difraksi Bidang Atom (Cullity,1978)
Gambar 13 menunjukkan suatu berkas sinar X dengan panjang gelombang ,
jatuh pada sudut θ pada sekumpulan bidang atom berjarak d. Sinar yang dipantulkan
dengan sudut θ hanya dapat terlihat jika berkas dari setiap bidang yang berdekatan,
dan menempuhkan jarak sesuai dengan perbedaan kisi yaitu sama dengan panjang
gelombang n .
Menurut syarat terjadinya difraksi, beda lintasan merupakan kelipatan
bilangan bulat dari panjang, sehingga hal tersebut dirumuskan W.L.Brag
n =2dsin θ

(5)

dengan :
n = orde difraksi (n = bilangan bulat 1,2,3…)
= panjang gelombang sinar-X (mm)
d = jarak antar bidang (mm)
θ = sudut difraksi (o)
Untuk mengetahui fasa dan struktur material yang diamati dapat dilakukan
dengan cara sederhana, yaitu dengan cara membandingkan nilai d yang terukur
dengan nilai d pada data standart. Data d standart dapat diperoleh melalui Joint
Commitee On Powder Difraction Standart ( JCPDS ) atau dengan metode Hanawalt
file.
2.9.2.3 SEM – EDS ( Scanning Electron Microscope - Energy Dispersive
Spectroscopy )
SEM membentuk suatu gambar dengan menembakkan suatu sinar electron
berenergi tinggi, biasanya dengan energi dari 1 hingga 20 keV, melewati sampel dan
kemudian mendeteksi Secondary Electron dan Back Scattered Electron yang

Universitas Sumatera Utara

24

dikeluarkan. Secondary Electron berasal pada 5-15 nm dari permukaan sampel dan
memberikan informasi topografi dan untuk tingkat yang kurang, pada variasi unsur
dalam sampel. Back Scattered Electron terlepas dari daerah sampel yang lebih dalam
dan memberikan informasi terutama pada jumlah atom rata-rata dari sampel.
Peristiwa tumbukan berkas sinar elektron, yaitu ketika memberikan energi pada
sampel, dapat menyebabkan emisi dari sinar-X yang merupakan karakteristik dari
atom-atom sampel. Energi dari sinar-X digolongkan dalam suatu tebaran energi
spektrometer dan dapat digunakan untuk identifikasi unsur - unsur dalam sampel (
Martinez, 2010 ).
Energy Dispersive X-ray Spectroscopy ( EDX atau EDS ) adalah salah satu
teknik analisis untuk menganalisis unsur atau karakteristik kimia dari spesimen.
Karakterisasi ini bergantung pada penelitian dari interaksi beberapa eksitasi sinar X
dengan spesimen. Kemampuan untuk mengkarakterisasi sejalan dengan sebagian
besar prinsip dasar yang menyatakan bahwa setiap elemen memiliki struktur atom
yang unik, dan merupakan ciri khas dari struktur atom suatu unsur, sehingga
memungkinkan sinar X untuk mengidentifikasinya. Untuk merangsang emisi
karakteristik sinar-X dari sebuah spesimen, sinar energi tinggi yang bermuatan
partikel seperti elektron atau proton, atau berkas sinar X, difokuskan ke spesimen
yang yang akan diteliti. Selanjutnya sebuah atom dalam spesimen yang mengandung
elektron dasar di masing-masing tingkat energi atau kulit elektron terikat pada inti.
Sinar yang dihasilkan dapat mengeksitasi

elektron di kulit dalam dan

mengeluarkannya dari kulit, sehingga terdapat lubang elektron di mana elektron itu
berada sebelumnya.
Sebuah elektron dari luar kulit yang berenergi lebih tinggi kemudian mengisi
lubang, dan perbedaan energi antara kulit yang berenergi lebih tinggi dengan kulit
yang berenergi lebih rendah dapat dirilis dalam bentuk sinar X. Jumlah dan energi
dari sinar-X yang dipancarkan dari spesimen dapat diukur oleh spektrometer energidispersif. Energi dari sinar X yang dihasilkan merupakan karakteristik dari
perbedaan energi antara dua kulit, dan juga karakteristik struktur atom dari unsur
yang terpancar, sehingga memungkinkan komposisi unsur dari spesimen dapat
diukur. Pengujian EDX ini dilakukan untuk mengetahui komposisi yang terkandung
pada permukaan plat.

Universitas Sumatera Utara

25

2.9.3

Uji Sifat Magnet menggunakan Vibrating Sample Magnetometer
(VSM)

Semua bahan mempunyai momen magnetik jika ditempatkan dalam medan
magnetik. Momen magnetik per satuan volume dikenal sebagai magnetisasi. Secara
prinsip ada dua metoda untuk mengukur besar magnetisasi ini, yaitu metoda induksi
(induction method) dan metoda gaya (force method). Pada metoda induksi,
magnetisasi diukur dari sinyal yang ditimbulkan/ diinduksikan oleh cuplikan yang
bergetar dalam lingkungan medan magnet pada sepasang kumparan. Sedangkan pada
metoda gaya pengukuran dilakukan pada besamya gaya yang ditimbulkan pada
cuplikan yang berada dalam gradien medan magnet. VSM (Vibrating Sample
Magnetometer) merupakan salah satu alat ukur magnetisasi yang bekerja berdasarkan
metoda induksi.
Pada metoda ini, cuplikan yang akan diukur magnetisasinya dipasang pada
ujung bawah batang kaku yang bergetar secara vertikal dalam lingkungan medan
magnet luar H. Jika cuplikan termagnetisasi, secara permanen ataupun sebagai
respon dari adanya medan magnet luar, getaran ini alan mengakibatkan perubahan
garis gaya magnetik. Perubahan ini akan menginduksikan/ menimbulkan suatu sinyal
tegangan AC pada kumparan pengambil (pick-up coil atau sense coil) yang
ditempatkan secara tepat dalam sistem medan magnet ini. Selanjutnya sinyal AC ini
akan dibaca oleh rangkaian pre-amp dan Lock-in amplifier. Frekuensi dari Lock-in
amplifier diset sarna dengan frekuensi getaran sinyal referensi dari pengontrol
getaran cuplikan. Lock in amplifier ini akan membaca sinyal tegangan dari kumparan
yang sefasa dengan sinyal referensi. Kumparan pengambil biasanya dirangkai
berpasangan dengan kondisi arah lilitan yang berlawanan.
Hal ini untuk menghindari terbacanya sinyal yang berasal dari selain
cuplikan, misalnya dari akibat adanya perubahan medan magnet luar itu sendiri.
Selanjutnya dalam proses pengukuran, medan magnet luar yang diberikan, suhu
cuplikan, sudut dan interval waktu pengukuran dapat divariasikan melalui kendali
komputer. Komputer akan merekam data tegangan kumparan sebagai fungsi medan
magnet luar, suhu, sudut ataupun waktu (Mujamilah dkk, 2000).

Universitas Sumatera Utara

26

2.9.4

Uji Kekerasan ( Hardness Vickers )

Kekerasan merupakan kemampuan bahan untuk tahan terhadap penggoresan,
pengikisan (abrasi), indentasi atau penetrasi. Sifat ini berkaitan dengan tahan aus
(wear resistance). Kekerasan juga mempunyai korelasi dengan kekuatan. Ada
beberapa cara pengujian kekerasan yang standart dan digunakan untuk menguji
kekerasan suatu material, yaitu pengujian Brinnel, Rockwell, Vickers, dan lain-lain.
Prinsip dasar pengujian kekerasan Vickers menggunakan indentor intan yang
berbentuk piramid beralas bujur sangkar dan sudut puncak antara dua sisi yang
berhadapan 136o. Tapak tekannya tentu akan berbentuk bujur sangkar dan yang
diukur adalah panjang kedua diagonalnya lalu diambil rata-ratanya. Angka kekerasan
Vickers dihitung dengan menggunakan persamaan :
(6)
dimana :
HV

: Hardness Vickers (kgf/mm2)

F

: beban yang digunakan (kgf atau Newton)

d

: panjang diagonal rata-rata (mm)
Hasil pengujian kekerasan Vickers ini tidak tergantung pada besarnya gaya

tekan, dengan gaya tekan yang berbeda akan menunjukkan hasil yang sama untuk
beban yang sama. Vickers dapat mengukur kekerasan bahan mulai dari yang sangat
lunak (5 HV) sampai yang sangat keras (1500 HV), sangat mudah untuk
membandingkan kekerasan bahan yang satu dengan lainnya karena hanya ada satu
skala saja. Tetapi Vickers sangat sensitif terhadap kekasaran permukaan, sehingga
diperlukan persiapan yang lebih teliti untuk menghaluskan permukaan sampel uji.
Besarnya gaya tekan yang digunakan dapat dipilih antara 1 sampai 20 kg, tergantung
pada kekerasan atau ketebalan bahan yang diuji agar diperoleh tapak tekan yang
mudah diukur dan tidak ada anvil effect pada benda yang tipis (Suherman, 1987).

Universitas Sumatera Utara