Horor adalah Tindakan Sis-sia di Zaman Modern.

HOROR ADALAH TINDAKAN YANG SIA-SIA DI JAMAN MODERN
Oleh: GPB Suka Arjawa
Bom yang meledak di Boston, Amerika Serikat mengejutkan banyak pihak. Indonesia
mempunyai alasan untuk terkejut karena mempunyai pengalaman langsung soal ledakan
bom seperti ini. Bali, sebagai daerah yang dua kali terkena ledakan bom, sudah pasti
masih trauma dengan peristiwa demikian. Apa yang terjadi di Boston merobek-robek
rasa kemanusiaan karena terjadi di saat manusia menikmati nilai humanisnya yang paling
tinggi, yaitu ekspresi kemanusiaan yang terletak pada dunia olahraga. Bom meledak di
garis finish lari maraton tahunan, dimana ribuan orang menyaksikan hajatan tersebut.
Satu sisi yang terlihat dari peristiwa itu adalah bahwa teroris masih memakai cara-cara
konservatif untuk memperlihatkan aksinya. Pola ini harus diingat masyarakat, sekaligus
agar selalu waspada dengan hal seperti itu. Teroris mencari tempat ramai, terkenal, dan
cepat mendunia. Lomba lari marator Boston telah berusia hampir satu abad, terkenal ke
seluruh dunia dan menjadi ajang tahunan. Peserta larinya ribuan orang dari seluruh dunia
dan penyaksinya juga ribuan orang. Keramaian tempat menjadi sasaran karena dengan
cara seperti itu korban yang disasar menjadi banayak dengan efek horor yang berlipatlipat. Karena teroris dicap sebagai kelompok yang selalu menyasar kepentingankepentingan Amerika Serikat dan dunia Barat, maka Indonesia tidak boleh lepas tangan
dari kejadian demikian. Sebab, disamping kebijakan politik Indonesia cenderung
mendekatkan diri kepada Amerika Serikat dan Barat, berbagai perusahan negara-negara
itu juga banyak di Indonesia. Secara khusus, Bali sebagai daerah tujuan wisata
internasional dan Jakarta sebagai tempat industri negara, harus mewaspadi hal ini. Di Bali
dan Jakarta paling banyak terdapat orang-orang Barat, yang boleh dikatakan sebagai

sasaran teroris. Sejarah teror yang ada di Indonesia banyak memberikan gambaran bahwa
sasaran mereka adalah orang-orang Barat. Kendati demikian, masyarakat sipil dan
warganegara Indonesia tetap bisa menjadi korban, disamping pencitraan kita yang rusak.
Dengan konteks demikian maka pihak keamanan Indonesia harus lebih menunjukkan
kewaspadaannya terhadap tempat-tempat ramai yang banyak dikunjungi oleh ekspatriat.
Ruang-ruang publik yang ramai dikunjungi orang mereka harus lebih diwaspadai. Mall,
gedung bioskop, hiburan malam harus mendapat pengawasan yang lebih dari
sebelumnya. Ketika ada aksi teroris muncul ke permukaan, biasanya akan memancing
aksi-aksi lain yang dilakukan di berbagai belahan dunia, sesuai dengan jaringan teroris
bersangkutan. Teroris tidak memiliki kedaulatan karena dunia ini dipandang sebagai
wilayah operasinya. Dari konteks lokasi geografis, ledakan bom Boston itu merupakan
peristiwa yang mampu membangkitkan semangat jaringan teroris di seluruh dunia karena
terjadi, mengguncang, dan mengambil korban dari negara maju. Identifikasi
”keberhasilan” teroris hampir mirip dengan tragedi 11 September 2001 yang telah lewat.
Tidak ada yang terlalu baru dalam peledakan bom di Boston itu. Kalaupun media yang
dipakai berupa panci, juga bukan merupakan hal yang boleh dikatakan baru. Ledakanledakan bom di Indonesia sering memakai media-media yang sifatnya ”aneh” seperti
karung, tas ransel, dan dompet. Masyarakat pasti juga sudah ”ngeh” kalau ada benda-

benda seperti itu yang nampak mencurigakan. Masyarakat harus tetap mewaspadai
benda-benda mencurigakan seperti ini.


Horor Sebagai Media Pencapai Tujuan
Dari sisi tujuan, horor adalah media yang dipakai teroris karena dengan cara itulah
mereka mencoba memberikan pesan kepada dunia tentang ketidakpuasannya. Cara-cara
horor mengerikan seperti itu sesungguhnya juga merupakan metode kuno untuk
mempengaruhi sikap, baik kepada individu maupun massa. Sejak jaman romawi sampai
sekarang cara seperti itu masih dipakai. Metode demikian dilakukan oleh kelompok yang
ingin memaksakan kehendaknya dengan segera, memaksa lawan untuk tunduk kepada
tuntutan. Revolusi-revolusi dengan kekerasan di Kamboja pada jaman Khmer Merah,
merupakan model dari horor demikian. Penduduk kota diancam dibunuh kalau tidak
mau segera pindah ke desa, mengubah kerjanya dari pegawai menjadi petani. Penjajah
untuk menaklukkan rakyat jajahannya juga dengan kekerasan. Dan dalam hal tertentu,
itulah yang dilakukan Hitler kepada kepada orang-orang Yahudi Eropa pada Perang
Dunia II.
Sebagai strategi penaklukan, cara horor demikian hanya bisa dilakukan dalam kondisi
ketidakseimbangan. Artinya penyebar horor tersebut memiliki power yang jauh lebih
kuat ketimbang pihak yang ingin ditaklukkan. Penyebar horor mempunyai pasukan,
kekuatan senjata, intelegensi, semangat yang jauh lebih tinggi ketimbang lawan. Itulah
yang membuat Khmer Merah bisa berkuasa di Kamboja, demikian juga
eksistensikelompok Nazi. Tetapi harus diingat, kelompok seperti itu secara mudah

mampu ditaklukkan. Dalam konteks demikian, horor yang disebarkan oleh teroris
sekarang itu, jauh dari kekuatan seperti yang dilukiskan tadi. Memang benar teroris
memiliki intelegensi, memiliki pengikut, ideologi bahkan keberanian yang besar. Terapi
negara, masyarakat, kelompok dan sebagainya jauh lebih kuat dibanding teroris itu.
Mereka yang mencintai perdamaian jauh lebih banyak ketimbang kekuatan mereka.
Dengan begitu, di jamaan sekarang, kekuatan-kekuatan yang menyebar horor itu sudah
tidak akan mungkin menang lagi. Apalagi pihak-pihak pro humanisme sekarang sudah
melekat dengan hak asasi manusia, pengentasan kemiskinan dan peningkatan pendidikan.
Perjuangan dengan cara kekerasan sekarang sudah ditinggalkan karena sangat
bertentangan dengan hak asai manusia. Dari konteks demikian boleh dikatakan teroris itu
adalah kelompok yang bertindak dan bergerak sendirian. Mereka adalah orang-orang
kesepian, yang memakai cara-cara tradisionil untuk mencapai tujuan di jaman modern.
Mustahil cara seperti itu akan berhasil meraih tujuannya.
Pencapaian tujuan, entah itu yang bersifat ideologis, idealis, maupun hal kematerialan
kini harus dipakai dengan pengetahuan (kognitif) dengan memanfaatkan informasi.
Dengan cara demikian, ideologi yang hendak diperjuangkan justru akan lebih mampu
memberikan penanaman kepada sasaran karena pengetahuan lebih rinci menjelaskan apa
manfaat dari ideologi tersebut. Cara-cara horor sudah ketinggalan jaman.

Jadi benar yang dikatakan orang bahwa penanaman intelektual, perbaikan sistem

ekonomi dan sentuhan kepada hak asasi manusia akan lebih mampu menghilangkan
terorisme. Inilah yang kini menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia. bagaimana upaya
meningkatkan taraf hidup dan kesadaran moral itu menjadi lebih tinggi, agar tidak
muncul orang-orang yang frustrasi sehingga melahirkan teroris-teroris baru. Ingat
Indonesia tetap menjadi sasaran dari kekerasan. Pembelokan cara mencari dana (misalnya
dengan merampok bank dan toko emas) adalah signal betapa sel mereka masih melekat
di Indonesia.***
Penulis adalah staf pengajar FISIP, Universitas Udayana.