MUSEUM GEDONG KIRTYA SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN SEJARAH LOKAL DI JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH, FAKULTAS ILMU SOSIAL, UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA SINGARAJA

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

MUSEUM GEDONG KIRTYA
SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN SEJARAH LOKAL
DI JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH, FAKULTAS ILMU SOSIAL,
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA-SINGARAJA

RINGKASAN TESIS

Program Studi Pendidikan Sejarah

Oleh
I Wayan Putra Yasa
S860809016

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

1
digilib.uns.ac.id

MUSEUM GEDONG KIRTYA
SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN SEJARAH LOKAL
DI JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH, FAKULTAS ILMU SOSIAL,
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA-SINGARAJA

I Wayan Putra Yasa
Program Studi Pendidikan Sejarah PPs Universitas Sebelas Maret

ABSTRACT
This study aims to determine (1) The types of collections at the Museum
Gedong Kirtya-Singaraja that can be utilized as a local history learning source, (2) The
values can get by students and the lecturer with the Museum Gedong Kirtya as a
learning source, (3) Appreciation of students when use Museum Gedong Kirtya

collections as learning resources of local history; and (4) the problems when using the
Museum Gedong Kirtya-Singaraja as learning source of local history.Conclusion of this
research: (1) All collection of Museum Gedong Kirtya can use as learning source of
local history that is Dutch archives, Dutch books, ancient picture, appliances make
papyrus, ancient idols, candra sangkala in entrance of Museum Gedong Kirtya and
divided papyruss to become seven group that is, Wariga, Itihasa, Chronicle, Tantri,
Religion and Lelampahan except Weda; (2) The values that exist in the Museum
Gedong Kirtya is inspiring educational value, aesthetic and cultural values, religious
values and the values of heroism, (3) Appreciation of students to Museum Kirtya
Gedong learning resources is very high viewed from the interaction of learning in the
classroom and the tasks that produced be more better, and (4) The problem when study
at Museum Gedong Kirtya are: language, services of offices, information and
socialization, infrastructure dan time to visit museums.
Keywords : Museum, Learning Resources, Local History

PENDAHULUAN
Peningkatan kualitas pendidikan yang baik akan membentuk karakter bangsa
commit to user
yang kuat, cara yang dapat dilakukan adalah dengan pembelajaran sejarah bangsanya


perpustakaan.uns.ac.id

2
digilib.uns.ac.id

agar mereka memiliki rasa nasionalisme yang tinggi. Seperti yang dijelaskan oleh
Sartono Kartodirdjo (1992: x) proses national building for national identity yang
dilakukan republik ini, menuntut rekonstruksi sejarah sebagai sejarah nasional yang
akan mewujudkan kristalisasi identitas bangsa Indonesia. Rekonstruksi nilai sejarah
secara menyeluruh dan lengkap bagi warga masyarakat salah satunya dapat dilakukan di
lembaga penyelenggara pendidikan, yakni dengan pembelajaran sejarah secara
berkelanjutan di sekolah-sekolah.
Mata pelajaran sejarah mengajarkan kepada siswa untuk memahami bagaimana
bangsanya dibangun, sehingga bangsa Indonesia sampai seperti sekarang. Gottschalk
(2006:3) menyatakan bahwa pengajaran sejarah memang dapat dipergunakan untuk
melatih warga negara yang setia karena memang kisah tanah airnya dapat menimbulkan
rasa bangga pada diri kaum patriot atau jika kisah itu dapat demikian diubah dan
disesuaikan sehingga nampaknya lebih mulia. Dari penjelasan itu, terlihat betapa
pentingnya pengajaran sejarah dalam menumbuhkan perasaan dan kesadaran bagi
bangsa dalam pembangunan. Terutama dengan cara mengenalkan sejarah lokal yang

mereka miliki, sehingga muncul rasa nasional mulai dari diri yaitu sejarah lokal yang
kemudian berkembang menjadi sejarah bangsa secara nasional.
Di tingkat lembaga pendidikan yaitu sekolah dengan adanya Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), guru mata pelajaran sejarah diberikan kesempatan
untuk mengembangkan materi sesuai dengan yang ada di sekitarnya, yakni dengan mata
pelajaran muatan lokal atau di perguruan tinggi melalui mata kuliah sejarah lokal.
Melalui pembelajaran kontekstual yang dekat dengan lingkungan anak didik, kesan
pengajaran sejarah seperti di atas dapat dihilangkan. Mata pelajaran sejarah yang dekat
dengan lingkungan peserta didik dapat kita mulai dengan sejarah desa, kemudian
mengarah ke lingkup yang lebih luas yaitu kecamatan, peristiwa yang ada di sekitar
wilayah propinsi hingga akhirnya bermuara pada sejarah nasional sebagaimana tugas
mata pelajaran sejarah untuk menumbuhkan rasa nasionalisme dan pembangunan
karakter bangsa yang kuat dapat diwujudkan.
Salah satu keleluasaan itu adalah pemilihan sumber belajar yang ada di
sekitarnya, sebagai contoh sumber pembelajaran sejarah adalah museum. Museum
berfungsi untuk menyimpan benda-benda dan peninggalan budaya masyarakat di
sekitarnya, yang bisa dimanfaatkan sebagai
sumber
pembelajaran sehingga sejarah tidak
commit

to user
hanya tentang cerita masa lampau, tetapi lebih dekat dengan kehidupan sekarang. Dari

perpustakaan.uns.ac.id

3
digilib.uns.ac.id

sana perlu adanya usaha yang lebih besar dari lembaga pembentuk tenaga guru untuk
menciptakan guru-guru yang kreatif dan inovatif supaya bisa mengembangkan
pembelajaran sejarah yang menarik.
Perguruan tinggi khususnya yang memiliki Jurusan Pendidikan Sejarah sebagai
lembaga yang bertugas untuk mencetak tenaga kependidikan yaitu guru sejarah yang
semestinya mampu membangun kepekaan akan keberadaan sumber belajar seperti
museum. Salah satu mata kuliahnya yang memungkinkan untuk memanfaatkan sumber
belajar museum yaitu sejarah lokal. Mata kuliah ini diharapkan mampu memberikan
wawasan yang baik kepada calon guru sejarah untuk mendekatkan siswa dalam
pembelajaran sejarah dengan lingkungan tempat belajarnya, sehingga ada perubahan
paradigma pembelajaran sejarah yang dahulunya membosankan, tidak menarik dan
hanya hafalan menjadi materi yang disenangi dan menarik bagi peserta didik.

Di Bali satu-satunya perguruan tinggi negeri yang memiliki Jurusan
Pendidikan Sejarah adalah Universitas Pendidikan Ganesha-Singaraja yang berlokasi di
Kabupaten Buleleng-Bali. Sumber pembelajaran sejarah di Bali tersedia cukup banyak.
Sumber belajar yang ada berupa peninggalan sejarah seperti benda megalithikum di
Pura Penulisan-Bangli, peninggalan sejarah Istana Tampak Siring yang merupakan
istana Presiden Ir. Soekarno presiden pertama Indonesia dan Candi Gunung Kawi di
Gianyar. Museum yang mengoleksi berbagai ragam benda, mulai dari benda bersejarah,
lukisan-lukisan tua dan modern, kerajinan tangan khas Bali, alat-alat tradisional, sampai
contoh kain ikat, miniatur upacara agama, dan contoh tarian yang ada di Bali yaitu
Museum Bali di Denpasar, Museum Neka di Denpasar, Museum La Mayeur di
Denpasar, Museum Subak di Tabanan dan Museum Gedong Kirtya di Buleleng.
Namun demikian, pembelajaran di Jurusan Pendidikan Sejarah selama ini
masih mengalami kendala dalam pemanfaatan sumber-sumber belajar tersebut secara
maksimal. Terkendalanya waktu, lokasi yang jauh serta biaya yang dibutuhkan untuk
melakukan kegiatan pembelajaran di sumber belajar itu menjadi alasan klasik jarangnya
pembelajaran sejarah lokal memanfaatkan sumber belajar di atas. Salah satu museum
yang selama ini sudah dimanfaatkan sebagai sumber belajar sejarah khususnya sejarah
lokal yaitu Museum Gedong Kirtya yang berlokasi di Kota Singaraja. Alasan mengapa
Museum Gedong Kirtya dipilih sebagai sumber pembelajaran karena sesuai dengan
syarat sumber belajar seperti yang dijelaskan

Nana
commit to
userSujana (2001:84-85) menyatakan
sumber belajar pada dasarnya harus memenuhi beberapa syarat yaitu: (1) Ekonomis:

perpustakaan.uns.ac.id

4
digilib.uns.ac.id

tidak harus terpatok pada harga yang mahal; (2) Praktis: tidak memerlukan pengelolaan
yang rumit, sulit dan langka; (3) Mudah: dekat dan tersedia di sekitar lingkungan kita;
(4) Fleksibel: dapat dimanfaatkan untuk berbagai tujuan instruksional dan; (5) Sesuai
dengan tujuan: mendukung proses dan pencapaian tujuan belajar, dapat membangkitkan
motivasi dan minat belajar siswa. Berdasarkan kriteria tersebut, Museum Gedong Kirtya
termasuk sebagai sumber pembelajaran sejarah lokal di Jurusan Pendidikan Sejarah,
Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Pendidikan Ganesha, karena dekat dari lokasi, biaya
yang dibutuhkan pun sedikit, memberi hal yang baru sehingga bisa memotivasi
mahasiswa untuk mengembangkan diri dan sesuai dengan tujuan pembelajaran sejarah
lokal untuk mengembangkan sejarah yang ada di sekitarnya.

Selain itu, keunikan yang dimiliki museum ini adalah koleksi utama berupa
dokumen yang tidak seperti museum pada umumnya. Dokumen atau naskah yang
menjadi koleksi Museum Gedong Kirtya berupa lontar, prasasti, manuskrip kertas
dalam bahasa Bali dan huruf Bali, juga dokumen-dokumen dari zaman kolonial (19011950) yang baik digunakan dalam penulisan sejarah (Suharsana, 2006:3). Museum
Gedong Kirtya dari segi sejarahnya merupakan museum pertama di Bali (Suteja
Neka,1995:14). Museum Gedong Kirtya terletak di kompleks Sasana Budaya, yang
merupakan istana tua kerajaan Buleleng yaitu di Jalan Veteran 20 Singaraja-Bali.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan studi kasus tunggal
terpancang (embedded research). Penelitian dilakukan di Jurusan Pendidikan Sejarah,
Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Pendidikan Ganesha-Bali dan di Museum Gedong
Kirtya-Singaraja. Sumber data terdiri atas informan (Dosen sejarah lokal, mahasiswa,
pegawai Museum Gedong Kirtya), dokumen (silabus, RPP), serta tempat dan peristiwa
(kelas, situasi museum dan kegiatan pembelajaran). Teknik pengumpulan data
menggunakan teknik wawancara mendalam, observasi, dan content analysis. Validitas
data menggunakan trianggulasi data dan trianggulasi metode. Analisis data
menggunakan analisis interaktif dengan tiga tahapan analisis, yakni reduksi data,
penyajian data, dan penarikan simpulan yang berinteraksi dengan pengumpulan data
secara siklus.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

5
digilib.uns.ac.id

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Kualitas proses belajar mengajar yang baik tidak bisa dilepaskan dari baik
buruknya kualitas dosen sebagai sumber belajar utama, sarana dan prasarana pendukung
dan ketersediaan sumber belajar yang beranekaragam. Dosen sebagai sumber belajar
utama juga perlu mengembangkan diri dengan pengembangan strategi pembelajaran,
media belajar dan sumber belajar yang bervariasi. Dengan terpenuhinya ketiga hal
tersebut pembelajaran yang ada bisa meningkat dan berkembang semakin baik. Salah
satu di antaranya yang perlu untuk dikembangkan oleh pengajar atau dosen adalah
sumber belajar. Sumber belajar sangat penting karena bisa mendekatkan pembelajar
pada situasi yang sebenarnya yang ada dilapangan. Dalam pembelajaran sejarah
khususnya lagi sejarah lokal adalah mata kuliah yang memiliki keunikan tersendiri dan
berbeda dengan mata kuliah lainnya.
Mata kuliah sejarah lokal sangat dekat dengan lokalitas suatu kelompok

masyarakat dengan kekhasan sejarah, budaya dan adat istiadatnya. Kekhasan ini telah
ada sejak zaman dahulu, sehingga untuk mengetahuinya diperlukan sumber-sumber
informasi yang bisa menjelaskannya. Salah satu sumber informasi itu adalah hasil
peninggalan budaya

yang ditinggalkannya. Hasil budaya ini dapat berupa benda,

tulisan, maupun cerita-cerita lisan yang ada dimasyarakat. Khusus untuk benda dan
tulisan sekarang banyak tersimpan dalam museum-museum yang ada di setiap daerah.
Oleh

karena

itu,

dalam

pembelajaran

sejarah


lokal

sangat

penting untuk

mengembangkan sumber belajar museum. I Gde Widja (1991: 138) menjelaskan
museum merupakan sumber informasi berupa benda yang tidak sembarangan dapat kita
jumpai. Sumber informasi dari koleksi sebuah museum menjadi sangat penting untuk
mengetahui hasil budaya suatu masyarakat dengan melihat peninggalan sejarah yang
dihasilkan. Di samping koleksi berupa benda, beberapa museum juga memiliki koleksi
manuskrip seperti Museum Gedong Kirtya-Singaraja dan Museum Jakarta.
Terkait dengan pembelajaran sejarah lokal di Jurusan Pendidikan Sejarah
Universitas Pendidikan Ganesha sumber belajar sejarah lokal yang dipakai yaitu
Museum Gedong Kirtya. Museum Gedong Kirtya memiliki koleksi berupa lontar, buku
cetakan dan arsip Belanda serta naskah salinan lontar. Koleksi utama museum adalah
arsip dan lontar-lontar kuno yang berasal dari Bali dan Lombok. Untuk koleksi arsip
Belanda dan buku-buku kuno merupakan
hasiltowarisan
commit
user dari pemerintah Belanda saat
memerintah di Indonesia. Sedangkan koleksi lontar merupakan hasil kerja keras pihak

perpustakaan.uns.ac.id

6
digilib.uns.ac.id

museum yang mengumpulkan lontar-lontar dari berbagai daerah yang ada di Bali.
Selain itu,

lontar tersebut berasal dari sumbangan pemilik lontar yang bersedia

menyerahkan lontar miliknya untuk dikoleksi di Museum Gedong Kirtya.
Oleh pihak Museum Gedong Kirtya lontar-lontar yang telah terkumpul tersebut
secara bertahap dilakukan alih bahasa dan juga penyalinan ke aksara latin. Lontar yang
sudah disalin ini kemudian dibagi menjadi tujuh klasifikasi yaitu Weda, Agama,
Wariga, Itihasa, Babad, Tantri dan Lelampahan. Masing-masing klasifikasi
memberikan informasi dan pengetahuan yang berbeda tentang berbagai sejarah lokal
yang ada di Bali dan Lombok. Isi lontar ini memberikan berbagai informasi tentang
kehidupan religius, sosial, budaya dan tata pemerintahan orang Bali dan Lombok.
Sedangkan arsip Belanda memberikan informasi tentang keadaan Bali dan Lombok
pada masa penjajahan di Indonesia. Dengan mempelajari arsip-arsip ini kita akan diajak
untuk melihat bagaimana keadaan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat Bali dan
Lombok pada masa sebelum kemerdekaan. Dari isi lontar dan arsip itu mahasiswa
mendapatkan pengetahuan yang cukup lengkap mengenai keadaan di Bali dan Lombok
pada zaman dahulu.
Pemilihan Museum Gedong Kirtya sebagai sumber belajar dalam pembelajaran
sejarah lokal disesuaikan dengan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar.
Keberadaan Museum Gedong Kirtya sebagai sumber belajar sejarah lokal tidak bisa
dilepaskan dari koleksi yang dimiliki yakni merupakan pusat dokumen tentang Bali dan
Lombok yang banyak mengoleksi arsip Belanda dan berbagai lontar yang menjelaskan
kehidupan sosial, ekonomi dan budaya Bali dan Lombok. Sebagai sumber sejarah,
koleksi Museum Gedong Kirtya menyimpan sumber-sumber dokumen asli seperti arsip
dan lontar yang merupakan sumber primer dalam penulisan sejarah. Arsip Belanda
memberikan fakta tentang gambaran kehidupan masyarakat Bali pada zaman dahulu.
Oleh karena itu, penulisan sejarah yang menekankan pada rekonstruksi fakta
memerlukan sumber yang bisa mendukungnya, salah satunya adalah koleksi Museum
Gedong Kirtya. M.C Ricklefs (1987: 199) menjelaskan “…if history was a bouth facts,
its study must rest on source which factual...”, dari penjelasan tersebut dapat diketahui
bahwa dalam penulisan sejarah selalu berdasarkan atas fakta, sebab pemanfaatan
sumber belajar yang asli sangat penting dalam penulisan sejarah, khususnya sejarah
lokal.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

7
digilib.uns.ac.id

Museum Gedong Kirtya juga dapat dikategorikan sebagai salah satu sumber
belajar yang bisa dipakai karena masuk ke dalam kriteria sumber belajar seperti yang
dijelaskan oleh Nana Sujana (2001:84-85) sumber belajar yang baik harus memenuhi
beberapa kriteria yaitu (1) Ekonomis: tidak harus terpatok pada harga yang mahal; (2)
Praktis: tidak memerlukan pengelolaan yang rumit, sulit dan langka; (3) Mudah: dekat
dan tersedia di sekitar lingkungan kita; (4) Fleksibel: dapat dimanfaatkan untuk
berbagai tujuan instruksional dan; (5) Sesuai dengan tujuan: mendukung proses dan
pencapaian tujuan belajar, dapat membangkitkan motivasi dan minat belajar siswa.
Beliau juga menjelaskan bahwa kriteria sumber itu adalah (1) Memiliki guna untuk
memotivasi; (2) Memiliki tujuan untuk pengajaran; (3) Memiliki guna untuk penelitian;
(4) Memiliki tujuan untuk memecahkan masalah, dan (5) Untuk presentasi. Dari
penjelasan tersebut pemilihan Museum Gedong Kirtya sebagai sumber belajar
merupakan suatu hal yang tepat dilakukan untuk meningkatkan pembelajaran di kelas.
Untuk memaksimalkan pemanfaatan koleksi Museum Gedong Kirtya sebagai
sumber belajar, dosen sebagai sumber belajar utama terlebih dahulu memberikan
wawasan dan pengetahuan awal tentang berbagai sumber belajar dan materi yang
diajarkan. Dengan adanya pemahaman awal yang baik, nantinya pemahaman
mahasiswa terhadap sumber belajar yang dipakai menjadi semakin baik, karena pada
dasarnya sumber belajar itu memiliki fungsi seperti yang dijelaskan Mulyasa (2009:
182-183) yakni: (a) merupakan pembukaan jalan dan pengembangan wawasan terhadap
proses belajar mengajar yang akan ditempuh. Disini sumber belajar merupakan peta
dasar yang perlu dijajagi secara umum agar wawasan terhadap proses pembelajaran
yang akan dikembangkan dapat diperoleh lebih awal; (b) merupakan pemandu secara
teknik dan langkah-langkah operasional untuk menelusuri secara lebih teliti menuju
pada penguasaan keilmuan secara tuntas; (c) memberikan berbagai macam ilustrasi dan
contoh-contoh yang berkaitan dengan pembelajaran dan pembentukan kompetensi
dasar; (d) memberikan petunjuk dan diskripsi tentang hubungan antara apa yang sedang
dikembangkan dalam pembelajaran dengan ilmu pengetahuan lainnya; dan (e)
menginformasikan sejumlah penemuan baru yang pernah diperoleh dari orang lain
sehubungan dengan pembelajaran yang sedang dikembangkan.
Salah satu koleksi yang sangat penting untuk dipelajari terkait dengan sejarah
Bali adalah koleksi arsip Belanda dancommit
lontar Babad.
to user Babad adalah hasil karya sastra
sejarah yang sangat penting dalam penulisan sejarah lokal tradisional. Seperti yang

perpustakaan.uns.ac.id

8
digilib.uns.ac.id

dijelaskan oleh Sri Wulan Rujiwati Mulyadi (1990:243), ada beberapa karya sastra
yang dapat dipakai dalam penulisan sejarah tradisional kita yaitu:
1. Kitab-kitab yang bersifat sejarah, seperti babad, tambo dan silsilah;
2. Kesusastraan, yang berlangsung atau tidak langsung memuat sumber
sejarah; dan
3. Dongeng-dongeng atau cerita setempat yang masih dikenal rakyat.
Berdasarkan hal itu pengembangan sumber-sumber belajar di sekitar kita
terutama sumber tradisional menjadi sangat penting. Lebih lanjut disampaikan oleh
Sulastin Surono (1990:213) alasan babad sebagai sebuah karya sastra sejarah dapat
dipakai sebagai sumber penulisan sejarah karena fungsi dari babad atau karya sastra
yang ditulis pada zaman dahulu adalah: (1) Untuk mencatat segala peristiwa; (2) Untuk
mencatat peraturan; (3) Untuk mencatat adat-istiadat; (4) Agar cerita itu sampai ke
anak-cucu, dan (5) Agar anak cucu bisa belajar dari peristiwa masa lampau nenekmoyang. Melihat fungsi tersebut koleksi museum berupa karya sastra sejarah seperti
babad, hikayat, cerita panji, dan yang lainnya bisa dijadikan sebagai rujukan dan alasan
dalam pemanfaatannya sebagai sumber belajar sejarah lokal.
Koleksi museum ini memiliki nilai sejarah,

Sartono Kartodirdjo (1992: x)

proses national building for national identity yang dilakukan republik ini, menuntut
rekonstruksi sejarah sebagai sejarah nasional yang akan mewujudkan kristalisasi
identitas bangsa Indonesia. Rekonstruksi nilai sejarah secara menyeluruh dan lengkap
bagi warga masyarakat salah satunya dapat dilakukan di lembaga penyelenggara
pendidikan, yakni dengan pembelajaran sejarah secara berkelanjutan di sekolah-sekolah.
Demikian pentingnya pengajaran sejarah untuk meningkatkan rasa cinta tanah
air melalui nilai-nilai yang diwariskan. Seperti yang dijelaskan oleh Sartono Kartodirdjo
(1992: 35) bahwa banyak peristiwa-peristiwa sejarah yang bersifat lokal, sebenarnya
hanya bisa dimengerti dengan baik apa bila dihubungkan dengan dimensi sejarah
nasional. Beliau menambahkan bahwa pengembangan sejarah ditingkat nasional tetapi
realitasnya ditingkat lokal.
Penjelasan sejenis juga disampaikan oleh Taufik Abbdullah (1987: 243) bahwa
sejarah lokal dengan pendekatan yang tidak involusi, yang hanya berkisar pada dirinya,
semakin memberi kemungkinan untuk merintis permasalahan baru dalam sejarah
nasional. Hubungan timbal-balik antara daerah dan nasional, antara sejarah lokal dan
sejarah nasional menempatkan tugas dan fungsi sejarah lokal semakin penting dalam
commit to user
menjaga kelangsungan bangsa ini. Sejarah lokal bisa mengembangkan nilai

perpustakaan.uns.ac.id

9
digilib.uns.ac.id

kepahlawanan seorang tokoh lokal untuk dijadikan panutan generasi disebuah lokalitas
dengan catatan tidak merusak tatanan nasional yang ada. Perlu ada penanaman sikap
nasionalisme dan persatuan dikalangan generasi muda kita.
Rasa persatuan dan kesatuan itu dapat dilihat dari kisah kepahlawanan yang ada
dalam buku-buku sejarah perjuangan masyarakat Bali dan Indonesia umumnya yang
menjadi koleksi Museum Gedong Kirtya. Perjuangan para pahlawan kita pada masa
melawan penjajah memberi dorongan untuk menumbuhkan rasa cinta tanah air yang
telah mulai surut dengan munculnya berbagai sikap etnisitas dan kedaerahan yang
berlebihan (Pageh dan Bawa Atmadja, 2010). Mengajarkan kembali semangat
perjuangan dan nilai kepahlawanan merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan
agar generasi penerus bangsa ini mengingat kembali perjuangan tanpa pamrih yang
dilakukan oleh para pahlawan bangsanya.
Pembelajaran sejarah yang tepat dapat menyiapkan jalan bagi berkembangnya
nasionalisme (S. K. Kochhar, 2008: 62). Penekanan nilai kepahlawanan sebagai salah
satu tujuan pembelajaran sejarah agar generasi sekarang tidak lupa dengan perjuangan
yang dilakukan oleh pahlawan yang telah mendahului perlu ditingkatkan. Sebab,
sekarang ada kecenderungan masyarakat mulai lupa akan nilai-nilai sejarah dan
kepahlawanan para pejuang dalam menentang penjajah. Ini dapat dilihat dengan adanya
kekerasan dan konflik antar komponen bangsa yang mengatas namakan suatu kelompok
tertentu.
Seperti yang dijelaskan oleh I Gde Widja dalam Pageh dan Bawa Atmadja
(2010: 111) bahwa

secara empiris salah satu fenomena kritis yang paling

mengkhawatirkan terlihatnya konflik horisontal yang menjurus ke proses balkanisasi
dari kehidupan berbangsa kita. Hal ini tampaknya sejalan dengan pendangkalan nilainilai serta semangat kebangsaan yang telah diperjuangkan bertahun-tahun oleh para “the
founding father” kita. Generasi baru kita seakan mengalami alienasi (keterasingan) dari
warisan sejarah bangsanya. Dengan kata lain, kita merasakan seakan ada “generation
gaf” dalam pemaknaan nilai sejarah bangsa, bahkan seperti telah terjadi situasi yang
menjurus ke proses “uprooded generation” (generasi yang mulai tercabut akar nilai
sejarah bangsa). Apa boleh buat ini kenyataan yang kita alami sekarang. Demikian
pentingnya nilai kepahlawan dan nilai sejarah untuk ditanamkan kembali di masyarakat,
oleh karenanya pengembangan sumber
belajar
di Museum Gedong Kirtya sangat
commit
to user
penting.

Pengembangan

nasionalisme

di

samping

dengan

pengajaran

nilai

perpustakaan.uns.ac.id

10
digilib.uns.ac.id

kepahlawanan bisa juga dilakukan dengan mengembangkan rasa cinta seni dan budaya
yang dimiliki.
Dengan belajar di Museum Gedong Kirtya mahasiswa dikenalkan kepada
bentuk-bentuk peninggalan sejarah dan budaya Bali yang adi luhur yang telah ada sejak
zaman dahulu. Melalui koleksi Museum Gedong Kirtya berupa lelampahan dan tantri
membuktikan

bahwa budaya Bali sekarang ini merupakan hasil buah pikiran dan

kreatifitas dari para leluhur yang telah ada sejak dulu kala. Dari sana mahasiswa
dikenalkan kepada nilai budaya dan seni yang harus dijaga dan dilestarikan karena
memiliki nilai yang sangat besar. Sejarah memberitahu kita bahwa kebudayaan kita saat
ini telah mengalami perkembangan sebagai akibat berbagai pengaruh yang dibawa ke
dalam kebudayaan nenek moyang melalui abad-abad panjang (S. K. Kochhar, 2008:
61). Sikap cinta dan ikut menjaga kelestarian budaya bangsanya diharapkan semakin
dimiliki oleh para generasi penerus sehingga bangsa kita tidak kehilangan jati dirinya.
Nilai-nilai etika juga banyak diajarkan dalam pembelajaran di Museum Gedong
Kirtya terutama yang ada dalam koleksi kelompok atau klasifikasi tatwa (filsafat) atau
etika. Etika yang ada di dalam koleksi Museum Gedong Kirtya

memberikan

pengetahuan kepada mahasiswa bahwa masyarakat dahulu telah memiliki nilai atau
norma yang dijadikan panutan dan batasan mereka dalam melakukan tindakan. Dengan
adanya hal itu, masyarakat pada zaman dulu bisa hidup damai dan saling menghormati
satu dengan yang lainnya. Etika yang diajarkan dalam awig-awig (peraturan adat Bali)
masih dilestarikan sampai sekarang di setiap desa di Bali yang di kenal dengan awigawig desa pakraman.
Dalam awig-awig ini terdapat aturan yang jauh lebih diterima oleh masyarakat
dalam suatu daerah desa dari pada peraturan pemerintah. Ini tidak bisa dilepaskan dari
adanya ikatan emosional antara aturan yang berupa awig-awig dengan nilai-nilai positif
yang dianut dalam masyarakat. Awig-awig mengajarkan nilai etika yang merupakan
wujud keagungan nilai masyarakat desa di Bali. Pengenalan nilai lokalitas seperti itu
tentunya sangat penting untuk pengembangan pengetahuan mahasiswa sebagai calon
guru agar memiliki bekal yang kuat ketika menjadi seorang guru.
Nilai-nilai itu penting untuk diajarkan kepada mahasiswa agar timbul rasa
memiliki dan patuh kepada nilai-nilai yang telah diwariskan oleh pendahulunya. Rasa
patuh yang dimiliki oleh masyarakat secara
umum
dan mahasiswa khususnya menurut
commit
to user
Douglas Graham dalam Wina Sanjaya (2008:275) yaitu: (1) Normativist: kepatuhan

perpustakaan.uns.ac.id

11
digilib.uns.ac.id

terhadap norma-norma hukum; (2) Integritas: kepatuhan berdasarkan kesadaran dengan
pertimbangan-pertimbangan yang rasional; (3) Fenomenalist: kepatuhan berdasarkan
suara hati atau sekadar basa-basi, dan (4) Hedonist: kepatuhan berdasarkan pada
kepentingan diri. Berdasarkan hal tersebut kepatuhan terhadap nilai-nilai sejarah
diharapkan bersifat normatif dan integritas sehingga bisa ikut membantu pembangunan
bangsa ini. Untuk kepatuhan yang bersifat fenomenalist dan hedonist tidak muncul
supaya tidak menimbulkan permasalahan yang bisa mengganggu stabilitas berbangsa.
Melihat pentingnya nilai-nilai yang terkandung dalam berbagai koleksi yang ada
di Museum Gedong Kirtya, maka untuk ke depannya pemanfaatan museum ini sebagai
sumber belajar sejarah agar terus ditingkatkan supaya kesadaran untuk menghargai
masa lalu semakin meningkat. Kesadaran ini diharapkan dapat memotivasi mahasiswa
untuk mengisi diri agar berguna bagi nusa dan bangsanya.
Dengan adanya nilai-nilai tersebut akhirnya memunculkan apresiasi mahasiswa
untuk mempelajari koleksi Museum Gedong Kirtya. Bentuk apresiasi itu dapat dilihat
dari Suasana pembelajaran yang biasanya monoton dengan ceramah dari dosen sebagai
sumber belajar utama berubah menjadi interaktif ketika mahasiswa sudah memiliki
banyak pengetahuan yang diperoleh dari kunjungan ke Museum Gedong Kirtya.
Mahasiswa semakin antusias untuk mengetahui lebih lanjut koleksi di museum itu yang
terkait dengan materi sejarah lokal. Materi-materi tersebut terutama yang ada
hubungannya dengan kesejarahan Bali dan Lombok.
I Gde Widja (1988: 116-117) menjelaskan pentingnya pemanfaatan museum
sebagai sumber belajar sejarah lokal karena dapat menunjukkan kelebihan dari sejarah
lokal yang bisa memotivasi dan meningkatkan apresiasi mahasiswa dalam
pembelajaran. Apresiasi yang begitu baik adalah bukti riil jika Museum Gedong Kirtya
memberikan dampak positif dalam pembelajaran, untuk kedepannya sumber belajar ini
bisa dimanfaatkan terus dalam pembelajaran sejarah lokal atau sejarah lainnya yang
relevan dengan koleksi di Museum Gedong Kirtya.
Walaupun seperti itu mahasiswa dan dosen juga mengalami permasalahan dalam
memanfaatkan Museum Gedong Kirtya sebagi sumber belajarnya beberapa masalah
yang dihadapi antara lain: (1) Bahasa, karena masih banyak koleksi Museum Gedong
Kirtya yang berbahasa Belanda, Bahasa Inggris dan Bahasa Bali Kuno dan Jawa Kuno.
Guna mengatasi masalah Museum Gedong
Kirtya
sejak beberapa tahun belakangan ini
commit
to user
yakni sejak tahun 2004 mulai aktif berusaha untuk melakukan alih bahasa dari lontar ke

perpustakaan.uns.ac.id

12
digilib.uns.ac.id

aksara latin dan ke Bahasa Indonesia, supaya isi lontar yang ada di Museum Gedong
Kirtya bisa dipelajari oleh masyarakat luas dan mahasiswa khususnya; (2) pegawai yang
mengetahui koleksi masih kurang, karena pegawai yang ada di Museum ini tidak
memiliki latar belakang pendidikan yang memadai sehingga mereka sulit untuk
memberikan pelayanan yang maksimal; (3) kurangnya informasi dan sosialisasi,
Museum Gedong Kirtya belum begitu banyak memberikan sosialisasi dan informasi
kepada masyarakat tentang tentang koleksi yang dimiliki sehingga mahasiswa juga tidak
begitu tahu koleksi yang ada di museum tersebut; (4) tata ruang dan sarana prasarana
museum yang kurang baik, hal ini dapat menghambat pelayanan dan juga tidak bisa
menjamin keberlangsungan koleksi Museum Gedong Kirtya untuk masa selanjutnya
karena tidak ada sarana dan prasarana yang memungkinkan untuk itu, dan (5) waktu,
padatnya jam kuliah dan materi sejarah lokal yang diberikan dikelas membuat
mahasiswa semakin

sulit untuk melakukan pembelajaran di luar jam pelajaran

ditambah lagi dengan waktu kunjungan ke Museum Gedong Kirtya yang berbarengan
dengan jam efektif belajar sehingga mahasiswa menjadi kesulitan dalam mengatur
waktu untuk berkunjung.

PENUTUP
Simpulan dari penelitian ini adalah sebagai sumber belajar sejarah lokal
Museum Gedong Kirtya selama ini telah berjalan cukup maksimal. Koleksi-koleksi
yang dimanfaatkan untuk pembelajaran sejarah lokal yaitu arsip Belanda, buku-buku
Belanda, gambar kuno, alat-alat membuat lontar, patung-patung kuno, candra sangkala
di pintu masuk Museum Gedong Kirtya dan lontar-lontar yang terbagi menjadi tujuh
kelompok yaitu, Wariga, Itihasa, Babad, Tantri, Agama. dan Lelampahan kecuali
Weda. Nilai-nilai sejarah lokal yang bisa diperoleh mahasiswa dari Museum Gedong
Kirtya Singaraja adalah nilai edukatif, nilai etika,

nilai estetika dan budaya, nilai

agama, dan nilai kepahlawanan. Berbagai koleksi yang dimiliki oleh Museum Gedong
Kirtya, membuka wawasan dan cakrawala pengetahuan mahasiswa. Kendala yang
dihadapi oleh mahasiswa dan dosen dalam memanfaatkan Museum Gedong Kirtya
sebagai sumber belajar adalah 1) Bahasa, 2) Pelayanan pegawai, 3) Kurangnya
informasi dan sosialisasi, 4) Tata Ruang dan sarana prasarana museum yang kurang
baik, dan 5) Waktu berkunjung, padatnya
jadwal
kuliah yang dimiliki mengakibatkan
commit
to user

perpustakaan.uns.ac.id

13
digilib.uns.ac.id

mahasiswa sulit meluangkan waktu untuk melakukan kunjungan ke Museum Gedong
Kirtya-Singaraja.

commit to user