ABSTRACT POLICY ANALYSIS FORMULATION OF THE ACT WHICH OBSTRUCT THE TRIAL (CONTEMPT OF COURT) IN THE INDONESIAN JUSTICE SYSTEM By Dimas Abimayu, Erna Dewi, Eko Rahardjo Email : dabimayu.dagmail.com
ABSTRAK
ANALISIS KEBIJAKAN FORMULASI TENTANG PERBUATAN YANG
MENGHAMBAT PROSES PERADILAN (CONTEMPT OF COURT)
DALAM SISTEM PERADILAN INDONESIA
Oleh
Dimas Abimayu, Erna Dewi, Eko Rahardjo
Contempt Of Court dapat menghambat proses persidangan dikarenakan adanya
oknum-oknum yang terlibat permainan kotor yang menghambat persidangan yang memicu adanya keributan antar pihak, perbuatan seperti penghinaan dan pelecehan yang mengakibatkan timbulnya ketidakefektifan jalannya sebuah persidangan. Permasalahan yang dikaji oleh penulis adalah (1) Bagaimanakah kebijakan formulasi tentang perbuatan yang menghambat proses peradilan (Contempt of Court) dalam sistem peradilan Indonesia?(2) Apakah pengaturan RUU Contempt Of Court bersifat Overlapping dengan RUU KUHP? Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yang didukung dengan pendekatan yuridis empiris. Metode analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif, dan prosedur pengumpulan data dalam penulisan penelitian ini dengan cara studi kepustakaan dan lapangan. Hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, maka diperoleh kesimpulan mengenai analisis kebijakan formulasi tentang perbuatan yang menghambat proses peradilan (Contempt of
Court ) dalam sistem peradilan Indonesia. Contempt of Court saat ini di Indonesia
masih menjadi sekedar wacana saja karena selama ini belum ada tindakan yang tegas dari para hakim terhadap para pelaku yang perbuatan dapat dikategorikan sebagai perbuatan Contempt of Court, padahal pasal-pasal yang tersebar di dalam KUHP dapat dipergunakan dan untuk menjaga agar lembaga peradilan tetap terhormat dan berwibawa. Terkait dengan RUU KUHP yang tengah dalam proses pembahasan di DPR, pilihan kebijakan hukum yang paling memungkinkan adalah mengatur tindak pidana penyelenggaran peradilan dalam RUU KUHP dan bukan dengan RUU Tindak Pidana Penyelenggaraan Peradilan yang berdiri sendiri. Mengenai pengaturan non pidana yang ada di dalam RUU Tindak Pidana Penyelenggaraan Peradilan jika nanti pada akhirnya tidak menjadi undang-undang tersendiri, ketertiban persidangan, kelancaran persidangan, dan pengamanan persidangan dapat diatur dengan Peraturan Mahkamah Agung dan Peraturan Mahkamah Konstitusi mengingat kedua lembaga peradilan tersebut diberikan wewenang untuk mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenang.
Kata Kunci: Kebijakan Formulasi, Contempt of Court, Sistem Peradilan Indonesia
ABSTRACT
POLICY ANALYSIS FORMULATION OF THE ACT WHICH
OBSTRUCT THE TRIAL (CONTEMPT OF COURT) IN THE
INDONESIAN JUSTICE SYSTEM
By
Dimas Abimayu, Erna Dewi, Eko Rahardjo
Email : [email protected]
Contempt Of Court could hinder the trial process because of the elements involved in the dirty game that hinder the trial that sparked the commotion between the parties, actions such as humiliation and abuse that resulted in the emergence of ineffectiveness course of a trial. Issues studied by the author is (1) how the policy formulation of the act which obstruct the trial (Contempt of Court) in the Indonesian justice system? (2) Does the bill setting Contempt Of Court is overlapping with the draft Criminal Code? This study uses normative juridical approach that is supported by empirical juridical approach. Methods of data analysis used in this study is qualitative and data collection procedures in the writing of this study by literature study and field. Results of research and discussion that has been done, it could be concluded regarding the formulation of policy analysis regarding actions that obstruct the trial (Contempt of Court) in the Indonesian justice system. Contempt of Court is currently in Indonesia still be just discourse just because there has been no firm action of the judges against the perpetrators of the act can be categorized as acts of Contempt of Court, when the articles are scattered in the Criminal Code can be used and to keep that the judiciary remain respectable and dignified. Related to Criminal Code draft is in the process of discussion in Parliament, legal policy choice most likely is criminalize the delivery of justice in the Draft Criminal Code, not with Bill Crime Implementation of Justice that stands alone. Regarding the setting of non criminal that is in the bill Crime Implementation of Justice if it later in the end did not become a separate Act, the order of the trial, the smoothness of the trial, and securing trials can be regulated by the Supreme Court and the Constitutional Court Regulation considering both the judiciary was given authority to further regulate matters necessary for the smooth implementation of the tasks and authority.
Keywords : Policy Formulation, Contempt of Court, Indonesian Justice System
I.PENDAHULUAN
Istilah Contempt Of Court di Indonesia dapat dilihat di dalam Penjelasan Umum Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, butir 4 alinea ke-4 yang menyebutkan, selanjutnya untuk dapat lebih menjamin terciptanya suasana yang sebaik-baiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, maka perlu dibuat suatu undang- undang yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan yang dikenal dengan istilah Contempt Of Court.
menghambat proses persidangan dikarenakan adanya oknum- oknum yang terlibat permainan kotor yang menghambat persidangan yang memicu adanya keributan antar pihak, perbuatan seperti penghinaan dan pelecehan yang mengakibatkan timbulnya ketidakefektifan jalannya sebuah persidangan. Tindakan pelecehan atau penghinaan terhadap Pengadilan (Contempt Of Court) yang telah terjadi di Indonesia ini belum sepenuhnya terselesaikan. Ini dapat semakin meningkatnya tindakan Contempt Of Court di Indonesia, hal ini disebabkan karena kurang tegasnya aparat 1 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor
penegak hukum dan pemerintah dalam hal penanggulangan kasus
Contempt Of Court yang terjadi. Contempt Of Court di Indonesia
belum ada pengaturan yang jelas, tetapi di dalam KUHP terdapat ketentuan Pasal-Pasal yang dapat dikualifikasikan sebagai aturan mengenai Contempt Of Court, yaitu tercantum di dalam Pasal 207, Pasal 208, Pasal 209, Pasal 210, Pasal 211, Pasal 217, Pasal 224, Pasal 233, dan Pasal 420 KUHP, yaitu:
Pasal 207 KUHP: Barang siapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
1 Contempt Of Court dapat
Pasal 208 KUHP: (1)
Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum suatu tulisan atau lukisan yang memuat penghinaan terhadap suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia, dengan maksud supaya penghinaan itu diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
(2) Jika yang bersalah, melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pencariannya dan ketika itu
14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung,
belum lewat dua tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap, karena kejahatan semacam itu, maka dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut.
Pasal 209 KUHP: (1)
Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah: Ke-1. Barangsiapa memberi atau menjanjikan sesuatu benda kepada seorang pejabat dengan maksud supaya digerakkan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya. Ke-2. Barangsiapa memberi sesuatu kepada seorang pejabat karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya. Pencabutan hak tersebut dalam Pasal 35 no. 1- 4 dapat dijatuhkan.
Pasal 210 KUHP: (1)
Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Ke-1. Barangsiapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang Hakim, dengan maksud untuk mempengaruhi putusan tentang perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili. Ke-2. Barangsiapa memberi atau menjanjikan sesuatu menurut ketentuan Undang- Undang ditentukan menjadi penasihat atau adviseur untuk menghadiri sidang suatu pengadilan, dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili. (2)
Jika pemberian atau janji dilakukan dengan maksud untuk memperoleh pemidanaan, maka yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Pasal 211 KUHP: Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa seorang pejabat untuk melakukan perbuatan jabatan atau untuk tidak melakukan perbuatan jabatan yang sah, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Pasal 217 KUHP: Barang siapa menimbulkan kegaduhan dalam sidang pengadilan atau di tempat di mana seorang pejabat sedang menjalankan tugasnya yang sah di muka umum, dan tidak pergi sesudah diperintah oleh atau atas nama penguasa yang berwenang, diancam dengan pidana penjara paling lama tiga minggu atau pidana denda paling banyak seribu delapan ratus rupiah.
Pasal 224 KUHP: Barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-undang dengan kewajiban berdasarkan undang- undang yang harus dipenuhinya, diancam: 1.
Dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan;
2. Dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan.
Pasal 233 KUHP: Barangsiapa dengan sengaja memghancurkan, merusak, membuat tak dapat dipakai atau menghilangkan barang-barang yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan sesuatu di muka penguasa yang berwenang, akta-akta, surat-surat, atau daftar-daftar yang atas perintah penguasa umum, terus- menerus atau untuk sementara waktu disimpan, atau diserahkan kepada seorang pejabat, ataupun kepada orang lain untuk kepentingan umum, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Pasal 420 KUHP: (1)
Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun: Ke-1. Seorang Hakim yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui bahwa itu diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang menjadi tugasnya; Ke-2. Barangsiapa yang menurut ketentuan Undang- Undang ditunjuk menjadi penasihat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui bahwa itu diberikan untuk mempengaruhi nasihat tentang perkara yang harus diputus oleh pengadilan itu. (2)
Jika hadiah atau janji itu diterimanya dengan disadari bahwa itu diberikan supaya mendapat pemidanaan dalam suatu perkara pidana, maka yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
2 Ketentuan-ketentuan Contempt Of Court haruslah dibuat dengan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang telah ada di dalam KUHP, KUHAP, dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Hal tersebut disebabkan karena banyaknya kasus-kasus yang terjadi di negara Indonesia yang menimbulkan keributan antar pihak baik dari pihak di dalam peradilan maupun di luar peradilan, seperti kasus yang terjadi di Indonesia yang sangat mempengaruhi kinerja hakim.
Berdasarkan uraian tersebut maka ada dua aspek yang penting yang menjadi objek pengaturan
Contempt Of Court yaitu Internal
lembaga peradilan dan eksternal lembaga peradilan. Adapun yang berkaitan dengan internal lembaga peradilan adalah orang- orang yang menggerakkan lembaga peradilan, proses kegiatan daripada lembaga peradilan, dan hasil dari proses kegiatan lembaga peradilan. 2 Pasal 207 KUHP, Pasal 208 KUHP, Pasal
209 KUHP, Pasal 210 KUHP, Pasal 211 KUHP, Pasal 217, Pasal 224 KUHP, Pasal Terkait dengan aspek internal lembaga peradilan ini maka contempt of court mengatur sikap setiap orang secara individual atau secara berkelompok terhadap kewibawaan, martabat, dan kemandirian lembaga peradilan. Setiap orang tersebut tidak hanya terbatas pada pencari keadilan, terdakwa, penasehat hukum, saksi, pers atau orang yang hadir dalam persidangan, tetapi juga mencakup aparat penegak hukum lainnnya seperti polisi, jaksa dan hakim.
Dilihat dari perkembangan zaman yang semakin pelik, membuat kejadian Contempt Of
Court tidak bisa dihindari di
setiap persidangan, melihat kasus yang pernah terjadi antara Ketua KY Suparman dan Taufiqurahman yang melaporkan Hakim Sarpin karena memutuskan penetapan tersangka Budi Gunawan oleh KPK tidak sah. Sarpin menilai kritik yang ditulis di media massa mengenai putusannya itu sebagai bentuk penghinaan atau pencemaran nama baik, dan merasa terpojok oleh para pengkritiknya seolah- olah salah mengambil keputusan hukum. Kredibilitasnya sebagai penegak hukum diragukan dan dilecehkan yang akhirnya dapat mempengaruhi pandangan publik atas kapasitasnya seorang hakim.
Dengan mencuatnya kasus MA merasa perlu untuk memasukkan kasus penghinaan terhadap pengadilan ke dalam RUU Contempt of Court. Akan tetapi masih timbul perdebatan, karena di satu sisi sejumlah kalangan menilai aturan ini bisa berpotensi membelenggu kebebasan pers. Tetapi di sisi lain aturan ini dinilai beberapa pihak sangat diperlukan, karena proses maupun putusan pengadilan seringkali menjadi objek penghinaan seseorang lewat media massa. Sepanjang menyangkut kebebasan dan penguatan pers semua pihak harus mendukungnya. Tapi penyalahgunaan kebebasan pers tetap harus dikontrol. Jangan sampai media dikriminalisasi sepanjang wartawan yang bersangkutan bertindak profesional.
Pemerintah dan DPR diharapkan bisa segera membua menyelesaikan perseteruan antara Komisi Yudisial dengan Hakim Sarpin. Mantan Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia Otto Hasibuan menjelaskan, Undang-Undang Contempt Of
Court
tersebut dapat menyelesaikan persoalan yang menimpa hakim dengan lembaga negara lain maupun dengan masyarakat umum.
“Di negara maju seperti Amerika, Hongkong kewibawaan pengadilan sangat dijaga. Oleh karenanya, mereka mempunyai Undang-Undang Contempt Of
Court . Nah, yang terjadi di
Indonesia kan sebaliknya kewibawaan pengadilan tidak bisa dijaga misalnya orang dengan enaknya teriak-teriak di ruangan sidang dan sebagainya,” Jumat (7/8/2015). Dia menjelaskan, Undang-Undang
Contempt Of Court tersebut harus
memuat mengenai sanksi yang tegas kepada setiap orang yang melakukan penghinaan terhadap pengadilan.
“Penempatan pasal- pasal Contempt of Court itu tidak dimasukkan dalam KUHP melainkan harus dibuat UU tersendiri. Kasus yang terjadi antara KY dan Hakim Sarpin ini seharusnya bisa diselesaikan dengan UU Contempt Of Court jika kita sudah memilikinya tidak perlu dengan KUHP,” tambahnya.
Menurutnya, masalah hakim Sarpin dan KY yang menggunakan KUHP saat ini menimbulkan polemik di masyarakat.
“Ini jelas tidak bisa kita biarkan berlarut-larut sehingga membuat opini yang berkembang di masyarakat manjadi melebar ke mana-mana dan keluar dari konteks hukum yang ada di Indonesia. Karena masing-masing pihak mempunyai argumen yang berbeda-beda akibat tidak adanya Undang- Undang yang menjadi acuan bersama. Bagaimana jika kita melakukan penghinaan terhadap wibawa pengadilan,” tegasnya.
Otto mengakui memang ada kekawatiran dari masyarakat jika Undang-Undang Contempt Of
Court ini diberlakukan nantinya
bisa membuat hakim bisa semena-mena dalam memutuskan perkara yang ditanganinya. Untuk itu, dalam membuat UU tersebut harus dibuat secara pihak penegak hukum dan stakeholder lainnya. Oleh karenanya, pengawasan terhadap perilaku hakim pun harus terus ditingkatkan. "Undang-Undang
Contempt Of Court ini
diharapkan bisa menjembatani antara masyarakat pencari keadilan dengan hakim-hakim sebagai penentu di persidangan sehingga kewibaan pengadilan sebagai tempat pencari keadilan terakhir bisa menjadi tumpuan bagi masyarakat dan pada akhirnya semua keputusan pengadilan bisa dipatuhi dan dijalankan," pungkasnya.
3 Ketentuan-ketentuan Pasal yang
terdapat dalam KUHP tidaklah tegas karena tidak secara jelas menjelaskan perbuatan atau tindakan yang ditujukan pada Pengadilan sehingga penegakan hukum bagi pelaku Contempt Of
Court tidak dapat dilaksanakan
secara optimal. Hal ini haruslah menjadi perhatian khusus bagi pemerintah Indonesia khususnya agar cita-cita pendiri Negara ini yang menginginkan Indonesia sebagai Negara Hukum dapat terealisasikan dengan baik. Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka penulis ingin menulis skripsi tentang “Analisis Kebijakan Formulasi Tentang Perbuatan Yang Menghambat Proses Peradilan (Contempt of Court) Dalam Sistem Peradilan Indonesia” 3
( diakses pada hari Kamis, 29 Desember 2016 Pukul 20:00 WIB) Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, pendekatan empiris. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Metode analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif, dan prosedur pengumpulan data dalam penulisan penelitian ini dengan cara studi kepustakaan dan lapangan.
Contempt of Court Berdasarkan Rancangan Undang-Undang
Usulan perancangan di dalam R KUHP ketentuan mengenai contempt
of court
ini terdapat dalam Bab VI di bawah titel Tindak Pidana terhadap Proses Peradilan. Dari ketentuan yang terdapat dalam Bab tindak pidana terhadap proses peradilan tersebut diketahui pengaturan secara khusus mengenai contempt of court secara jelas dipengaruhi oleh pengaturan mengenai contempt of court di negara-negara yang menganut sistem common law. Dalam uraian mengenai tindak pidananya, R KUHP menggabungkan Pasal-Pasal yang dikualifikasikan sebagai “Tindak Pidana terhadap Proses Peradilan” menjadi satu bab khusus, dimana sebelumnya Pasal-Pasal tersebut tersebar dalam beberapa bab, selain itu terdapat pula ketentuan-ketentuan baru yang diadopsi dari beberapa negara lain.
Adapun beberapa rumusan baru yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana terhadap proses peradilan (contempt
of court) yang dimasukkan ke dalam
R KUHP, antara lain: 1.
Advokat yang dalam menjalankan pekerjaannya secara curang, mengadakan kesepakatan dengan pihak lawan dari pihak yang dibantunya, sedang patut diketahuinya bahwa perbuatan itu dapat merugikan kepentingan yang dibantunya.
2. Advokat yang dalam menjalankan pekerjaannya secara curang meminta imbalan kepada klien untuk mempengaruhi saksi, juru bahasa, penyidik, penuntut umum, atau hakim dalam perkara yang bersangkutan.
II. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan Formulasi
3. Seseorang yang secara melawan hukum menampilkan diri untuk orang lain sebagai peserta atau pembantu tindak pidana, sehingga oleh karena itu dijatuhi pidana dan menjalani pidana itu untuk orang lain 4.
Seseorang yang secara melawan hukum menghina integritas hakim dalam menjalankan tugas peradilan atau menyerang integritas atau sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan.
5. Seseorang yang secara melawan hukum mempublikasikan atau membolehkan untuk dipubli- kasikan segala sesuatu yang menimbulkan akibat yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan.
6. Setiap orang yang menjadi saksi atau orang lain yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme, korupsi, pencucian uang, hak asasi manusia yang berat, atau tindak pidana perdagangan orang, yang menyebutkan nama atau alamat pelapor atau hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor dalam penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Sebagian kalangan mendukung usulan para hakim ini dengan alasan bahwa dalam menjalankan tugasnya para hakim ini perlu mendapat perlindungan yang layak sehingga dapat menghasilkan kualitas yang baik. Sedangkan yang lain menyatakan bahwa ketentuan mengenai contempt of court ini sudah ada dalam peraturan perundangan- undangan Indonesia, walaupun tidak disebut sebagai contempt of court.
Pendapat lain lagi menyatakan bahwa keinginan mengenai perlunya ketentuan khusus mengenai tindak pidana terhadap peradilan (contempt
of court
) ini dilatarbelakangi oleh adanya kepentingan untuk melindungi hakim semata sebagai salah satu pihak yang paling berperan dalam proses peradilan. Kalangan ini berpendapat bahwa keinginan mengenai perlunya ketentuan khusus mengenai tindak pidana terhadap peradilan ini merupakan reaksi atas kritik yang mengemuka terhadap peradilan dan pejabat peradilan, dimana kritikan ini ditanggapi oleh pejabat peradilan dengan “kemarahan”. Padahal, kritikan dari kalangan ini didasari oleh buruknya sistem peradilan dan pejabat peradilan di Indonesia, dimana menurut kalangan ini sampai saat inipun tidak ada perbaikan yang mendasar yang dilakukan untuk memperbaiki bobroknya peradilan dan pejabat peradilan ini
Pendapat lain dikemukakan oleh Jesayas Tarigan, S.H., M.Hum., bahwasannya Contempt Of Court dapat merusak obyektifitas suatu peradilan di dalam suatu proses persidangan. Perbuatan-perbuatan yang dapat menghambat dapat terjadi dari internal maupun eksternal suatu peradilan itu sendiri. Beliau menambahkan bahwa suatu perbuatan yang dapat menghambat suatu proses peradilan dapat dikatakan berasal dari nilai-nilai dan norma para pelaku ketika berada di lingkup peradilan, baik itu internal pengadilan dan eksternal pengadilan yang melakukannya. Adanya tata krama pengadilan yang harus diterapkan yaitu harus adanya timbal balik antara para aparat termasuk aparat internal peradilan di dalam pengadilan tersebut. Perarturan dalam bentuk norma harus lebih konkrit dan lebih kuat di dalam sebuah pengadilan. Norma lebih mengacu kepada sebuah kesadaran diri sendiri dan ketelitian suatu pembuatnya agar nantinya tidak dapat multitafsir dan mendapatkan suatu arti dalam suatu norma dalam perundang-undangan yang berlaku.
4
4 Jesayas Tarigan, S.H., M.Hum., selaku Hakim di Pengadilan Tinggi Tanjung Pendapat lain menurut Gunawan Jatmiko, S.H., M.H., mengatakan bahwa jika rancangan undang- undang mengenai Contempt of Court sangat urgent diperlukan, maka dapat dikatakan dapat dibentuknya suatu undang-undang terkait Contempt of
Court ini. Beliau menambahkan
bahwa ketentuan yang terdapat di KUHP sudah memungkinkan untuk mengatasi adanya kekacauan yang ada di sistem peradilan, akan tetapi jika hal tersebut dirasa sangat perlu dan mendesak, maka pasti akan dibuat suatu rancangan undang- undang yang menentukan perbuatan di dalam proses peradilan selagi rancangan undang-undang tersebut tidak menimbulkan tumpang-tindih dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat ini.
mengenai Contempt of Court yang termuat di dalam RUU KUHP sendiri dilandaskan dari kekuasaan kehakiman yang mengandung kebebasan juga berarti merupakan perlindungan bagi hakim beserta lembaganya dari pengaruh-pengaruh antara lain sebagai berikut:
1. Lembaga-lembaga di luar badan-badan peradilan baik eksekutif, legislatif dan lain- lain.
2. Lembaga internal di dalam jajaran kekuasaan kehakiman itu sendiri.
4. Pengaruh-pengaruh pihak yang berperkara baik nasional maupun internasional. 5 Gunawan Jatmiko, S.H., M.H., selaku
Dosen Bagian Hukum Pidan Universitas 5.
Pengaruh-pengaruh yang bersifat “trial by the press”.
Apabila hakim memiliki kredibilitas yang tinggi serta didukung oleh suatu sistem yang memberikan kebebasan dan kemandirian hakim beserta institusinya, maka kepercayaan masyarakat terhadap fungsi hakim dan institusional pengadilan menjadi lebih baik, orang senang perkaranya diproses karena percaya akan mendapatkan keadilan sesuai dengan harapannya. Undang-undang Dasar tahun 1945 memberikan dasar hukum atas kekuasaan kehakiman melalui Pasal 24, kemudian Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang dirubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dan sekarang dengan Undang-Undanga Nomor 4 Tahun 2004.
5 Rancangan perundang-undangan
Kekuasaan kehakiman yang bebas mandiri berkaitan erat dengan
Contempt of Court yaitu suatu
perbuatan yang merendahkan wibawa, martabat dan kehormatan badan peradilan. Apabila dilihat keberadaan Contempt of Court di Indonesia terdapat dalam penjelasan umum butir 4 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 yang telah dirubah oleh Undang-Undang Nomor
5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung yang menyebutkan: “Untuk dapat lebih menjamin terciptanya suasana yang sebaik-baiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna penegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, maka perlu dibuat suatu undang-undang yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan atau ucapan yang dapat merendahkan dari rongrongan kewibawaan,
3. Pengaruh pihak-pihak yang berperkara.
peradilan yang dikenal sebagai bagi kelancaran pelaksanaan tugas . Perbuatan yang dan wewenangnya.
Contempt of Court
dikualifikasikan Contempt of Court menurut Civil Law System yang Argumentasi mengenai tindak pidana bertujuan untuk melindungi badan- proses peradilan perlu diatur, larangan badan peradilan agar supaya menjaga dapat dibenarkan, kendati demikian efektivitas sistem peradilan berfungsi bukan berarti ketentuan dalam RUU secara baik dan wajar, dan diatur KUHP juga secara keseluruhan dapat dalam kodifikasi perundang- diterima. Mengingat terdapat undangan negara-negara yang perumusan tindak pidana yang menganut Civil Law. berpotensi multitafsir dalam penerapannya seperti ketentuan Pasal 329 huruf d yang menentukan: B.
Overlapping Pengaturan RUU Contempt of Court Dengan RUU
“dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
KUHP
tahun atau pidana denda Mengingat pertimbangan bahwa saat paling banyak kategori IV ini RUU KUHP tengah dalam proses bagi setiap orang yang secara pembahasan di DPR, maka pilihan melawan hukum kebijakan hukum yang paling mempublikasikan atau memungkinkan adalah mengatur membolehkan untuk tindak pidana proses peradilan dalam dipublikasikan segala sesuatu RUU KUHP dan bukan dengan RUU yang menimbulkan akibat Tindak Pidana Penyelenggaraan yang dapat mempengaruhi Peradilan yang berdiri sendiri. sifat tidak memihak hakim
Pengaturan di berbagai negara lain dalam sidang pengadilan”. mengenai Contempt of Court sangat bervariasi, ada yang mengatur dalam
Ketentuan ini menunjukkan undang-undang tersendiri, ada pula perbedaan dengan pidana penghinaan yang tergabung dalam Criminal Code. pengadilan di berbagai negara. Pada
Adapun mengenai peraturan non bagian penjelasan Pasal 329 huruf d pidana di dalam RUU Tindak Pidana Penyelenggaraan Peradilan jika pada tidak memberikan batasan terhadap ketentuan tersebut dan hanya akhirnya tidak jadi undang-undang menjelaskan tujuan adanya pasal ini, tersendiri seperti ketertiban yaitu untuk melindungi peradilan persidangan, kelancaran persidangan, atau proses sidang pengadilan dan pengamanan persidangan nantinya dapat diatur dengan terhadap perbuatan yang menghina atau menyerang atau merusak
Peraturan Mahkamah Agung dan kenetralan pengadilan. Peraturan Mahkamah Konstitusi mengingat Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi oleh undang-
Eksistensi Pasal 329 huruf d RUU undang Mahkamah Agung dan KUHP ini ancaman hukumannya undang-undang Mahkamah Konstitusi lebih rendah dibandingkan Pasal 24 diberikan wewenang untuk mengatur RUU Tindak Pidana Penyelenggaran lebih lanjut hal-hal yang diperlukan Peradilan yang mengatur:
III. PENUTUP
“setiap orang yang mempublikasikan atau
memperkenankan untuk dipublikasikan proses Berdasarkan hasil penelitian dan persidangan yang sedang pembahasan yang telah diuraikan berlangsung, atau perkara dalam bab di atas, maka dapat yang dalam tahap upaya disimpulkan sebagai berikut: hukum, yang bertendensi
A. Simpulan
1. Contempt of Court dalam Sistem dapat mempegaruhi Hukum Indonesia merupakan kemerdekaan atau sifat tidak segala perbuatan, tingkah laku, memihak hakim, dipidana sikap dan ucapan yang dapat dengan penjara paling lama menghilangkan sifat sakral dari 10 (sepuluh) tahun atau suatu peradilan dan merendahkan pidana denda paling banyak kewibawaan, martabat dan
Rp. 1.000.000.000.00,- (satu kehormatan badan peradilan. milyar rupiah)”.
Bahwa tindakan Contempt of
Court dikategorikan sebagai
Jika pasal ini tidak diperjelas dan tindak pidana karena perbuatan dibatasi jangkauan pengaturannya tersebut meresahkan sistem maka akan berpotensi mengancam peradilan di Indonesia. Pada kebebasan berekspresi warga negara kenyataannya telah banyak terjadi yang dijamin oleh UUD NRI Tahun kasus Contempt of Court dalam 1945 termasuk kebebasan pers. proses peradilan. Dari rincian
Pengaturan tindak pidana proses tindak pidana yang akan diatur peradilan haruslah diletakkan dalam dalam Rancangan Undang- kerangka menjaga keseimbangan dan
Undang Hukum Pidana, bahwa kemandirian kekuasaan kehakiman tidak semua pasal dapat dijadikan di satu sisi dan sisi lain tetap sebagai tindak pidana. Beberapa ditempatkan dalam kerangka alasan, penulis berpendapat tidak penghormatan terhadap HAM, semua pasal dapat dijadikan diantaranya sebagai tindak pidana antara lain : a.
Beberapa Pasal dalam
a. atas kebebasan Hak
RUU KUHP masih mengeluarkan pendapat; bersifat hukum privat b. Hak untuk memperoleh,
(perdata), misalnya pada memiliki, menyimpan, pasal 328 butir (a) RUU mengolah, dan KUHP. Dalam pasal ini, menyampaikan informasi seharusnya advokat sudah dengan menggunakan segala mengadakan kesepakatan jenis saluran yang tersedia; dengan pihak lawan maka dan kesepakatan ini sudah c. Hak atas rasa aman atas diketahui kedua belah perlindungan dari ancaman pihak. ketakutan untuk berbuat atau b.
Beberapa Pasal dalam tidak berbuat sesuatu yang RUU KUHP terdapat merupakan HAM. pasal yang kurang memberi kejelasan secara maksimal denda ditetapkan dengan melawan hukum. kategori.
c.
Beberapa Pasal dalam RUU KUHP bertentangan dengan asas atau prinsip
B. Saran
hukum lain misalnya hak Berdasarkan kesimpulan yang telah asasi manusia. diruaikan, maka saran yang dapat penulis berikan yaitu, permasalahan
Contempt of Court saat ini di Contempt of Court sebaiknya
2. Kebijakan formulasi mengenai
Indonesia masih menjadi sekedar tidak dibuat adanya RUU wacana saja karena selama ini belum tersendiri, dikarenakan akan ada tindakan yang tegas dari para berakibatnya suatu disharmonisasi hakim terhadap para pelaku yang antara RUU KUHP dengan RUU perbuatan dapat dikategorikan
Tindak Pidana Penyelenggaraan sebagai perbuatan Contempt of Peradilan. Eksistensi dari RUU
Court , padahal pasal-pasal yang Contempt of Court ini bila
tersebar di dalam KUHP dapat menjadi undang-undang dipergunakan dan untuk menjaga berpotensi menciptkan agar lembaga peradilan tetap disharmoniasi dan konflik norma terhormat dan berwibawa. Hakim dengan undang-undang lainnya. hendaknya menindak tegas bagi
Dikarenakan RUU Tindak Pidana pelaku yang hendak mencemarkan Penyelenggaraan Peradilan sendiri harkat martabat dan wibawa lembaga bukan perintah langsung dari peradilan bukan hanya sekedar UUD NRI 1945. Dari hasil peringatan. pembahasan terdapat juga adanya persamaan dan perbedaan antara
Terkait dengan RUU KUHP yang KUHP dan RUU KUHP. tengah dalam proses pembahasan di
Persamaannya antara lain, yaitu: DPR, pilihan kebijakan hukum yang
a. yang Perbuatan-perbuatan paling memungkinkan adalah terkategori merupakan mengatur tindak pidana
Contempt of Court .
penyelenggaran peradilan dalam b. Pelaku adalah setiap orang
RUU KUHP dan bukan dengan RUU baik di dalam sidang maupun Tindak Pidana Penyelenggaraan di luar sidang. Peradilan yang berdiri sendiri.
c.
Ruang lingkupnya di dalam Mengenai pengaturan non pidana sidang maupun di luar sidang. yang ada di dalam RUU Tindak Pidana Penyelenggaraan Peradilan
Perbedaanya pada RUU KUHP jika nanti pada akhirnya tidak terdapat perluasan delik atau menjadi undang-undang tersendiri, perbuatan-perbuatan yang diperluas ketertiban persidangan, kelancaran dengan pemberatan pidana yang persidangan, dan pengamanan termuat dalam Pasal 334 RUU persidangan dapat diatur dengan KUHP, termasuk pidana denda
Peraturan Mahkamah Agung dan menurut Pasal 77 RUU KUHP wajib Peraturan Mahkamah Konstitusi dibayar dengan minimal khusus mengingat kedua lembaga peradilan mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenang.
Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Undang-Undang Nomor
DAFTAR PUSTAKA
Hp : 089633039100
29 Desember 2016 Pukul 20:00 WIB)
( diakses pada hari Kamis,
Website
Wawancara langsung dengan Dosen Bagian Hukum Pidana Universitas Lampung Gunawan Jatmiko, S.H., M.H. pada Fakultas Hukum Universitas Lampung tanggal 10 Februari 2017.
Wawancara langsung dengan Hakim Tinggi Jesayas Tarigan, S.H., M.Hum. pada Pengadilan Tinggi Tanjung Karang tanggal 8 Februari 2017.
Wawancara
18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial.
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang Nomor
Seno Adji, Oemar dan Indriyanto Seno Adji, Peradilan
Bebas dan Contempt of Court , Jakarta, Diadit
Undang-Undang Nomor
Tindak Pidana Penyelenggaraan Peradilan.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Rancangan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana. Rancangan Undang-Undang
Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar 1945.
Era Hukum No. 1 Tahun I, November 1987.
Court dalam Proses Peradilan di Indonesia, Hukum dan Pembangunan , Jurnal
Padmo Wahjono., Contempt of
Advokat dan Contempt of Court , Djambatan:
Media, 2007. Pangaribuan, Luhut MP., 2002.
14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang