BAB II KAJIAN PUSTAKA - Pemaknaan Lirik Lagu Judas (Studi Analisis Semiotika Lagu Lady Gaga yang berjudul Judas)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Paradigma Kajian

  Penelitian pada hakikatny merupakan suatu upaya untuk menemukan suatu kebenaran. Usaha untuk mencari kebenaran dilakukan oleh peneliti melalui model tertentu. Model tersebut biasnya dikenal dengan paradigma. Paradigma merupakan pola atau model tentang bagaimana sesuatu distruktur (bagian dan hubungannya) atau bagaimana bagian-bagian yang berfungsi (perilaku di dalamnya ada konteks khusus atau dimensi waktu) (Moleong, 2005:49).

  Paradigma merupakan suatu kepercayaan atau prinsip dasar yang ada dalam diri seseorang tentang pandangan dunia dan membentuk cara pandang terhadap dunia, penelitian pada hakikatnya merupakan suatu upaya untuk menemukan kebenaran atau untuk lebih membenarkan kebenaran. Usaha untuk mengejar kebenaran yng dilakukan oleh para filsuf, peneliti maupun oleh para praktisi melalui model-model tertentu. Model itu disebut dengan paradigma (Moleong, 2010:49).

  Paradigma juga merupakan kekuatan dasar yang mampu mempertahankan keberadaan sebuah ilmu pengetahuan. Paradigma pada wilayah riset penelitian sebenarnya merupakan seperangkat konstruksi cara pandang dalam menetapkan nilai-nilai dan tujuan penelitian serta memberikan arah tentang bagaimana pengetahuan harus didapat dan teori-teori apa yang seharusnya digunakan dalam sebuah penelitian. Pada hakikatnya, paradigma memberikan batasan-batasan tertentu apa yang harus dikerjakan, dipilih dan diprioritaskan dalam sebuah penelitian. Pada aspek lain, paradigma akan memberikan rambu-rambu tentang apa yang harus dihindari dan tidak digunakan dalam penelitian. Menurut sebuah analisis yang dikutip dari Bogdan dan Biklen (1982), paradigma merupakan kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau proposisi yang mengarahkan cara berpikir dan penelitian (Narwaya, 2006:110).

  Paradigma sangat penting dalam mempengaruhi teori, analisis maupun tindak perilaku seseorang. Secara tegas dikatakan bahwa tidak ada suatu pandangan atau teori yang bersifat netral dan objektif, melainkan salah satu di antaranya sangat bergantung para paradigma yang digunakan. Karen menurut Kuhn (1970) paradigma menentukan apa yang tidak kita pilih, tidak kita inginkan, tidak ingin kita lihat, dan tidak ingin kita ketahui.

  Paradigma mempengaruhi pandangan seseorang apa yang baik dan buruk, suka atau tidak suka. Oleh karena itu, jika ada dua orang yng melihat sebuah realitas sosial yang sama atau membaca lembaran tulisan buku yang sama, akan menghasilkan pandangan, penilaian, sikap dan perilaku yang berbeda pula. Perbedaan ini terjadi karena perbedaan paradigma yng dimiliki, yang secara otomatis mempengaruhi persepsi dan tindak komunikasi seseorang.

  Perspektif atau paradigma yang peneliti gunakan adalah kualitatif dimana pendekatan sistematis dan subjektif dalam menjelaskan pengalaman hidup berdasarkan kenyataan lapangan (empiris). Sementara itu penelitian kualitatif tidak menggunakan statistik, data hasil penelitian diperoleh secara langsung, misalnya observasi partisipan, wawancara mendalam dan studi dokumen sehingga peneliti mendapat jawaban apa adanya (Iskandar :35-37).

  Peneliti menggunakan pendekatan interpretif dimana bernagkat dari upaya untuk mencari penjelasan tentang peristiwa-peristiwa sosial atau budaya yang didasarkan pada perspektif dan pengalaman orang yang diteliti. Pendekatan interpretif diadopsi dari orientasi praktis. Secara umum pendekatan interpretif merupakan sebuah sistem sosial yang memaknai perilaku secara detail langsung mengobservasi (Newman, 1997:68). Selain itu interpretif juga melihat fakta sebagai sesuatu yang unik dan memiliki konteks dan makna yang khusus sebagai esensi dalam memahami makna sosial. Interpretif melihat fakta sebagai hal yang cair (tidak kaku) yang melekat pada sistem makna dalam pendekatan interpretif. Fakta-faktaa tidaklah imparsial, objektif dan netral. Fakta merupakan tindakan yang spesifik dan konstekstual yang bergantung pada pemaknaan sebagian orang dalam situasi sosial. Interpretif menyatakan situasi sosial mengandung ambiguitas yang besar. Perilaku dan pernyataan dapat memiliki makna yang banyak dan dapat diinterpretasikan dengan berbagai cara (www.wordpress.com).

  Ada bermacam-macam paradigma dalam mengungkap hakekat realitas atau ilmu pengetahuan yang berkembang dewasa ini yaitu: positivisme, postpositivisme, kontruksivisme (constructivism) dan teori kritik (critical theory). Perbedaan paradigma ini bisa dilihat dari cara mereka memandang realitas dan melakukan penemuan-penemuan ilmu pengetahuan, ditinjau dari empat dimensi pertanyaan : epitemologis, ontologis, metodologis dan aksiologis.

2.1.1 Perspektif Konstruktivisme

  Paradigma kontruktivis berbasis pada pemikiran umum tentang teori-teori yang dihasilkan oleh peneliti dan teoritisi aliran konstruktivis. Littlejohn mengatakan bahwa paradigma konstruktivis berlandaskan pada ide bahwa realitas bukanlah bentukan yang objektif, tetapi dikonstruksi melalui proses interaksi dalam kelompok, masyarakat dan budaya (Wibowo, 2011:27).

  Paradigma dalam penelitian semiotika banyak mengacu pada paradigma konstruktivis, meski sejumlah penelitian lainnya menggunakan paradigma kritis namun paradigma konstruktivis lebih relevan jika digunakan untuk melihat realitas signifikannya objek yang diteliti, dari paradigma konstruktivis dapat dijelaskan melalui empat dimensi seperti diutarakan oleh (Hidayat dalam Wibowo, 2010:28) sebagai berikut :

  4. Ontologis : relativism, realitas merupakan sosial. Kebenaran suatu realitas bersifat relatif, berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial.

  5. Epistemologi : transactionalist/subjektivist, pemahaman tentang suatu realitas atau temuan suatu penelitian merupakan produk interaksi antara peneliti dengan yang diteliti.

  6. Axiologis : nilai, etika dan pilihan moral merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu penelitian. Peneliti sebagai passionate

  participant , fasilitator yang menjembatani keragaman subjektivitas

  pelaku sosial. Tujuan penelitian lebih kepada rekonstruksi realitas sosial secara dialektis antara peneliti dengan pelaku sosial yang diteliti.

  7. Metodologis : menekankan empati dan interaksi dialektis antara peneliti dengan responden untuk merekonstruksi realitas yang diteliti, melalui metode-metode kualitatif seperti participant

  observation . Kriteria kualitas penelitian authenticity dan reclectivity ; sejauh mana temuan merupakan refleksi otentik dari

  realitas yang dihayati oleh para pelaku sosial.

2.2 Kajian Pustaka

2.2.1 Komunikasi

  Secara etimologis atau menurut asal katanya, istilah komunikasi berasal dari bahasa Latin communicatio, dan perkataan ini bersumber dari kata communis. Arti communis disini adalah sama makna, yaitu sama makna mengenai suatu hal. Jadi komunikasi berlangsung apabila antara orang-orang yng terlibat terdapat kesamaan makna mengenai suatu hal yang dikomunikasikan. Secara terminologis komunikasi berarti proses penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang kepada orang lain. Dari pengertian itu jelas bahwa komunikasi melibatkan sejumlah orang, dimana seseorang menyatakan sesuatu kepada orang lain. Jadi, yang terlibat dalam komunikasi itu adalah manusia. Karena itu, komunikasi yang dimaksudkan disini adalah komunikasi manusia atau dalam bahasa asing human communication, yang sering kali pula disebut komunikasi sosial (social communication). Komunikasi manusia sebagai singkatan dari komunikasi antarmanusia dinamakan komunikasi sosial atau komunikasi kemasyarakatan karena hanya pada manusia-manusia yang bermasyarakat terjadinya komunikasi (Effendy, 2003:3-4). Selain itu, komunikasi mengacu pada tindakan, oleh sato orang atau lebih, yang mengirim dan menerima pesan yang terdistorsi oleh gangguan (noise), terjadi dalam suatu konteks tertentu, mempunyai pengaruh tertentu, dan ada kesempatan untuk melakukan umapn balik (Devito, 1997:23).

  Selanjutnya, Liliweri (2004:5) berpendapat esensi komunikasi terletak pada proses, yakni suatu aktivitas yang melayani hubungan antara pengirim dan penerima pesan melampaui ruang dan waktu. Itulah sebabnya mengapa semua orang pertama-tama tertarik mempelajari komunikasi manusia (human communication), sebuah proses komunikasi yang melibatkan manusia pada kemarin, kini dan mungkin di masa yang akan datang. Komunikasi manusia itu melayani segala sesuatu, akibatnya orang bilang komunikasi itu sangat mendasar dalam kehidupan manusia, komunikasi merupakan proses yang universal. Komunikasi merupakan pusat sari seluruh sikap, perilaku dan tindakan yang trampil dengan manusia (communication involves both attitudes

  and skills ). Manusia tidak bisa dikatakan berinteraksi sosial kalau tiak

  berkomunikasi dengan cara atau melihat pertukaran informasi, ide-ide, gagasan, maksud serta emosi yang dinyatakan dalam simbol-simbol dengan orang lain.

  Menurut Rudy, komunikasi adalah proses penyampaian informasi, pesan-pesan, gagasan-gagasan atau pengertian-pengertian, dengan menggunakan lambang-lambang yang mengandung arti atau makna, baik secara verbal maupun non verbal dari seseorang atau sekelompok orang kepada seseorang atau sekelompok orang lainnya dengan tujuan untuk mencapai saling pengertian dan/atau kesepakatan bersama (2005:1). Sedangkan Morrisan mengemukakan komunikasi merupakan bentuk interaksi. Komunikasi adalah kendaraan atau alat yang digunakan untuk bertingkah laku untuk memahami serta memberi makna terhadap segala sesuatu di sekitar kita. Interaksi akan mengarah pada makna yang dipahami bersama dan sekaligus memperkuat makna bersama itu. Interaksi juga membangun berbagai konvensi yang merupakan standar makna dan tindakan, seperti peraturan, peran orang- orang tertentu, serta norma-norma yang memungkinkan terjadinya interaksi lebih jauh. Teori interaksi dirancang untuk menjelaskan proses sosial dan menunjukkan bagaimana tingkah laku orang dipengaruhi oleh aturan atau norma-norma kelompok (2009:11).

  Beberapa ahli menguraikan berbagai pengertian komunikasi, di antaranya adalah Samovar, dkk yang mengatakan bahwa komunikasi merupakan proses dinamis di mana orang berusaha untuk berbagi masalah internal mereka dengan orang lain melalui penggunaan simbol (Samovar, dkk, 2010:18). Bagi Everett M.Rogers, komunikasi adalah proses di mana suatu ide dialihkan dari sumber kepada satu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka. Sedangkan menurut Joseph A.Devito, komunikasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau lebih, yakni kegiatan menyampaikan dan menerima pesan yang mendapat distorsi dari gangguan-gangguan dalam suatu konteks yang menimbulkan efek dan kesempatan untuk arus balik (Uchjana, 2006:5).

  Segala perilaku dapat disebut komunikasi jika melibatkan dua orang atau lebih. Richard dan Yoshida mengatakan bahwa komunikasi terjadi jika setidaknya suatu sumber membangkitkan respons pada penerima melalui penyampaian suatu pesan dalam bentuk tanda atau simbol, baik bentuk verbal ataupun nonverbal, tanpa harus memastikan terlebih dahulu bahwa kedua pihak yang berkomunikasi punya suatu sistem simbol yang sama (Mulyana, 2004:3). Simbol atau lambang adalah sesuatu yang mewakili sesuatu lainnya berdasarkan kesepakatan bersama. Atau seperti yang dikatakan Geert Hofstede, simbol adalah kata, jargon, isyarat, gambar, gaya, atau objek (simbol status) yang mengandung suatu makna tertentu yang hanya dikenali oleh mereka yang menganut suatu budaya (Mulyana, 2004:3).

1. Proses Komunikasi

  Proses komunikasi dapat dikategorikan dari dua perspektif, yaitu perspektif psikologis dan perspektif mekanistis. Proses perspektif psikologis terjadi pada diri komunikator dan komunikasi. Ketika seorang komunikator berniat akan menyampaikan suatu pesan kepada komunikasn, maka dalam dirinya terjadi suatu proses. Proses “mengemas” atau “membungkus” pikiran dengan bahasa yang dilakukan komunikator itu dalam bahasa komunikasi dinamakan encoding. Hasil encoding berupa pesan itu kemudian ia transmisikan atau operkan atau kirimkan kepada komunikan. Kini giliran komunikasn terlibat dalam proses komunikasi intraapersonal. Proses dalam diri komunikan disebut decoding seolah-olah membuka kemasan atau bungkus pesan yang ia terima dari komunikator tadi. Isi bungkusan tadi adalah pikiran komunikator, maka komunikasi terjadi (Effendy, 2003:32).

  Proses komunikasi dalam perspektif mekanistis berlangsung ketika komunikator mengoperkan atau “melemparkan” dengan bibir kalau lisan atau tangan jika tulisan pesannya sampai ditangkap oleh komunikan. Penangkapan pesan dari komunikator oleh komunikan itu dapat dilakukan dengan indra telinga atau indra mata, atau indra-indra lainnya. Proses komunikasi dalam perspektif ini kompleks atau rumit, sebab bersifat situasional, bergantung pada situasi ketika komunikasiitu berlangsung. Adakalanya komunikannya seorang, maka komunikasi dalam situasi seperti itu dinamakan komunikasi interpersonal atau komunikasi antarpribadi, kadang-kadang komunikannya sekelompok orang, komunikasi dalam situasi seperti itu disebut komunikasi kelompok (Effendy, 2003:32).

2. Sifat Komunikasi

  Ditinjau dari sifatnya komunikasi diklasifikasikan sebagai berikut : a.

  Komunikasi verbal (verbal communication) 1)

  Komunikasi lisan (oral communication) 2)

  Komunikasi tulisan (written communication) b. Komunikasi nonverbal (nonverbal communication)

  1) Komunikasi kial (gestural/body communication)

  2) Komunikasi gambar (pictorial communication)

  3) Lain-lain c.

  Komunikasi tatap muka (face-to-face communication) d.

  Komunikasi bermedia (medited communication) (Effendy, 2003:53).

  3. Tujuan Komunikasi a.

  Mengubah sikap (to change the attitude) b. Mengubah opini/pendapat/pandangan (to change the opinion) c. Mengubah perilaku (to change behavior) d. Mengubah masyarakat (to change the society) (Effendy, 2003:55).

  4. Fungsi Komunikasi a.

  Menginformasikan (to inform) b. Mendidik (to educate) c. Menghibur (to entertain) d. Mempengaruhi (to influence) (Effendy, 2003:55).

2.2.2 Komunikasi Verbal

  Komunikasi verbal adalah komunikasi yang menggunakan kata-kata, entah lisan maupun tulisan. Komunikasi ini paling banyak dipakai dalam hubungan antar manusia. Melalui kata-kata, mereka mengungkapkan perasaan, emosi, pemikiran, gagasan, atau maksud mereka, menyampaikan fakta, data, dan informasi serta menjelaskannya, saling bertukar perasaan dan pemikiran, saling berdebat, dan bertengkar. Dalam komunikasi verbal itu bahasa memegang peranan penting (Hardjana, 2003:22).

  Ada beberapa unsur penting dalam komunikasi verbal, yaitu:

  1. Bahasa Pada dasarnya bahasa adalah suatu sistem lambang yang memungkinkan orang berbagi makna. Dalam komunikasi verbal, lambang bahasa yang dipergunakan adalah bahasa verbal entah lisan, tertulis pada kertas, ataupun elektronik. Bahasa suatu bangsa atau suku berasal dari interaksi dan hubungan antara warganya satu sama lain (Hardjana, 2003:22).

  Bahasa memiliki banyak fungsi, namun sekurang- kurangnya ada tiga fungsi yang erat hubungannya dalam menciptakan komunikasi yang efektif. Ketiga fungsi itu adalah:

  a. Untuk mempelajari tentang dunia sekeliling kita;

  b. Untuk membina hubungan yang baik di antara sesama manusia c. Untuk menciptakan ikatan-ikatan dalam kehidupan manusia.

  Menurut para ahli, ada tiga teori yang membicarakan sehingga orang bisa memiliki kemampuan berbahasa. Teori pertama disebut Operant Conditioning yang dikembangkan oleh seorang ahli psikologi behavioristik yang bernama B. F. Skinner (1957). Teori ini menekankan unsur rangsangan (stimulus) dan tanggapan (response) atau lebih dikenal dengan istilah S-R. teori ini menyatakan bahwa jika satu organisme dirangsang oleh stimuli dari luar, orang cenderung akan member reaksi. Anak-anak mengetahui bahasa karena ia diajar oleh orang tuanya atau meniru apa yang diucapkan oleh orang lain.

  Teori kedua ialah teori kognitif yang dikembangkan oleh Noam Chomsky. Menurutnya kemampuan berbahasa yang ada pada manusia adalah pembawaan biologis yang dibawa dari lahir.

  Teori ketiga disebut Mediating theory atau teori penengah. Dikembangkan oleh Charles Osgood. Teori ini menekankan bahwa manusia dalam mengembangkan kemampuannya berbahasa, tidak saja bereaksi terhadap rangsangan (stimuli) yang diterima dari luar, tetapi juga dipengaruhi oleh proses internal yang terjadi dalam dirinya (Cangara, 2007:99-102).

  2. Kata Kata merupakan lambang terkecil dalam bahasa. Kata adalah lambang yang melambangkan atau mewakili sesuatu hal, entah orang, barang, kejadian, atau keadaan. Jadi, kata itu bukan orang, barang, kejadian, atau keadaan sendiri. Makna kata tidak ada pada pikiran orang. Tidak ada hubungan langsung antara kata dan hal. Yang berhubungan langsung hanyalah kata dan pikiran orang (Hardjana, 2003:24).

2.2.3 Semiotika

  Semiotik atau ada yang menyebut dengan semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti ‘tanda’. Istilah semeion tampaknya diturunkan dari kedokteran hipokratik atau asklepiadik dengan perhatiannya pada simtomatologi dan diagnostik inferensial (Sobur, 2004:95). Tanda pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain. Secara terminologis, semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi tanda (van Zoest, 1993:1). Eco (1979:6) mendefinisikan semiotik sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Ahli sastra Teew (1984:6) mendefinisikan semiotik adalah tanda sebagai tindak komunikasi dan kemudian disempurnakannya menjadi model sastra yang mempertanggungjawabkan semua faktor dan aspek hakiki untuk pemahaman gejala susastra sebagai alat komunikasi yang khas di dalam masyarakat mana pun. Semiotik merupakan cabang ilmu yang relatif masih baru. Penggunaan tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya dipelajari secara lebih sistematis pada abad kedua puluh.

  Para ahli semiotik modern mengatakan bahwa analisis semiotik modern telah diwarnai dengan dua nama yaitu seorang linguis yang berasal dari Swiss bernama Ferdinand de Saussure (1857- 1913) dan seorang filosof Amerika yang bernama Charles Sanders Peirce (1839-1914). Peirce menyebut model sistem analisisnya dengan semiotik dan istilah tersebut telah menjadi istilah yang dominan digunakan untuk ilmu tentang tanda. Semiologi Saussure berbeda dengan semiotik Peirce dalam beberapa hal, tetapi keduanya berfokus pada tanda. Seperti telah disebutkan di depan bahwa Saussure menerbitkan bukunya yang berjudul A Course in General

  Linguistics (1913). Dalam buku itu Saussure membayangkan suatu

  ilmu yang mempelajari tanda-tanda dalam masyarakat. Ia juga menjelaskan konsep-konsep yang dikenal dengan dikotomi linguistik. Salah satu dikotomi itu adalah signifier dan signified (penanda dan petanda). Ia menulis the linguistics sign unites not a thing and a

  name,but a concept and a sound image a sign . Kombinasi antara

  konsep dan citra bunyi adalah tanda (sign). Jadi Saussure membagi tanda menjadi dua yaitu komponen, signifier (atau citra bunyi) dan

  signified (atau konsep) dan dikatakannya bahwa hubungan antara keduanya adalah arbitrer.

  Semiologi didasarkan pada anggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah laku manusia membawa makna atau selama berfungsi sebagai tanda, harus ada di belakangnya sistem pembedaan dan konvensi yang memungkinkan makna itu. Di mana ada tanda, di sana ada sistem (Saussure, 1988:26). Sekalipun hanyalah merupakan salah satu cabangnya, namun linguistik dapat berperan sebagai model untuk semiologi. Penyebabnya terletak pada ciri arbiter dan konvensional yang dimiliki tanda bahasa. Tanda-tanda bukan bahasa pun dapat dipandang sebagai fenomena arbiter dan konvensional seperti mode, upacara, kepercayaan dan lain-lainya. Dalam perkembangan terakhir kajian mengenai tanda dalam masyarakat didominasi oleh karya filsuf Amerika. Charles Sanders Pierce (1839 - 1914). Kajian Pierce jauh lebih terperinci daripada tulisan Saussure yang lebih programatis. Oleh karena itu istilah semiotika lebih lazim dalam dunia Anglo- Sakson, dan istilah semiologi lebih dikenal di Eropa Kontinental. Charles Sanders Pierce adalah seorang filosof Amerika yang paling orisinal dan multidimensional. Bagi teman-teman sezamannya ia terlalu orisional. Dalam kehidupan bermasyarakat, teman-temannya membiarkannya dalam kesusahan dan meninggal dalam kemiskinan Perhatian untuk karya-karyanya tidak banyak diberikan oleh teman- temannya. Pierce banyak menulis, tetapi kebanyakan tulisannya bersifat pendahuluan, sketsa dan sebagian besar tidak diterbitkan sampai ajalnya. Baru pada tahun 1931 - 1935 Charles Hartshorne dan Paul Weiss menerbitkan enam jilid pertama karyanya yang berjudul

  Collected Papers of Charles Sanders Pierce . Pada tahun 1957 baru

  terbit jilid 7 dan 8 yang dikerjakan oleh Arthur W Burks. Jilid yang terakhir berisi bibliografi tulisan Pierce.

  Pierce selain seorang filosof juga seorang ahli logika dan Pierce memahami bagaimana manusia itu bernalar. Pierce akhirnya sampai pada keyakinan bahwa manusia berpikir dalam tanda. Maka diciptakannyalah ilmu tanda yang ia sebut semiotik. Semiotika baginya sinonim dengan logika. Secara harafiah ia mengatakan “Kita hanya berpikir dalam tanda”. Di samping itu ia juga melihat tanda sebagai unsur dalam komunikasi. Semakin lama ia semakin yakin bahwa segala sesuatu adalah tanda artinya setidaknya sesuai cara eksistensi dari apa yang mungkin (van Zoest, 1993:10). Dalam analisis semiotiknya Peirce membagi tanda berdasarkan sifat ground menjadi tiga kelompok yakni qualisigns, sinsigns dan legisigns.

  Qualisigns adalah tanda-tanda yang merupakan tanda berdasarkan

  suatu sifat. Contoh sifat merah merupakan qualisgins karena merupakan tanda pada bidang yang mungkin. Sinsigns adalah tanda yang merupakan tanda atas dasar tampilnya dalam kenyataan. Semua pernyataan individual yang tidak dilembagakan merupakan sinsigns. Sebuah jeritan bisa berarti kesakitan, keheranan atau kegembiraan.

  Legisigns adalah tanda-tanda yang merupakan tanda atas dasar suatu

  peraturan yang berlaku umum, sebuah konvensi, sebuah kode. Tanda- tanda lalu lintas adalah sebuah legisigns. Begitu juga dengan mengangguk, mengeritkan alis, berjabat tangan dan sebagainya.

  Selanjutnya Barthes (1957) menggunakan teori signifiant -

  signifie yang dikembangkan menjadi teori tentang metabahasa dan konotasi. Istilah signifiant menjadi ekspresi (E) dan signifie menjadi isi (C). Namun Barthes mengatakan bahwa antara E dan C harus ada relasi (R) tertentu, sehingga membentuk tanda (sign, Sn). Konsep relasi ini membuat teori tentang tanda lebih mungkin berkembang karena relasi ditetapkan oleh pemakai tanda. Menurut Barthes, ekspresi dapat berkembang dan membentuk tanda baru, sehingga ada lebih dari satu dengan isi yang sama. Pengembangan ini disebut sebagai gejala metabahasa dan membentuk apa yang disebut kesinoniman (synonymy). Setiap tanda selalu memperoleh pemaknaan awal yang dikenal dengan dengan istilah denotasi dan oleh Barthes disebut sistem primer. Kemudian pengembangannya disebut sistem sekunder. Sistem sekunder ke arah ekspresi disebut metabahasa. Sistem sekunder ke arah isi disebut konotasi yaitu pengembangan isi sebuah ekspresi. Konsep konotasi ini tentunya didasari tidak hanya oleh paham kognisi, melainkan juga oleh paham pragmatik yakni pemakai tanda dan situasi pemahamannya. Dalam kaitan dengan pemakai tanda, kita juga dapat memasukkan perasaan sebagai (aspek emotif) sebagai salah satu faktor yang membentuk konotasi. Model Barthes demikian juga model Saussure tidak hanya diterapkan pada analisis bahasa sebagai salah satu aspek kebudayaan, tetapi juga dapat digunakan untuk menganalisis unsur-unsur kebudayaan.

  Semiotik yang dikembangkan oleh Barthes juga disebut dengan semiotika konotatif. Terapannya juga pada karya sastra tidak sekadar membatasi diri pada analisis secara semiosis, tetapi juga menerapkan pendekatan konotatif pada berbagai gejala kemasyarakatan. Di dalam karya sastra ia mencari arti ’kedua’ yang tersembunyi dari gejala struktur tertentu. (van Zoest, 1993:4). Aliran semiotik yang dipelopori oleh Julia Kristeva disebut semiotika eksplanatif. Ciri aliran ini adalah adanya sasaran akhir untuk mengambil alih kedudukan filsafat. Karena begitu terarahnya pada sasaran, semiotik ini terkadang disebut ilmu total baru (de nieuwe

  totaalwetwnschap ). Dalam semiotik ini pengertian tanda kehilangan tempat sentralnya. Tempat itu diduduki oleh pengertian produksi arti. Penelitian yang menilai tanda terlalu statis, terlalu nonhistoris, dan terlalu reduksionalis, diganti oleh penelitian yang disebut praktek arti (betekenis ptaktijk). Para ahli semiotika jenis ini tanpa merasa keliru dalam bidang metodologi, mencampurkan analisis mereka dengan pengertian-pengertian dari dua aliran hermeutika yang sukses zaman itu, yakni psikoanalisis dan marxisme (van Zoest, 1993:5).

2.2.4 Semiotika Roland Barthes

  Semiotika Barthes tersusun atas tingkatan-tingkatan sistem bahasa. Umumnya Barthes membuatnya dalam dua tingkatan bahasa. Bahasa tingkat pertama adalah bahasa sebagai objek dan bahasa tingkat kedua yang disebut dengan meta bahasa. Bahasa ini merupakan suatu sistem tanda yang memuat signifier (penanda) dan signified (petanda). Sistem tanda kedua terbangun dan menjadi penanda dan penanda tingkat pertama berubah menjadi petanda baru yang kemudian memiliki petanda baru sendiri dalam suatu sistem tanda baru dalam taraf yang lebih tinggi.

  Sistem tanda pertama kadang disebut sebagai denotasi atau sistem termilogi, sedangkan sistem tanda kedua disebut sebagai konotasi atau sistem retoris atau mitologi. Biasanya beberapa tanda denotasi dapat dikelompokkan bersama untuk membentuk suatu konotasi tunggal; sedangkan petanda konotasi berciri sekaligus umum, global dan tersebar. Petanda ini dapat pula disebut fragmen ideologi. Petanda ini memiliki komunikasi yang sangat dekat dengan budaya, pengetahuan dan sejarah. Dan dapat dikatakan bahwa “ideologi” adalah bentuk petanda konotasi dan “retorika” adalah bentuk konotasi (Barthes, 2004:152).

  Konotasi dan metabahasa adalah cerminan yang berlawanan satu sama lainnya. Metabahasa adalah operasi-operasi yang mebentuk mayoritas bahasa-bahasa ilmiah sebagai petanda, di luar kesatuan petanda-petanda yang asli, dapat dikatakan berada di luar sebuah alam deskriptif. Sedangkan konotasi meliputi bahasa-bahasa yang utama bersifat sosial dalam hal untuk memberikan pesan-pesan literal dan memberikan dukungan bagi makna.

  Penyatuan konotasi dan metabahasa akan memberikan peluang untuk menghadirkan sebuah sistem atau petanda ketiga yang secara alami dilengkapi oleh sebuah kode ekstra-linguistik yang substansinya adalah objek atau imaji. Kode sebagai sistem makna yang ketiga (makna luar) yang lengkap sebagai acuan dari setiap tanda yang terdiri dari lima jenis kode (Barthes, 2004:112).

  1. Hermeneutik Di bawah kode hermeneutik, orang akan mendaftar beragam istilah (formal) yang berupa sebuah teka-teki (enigma) dapat dibedakan, diduga, diformulasikan, dipertahankan, dan akhirnya disingkapi. Kode ini disebut pula sebagai suara kebenaran (the voice of truth).

  2. Proairetik Merupakan tindakan naratif dasar (basic narrative action) yang tindakannya dapat terjadi dalam berbagai sikuen yang mungkin diindikasikan. Kode ini disebut pula sebagai suara empirik.

  3. Budaya Sebagar referensi kepada sebuah ilmu atau lembaga ilmu pengetahuan. Biasanya orang mengindikasikan kepada tipe pengetahuan (fisika, fisiologi, psikologi, sejarah termasuk arsitektur). Dan mencoba untuk mengkonstruksikan sebuah budaya yang berlangsung pada satu kurun waktu tertentu yang berusaha untuk diekspresikan. Kode ini disebut pula sebagai suara ilmu.

  4. Semik Merupakan sebuah kode relasi-penghubung (medium-relatic

  code ) yang merupakan konotasi dari orang, tempat, objek

  yang petandanya adalah sebuah karakter (sifat, atribut, predikat).

5. Simbolik

  Tema merupakan sesuatu yang bersifat tidak stabil dan tema ini dapat ditentukan dan beragam bentuknya sesuai dengan pendekatan sudut pandang (perspektif) pendekatan yang dipergunakan. Barthes semakin dikenal ketika ia menggambarkan tentang makna ideologis dari bahasa yang ia ketengahkan sebagai mitos. Ketika mempertimbangkan sebuah berita atau laporan, akan menjadi jelas bahwa tanda linguistik, visual dan jenis tanda lain mengenai bagaimana berita itu direpresentasikan (seperti tata letak / lay out, rubrikasi, dsb) tidaklah sesederhana mendenotasikan sesuatu hal, tetapi juga menciptakan tingkat konotasi yang dilampirkan pada tanda. Barthes menyebut fenomena ini membawa tanda dan konotasinya untuk membagi pesan tertentu sebagai penciptaan mitos (Bignell, 1997:16). Pengertian mitos di sini tidaklah menunjuk pada mitologi dalam pengertian sehari-hari seperti halnya cerita-cerita tradisional melainkan sebuah cara pemaknaan; dalam bahasa Barthes: tipe wicara (Barthes, 1994:107). Pada dasarnya semua hal dapat menjadi mitos; satu mitos timbul untuk sementara waktu dan tenggelam untuk waktu yang lain karena digantikan oleh pelbagai mitos lain. Mitos menjadi pegangan atas tanda-tanda yang hadir dan menciptakan fungsinya sebagai penanda pada tingkatan yang lain.

  Mitos oleh karenanya bukanlah tanda yang tak berdosa, netral; melainkan menjadi penanda untuk memainkan pesan-pesan tertentu yang boleh jadi berbeda sama sekali dengan makna asalnya. Kendati demikian, kandungan makna mitologis tidaklah dinilai sebagai sesuatu yang salah (‘mitos’ diperlawankan dengan ‘kebenaran’); cukuplah dikatakan bahwa praktik penandaan seringkali memproduksi mitos. Produksi mitos dalam teks membantu pembaca untuk menggambarkan situasi sosial budaya, mungkin juga politik yang ada disekelilingnya. Bagaimanapun mitos juga mempunyai dimensi tambahan yang disebut naturalisasi. Melaluinya sistem makna menjadi masuk akal dan diterima apa adanya pada suatu masa, dan mungkin tidak untuk masa yang lain (Tolson, 1996:7).

  Pemikiran Barthes tentang mitos nampaknya masih melanjutkan apa yang diandaikan Saussure tentang hubungan bahasa dan makna atau antara penanda dan petanda. Tetapi yang dilakukan Barthes sesungguhnya melampaui apa yang lakukan Saussure. Bagi Barthes, mitos bermain pada wilayah pertandaan tingkat kedua atau pada tingkat konotasi bahasa. Jika Sauusure mengatakan bahwa makna adalah apa yang didenotasikan oleh tanda, Barthes menambah pengertian ini menjadi makna pada tingkat konotasi. Konotasi bagi Barthes justru mendenotasikan sesuatu hal yang ia nyatakan sebagai mitos, dan mitos ini mempunyai konotasi terhadap ideologi tertentu.

  Tanda konotatif tidak hanya memiliki makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Tambahan ini merupakan sumbangan Barthes yang amat berharga atas penyempurnaannya terhadap semiologi Sausure, yang hanya berhenti pada penandaan pada lapis pertama atau pada tataran denotatif semata. Dengan membuka wilayah pemaknaan konotatif ini, ‘pembaca’ teks dapat memahami penggunaan gaya bahasa kiasan dan metafora yang itu tidak mungkin dapat dilakukan pada level denotatif (Budiman, 2004:255). Lebih dari itu, di samping gagasannya dapat dimanfaatkan untuk menganalisis media, semiotika konotasi ala Barthesian ini memungkinkan penggunaannya untuk wilayah-wilayah lain seperti pembacaan terhadap karya sastra dan fenomena budaya kontemporer atau budaya pop. Bahkan dalam pandangan Ritzer, Barthes adalah pengembang utama ide-ide Saussure pada semua aspek kehidupan sosial (Ritzer, 2003). Bagi Barthes, semiologi bertujuan untuk memahami sistem tanda, apapun substansi dan limitnya, sehingga seluruh fenomena sosial yang ada dapat ditafsirkan sebagai ‘tanda’ alias layak dianggap sebagai sebuah lingkaran linguistik.

  Penanda-penanda konotasi, yang dapat d i sebut s e b a g a i konotator, terbentuk dari tanda-tanda (kesatuan penanda dan petanda) dari sistem yang bersangkutan. Beberapa tanda boleh jadi secara berkelompok membentuk sebuah konotator tunggal, asalkan yang disebut terakhir tadi memiliki sebuah petanda konotator tunggal. Dengan kata lain, satuan-satuan dari sistem terkonotasi tidak mesti memiliki ukuran yang sama dengan sistem yang tertandakan: fragmen- fragmen besar dari diskursus yang bersangkutan dapat membentuk sebuah satuan sistem terkonotasi tunggal. Sebagai contoh, misalnya, dengan melihat suatu teks, yang tersusun dari sejumlah banyak kata, namun makna u m u m dari itu merujuk pada sebuah petanda tunggal). Bagaimanapun caranya ia dapat menutup pesan yang ditunjukkan, konotasi tidak menghabiskannya: selalu saja tertinggal ‘sesuatu yang tertunjukkan’ (jika tidak diskursus menjadi tidak mungkin sama sekali) dan konotator-konotator selalu berada dalam analisa tanda-tanda yang diskontinyu dan tercerai-berai, dinaturalisasi oleh bahasa yang membawanya.

  Sedangkan untuk petanda konotasi, karakternya umum, global dan tersebar sekaligus menghasilkan fragmen ideologis. Berbagai petanda ini memiliki suatu komunikasi yang amat dekat dengan budaya, pengetahuan, sejarah, dan melalui merekalah, demikian dikatakan, dunia yang melingkunginya menginvasi sistem tersebut. Kita dapat katakan bahwa ideologi adalah suatu form penanda- penanda konotasi, sementara gaya bahasa, majas atau metafora adalah elemen bentuk (form) dari konotator-konotator. Singkatnya, konotasi merupakan aspek bentuk dari tanda, sedangkan mitos a dalah muatannya. Penggunaan tanda satu persatu dapat mengurangi kecenderungan “anarkis” penciptaan makna yang tak berkesudahan, di sisi lain, namun keanekaragaman budaya dan perubahan terus- menerus membentuk wilayah petanda konotatif yang bersifat global dan tersebar. Ideologi, secara semiotis, adalah penggunaan makna- makna konotasi tersebut di masyarakat alias makna pada makna tingkat ketiga.

  Secara sekilas skema Barthes mengisyaratkan bahwasanya tak ada satu pun aktivitas penggunaan tanda yang bukan ideologi, namun sebenarnya tidak seperti itu. Ideologi, pada hakikatnya, adalah suatu sistem kepercayaan yang dibuat-buat, suatu kesadaran semu yang kemudian mengajak (interpellation) kepada individu-individu untuk menggunakannya sebagai suatu “bahasa” sehingga membentuk orientasi sosialnya dan kemudian berperilaku selaras dengan ideologi tersebut. Apa yang sebenarnya ditunjuknya adalah sebuah himpunan relasi-relasi yang ada, tidak seperti suatu konsep ilmiah, ia tidak menyediakan sebuah alat untuk mengetahuinya. Dalam suatu cara khusus (ideologis), ia menunjukkan beberapa eksistensi, namun tidak memberikan kita esensinya.

  Beroperasinya ideologi melalui semiotika mitos ini dapat ditengarai melalui asosiasi yang melekat dalam bahasa konotatif. Barthes mengatakan penggunaan konotasi dalam teks ini sebagai: penciptaan mitos. Ada banyak mitos yang diciptakan media di sekitar kita, misalnya mitos tentang kecantikan, kejantanan, pembagian peran domestik versus peran publik dan banyak lagi. Mitos ini bermain dalam tingkat bahasa yang oleh Barthes disebutnya ‘adibahasa’ (meta- language) (Strinati, 1995:113). Penanda konotatif menyodorkan makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya (Budiman, 2004:255). Dibukanya medan pemaknaan konotatif ini memungkinkan pembaca memakanai bahasa metafor atau majazi yang makanya hanya dapat dipahami pada tataran konotatif. Dalam mitos, hubungan antara penanda dan petanda terjadi secara termotivasi. Pada level denotasi, sebuah penanda tidak menampilkan makna (petanda) yang termotivasi. Motivasi makna justru berlangsung pada level konotasi.

  Barthes menyatakan bahwa mitos merupakan sistem komunikasi juga, karena mitos ini merupakan sebuah pesan juga. Ia menyatakan mitos sebagai “modus pertandaan, sebuah bentuk, sebuah “tipe wicara” yang dibawa melalui wacana. Mitos tidaklah dapat digambarkan melalui objek pesannya, melainkan melalui cara pesan tersebut disampaikan (Barthes, 2004:126). Apapun dapat menjadi mitos, tergantung dari caranya ditekstualisasikan. Dalam narasi berita, pembaca dapat memaknai mitos ini melalui konotasi yang dimainkan oleh narasi. Pembaca yang jeli dapat menemukan adanya asosiasi- asosiasi terhadap ‘apa’ dan ‘siapa’ yang sedang dibicarakan sehingga terjadi pelipatgandaan makna. Penanda bahasa konotatif membantu untuk menyodorkan makna baru yang melampaui makna asalnya atau dari makna denotasinya.

  Sering dikatakan bahwa ideologi bersembunyi di balik mitos. Ungkapan ini ada benarnya, suatu mitos menyajikan serangkaian kepercayaan mendasar yang terpendam dalam ketidaksadaran representator. Ketidaksadaran adalah sebentuk kerja ideologis yang memainkan peran dalam tiap representasi. Mungkin ini bernada paradoks, karena suatu tekstualisasi tentu dilakukan secara sadar, yang dibarengi dengan ketidaksadaran tentang adanya sebuah dunia lain yang sifatnya lebih imaginer. Sebagaimana halnya mitos, ideologi pun tidak selalu berwajah tunggal. Ada banyak mitos, ada banyak ideologi; kehadirannya tidak selalu kontintu di dalam teks. Mekanisme kerja mitos dalam suatu ideologi adalah apa yang disebut Barthes sebagai naturalisasi sejarah. Suatu mitos akan menampilkan gambaran dunia yang seolah terberi begitu saja alias alamiah. Nilai ideologis dari mitos muncul ketika mitos tersebut menyediakan fungsinya untuk mengungkap dan membenarkan nilai-nilai dominan yang ada dalam masyarakat.

  Ideologi berbeda dengan konsep sains, dan lebih berbeda lagi dengan kesadaran iluminatif. Kesadaran iluminatif berada pada tingkat kesadaran diri yang merembes dari pengertian sesorang akan nilai kegamaan melalui kitab suci (nilai batiniah), sementara kesadaran ideologis dalam term Barthes berada pada tingkat kesadaran psikis, atau lebih tepatnya lagi di wilayah ego yang merupakan sistem representasi berupa image yang mengkonstruksi kesadaran yang sifatnya semu. Artikulasi mendasar dari proses ideologis tidak dari proyeksi kesadaran yang teralienasi ke dalam berbagai superstruktur, namun dalam generalisasi pada seluruh tingkatan dari suatu kode struktural. Maka ideologi bukanlah suatu tipuan misterius dari kesadaran; ia adalah suatu logika sosial yang disubstitusikan untuk lainnya (dan yang menyelesaikan kontradiksi yang sebelumnya), sehingga mengubah definisi dari nilai itu sendiri. Ideologi bekerja ibarat sihir dari kode yang membentuk dasar dominasi.

  Teori Barthes tentang mitos/ideologi memungkinkan seoarng pembaca atau analis untuk mengkaji ideologi secara sinkronik maupun diakronik. Secara sinkronik, makna terantuk pada suatu titik sejarah dan seolah berhenti di situ, oleh karenanya penggalian pola-pola tersembunyi yang menyertai teks menjadi lebih mungkin dilakukan. Pola tersembunyi ini boleh jadi berupa pola oposisi, atau semacam skema pikir pelaku bahasa dalam representasi (Berger, 1982:30). Sementara secara diakronik analisis Barthes memungkinkan untuk melihat kapan, di mana dan dalam lingkungan apa sebuah sistem mitis digunakan. Mitos yang dipilih dapat diadopsi dari masa lampau yang sudah jauh dari dunia pembaca, namun juga dapat dilihat dari mitos kemrin sore yang akan menjadi “founding prospective history” (Sunardi, 2004:116). Media seringkali berperilaku seperti itu, mereka merepresentasikan, kalau bukan malah menciptakan mitos-mitos baru yang kini hadir di tengah masyarakat. Untuk yang terakhir ini, penulis berkecenderungan untuk mengatakan bahwa media melakukan proses ‘mitologisasi’, dunia kita sehari-hari digambarkan dalam cara yang penuh makna dan dibuat sebuah pemahaman yang generik bahwa memang begitulah seharusnya dunia. Iklan, berita, fesyen, pertunjukan selebritas adalah dunia kecil yang akrab kita jumpai dan menjadi ikon dari dunia besar: mitos dan ideologi di baliknya.

  Pemikiran Barthes tentang ideologi seringkali bersinggungan dengan pemikiran Althusser, dan keduanya memang terlihat saling melengkapi. Rupanya Barthes adalah salah seorang mahasiswa Althusser. Kedua orang yang berbeda generasi itu mempunyai minat yang sama: ideologi (Sunardi, 2004:126). Baik Althusser maupun Barthes sepakat bahwa ideologi menjadi tempat di mana orang mengalami subyektivitasnya. Hanya saja, Barthes telah menerapkan teori subyektivitas yang berada di luar jangkauan analisis Althusser. Barthes dapat menjangkau teori subyektivitas melalui konsepnya tentang sistem mitis, di mana dia dapat menjelaskan konsepnya secara lebih skematik. Dan boleh jadi Barthes akan menjadi lebih akrab dengan kita karena apa yang diambilnya seringkali berasal dari dunia yang amat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Ideologi menjadi persoalan konsumsi, secara tidak sadar kita melahapnya dalam persoalan keseharian, dan konsumsi pun menjadi bermakna ideologis. Ini yang membedakannya dengan Althusser yang terpancang pada Marxisme klasik dalam melihat hubungan antara negara dan masyarakat sipil, sehingga dalam kerangka kerja Althusser, analisis Barthes mungkin berada di luar jangkauan Althusser tentang ideologi. Barthes tidak seperti itu, apa yang dilihatnya seringkali kita rasakan sebagai sesuatu yang remeh-temeh, justru dapat dimaknai dengan begitu mendalam. Pencarian makna oleh pembaca tidak mandeg, karena selalu saja ada hal-hal baru yang akan muncul dan bermakna. Barthes sesungguhnya hanya memberi tongkat kecil bagi seorang yang rabun untuk dapat menyusuri jalan yang tak rata dan berlobang. Dan kita acapkali menjadi orang rabun itu.

2.2.4.1 Makna

  Dalam dua bagian terdahulu dialektika peristiwa dan makna telah dikembangkan sebagai suatu dialektika dalam dari makna wacana. Memaknai kata adalah apa yang diinginkan (dilakukan) oleh pembicara. Namun memaknai kata adalah juga apa yang dimaksud oleh kalimat tersebut. Makna ucapan dalam makna kandungan proposional- merupakan sisi “objektif’ pemaknaan ini. Makna pengucapan dalam tiga bentuk makna referensi diri kalimat, dimensi illokusioner perbuatan bicara, dan maksud pemahaman oleh pendengar- merupakan sisi subjektif pemaknaan.

  Dialektika subjektif-objektif ini tidaklah menghentikan pemaknaan makna dan untuk itu tidaklah menghapuskan struktur objektif. Sisi objektif wacana itu sendiri dapat diambil dalam dua cara. Kita dapat memakai apa wacana itu dan tentang apa wacana itu. Apa wacana itu adalah “makna’nya dan tentang apa wacana itu adalah ‘referensi’nya. Perbedaan antara makna dan referensi telah diperkenalkan dalam filsafat moderen oleh Gottlob Forge dalam makalahnya yang cukup terkenal “Ueber sinn

  und Bedeutung ”yang telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi

  “on sense and reference”. Distingsi ini merupakan distingsi yang dapat secara langsung dihubungkan dengan distingsi antara semiotik dan sematik. Hanya terhadap kalimatlah yang memungkinkan kita dapat membedakan antara apa yang dikatakan dan tentang apa yang dikatakan. Dalam sistem bahasa, mengatakan sebagai suatu bentuk leksikon, tidak ada masalah dengan referensi; tanda hannya mengacu kepada tanda lain dalam satu sistem. Namun begitu, dengan kalimat bahasa diarahkan kepada hal di balik dirinnya sendiri. Di mana makna bersifat objektif dalam makna ideal, referensi justru mengekspresikan adanya pergerakan di mana bahasa mentransendesikan dirinya sendiri. Dengan kata lain makna menghubungkan antara identifikasi fungsi dan fungsi predikat dalam kalimat, dan referensi menghubungkan bahasa dengan dunia. Inilah adalah kata lain bagi klaim kebenaran wacana (Ricoeur, 2012:53).

  Para ahli mengakui, istilah makna (meaning) memang merupakan kata dan istilah yang membingungkan (Sobur, 2004:255). Orang-orang sering menggunakan istiah pesan dan makna secara bergantian. Akan tetapi, ini tidaklah benar jika dilihat dari sudut semantik. Dapat dikatakan, ‘pesan’ itu tidak sama dengan ‘makna’ pesan bisa memiliki lebih dari satu makna, dan beberapa pesan bisa memiliki satu makna.

  Secara semiotika, pesan adalah penanda; dan maknanya adalah petanda. Pesan adalah sesuatu yang dikirimkan secara fisik dari satu sumber ke penerimanya. Sedangkan makna dari pesan yang dikirimkan hanya bisa ditentukan dalam kerangka-kerangka makna lainnya. Tak perlu lagi kiranya dijelaskan bahwa hal ini juga akan menghasilkan pelbagai masalah interpretasi dan pemahaman (Danesi, 2010:22).

  Ada beberapa pandangan mengenai teori dan konsep makna. Seperti yang diungkapkan oleh Wendell Johnson (Sobur, 2004:258): 1.

   Makna ada dalam diri manusia. Makna tidak terletak pada kata-

  kata. Kita menggunakan kata-kata untuk mendekati makna yang ingin kita komunikasikan. Komunikasi adalah proses yang kita gunakan untuk mereproduksi, di benak pendengar, apa yang ada di benak kita. Reproduksi ini hanyalah sebuah proses parsial dan selalu bisa salah.

  2. Makna berubah . Kata-kata relatif statis. Banyak dari kata-kata yang

  kita gunakan berumur 200 atau 300 tahun. Tapi makna dari kata- kta tersebut mengalami perubahan yang dinamis, teruatama pada dimensi emosional dari makna. Seperti kata-kata hubungan di luar

  nikah, obat, agama, hiburan, dan perkawinan (Di Amerika Serikat,

  kata-kata ini diterima secara berbeda pada saat ini dan di masa- masa yang lalu).

  3. Makna membutuhkan acuan . Komunikasi hanya masuk akal

  bilamana ia mempunyai kaitan dengan dunia atau lingkungan eksternal. Obsesi seorang paranoid yang selalu merasa diawasi dan teraniaya merupakan contoh makna yang tidak mempunyai acuan yang memadai.

  4. Penyingkatan yang berlebihan akan mengubah makna . Berkaitan

  erat dengan gagasan bahwa makna membutuhkan acuan adalah masalah komunikasi yang timbul akibat penyingkatan berlebihan tanpa mengaitkannya dengan acuan yang konkret dan dapat diamati. Bila kita berbicara tentang cinta, persahabatan, kebahagiaan, kebaikan, kejahatan, dan konsep-konsep lain yang serupa tanpa mengaitkannya dengan sesuatu yang spesifik, kita tidak akan bisa berbagi makna dengan lawan bicara. Mengatakan kepada seorang anak untuk “manis” dapat mempunyai banyak makna. Penyingkatan perlu dikaitkan dengan objek, kejadian, dan perilaku dalam dunia nyata: “Berlaku manislah dan bermain sendirilah sementara ayah memasak.” Bila Anda telah membuat hubungan seperti ini, Anda akan bisa membagi apa yang Anda maksudkan dan tidak.

  5. Makna tidak terbatas jumlahnya . Pada suatu saat tertentu, jumlah kata dalam suatu bahasa terbatas, tetapi maknanya tidak terbatas.

  Karena itu, kebanyakan kata mempunyai banyak makna. Ini bisa menimbulkan masalah bila sebuah kata diartikan secara berbeda oleh dua orang yang sedang berkomunikasi. Bila ada keraguan, sebaiknya Anda bertanya dan bukan membuat asumsi; ketidaksepakatan akan hilang bila makna yang diberikan masing- masing pihak diketahui.

  6. Makna dikomunikasikan hanya sebagian . Makna yang kita peroleh

Dokumen yang terkait

Representasi Kehidupan Sosial Masyarakat Indonesia dalam Lirik Lagu Iwan Fals (Analisis Semiotika Lirik Lagu Iwan Fals yang Berjudul ‘Ujung Aspal Pondok Gede’)

10 156 82

Campur Kode pada Lirik Lagu Pop Indonesia (Kajian Sosiolinguistik)

32 213 66

Pemaknaan Lirik Lagu Judas (Studi Analisis Semiotika Lagu Lady Gaga yang berjudul Judas)

22 172 89

REPRESENTASI WANITA DALAM LIRIK LAGU POP INDONESIA (Analisis Semiotika Tentang Lirik Lagu Bertemakan Wanita)

9 117 53

Wacana Alienasi Dalam Lirik Lagu Penjara Batin (Analisis Wacana Kritis Teun A. Van Dijk Mengenai Wacana Kritis Dalam Lirik Lagu Penjara Batin Karya Burgerkill)

1 31 1

Representasi Konsumerisme Pada Lirik Lagu Belanja Terus Sampai Mati (Analisis Semiotika Charles Pierce Tentang Konsumerisme Pada Teks Lirik Lagu Belanja Terus Sampai Mati Karya Efek Rumah Kaca)

0 12 1

Representasi Pesan Dakwah Dalam Lirik Lagu Bimbo (Studi Semiotika Roland Bathes Tentang Representasi Pesan Dakwah Dalam Lirik Lagu "Sajadh Panjang" Yang Dinyanyikan Oleh Bimbo)

1 4 1

2.1. Pengertian Komunikasi - Representasi Kehidupan Sosial Masyarakat Indonesia dalam Lirik Lagu Iwan Fals (Analisis Semiotika Lirik Lagu Iwan Fals yang Berjudul ‘Ujung Aspal Pondok Gede’)

1 2 20

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah - Representasi Kehidupan Sosial Masyarakat Indonesia dalam Lirik Lagu Iwan Fals (Analisis Semiotika Lirik Lagu Iwan Fals yang Berjudul ‘Ujung Aspal Pondok Gede’)

1 1 6

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA - Pesan Moral dalam Lirik Lagu Album untuk Kita Renungkan Karya Ebiet G. Ade Analisis Estetika Resepsi

0 0 9